Friday, December 6, 2013

PRAHU LAYAR YANG INDAH.

OM SWASTIASTU, OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Di pagi buta saat bulan purnama tepatnya hari Minggu tg 17 November 2013, jam 4 pagi saya bangun dan bersama putra saya pergi ke pantai Saba, mencoba kegemaran saya olah raga rutin setiap pagi, disamping itu saya ingin sekali-sekjali melihat matahari terbit.

Kira -kira jam 5.45, kelihatan warna merah diupuk timur, pelan-pelan merambat naik mewarnai air laut di depannya; Matahari terbit mehilangkan kegelapan, matahari terbit memulai kehidupan. Ayampun berkokok, burung-burung berkicau, menyambut Sang Surya bangun dari istananya. Namun bersamaan dengan itu saya melihat sebuah perahu layar sedang berlayar, mungkin menuju pulau tujuannya entah kemana, disitulah muncul pikiran saya membandingkan hidup ini dengan keberadaan perahu layar yang di kemudikan oleh nelayan tersebut.

Begini;
Dalam hidup ini kita memiliki; bayu, sabda, dan idep, disertai dengan ajaran Dharma (agama), artha, kama,hidup ini mempunyai tujuan dan hidup ini memerlukan sarana seperti artha dan kama.

Bila kita bandingkan dengan perahu layar itu sangat cocok sekali, misalnya; Perahu adalah Dharma, layar itu pikiran manusia, 2 tali layar adalah alat pengendali (stirnya), angin adalah kama, air laut adalah artha, nelayan itu adalah manusia (atma). Pelabuhan keberangkatan perahu itu adalah alam ini, dan pulau tujuannya adalah tujuan hidup kita.

Bila si nelayan ingin mencapai tujuan dari pelayarannya, dia mesti menginginkan angin yang sedikit kencang, untuk mempercepat jalan perahunya, dan si nelayan harus memegang tali kemudi serta mengendalikannya, dan si nelayan perlu air laut untuk landasannya berlayar. Maka tujuan pelayarannya akan bisa tercapai.

Demikian pula manusia; sangat memerlukan artha hanya untuk sebagai landasan hidup, memerlukan kama (angin) sebagai pendorong, memerlukan agama (perahu) sebagai alat untuk menyebrang, dan selalu dan mampu memekang pengendalian pikiran (tali kemudi). Maka tujuan Hidup ini akan dapat tercapai.

Bila manusia tidak tau tentang manfaat artha lalu dia mencari artha sebanyak-banyaknya, dengan segala cara termasuk cara yang dilarang oleh ajaran agama. Sama dengan si nelayan mengisi perahunya dengan air laut yang begitu banyak, maka perahunya akan tenggelam.

Demikian pula dengan kama, ada manusia yang memenuhi kamanya secara membabibuta dan tidak dikendalikan, maka sama dengan nelayan yang memerlukan angin kencang dan tidak mengendalikannya, maka perahunya akan terombang-ambing berputar-putar hingga tenggelam, tujuan perjalan hidupnya tidak tercapai.

Memang artha dalam hidup ini perlu namun sesuaikan dengan manfaatnya yang dapat mendorong tercapainya tujuan hidup ini (berdasarkan Dharma), demikian pulan kama. Maka dari itu, para penjahat, para koruptor adalah mereka yang salah menerjemahkan hidup ini, kasihan mereka, menari-nari diatas kesengsaraannya sendiri. Bangga dengan kebodohannya yang berselimutkan kemunafikan.

Saran saya;
Marilah kita secara pelan-pelan menyadari arti dan makna hidup ini, kasihan Sang Hyang Atma terlalu lama terombang ambing dengan kebodohan kita.

Demikianlah pengalaman saya diwaktu pagi buta bulan purnama, semoga ada manfaatnya.
S E K I A N.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 20 Nov 2013

DAMAI ITU SANGAT INDAH.

OM SWASTIASTU, OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Kita ketemu lagi dalam tulisan yang berbeda, semoga saudara-saudara tetap dalam keadaan yang sehat dan berada dalam pikiran damai.

Akhir-akhir ini semakin bermunculan peristiwa yang sangat mengerikan yaitu; perkelahian, tawuran, baik secara individu maupun antar kelomppok. Justru yang berklahi itu adalah mereka yang masih bersaudara, apakah bersaudara sesama orang Bali, bersaudara sesama Bangsa Indonesia, pokoknya bersaudara sesama manusia.

Katanya semua orang sangat senang dengan situasi yang DAMAI.......!!!!!!! KENAPA TIDAK BISA DAN TIDAK MAU MEMBUAT DAMAI????? Mungkin dia salah menerjemahkan DAMAI itu sendiri. Damai menurut mereka itu adalah damai dengan teman-teman yang seide atau teman seorganisasi saja. Tak perduli dengan yang lain. Dan mereka tidak pernah berpikir; KALAU KITA MENANG, APA HASILNYA YANG BISA DIWARISKAN KEPADA KETURUNAN KITA NANTI?

Saya punya teman, dia dulunya sangat senang berkelahi dijalanan, dan selalu menganggap dirinya paling benar, paling kuat, paling banyak punya teman dsb. Nah sekarang dia sudah punya anak sedang remaja, anaknya juga meniru sifat bapaknya diwaktu muda. Lalu teman saya itu menasehati anaknya agar tidak bersifat seperti itu, jangan menjadi langganan sel polisi. lalu apa kata anaknya; SAYA BERSIFAT SEPERTI INI ADALAH WARISAN DARI SIFAT BAPAK DULU, APAKAH SAYA SALAH, KALAU SAYA SALAH KENAPA BAPAK MEWARISKAN SIFAT SEPERTI INI KEPADA SAYA? katanya ada pepatah mengatakan; kalau kita anak ikan (nyalian), minimal kita harus bisa berenang, jangan sampai anak ikan mati berenang. Sehingga saya tidak mau dikatakan anak orang lain, makanya saya meniru sifat bapak agar saya dipercaya sebagai anak bapak yang asli. Lalu teman saya itu tidak punya jawaban, hal ini dia sampaika kepada saya, dan saya sulit memberi pandangan.

Saudara-saudaraku semua, marilah kita mulai belajar berbuat damai sesuai dengan kemampuan kita. Janganlah kita mati meninggalkan belang seperti harimau. Mari kita mati meninggalkan gading seperti gajah. Terutama saudaraku sesama orang Bali, sadarlah kita bahwa yang kita ajak berkelahi itu adalah saudara kita sendiri, janganlah mewariskan hal-hal yang tidak baik kepada keturunan kita nanti. Boleh kalian berorganisasi, namun tujuannya membuat kedamaian bersama, mari kita bergandengan tangan. Perkelahian itu hanya cocok di jaman penjajah, untuk menentang penjajah dan mencapai kemerdekaan, itu sudah dilakukan oleh leluhur kita para pejuang kemerdekaan NKRI, dan hal itu sudah lewat, sekarang kita tinggal mengisinya, sesuai dengan cita-cita Beliau para pejuang yang telah rela darahnya mencuci bumi pertiwi. Sekarang mari kita berkelahi dengan kebodohan dan mengusir kemiskinan.

Saya punya usul kepada saudara baik dari kelomok mana saja dan siapa saja, mari kita membikin acara bersama, bergandengan tangan menuju kedamaian, saya mau ikut kok.

HENTIKAN SIFAT-SIFAT ANARKIS, CINTAILAH NEGARAMU, CINTAILAH BANGSAMU, CINTAILAH SUKUMU, DAN CINTAILAH AGAMAMU TERAKHIR CINTAILAH TUHANMU.

S E K I A N D A N T E R I M A K A S I H.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 16 Nov 2013

UNTUK YANG INGIN TAU DAN YANG BELUM TAU (lanjutan)

OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

1. SEMUA AKTIFITAS MENGANDUNG UNSUR KETUHANAN.

Orang Hindu di Bali beraktifitas mungkin sama dengan saudara kita yang lainnya, namun di dalam mereka melakoni aktifitasnya saya melihat keunikan dan kristalisasi konsep Berketuhanannya sangat kental. Misalnya; Kalau mereka berjualan, pasti memuja Bhatari Melanting sebagai Deva Perekonomian, kalau mereka bertani ada Bhatara Ulun carik, pengairan (subak) Bhatara sedahan Mpelan, dan banyak lagi kalau kita mau mengamatinya. Itu menunjukan bahwa tatacara leluhur orang Bali dari jaman dahulu sudah menanamkan konsep berketuhanan secara sistematis, artinya disaat kapan saja dan dimana saja kita tidak boleh melupakan Tuhan dengan segala manifestasinya. Jadi kalau mengingat Tuhan tidak saja melalui melafal nama Beliau, juga bisa dilaksanakan dengan mengingat beliau dalam segala aktifitas kita. Disamping itu ada nilai - nilai etika sosial yang dapat mempertahankan nilai BALI ADALAH PULAU BAWA MAURIP.

2. BAHASA BALI.

Saat sekarang sudah sangat kentara "orang Bali" semakin meninggalkan budaya bahasa ibunya. Padahal Bahasa Bali adalah Bahasa yang mengandung ajaran tattwa, susila yang amat kental. Dari berbahasa sangat kentara etika mereka. Yang paling penting adalah; Bahasa merupakan salah satu unsur budaya, bila bahasa itu sudah dilupakan oleh pendukungnya itu berarti salah satu unsur budaya sudah mati, sehingga lambat laun budaya itu sendiri akan musnah, musnahnya sebuah budaya berarti hancurnya suku itu sendiri. Demikian pula huruf bali juga merupakan salah satu unsur budaya Bali. inilah yang patut kita pertahankan dan lestarikan jika ingin mempertahankan kebalian kita sebagai orang Bali. Dan mempertahankan Bhawa Mauripnya Bali, mewujud nyatakan slogan Ajeg Bali, konsep Tri Hittakarana agar tidak hanya digunakan sebagai pemanis bibir disaat ada kepentingan saja. Marilah kita pertahankan budaya Bali warisan leluhur kita yang adhi luhung itu, dan telah terbukti bisa memberikan manfaat positif bagi kehidupan kita.

INILAH YANG PERLU DISIMAK, DIFAHAMI OLEH SEMUA PIHAK TERUTAMA MEREKA YANG TINGGAL DI BALI.

Judul tulisan yang akan datang adalah; BALI TERBENTUK MELALUI KONSEP ANDA BWANA.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM

https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 12 Nov 2013

UNTUK YANG INGIN TAU DAN YANG BELUM TAU

OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM

Selamat bertemu lagi saudaraku lewat media ini, semoga semuanya dalam keadaan sehat. Tulisan ini sengaja saya beri judul seperti itu, sebab di dalam pikiran saya tersirat tentang apa yang akan saya tulis ini sudah ada yang tau, dan kemungkinan juga ada yang belum tau, atau ada pula yang ingin tau, tentang Bali. Maka dari itulah saya menulisnya sesuai dengan apa yang saya tau berdasarkan membaca dan mendengar tentang Bali itu sendiri.

Merasakan adanya situasi Bali seperti sekarang ini yang kelihatan banyak masalah yang menjadi polemik, maka semakin keras kemauan saya untuk menulis sebagai landasan berbagi pengalaman dengan saudara-saudara. Harapan saya agar kita semakin menyayangi Bali dalam artian yang luas. Bila tulisan ini saudara anggap ada manfaatnya, saya akan menulisnya secara bersambung. Sebagai sarana Bhakti kehadapan leluhur yang merancang dan menata Bali ini sehingga kita dapat merasakan manfaatnya.

1. BALI TAK UBAHNYA SEBUAH LUKISAN YANG AMAT INDAH.
Kalau saya umpamakan Bali ini dengan segala unsurnya yang ada di dalamnya sebagai sebuah lukisan yang tertuang diatas kanvas, dari pelukis kaliber luar angkasa, maka kelihatan indah garis-garisnya, penataan warnanya, pokoknya sangat indah. Maka bila ada sekarang pelukis amatiran datang, yang masih bau kencur, janganlah coba-coba corat-coret nambah ini, nambah itunya lagi. Sehingga lukisan yang amat agung akan rusak dan dirusak oleh si pelukis amatiran, saya sarankan kepada si pelukis yang bau kencur itu, bila mereka ingin melukis meniru lukisan itu, carilah kain kanvas lain, atau kertas koran bekas untuk mebikin lukisan baru bikinannya sendiri.

Lukisan yang telah ada ini mari kita lestarikan, kita nikmati keindahannya, boleh dipotret, boleh dilihat tapi jangan diraba-raba. Sebab satu-satunya lukisan yang amat indah warisan leluhur bisa bertahan sampai jaman globalisasi sekarang ini. Keadaan seperti itu pasti ada penyebabnya yang merupakan kekuatan yang mendukungnya, terutama kekuatan niskala. Kalau kita merasa sebagai orang Bali, yang nota bena keturunan dari sipelukis itu, maka tidak ada kata lain selain kita harus melindungi, mengayomi, dan melestarikan warisan dari leluhur kita. Perlu diketahui, siapapun dan dari manapun tidak dilarang untuk melihat, motret, bahkan meniru lukisan itu, tetapi jangan dong di corat-cotet sesuai keinginan sendiri, apa lagi ada keinginan untuk memiliki sendiri.

Demikianlah Bali bila diumpakan seperti sebuah lukisan yang amat indah dan dikagumi dunia. Mari saudara-saudaraku, kita jaga dan ayomi warisan nenek moyang kita agar dapat pula di nikmati oleh keturunan kita nanti. Jangan sampai lukisan itu rusak dan hancur ditangan kita sekarang ini, anak cucu kita akan menuntut kita nantinya, mungkin dia berkata begini; KEMANA KAU BAWA BALIKU.

2. BALI ADALAH PULAU BAWA MAURIP.
Yang dimaksudkan Bawa itu adalah sinar/energi/ aura. Maurip artinya hidup. Jadi Pulau Bali adalah pulau yang beraura dan hidup. Bila saya boleh mengandaikan Bali itu seperti diri manusia, maka; Pulau Bali adalah badan/jasadnya, manusianya adalah Tri Kayanya, dan Kahyangan (Pura sebagai stana dari manifestasi Tuhan) sebagai atmanya. Maka hiduplah Bali itu dan berkarisma.

Saya pernah keluar Bali, setelah saya balik pulang baru menginjakan kaki di pelabuhan di Bali, perasaan saya sangat berbeda, rasanya saya disambut oleh aora Bali yang amat kuat, seperti ada ucapan; "Om Swastiastu. Selamat datang kembali di Bali". Jadi Bali sangat bersahabat, selalu memberikan rasa aman damai ini ,menurut perasaan saya sendiri entahlah saudara yang lainnya.

Oleh karena Bali itu Bawa Maurip, maka segala sesuatu yang akan di buat di Bali harus berdasarkan musyawarah mufakat dan jangan lupa membuat suatu permakluman kepada Tuhan ( Ida Bhatara). Orang Bali bila ingin membangun apa saja, pasti melaui tatanan yang telah ditentukan oleh leluhurnya. Umpamannya membuat jalan baru dengan membongkar tanah, ini pasti ada tatanannya, sebab bali itu hidup seperti contoh di atas, sama saja kalau kita ingin mengoperasi badan kita, pasti dokter ngasi bius, kemudian ngasi obat antibiotik, agar tidak terjadi penderitaan dan tidak terjadi infeksi (pembusukan).

Bila kita sadar Bali itu diandaikan seperti manusia, maka baik buruknya manusia itu disebabkan oleh Tri Kayanya, nah Bali begitu pula, baik buruknya Bali nantinya disebabkan oleh orang yang tinggal di Bali.

S E K I A N D U L U. Bila perlu akan ada sambungannya lagi.

OM, SANTHI, SANTHI, SANTHI, OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 7 Nov 2013

Tri Kaya, Atman, dan Badan Kasar


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Rasanya tidak bisa ditahan keinginan saya untuk menulis pengalaman yang barusan terjadi. Sebab kejadian tersebut sangat menarik perhatian saya. CerItanya begini; Tadi siang saya melaksanakan tugas saya sebagai seorang Pedanda untuk muput upacara walaupun kapasitasnya sangat sederhana. Dijalan saat mau pulang dari muput saya melihat kejadian begini;

SEPASANG ANAK MUDA BERBONCENGAN SEPEDA MOTOR GEDE, MOTORNYA SANGAT BAGUS, DAN YANG DIBONCENGPUN ANAKNYA CUKUP CANTIK, NAMUN YANG MEMBONCENG KELIHATANNYA TIDAK PERNAH MANDI ATAU KURANG MEMPERHATIKAN DIRINYA, KELIHATAN DARI CARA BERPAKIANNYA, SERTA PENATAAN DIRINYA. MUNGKIN DIA MENGENDALIKAN MOTORNYA TIDAK TAU ATURAN LALU LINTAS DAN KURANG MEMPERHATIKAN SITUASI DI JALAN, SEHINGGA TERJADI KECELAKAAN.

Melihat peristiwa seperti itu entah apa yang menyebabkan pikiran saya mengkaitan dengan kehidupan manusia dewasa ini. Sepeda motor itu saya selaraskan dengan tubuh manusia, yang di bonceng adalah atman (percikan dari Tuhan), dan yang membonceng adalah Tri Kaya.

Bila si Tri kaya tidak mendapatkan pendidikan kerokhanian, maka sama dengan si pengemudi motor yang kelihatannya komal sekali, walaupun motornya tergolong motor mewah dan mahal, serta bersih, diumpamakan seperti pisiknya yang gagah, dan yang dibonceng seorang yang amat cantik, diumpamakan Sang Hyang Atma yang suci. Yang paling menentukan selamat atau tidak selamat mereka sampai ditujuan sangat ditentukan oleh si pengemudi/ sang Tri Kaya.

Bered dan penyoknya serta rusaknya motor itu berkat ulah sipengemudi, semuanya disebabkan oleh dia. Bila si pengemudi mau belajar aturan lalulintas dan mampu memahami kepentingan bersama dijalan, maka tercapainya tujuan perjalanannya mereka. Sama dengan kita, bila kita mampu sadar untuk belajar kerokhanian, maka Tri Kaya akan terparisudha, menjadi Tri Kaya Parisudha, maka tujuan hidup ini akan jelas bisa kita capai.

Kalau Tri Kaya sudah terparisudha, kerusakan fisik dan tergoyangnya sang Atma sudah dipastikan tidak akan terjadi. Demikianlah sekilas info, mudah-mudahan ada manfaatnya.
JANGAN BIARKAN TERUS BEGITU. S E K I A N.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 1 Nov 2013

Tuesday, December 3, 2013

BUDAYA


Om Swastiastu. Om Awignamastu.

Saya teringat masa-masa saya masih duduk di bangku kuliah, sebelum mendapatkan dosen, saya biasa rembug berkelompok bersama teman-teman, ya ceritanya ngalor ngidul, ada yang guyonan dan ada yang macem-macem yang semuanya itu dapat mengundang gelak tawa diantara kami. Kemudian salah satu dari teman saya mengeluarkan tiori yang berkaitan dengan Budaya. Dia mengatakan, entah dimana dia dapat saya kurang tau, katanya seperti ini;

"BUDAYA ITU ADALAH SESUATU YANG MERUPAKAN PENGUAT DI DALAM HIDUP KITA, BILA BUDAYA ITU HILANG MAKA HIDUP KITA AKAN GOYAH BAHKAN BISA HANCUR. SEBALIKNYA BILA INGIN MENGHANCURKAN SEKELOMPOK ORANG/SUKU/BANGSA, MAKA YANG HARUS DILENYAPKAN TERLEBIH DAHULU ADALAH BUDAYANYA.

Waktu itu saya sangat tidak tertarik dengan omongan teman saya itu, namun sekarang setelah saya pikir bolak-balik sambil duduk sendiri mengingat-ngingat masa lalu bersama teman-teman, lalu saya teringat cerita itu. Jadi itu yang selanjutnya menjadi renungan saya sendiri, ternyata apa yang dia katakan itu menurut saya ada benarnya bila dilihat kenyataannya keseharian. Sehingga BUDAYA sangat penting artinya bagi hidup kita (budaya yang saya maksudkan disini adalah budaya yang dapat memberikan identitas baik kepada kita).

Seperti misalnya; budaya bertani, bila budaya ini sudah tidak mendapat perhatian maka tidak menunggu lama maka pertanian (agraris) akan hancur/lenyap. Demikian pula budaya-budaya yang lainnya. Sehingga bagi saya budaya leluhur kita yang adhiluhur mesti kita pertahankan untuk tidak kita mengalami kehancuran. Khususnya budaya Bali yang merupakan bagian dari budaya Nasional. Kokohnya budaya di masing-masing daerah dipertahankan oleh penganutnya, berarti semakin kokoh pula budaya Nasional kita. Walaupun demikian bukan berarti kita menolak budaya diluar itu, atau kita akan mengisolir diri, sama sekali tidak namun kita harus pinter-pinter memilah-milah dan memilihnya (memfilter), pilihlah yang dapat memperkuat budaya warisan kita, yang kiranya dapat menghilangkan budaya kita jangan dulu dibudayakan.

Salah satu contohnya; BUDAYA BHINEKA TUNGGAL IKA, Yang amat dibutuhkan dewasa ini dan dimasa selanjutnya dan mungkin hal ini sangat sulit didapati di tempat lain. Untuk itu saya mengajak saudara-saudara untuk merenungkan hal itu, dan mari kita tingkatkan lagi demi masa depan kita dan demi anak cucu kita dikemudian hari agar mereka tidak kehilangan identitis. Budaya leluhur kita telah terbukti keagungannya sehingga tidak sedikit orang yang mengaguminya. S E K I A N.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

MUNGKIN SEMUA PERNAH MENGALAMI


OM SWASTIASTU.

Suatu peristiwa yang sering terjadi pada diri kita, namun jarang yang mengungkapkannya, kenapa bisa begitu??? Pertanyaan seperti inilah yang sering muncul dihati saya, sehingga dengan perasaan yang tidak tau malu terpaksa saya tulis di media ini, dengan harapan dapat masukan dari saudara-saudara saya yang tercinta dan budiman. Sebenarnya persolan yang saya tulis ini merupakan soal yang sangat biasa, dan sudah pasti pernah dialami oleh siapa saja sehingga kelihatannya sangat sepele, namun bagi saya masalah ini sangat berarti. Sebab akibatnya sangat fatal bagi kehidupan kita baik secara rokhani maupun secara jasmani.

Permasalahannya adalah sebagai berikut;
Bila seseorang (mungkin siapa saja), yang sedang mendapat masalah atau sedang menghadapi masalah, perasaan yang paling pertama muncul dipikirannya adalah; MENOLAK, dengan bermacam-macam alasan, atau bermacam-macam tangkisan, bahkan sampai kepada tingkat marah, sedih, menyesal, menunda, atau melempar masalah tersebut kepada pihak lain dan sebagainya. Namun sebaliknya mereka yang sedang mendapatkan sesuatu yang mereka senangi, apakah itu berupa rejeki atau yang lainnya, sangat mengharapkan agar peristiwa itu datang secepatnya kalau toh harus menunggu beberapa hari, mereka ingin memutar matahari itu biar cepat terjadi pergantian hari, agar semuanya bisa cepat didapati, kegirangan dan kebahagiaannya tak dapat ditutupi, meluap-luap.

Mengamati hal seperti itu, maka muncul pertanyaan dihati saya;
APAKAH YANG MENYEBABKAN HAL SEPERTI ITU BISA BAHKAN SERING TERJADI DALAM PIKIRAN KITA???

Karena masalah seperti ini pernah terjadi pada diri saya, maka saya ingin sekali mencari jawabannya. Walaupun banyak orang atau banyak ditulis dalam buku nasehat seperti ini; BILA KITA SEDANG MENDAPATKAN KESUSAHAN JANGANLAH TERLALU SEDIH, DAN SEBALIKNYA BILA KITA MENDAPATKAN KEBAHAGIAAN JANGAN TERLALU GEMBIRA.

Namun setelah saya banyak merenung maka yang mungkin kekurangan saya adalah tidak mampu memahami ajaran Hulum Karma Phala. Sebab setelah kita dapat memahami dan meyakininya akan timbul pikiran mensyukuri apa yang kita dapati, karena semuanya itu adalah hasil dari karma kita sendiri.

Sehingga sekarang saya bertambah yakin dengan ucapan orang bijaksana bahwa; SEKECIL APAPUN KARMA KITA, PASTI AKAN MENDAPATKAN PAHALA. JANGAN DISESALI APA YANG KITA DAPATI, KARENA SEMUA YANG KITA DAPATI ITU ADALAH HASIL DARI KARMA KITA SENDIRI.

Untuk itu marilah kita mulai sekarang belajar berkarma yang nanti bisa mendapatkan hasil yang lebih baik untuk kehidupan dimasa datang dan terimalah semua hasiL karma kita dengan penuh rasa bersyukur. Terima Kasih atas perhatian anda.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

TANGKIL, NGAYAH, BERSEMBAHYANG KE PURA DAN YOGA (LANJUTAN)


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Kita akan kembali pada pokok bahasan tentang pembangunan pura yang berlandaskan konsep yoga. Seperti kita ketahui pura kuno dibangun di atas gunung, di tepi tebing, di dalam lautan, di dalam goa, pokoknya di tempat yang agak sulit dijangkau. Untuk dapat dipahami secara jelas pembangunan pura berdasarkan konsep yoga, harus juga dimulai dari menguraikan tahapan yoga, kemudian sesuaikan dengan konsep pembangunan pura tadi. Saya akan mencoba untuk menguraikan tahapan yoga secara umum saja yaitu;

• Panca Yama Brata
• Panca Niyama Brata
• Asana
• Pranayama
• Dyana (Semadi)

Mungkin tahapan yoga yang saya uraikan ini tidak lengkap sekali, karena saya ingin mencari yang paling menonjol kaitannya dengan pembangunan pura. Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata ditekankan agar dilakukan setiap hari, di dalam kehidupan sehari-hari. Lalu Asana, Pranayama dan Dyana agak jarang dilakukan, sebenarnya ini juga harus setiap hari dilakukan. Dikarenakan oleh adanya suatu sebab yang kurang jelas, maka tahapan yoga bagian Asana, Pranayama dan Dyana kurang tekun dilakukan.

Nah, sekarang kaitannya dengan pembangunan pura yang lokasinya seperti yang telah diuraikan tadi, itu akan memberikan peluang yang sangat besar untuk melakukan Asana, Pranayama dan Dyana dengan tidak kita sadari. Misalnya untuk bisa sembahyang atau ngayah ke pura yang sulit dijangkau, memerlukan persiapan fisik dan mental yang memadai serta melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah.

Sekarang kita ambil contoh mau sembahyang ke Pura Pucak Manik di wilayah Grokgak Singaraja. Sebelumnya orang yang mau sembahyang harus siap mental artinya, harus sehat, dan berkonsentrasi, tidak boleh ragu-ragu, pakaian sederhana, barang bawaan secukupnya dan sepantasnya, sebab perjalanan akan melalui medan yang cukup berat dan posisinya naik. Di dalam perjalanan melalui jalan setapak, tebing-tebing, hanya ada pohon dan akar yang dapat digapai sebagai pembantu. Nafas terengah-engah, CO2 keluar dengan derasnya demikian pula O2 akan masuk dengan deras pula melalui hidung kita, pertukaran udara akan terjadi antara orang yang tangkil dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar areal perjalanan. Rasanya paru-paru dicuci bersih, jantung terasa berat memompa darah, sehingga dada terasa berdebar.

Setelah perjalanan berakhir di areal pura, nafas masih terengah-engah, sudah pasti memerlukan waktu istirahat barang 10 minit, kemudian baru berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan sembahyang. Setelah nafas agak sempurna, dada terasa ringan, beban pikiran menjadi ringan, perasaan jadi sangat tenang. Kita duduk dengan pikiran hening, lalu melakukan persembahyangan melalui urutan sebagaimana mestinya. Setelah bersembahyang ketenangan sangat terasa, perutpun mulai terasa lapar, mau tidak mau ”lungsuran banten” (banten yang telah dihanturkan) dimakan habis. Dalam keadaan seperti itu semua orang yang mengalami tangkil ke pura yang sejenis medannya dengan Pura Pucak Manik, akan tidak menyadari dirinya telah melakukan yoga dari tahap awal sampai tahap dyana.

Perjalanan mendaki yang diuraikan tadi, itu sama dengan asana yang sangat sempurna, keringat bercucuran. Nafas terengah-engah, itu sama dengan pranayama yang sempurna. Setelah tenang duduk lalu bersembahyang itu adalah dyana semadi/meditasi yang tidak kalah bobotnya. Demikian bijaknya para leluhur kita melatih generasi penerusnya untuk selalu dapat melaksanakan yoga, sehingga bisa terbentuknya moral yang luhur. Di samping itu adapula makna yang dapat dipetik, bahwa tidak sembarangan orang dapat sembahyang langsung di pura itu. Bagi mereka yang berpikir ragu-ragu pasti tidak bisa, mereka yang sakit-sakitan, ibu-ibu hamil, anak-anak yang belum cukup umur, cacat fisik, sangat sulit menempuh perjalanan seperti itu. Mereka akan sembahyang di pura yang mudah dijangkau oleh mereka.

Demikian pemahaman saya mengenai pembangunan pura yang letaknya sulit dijangkau oleh masyarakat umum, bila dikaitkan dengan penerapa yoga secara praktis, halus sehingga hampir tidak dapat dirasakan oleh si pelaku.

Permasalahannya sekarang adalah, sebagian besar pura seperti tadi sudah dibuatkan jalan untuk mudah dapat dijangkau oleh semua golongan, bahkan sampai pedagang kaki limapun ikut menyemarakkan, pura jadi ramai, dagang kaset itu memutar kasetnya agar laku dijual. Pemandangan yang muncul tak ubahnya semakin jauh. Bagi mereka yang bersembahyang pun tidak mengalami proses yoga yang benar dan mantap. Judi semarak, menurut pengamatan saya pura yang merupakan tempat mencari kesucian, berubah menjadi tempat mencari hiburan.

Saya rasa, menangis leluhur kita di alam sana, karena kita sebagai pewarisnya tidak mampu memanfaatkan pura seperti langkah dan tujuan leluhur kita terdahulu. Jika begini terus habislah segala warisan yang adhi luhung itu. Wahai generasi penerus, engkau tidak akan dapat menikmati Bali yang sempurna seperti dahulu.

Saya kira masih ada kesempatan untuk melestarikannya, kalau kita sama-sama menyadari demi keturunan kita nanti. Marilah berbuat bukan hanya untuk dinikmati sekarang saja, berbuatlah untuk generasi masa datang.

Mungkin ada di antara pembaca yang ingin bertanya. Jadi kalau begitu pemahamannya, rasanya ada unsur membedakan antara umat yang kuat dan umat yang lemah untuk dapat mengikuti yoga? Sebenarnya tidak ada yang membedakan. Kecuali mereka sendiri yang membedakan dirinya dengan yang lain. Maksudnya mereka yang sakit pasti berbeda dengan mereka yang sehat. Mereka yang sungguh-sungguh ingin menyembah Ida Sang Hyang Widhi akan berbeda dengan orang yang sekedar memamerkan pakaian, memamerkan kekayaan, memamerkan postur tubuh datang ke pura. Kalau memang mereka merasa sama tidak ada larangan untuk tangkil bersembahyang. Begitu mereka tangkil ke pura, otomatis mereka sudah melakukan yoga.

Kesimpulannya itu sangat tergantung pada kesungguhan dan ketekunan kita. Sebagai orang awam, begitulah pemahan saya tentang dibangunnya pura yang letaknya ditempat yang sulit dijangkau. Jangalah diutak-atik lagi, yang sifatnya memudahkan dan tidak mendidik. Mudah menjangkau beda bobotnya dengan yang sulit dijangkau.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

TANGKIL KE PURA UNTUK NGAYAH DAN BERSEMBAHYANG MERUPAKAN LANGKAH MEMPRAKTIKAN YOGA


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMO SIDAM.

Mengamati banyak pura kuno yang ada di Bali, sebagian besar letaknya di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Seperti misalnya: Pura Pasar Agung di wilayah Karangasem, Pura Lempuyang juga di wilayah Karangasem, Pura Pucak Manik di wilayah Singaraja dan banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan semuanya. Letak pura seperti ini yang sangat menggugah pikiran saya untuk mengetahui. Kenapa bisa seperti itu? Apakah leluhur kita dahulu tidak bisa mencari tempat strategis pada saat dibangunnya pura tersebut? Saya kira tidak sulit mencari lahan untuk membangun pura, mau mencari lahan di kota, di pedesaan itu sangat mudah. Kenapa beliau tidak mau lakukan itu?

Tetapi di zaman sekarang, konsepnya berbalik. Jika ada yang ingin membangun pura, mencari tempat yang strategis, supaya dapat dipinggir jalan besar biar mudah dijangkau. Lucunya lagi, pura yang dibangun oleh leluhur kita, seperti yang saya katakan tadi cukup sulit dijangkau, dibuatkan jalan agar mudah dijangkau oleh semua orang. Apakah pemikiran seperti itu sudah boleh dikatakan benar?

Sudahkah langkah yang diambil seperti itu sesuai dengan konsep dasar pemikiran leluhur kita sewaktu membangun pura tersebut? Inilah pokok permasalahan yang saya ingin tuangkan, dengan mencoba melihat dari sudut latihan yoga. Sekaligus saya menginginkan adanya pemahaman dan pengertian di antara kita. Yoga merupakan aktivitas yang mampu meningkatkan kerohanian, dan mampu menuntun umat manusia untuk menemukan jati dirinya (mewali ring sangkanin dumadi). Itulah pemahaman bebas dari saya tentang yoga untuk memberikan batasan agar dapat kita menguraikan selanjutnya.

Oleh karena, begitu luhurnya ajaran yoga, maka para pendahulu kita ingin keturunannya dapat melakukan yoga secara rutin, untuk dapat merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Namun beliau juga sudah memahami sifat-sifat dasar manusia salah satu diantaranya adalah malas (ngekoh dalam bahasa Bali), sifat ingin yang gampang-gampang saja dan sifat lainnya yang sejenis. Namun yoga akan merubah sifat-sifat semacam itu. Disinilah kelihatannya agak kontradiktif. Maka dari itu ajaran yoga dikemas secara halus sekali sehingga tidak nampak. Artinya mereka yang melakukan yoga tersebut tidak merasa apa yang mereka sedang lakukan adalah sesuatu yang sangat luhur dan bermanfaat bagi hidupnya (gerakan yoga).

Sebelum saya melanjutkan uraian tadi, kata yoga di dalam masyarakat umum (Hindu di Bali), sangat disucikan, bahkan kelewatan caranya menyucikan akhirnya muncul rasa ketakutan mendengar kata yoga (dianggap serem). Perkembangan pemikiran seperti itu sudah dibayangkan sebelumnya oleh leluhur kita, makanya saya katakan tadi yoga itu dikemas secara halus biar mudah dapat dilakukan, bahkan tidak terasa melakukan yoga. Namun pada intinya yoga itu dapat menyentuh lapisan masyarakat terbawah dengan tidak membedakan kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi dan kemampuan yang lainnya. Dasar pemikiran seperti itu dituwangkan di dalam konsep pendirian pura, konsep ngayah di pura pada waktu ada pujawali atau pada waktu ada kegiatan di pura, dan banyak lagi penjabaran yoga dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.

(Bersambung)

OM. SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

Thursday, November 7, 2013

Mencari Pembenaran Untuk Menutupi Kebodohan




OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Kadang-kadang tidak sampai terpikirkan untuk menilai perbuatan kita sehari-hari, apakah yang telah kita lakukan itu sudah benar atau salah? Sangat jarang berpikir sampai kesana. Karena adanya anggapan bahwa, apa yang dilakukan dan menyenangkan diri sendiri atau dapat memenuhi kepentingan mereka, itu yang dianggap benar. Walaupun untuk menutupi kecurangan atau kesalahannya mereka bersusah payah mencarikan pembenaran, baik dengan cara menyitir bunyi-bunyi ayat-ayat suci, maupun mencarikan pasal-pasal yang diperkirakan mendukung, dipaksakan untuk digunakan sebagai penguat, agar pendapat itu menjadi kelihatan benar, untuk bisa mendapatkan kepercayaan publik. Kelihatannya hampir semua berbuat seperti itu. Membungkus kesalahan dan kecurangan dengan kemasan pembenaran.

Ada satu contoh yang layak ditampilkan untuk mengungkap peristiwa mencari pembenaran tadi. Di salah satu Desa Pakraman anggota masyarakat rutin mengadakan penjagaan di pura. Untuk menghindari pencurian benda-benda sakral (makemit). Penjaga atau ’pekemitan’ itu syaratnya harus begadang, baik dilakukan secara bergilir, maupun dilakukan secara bersama-sama dalam satu kelompok (regu) ”pekemitan” itu. Nah untuk menghilangkan rasa ngantuk, mereka sepakat bermain judi (maceki) di pura. Kalau ada yang menasihati, mereka akan mencari pembenaran atas tindakannya, dengan cara mengatakan untuk menghilangkan rasa ngantuk agar dapat begadang sampai pagi, jika ada maling bisa cepat kentara. Sepintas kelihatannya apa yang mereka lakukan itu sangat benar. Tetapi sangat jauh dari kebenaran sejati.

Kalau kebenaran yang dicari semestinya mereka tidak bermain judi di pura, karena judi jelas-jelas dilarang oleh agama, apalagi dilakukan di pura sangat menodai kesucian agama. Semestinya mereka melakukan kegiatan yang berbau Suci.

Nah terjadinya tindakan-tindakan yang bertolak belakang dengan ajaran agama bisa berjalan terus, sampai tidak ada yang berani melarang, aparat kemanapun kadang-kadang dibuat kurang tegas (seperti menindak tajen), karena kepintaran mereka mencari pembenaran. Dengan cara mengatakan tajen itu adalah tabuh rah, kalau tidak diadakan tajen akan terjadi peristiwa yang sangat mengerikan serta didukung oleh kerauhan. Terbungkuslah kesalahan itu oleh pembenaran dari mereka.

Ada lagi peristiwa yang paling memalukan, yaitu; seorang koruptor juga sering mencarikan pembenaran tindakan korupsinya dengan cara menyumbang ke pura, baik berupa pembangunan pelinggih maupun sumbangan (punia) lainnya, yang mana mereka mengharapkan agar kelihatan paling dermawan di mata masyarakat, atau tindakan jahatnya mendapat pengampunan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sumbangan merekapun tidak tanggung-tanggung nilainya sampai puluhan bahkan ratusan juta, masyarakat dibuat sangat gembira dan hormat kepada sang koruptor, karena mereka rasakan nilai sumbangannya sangat besar, tetapi mereka belum tahu bahwa uang yang dikorup nilainya milyaran rupiah. Dilihat dari nilai sumbangannya sama sekali tidak ada artinya.

Tindakan-tindakan seperti inilah yang paling banyak terjadi dewasa ini. Selain itu kerap terjadinya perselisihan dan pertengkaran di dalam keluarga maupun di masyarakat akibat munculnya saling mencari pembenaran demi kepentingan mereka masing-masing. Jika begini keadaannya terus apa lagi yang dapat diharapkan. Masihkah ”kata jujur” itu perlu didengungkan, kecuali digunakan sebagai kedok didalam melancarkan aksi jahat mereka. Jangan biarkan segumpal awan hitam menutupi matahari menghambat sinar menerpa bumi, kegelapan akan muncul menuntun kita kearah jurang neraka. Hentikan langkah mencari pembenaran, carilah kebenaran bagai menghapus awan hitam membuka celah sinar matahari menerpa bumi.

Sadarlah bahwa matahari jauh lebih besar dibanding awan yang menutupinya, hanya saja jarak awan lebih dekat ke kita dibandingkan jarak matahari ke kita. Taruhlah kesadaran di atas awan dengan cara meletakan kebenaran di atas pembenaran.

Semakin mendekat kesinar, akan semakin jelas pandangan kita, semakin mudah pula membedakan antara yang benar dengan yang salah. Jika semakin dekat ke gelap, akan semakin tidak mampu pikiran untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Kebodohan jangan diselimuti dengan pembenaran, hilangkan selimut pembenaran tuntunlah kebodohan itu melalui kebenaran agar semakin terang jalan yang dilalui dan semakin pasti pula tujuan yang akan dicapai.

Tujuan agama adalah kebenaran, karena Ida Sang Hyang Widhi maha benar. Beliau adalah tujuan hidup kita, mungkinkah kebenaran itu akan dicapai hidup melalui pembenaran? Jangan terlalu lama menghayal, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan yang sia-sia, lihat dirumu berapa harikah ijin hidupmu masih berlaku?

Matahari telah condong ke barat, sebentar lagi akan tenggelam, siang diganti malam. Mengapa kami tidur terus, bangunlah lepaskan selimut judi, selimut mabuk, selimut narkoba, selimut selingkuh dan selimut-selimut kotor lainnya. Demikian pula kacamata angkuh, kacamata sombong, kacamata egois, dan semua jenis kaca mata yang sejenis lepaskan.

Pakailah selimut kebenaran dan kaca mata hati nurani dengan lensa budhi suci, kamu akan dapat merasakan sejuknya udara Dharma, dan dapat menikmati indahnya pemandangan Niwana.
Jika tindakan mencari pembenaran tidak dapat dihentikan, akan bermunculan orang-orang munafik, alam ini akan menjadi kerajaan munafik, mereka akan menyembah kemunafikan dan mengagung-agungkan munafik sebagai penyelamat hidupnya. Untuk itu perlu juga kita merenung sejenak, apakah kita adalah keturunan munafik? Apakah leluhur kita adalah orang-orang munafik? Apakah kemunafikan ini akan kita wariskan kepada keturunan kita nanti?

Saya dapat menebak bahwa tidak ada di antara kita yang setuju menjawab pertanyaan tersebut dengan kata ya. Nah bila saudara setuju dengan pendapat tadi, marilah kita tulis lembaran hidup ini dengan tinta emas dan tulisan indah, mencatat kisah-kisah cinta terhadap Sang Pencipta, goresan kasih dan sayang sesama makhluk ciptaaNya. Baca dan pahami rambu-rambu jalan menuju Sang Pencipta, yang telah terpasang rapi dan jelas dapat di baca. Mohonlah tuntunan kepada beliau yang memiliki pemahaman dan pengalaman membaca rambu-rambu tersebut. Jangan kecewakan para leluhur terdahulu, jangan dibuat malu keturunan kita nanti.

Ada sebuah cerita pendek yang mengisahkan orang bodoh. Si bodoh memang sejak kecil mereka tidak mau belajar, tidak mau bertanya kepada siapapun, awalnya dia menganggap kepintaran dan kebijaksanaan itu akan datang sendiri, karena itu merupakan hak seseorang yang harus mereka dapati tanpa perlu berusaha. Mungkin karena karma wesananya diwaktu hidup jaman lampau bagus, maka dalam hidup dia sekarang dapat menikmatinya. Dia menjadi kaya raya, namun menghitung uang dia tidak tau. Oleh karena dia kaya maka di dalam lingkungannya dia sangat disegani dan dianggap seorang tokoh. Begitu besar kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, semakin angkulah mereka. Sampai masalah tatanan kehidupan beragama mereka tangani sendiri, dan tetap tidak mau belajar, sebab menganggap diri selalu benar. Kesenjangan yang terjadi dalam pikirannya seperti itu mereka tutupi dengan mencarikan pembenaran.

Saya masih ingat dengan bunyi sloka dalam buku NITI SATAKA, ada tertulis bahwa; Orang bodoh yang berpura-pura seperti orang pintar; Dewa Brahma pun tidak mampu mengajari mereka.

Kisah singkat ini dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa mereka yang selalu mencari pembenaran akan sulit diarahkan atau diajarkan untuk bisa merubah arah menuju kebenaran. Dewa Brahma sulit mengajar mereka apalagi kita sesama manusia.

Maka dari itu jangalah sampai terlanjur hidup ini hanya untuk mencari pembenaran, agar jangan kita menjadi orang yang sulit menerima ajaran.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Sumber: facebook

Mensyukuri apa yang kita dapati sekarang



OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Kadang-kadang masih ada yang merasa bingung terhadap apa yang mereka dapati atau nikmati dimasa hidup sekarang ini. Mungkin mereka berpikir, kenapa saya sudah begini kok dapat begitu? Atau, kenapa mereka begitu kok dapat begini? Akhirnya penyesalan demi penyesalan akan muncul, untuk melemahkan semangat hidup, dan mengurangi keyakinan terhadap ajaran agama dan terhadap kebesaran Ida Hyang Widhi. Karena penyesalan itu sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali. Lebih baik waspada sebelum dan diwaktu beraktivitas, dibandingkan dengan menyesal setelah mendapat hasil dari aktivitas itu. Karena apa yang kita perbuat itu sekaligus merupakan kehendak kita dan juga merupakan pernyataan kita atau permohonan kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Oleh karena Beliau sangat adil dan bijaksana, apapun yang menjadi keinginan manusia pasti akan dipenuhi. Kalau mereka menginginkan hidup tenang dan bahagia, mereka harus menyampaikan keinginan melalui perbuatan kepada Beliau. Jadi Beliau akan menilai, jenis kebahagiaan yang bagaimana diinginkan, apakah kebahagiaan di atas penderitaan orang lain atau kebahagiaan bersama, setelah itu pasti kita terima hasil dari permohonan tersebut. Pokoknya apa yang kita mohon kepada Beliau pasti dipenuhi, lalu mengapa kita harus menyesali pemberian atau anugrah Beliau. Apakah penyesalan itu tidak boleh disebut salah satu bentuk sifat durhaka?

Ambil saja satu contoh, seorang anak meminta uang jajan 10 rupiah kepada orang tuanya, mereka berbicara dan bergerak untuk menyatakan permintaanya itu agar orang tuanya mengerti. Lalu orang tuanya memenuhi permintaan anaknya, dengan memberikan uang sesuai dengan permintaan. Mengapa si anak menyesal atas pemberian orang tuanya? Dengan mangatakan bahwa uang 10 rupiah mana cukup untuk membeli jajan? Percuma saya minta uang. Jajan saja harganya 100 rupiah, kok sampai hati orang tua saya memberi uang segini? Bentuk prilaku seperti inilah sebenarnya sangat tidak berguna. Apa bila mereka menyadari, semestinya sebelum meminta harus waspada dahulu, baik tentang harga maupun yang lainnya. Setelah itu baru meminta, pasti tidak akan terjadi penyesalan.

Demikian gambaran sebagai contoh untuk dapat menghayati tentang apa yang kita nikmati sekarang adalah merupakan hasil dari karma kita sendiri, sehingga setiap mau berbuat (berkarma), harus dilandasi oleh pikiran yang sejati, perkataan yang sejati dan pelaksanaan yang sejati. Untuk mendapatkan semua kesejatian tersebut, tiada jalan lain selain mengikuti petunjuk-petunjuk sastra Agama. Di dalam kitab Agastya Purana ada dimuat tentang penjelmaan kembali, apabila kita tersebut dibaca secara teliti, ada penjelasan tentang penjelmaan yang erat kaitannya dengan karma wasana.

Misalnya seseorang yang lahir menjadi manusia cacat (cacat fisik), itu diakibatkan oleh sewaktu mereka hidup sebelum kelahiran sekarang, sangat senang berbicara yang kurang sedap didengar, sehingga sering menimbulkan perasaan yang kurang enak bagi yang mendengarkannya, bahkan tidak jarang menyebabkan sakit hati. Prilaku mereka yang demikian itu, merupakan kesenangan sekaligus merupakan permohonan kehadapan Beliau agar dikemudian hari dapat pahala sesuai dengan kesenangannya. Makanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan sangat adil menganugrahi mereka untuk menjelma menjadi orang sumbing. Nah kenapa setelah diberikan anugrah sesuai dengan permohonan, kita jadi menyesal? Jika tidak senang menjadi manusia sumbing atau cacat fisik janganlah berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama. Kalau ingin menjadi orang kaya material dikemudian hari, mulai sekarang harus senang membantu (berderma) secara tulus dan ikhlas, pasti penjelmaan dikemudian hari menjadi orang kaya.

Pada dasarnya segala yang kita dapati dalam hidup sekarang, itu berdasarkan perbuatan kita terdahulu. Penyesalan demi penyesalan sebenarnya tidak bermanfaat. Untuk itu syukurilah apa yang kita dapati, dan selalu mengadakan evaluasi guna dapat meningkatkan atau menyempurnakan kehidupan dimasa datang. Masihkah saudara meyakini ajaran punarbawa? Atau, masihkah ada sisa-sisa keyakinan saudara tentang ajaran punarbawa, yang merupakan salah satu bagian dalam ajaran Panca Sradha? Yakin tidak yakin ajaran punarbawa akan terjadi di setiap manusia.

Maka dari itu, syukurilah apa yang kita terima sekarang merupakan hasil dari perbuatan kita. Tiada penyesalan yang mampu memberikan jawaban dan mengubahnya. Mengapa harus melakukan sesuatu yang tidak memberikan dampak positif terhadap diri kita?

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM


Sumber: facebook

Tindakan Brutal Menutup Kesucian


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Disiang hari panas matahari menyengat, sepertinya Dewa Matahari berkeinginan untuk membakar bumi secepat mungkin, entah dosa apa yang sedang dilakukan di atas bumi ini, sehingga Dewa Matahari berkeinginan seperti itu. Dalam keadaan yang serba panas pikiran manusiapun terpengaruh, bahkan lebih panas dari pancaran sinar Matahari. Jalan-jalan dipenuhi oleh antrian kendaraan dari berbagai jenis menunggu giliran lewat, asap mobil menyelimuti udara, manusiapun tidak henti-hentinya menghirup sisa pembakaran mesin mobil.

Namun kejadian seperti itu tidak menjadi perhatian, karena masing-masing dari mereka sangat sibuk mencari sesuatu untuk memenuhi tuntutan hidup. Mereka membayangkan tuntutan hidup itu datangnya seperti antrian mobil macet di jalan raya, sehingga tidak kurang dari mereka yang kehilangan kesabaran, sebab sang waktupun mengejar semakin dekat. Tidurpun tak nyenyak, pikiran jadi berputar seperti kincir angin diterpa badai, bergaul tidak sempat, mendidik anak tidak ada waktu, kerja jadi membosankan, kebohongan dan penipuan diri menjadi subur, sifat persaudaraan menjadi langka, kasih sayang semakin sirna mengikuti punahnya burung jalak Bali.

Sifat dan karakter sedikit demi sedikit bergeser dengan pasti, sifat egois menjajah sifat sosial, sombong mengganti posisi rendah hati, sifat emosi menjadi pemimpin dalam dunia kesabaran, tindakan brutal menggeser sifat persaudaraan. Sehingga ajaran agama menjadi topeng kepentingan, TriHitta Karana, Tatwamasi, ajeg Bali dipakai bumbu penyedap masakan untuk melemaskan lidah memainkan kata-kata demi tercapainya kepentingan, aktivitas agamapun tak luput dari ajang pamer kekayaan, pamer perhiasan, pamer kemolekan tubuh, sehingga bau busuk, bau amis tertutup oleh kain halus dan mahal, serta bau minyak wangi yang menyengat. Bhutakalapun tersenyum karena merasa bangga atas keberhasilannya mendidik. Para Dewa menangis karena ajarannya dinyanyikan lewat bibir bau busuk yang menyengat.
Semuanya telah menjadi kenyataan dalam hidup ini, dengan munculnya teroris yang bertarap internasional, perampokan, perampasan datang silih berganti. Perkelahian, bentrok antar kelompok juga ikut menyemarakkan, judi dan mabuk, narkoba menjadi pilihan utama, berselingkuhpun tidak mau ketinggalan. Kalau sudah begini lalu apa artinya hidup ini?

Dalam keadaan seperti itu, mungkin ada sisa-sisa kesadaran yang belum terjamah habis. Marilah secara bersama-sama memupuk dan menyiangi, agar terkuak awan hitam yang menyelimuti hati, dan menghalangi pancaran kesucian menerangi batin. Hanya batin yang jernih dapat menerangi pikiran, pikiran yang terang dapat mengatur panca indria untuk merekam semua aktifitas sekaligus dapat membedakan yang mana baik dan yang mana buruk, guna memancing kesadaran bisa muncul untuk mengikis kegelapan, bahwa kita adalah makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Beliau berdasarkan atas kesucian.

Ambil dan gunakanlah alat-alat penghapus kegelapan dan noda yang hampir kita lupakan, seperti; Telinga untuk mendengarkan nyanyian-nyanyian rohani, serta nasihat-nasihat Siwa Guru, mata melihat pemandangan yang mengarahkan bati menuju kesucian, hidung menghirup bau asap dupa cendana yang membuat pikiran melayang dan jatuh menerpa pangkuan Dewa Siwa, lidah mampu menikmati manisnya sorga Dewata, dan kulit dapat merasakan desiran angin kipas cendana dari para bidadari. Semuanya itu dapat menuntun kita menuju kebahagiaan sejati.

Beliau maha pengasih dan maha penyayang, kita yang terlalu manja. Bekal hidup telah diberikan, jalan dengan rambu-rambu yang jelas sudah disediakan, kenapa masih ingin mencari jalan pintas yang belum tentu arah yang akan dituju. Kita telah ditunggu dan disediakan tempat yang nyaman oleh Beliau, kenapa masih ragu-ragu?

Lepaskan selimut kotor yang penuh noda pakailah pakaian yang bersih, hapuslah noda-noda batin dan berjalan dengan langkah pasti menuju yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bukankah kita ingin mencapai kebahagiaan?

Jangan sampai salah pilih, sekarang musimnya perdagangan kebahagiaan semua atau kebahagiaan palsu, menjajakan dagangannya disertai janji-janji muluk yang menggiurkan yang satupun belum pernah terbukti bahkan sebaliknya akan bisa menjerumuskan kita kelembah neraka. Jangan dibiarkan terlalu lama tindakan brutal dan kebodohan memblenggu hidup kita.

Munculkan kesucian dalam diri untuk mencapai kesucian yang lebih besar. Mari kita bahagiakan leluhur kita di alam sana dan sejahtrakan keturunan kita di kemudian hari, serta damaikan hidup kita sekarang.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Sumber: facebook

Harapan bagi Umat Hindu dari Bali yang berada di luar Bali


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Setelah runtuhnya kerajaan Mojopahit, kita dapat lihat bahwa perkembangan umat Hindu di tanah air berasal dari Bali. Karena Bali sangat identik dengan Hindu, seperti istilah rakyat ada yang menyebutkan: ingat Bali ingat Hindu, ingat Hindu jadi ingat Bali. Dunia internasional pun mengakui seperti itu, bukan hanya istilah dari orang lokal saja. Dengan adanya program pemerintah tentang transmigrasi, yang bertujuan untuk pemerataan penduduk dari daerah yang berpenduduk padat (termasuk Bali), ke daerah yang masih jarang penduduknya. Walaupun kenyataan mengatakan lainyaitu Bali tetap padat penduduknya, dikarenakan oleh tidak terbendungnya urbanisasi membanjiri Bali, bahkan Bali sekarang bukannya jarang penduduknya melainkan lebih padat lagi. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya system kependudukan dipemerintahan dan pihak pemerintah. Pernahkah pemerintah mengevaluasi keberhasilah transmigrasi. Apakah sudah mencapai tujuan, apa belum?

Selain penyebaran Hindu melalui program transmigrasi, juga dengan adanya perpindahan pegawai dan tugas lainnya keluar Bali, sehingga umat Hindu yang berada di luar pulau Bali, lebih dominan berasal dari Bali. Pembangunan pura pun berdasarkan konsep Bali, tatanan kemasyarakatannya juga meniru Bali, walaupun tidak persis. Seperti adanya istilah banjar dan lain sebagainya. Walaupun demikian keadaannya, masih tidak banyak orang Bali yang pikirannya, atau yang lainnya untuk kemajuan dan tetap terjaganya Bali secara utuh sebagai daerah asal mereka. Bahkan masih ada orang Hindu yang berasal dari Bali mengkritik Bali secara pedas dan tidak mampu memberi jalan keluar yang baik.

Saya sering memberi Dharmawacana di luar Bali, sering saya mendapat pertanyaan yang sifatnya mengkritik. Seperti contoh; Kenapa sistem desa pakraman di Bali sangat mengikat warganya sehingga sulit warganya dapat mengikuti kemajuan zaman? Kenapa agama Hindu di Bali hanya menitikberatkan pada pelaksanaan upacara saja, dan tidak pernah menyentuh tattwa? Kenapa upacara agama Hindu di luar Bali selalu menggunakan (mendatangkan) banten yang sangat rumit dan mahal dari Bali? Ada juga yang menilai bahwa adanya keinginan orang Hindu di Bali, memBALIkan Umat Hindu yang berada di luar Bali (mengintervensi).

Semestinya hal-hal seperti itu tidak perlu terjadi, karena bisa memancing sesuatu yang sama sekali tidak kita inginkan bersama. Bukan berarti orang Hindu di Bali tidak boleh dikritik, bahkan sebaliknya kritik itu sangat diharapkan tetapi yang sifatnya membangun demi masa depan kita.

Seperti yang sering kita dengan bahwa agama Hindu sangat menghormati budaya lokal, dengan cara mengangkat, memelihara dan memberinya makna tattwa, sehingga tidak menjadi asing bagi umat Hindu sendiri. Jika kita berada di luar Bali bisa melaksanakan aktivitas agama yang disesuaikan dengan budaya lokal, namun tidak keluar dari tattwa dan tutjuan yang mau dicapai. Apabila kita belum mampu mengangkat budaya lokal dimana kita berada untuk pelaksanaan aktivitas agama, bisa mengadopsi budaya Bali (model Bali), tetapi sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Kiranya itu tidak salah. Tetapi tidak berarti Bali harus menyesuaikan dengan daerah lain, dan demikian sebaliknya.

Biarkanlah Bali berkembang sesuai dengan alamnya, karena telah terbukti bisa mendatangkan daya tarik tersendiri. Untuk itu marilah saudara-saudaraku jangan lupa pada asal mula kita, sumbangkanlah sesuatu demi terjaganya warisan leluhur kita. Bagi umat Hindu yang tetap berada di Bali semestinya sadar tentang tanggung jawab, sehingga secara bersama-sama kita menjaga ajegnya Bali dalam arti luas. Hentikan kebiasaan-kebiasaan jelek seperti main judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya yang senada dengan itu, mulailah menjadi atau menuju masyarakat produktif.

Satu lagi yang perlu diingat adalah bahwa pulai Bali tidak memiliki kekayaan alam yang dapat menghidupi Bali itu sendiri, seperti di daerah lain yang memiliki tambang, mengandalkan hasil hutan dan lain sebagainya. Bali hanya mengandalkan budaya dan seni yang bernafaskan Hindu. Jika budaya dan seni ini tidak terpelihara dengan baik, habislah sudah. Siapa lagi yang harus memeliharanya? Tidak ada lain adalah orang Bali, terutama yang masih tinggal di pulau Bali sebagai masyarakat pendukung budaya dan seni Bali, dan tidak ketinggalan juga masyarakat Hindu dari Bali yang tinggal diluar Bali.

Juga perlu diperhatikan pula oleh mereka yang non Hindu tinggal di Bali. Jangan seenaknya sampai kurang memperhatikan Bali. Kalau diumpamakan, mereka yang hidup di Bali memetik bunga dan buahnya, jangan lupa memelihara batangnya, memelihara akarnya. Jangan sampai sebaliknya menghancurkan melalui cara mencarikan bentuk baru Bali itu. Bali telah di buat seperti sebuah lukisan yang ditata apik oleh pelukis kawakan di zaman dahulu, janganlah mereka yang baru menjadi pelukis tingkat pemula coba-coba memoleskan warna, akan cacat jadinya. Nikmati saja keindahannya, jika kalian sangat berkeinginan untuk melukis baru, silahkan cari kertas lain untuk menuangkan lukisan anda, jangan di sini (Bali) dicoret-coret lagi, agar jangan karena anda cacat lukisan yang telah terkenal itu, apalagi karya anda belum pernah terbukti kehebatannya, dikagumi oleh dunia internasional.

Bagi siapapun juga baik di pihak pemerintah maupun pihak lain, perlu diingatkan bahwa hanya satu ada Bali di atas bumi ini, karena belum ada yang mampu memproduksi Bali yang ke dua.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Sumber: Facebook

Memahami Kewajiban Sebagai Pewaris



OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Debu-debu materi dan debu-debu kama beterbangan di mana-mana, seperti telah menutupi cerahnya angkasa, membendung sinar matahari menembus bumi. Keadaan semakin gelap, kesalahan, dan ketersinggungan semakin bermunculan tak ubahnya seperti tumbuhnya jamur dimusim hujan. Pertengkaran, perkelahian, dan konplik semakin subur bahkan sepertinya sudah menjadi budaya hidup. Hampir semua orang merasa benar, merasa paling kuat, paling berjasa, dan paling semuanya. Perselisihan secara pelan-pelan merambat dengan mantap kian mendekati hati. Seolah-olah tidak memberi peluang kepada Dharma untuk mengembangkan sayapnya di hati manusia. Terjadinya pelecehan-pelecehan pun semakin tak terbendung. Sangat sulit untuk menentukan yang mana benar dan yang mana salah, demikian gelapnya hati manusia yang ditutupi oleh debu-debu tadi.

Sadar atau tidak sadar masih sangat sedikit yang berkeinginan untuk mengusap debu yang menutupi hati nurani, untuk dapat memberikan kesempatan Dharma bisa bernafas dan bersinar, dapat memenuhi kewajibannya memberikan penerangan. Serentetan kalimat di atas ditulis hanya sedikit usaha untuk menguwak kegelapan sehingga bisa mendapatkan bayang-bayang, guna dapat meraba melalui rasa kewajiban sebagai pewaris yang dituntut bertanggungjawab terhadap leluhur dan generasi mendatang. Bila usaha ini tidak berhasil, berarti satu poin kita sudah melanggar amanat Veda. Sebab Veda mengamanatkan kepada kita: ”Keturunan adalah pewaris leluhur...”. Dalam kalimat tersebut terkandung makna si pewaris harus bertanggung jawab penuh atas apa yang diwarisinya. Namun dalam kenyataan sekarang kata waris, diterjemahkan sangat sempit sekali. Yaitu waris diartikan hanya berupa artha benda (kekayaan material) saja.

Justru yang dapat warisan menganggap diri mereka yang paling berhak dan tidak sampai memperhitungkan masa depan dan generasi penerus. Sehubungan dengan itu banyak dari mereka yang telah manganggap dirinya berhak atas warisan arta itu, menggunakan warisan itu semaunya sendiri dan untuk kepentingan sendiri yang sifatnya sesaat. Sehingga tidak kurang dari hal seperti itu memicu munculnya masalah-masalah, dan konplik, bahkan ada yang sampai memakan korban, karena berebut warisan. Ada pula yang sampai putus hubungan keluarga karena berebut warisan.

Kenapa tidak ada satupun dari mereka yang mau menyadari menghayati bahwa arta warisan itu tidak lebih hanya bermakna hak guna pakai semasih kita hidup? Setelah kita meninggal nanti, arta itu kita akan warisakan lagi kepada generasi penerus kita, demikian seterusnya secara turun temurun. Kesadaran seperti itu semestinya ada jika kita berbicara tentang warisan berupa arta benda. Kembali kita harus menyimak makna warisan secara luas. Sebenarnya warisan itu maknanya luas sekali, yaitu mengandung tanggung jawab sekala dan niskala.

Seperti contoh; Orang Bali mewarisi Bali yang lengkap dan rapi termasuk Agama Hindu, budaya Hindu, seni Hindu, tatakrama Hindu, adat istiadat Hindu. Begitu tingginya nilai warisan yang kita dapat, janganlah warisan itu hilang hanya karena kebodohan kita, ’kemomoan’ kita demi kepentingan sesaat, sehingga generasi kita tidak akan dapat menikmati Bali yang sesungguhnya, karena telah hancur di tangan kita. Kesadaran yang dapat mengarah kesana harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Hilangnya kesadaran kita seperti itu dimulai dari hilangnya kesadaran pribadi-pribadi kita. Sekali lagi jangan sampai dilupakan bahwa kita orang Hindu dapat warisan dari leluhur kita adalah untuk diwariskan lagi kepada generasi berikutnya secara estapet.

Selain warisan artha benda (material), sebenarnya warisan tanggung jawab moral yang paling penting. Misalnya saya berani mengaku sebagai orang Hindu, karena sejak saya berada di dalam kandungan si ibu saya telah diberikan pendidikan ke Hinduan, sampai lahir dan selanjutnya dewasa dan seterusnya hingga tua, bahkan sampai pada matipun saya diperlakukan sesuai dengan tatanan Hindu. Jadi sayapun memiliki tanggung jawab untuk meneruskan kehinduan itu sampai kepada anak cucu saya nanti. Pikiran seperti ini juga termasuk warisan, yaitu warisan moral. Jika ada siapapun dia, tahunya hanya mewarisi artha benda saja dan tidak pernah mau tahu tentang tanggung jawab moral berupa warisan juga, orang seperti ini termasuk si pewaris yang sangat tersesat. Apalagi sampai terjadinya perkara tuntut menuntut, bahkan merajan dan rumah tidak dapat perhatian, bahakan rumahnya dikapling-kapling sesuai dengan yang mereka anggap hak waris mereka, peristiwa seperti ini akan tidak pernah menemui kebahagiaan, hanya kehancuran yang menunggu mereka.

Di sini akan dicoba memberikan contoh, misalnya; Leluhur kita mewariskan tempat tinggal (rumah sikut satak, cara Bali) kepada kita sebagai anakanya. Lalu kita bersaudara 3 (tiga) orang, selanjutnya rumah itu kita bagi bertiga (dikapling) masing-masing mendapat satu bagian. Nanti dari tiga bersaudara ini akan memiliki anak laki-laki masing-masing 2 (dua) orang. Jadi tanah yang sebagian dari warisan tadi, lagi di bagi dua dengan cara mengkapling. Lama-lama 2 (dua) anak ini lagi beranak laki masing-masing 2 (dua) orang, tanah itu semestinya dibagi lagi begitu seterusnya. Akhir cerita tanah akan menjadi habis terkapling dan tidak dapat difungsikan karena sempit mendapat bagian. Jika diperhatikan keadaan seperti itu akan semakin parah, karena mereka harus membuat merajan lagi, membuat ”pemesu” lagi dan lain sebagainya sesuai dengan konsep perumahan orang Hindu, dan hal seperti ini tidak dibenarkan oleh sastra (lontar Astha Kosala Kosali dan lontar Ashta Bumi), karena disebutkan mereka yang mengkapling rumah ”sikut satak”, termasuk dalam kategori nyepih karang, hukumanya tidak akan bisa menemui kebahagiaan hidup.

Sebab karang perumahan dalam konsep Hindu memanusiakan alam dan lingkungan, pekarang rumah dibuat menyerupai diri manusia, yaitu; Merajan sebagai kepala dari pekarang rumah, halaman sebagai badan, dan pintu masuk sebagai kaki. Nah jika ini dikapling, berarti kita sama dengan memotong-motong tubuh sendiri, disamping terasa sangat sakit juga menjadi cacat seumur hidup.

Lalu bagaimana caranya jika tidak boleh mengkapling tanah perumahan? Jawabanya adalah; Kesadaran tentang warisan konsep perumahan yang kita terima, kemudian boleh membagi hak, tetapi jangan sampai memberi batas (tembok baru), jadi menggunakan hak gunapakai untuk membangun bale, dan merajan kita ayomi bersama dengan menitikberatkan pada persatuan dan kesatuan sesuai dengan makna pendirian tempat suci bila dilihat dari kontek sosial kemasyarakatan. Itu berarti kita menysyukuri karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, bahwa kita dilahirkan ke dunia ini dalam satu induk, satu keluarga, jadi dari alam sana kita sudah dipasangkan oleh Beliau, karena berdasarkan kecocokan.

Mengapa kita setelah di atas alam ini muncul ketidak-cocokan? Apakah kita tidak boleh disebut melanggar perintah Beliau? Maka dari itu untuk generasi penerus harus dimotifasi agar giat menimba ilmu demi masa depannya, rajin bekerja, kurangi kegiatan yang menyuramkan masa depan, usahakan agar bisa membeli tanah seluas-luasnya untuk perkembangan keluarga kemudian. Jangan ada keinginan untuk menjual tanah, karena tanah tidak akan bisa berkembangbiak menjadi luas. Kalau kita terus tidak mau mengerti, siap-siaplah akan menjadi suku yang terpinggirkan. Kesimpulanya, hayatilah swadharma para leluhur, dan dilaksanakan serta dikembangkan sesuai dengan kepentingan bersama.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM


Sumber: Facebook

Masikah Hukum Karma Phala berlaku di Jaman Globalisasi


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Bila keyakinanmu hilang digerus oleh egoismu.
Bhaktimu kehadapan Tuhan dan terhadap leluhur akan sirna.
Cintamu sesama manusia akan semakin punah.
Kasihmu terhadap alam lingkungan semakin pudar.
Layar kesengsaraan dan layar neraka akan terpangpang lebar didepan matamu.

Setelah alam semesta ini tercipta lengkap dengan isinya, juga disertai dengan tatatertib dan peraturan bagi penghuninya guna tercapai keseimbangan hidup di alam ini, manusialah yang merupakan penerima mandat dari Sang Pencipta untuk mengolah, mengatur dan memanfaatkan alam ini demi tercapainya kedamaian dan kebahagiaan bersama termasuk kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia itu sendiri. Hal ini dapat kita rasakan dan buktikan dengan di anugrahinya manusia itu kelibihan memiliki pikiran di bandingkan dengan makhluk lain ciptaanNya.

Disamping itu manusia pula telah diberikan kitab petunjuk untuk mengatur, mengolah dan memanfaatkan alam ini, berupa kitab suci yang kata mereka bahwa kitab itu adalah wahyu dari Sang Pencipta sendiri. Sehingga isi dari kitab suci itu semestinya jangan sebatas dihafal, diomongkan, ditafsir untuk kepentingan sendiri atau untuk kepentingan sekelompok saja, dan tidak juga untuk dipertentangkan digunakan sebagai alat menjelekan pihak lain, mengintervensi, dan mengkonversi. Langkah terbaik adalah, mari kita praktikan berorientasi pada kepentingan bersama dalam mengolah, mengatur dan memanfaatkan alam ini. Kalau kita amati banyak sekali petunjuk-petunjuk yang perlu kita pahami, salah satunya yang akan di jelaskan disini adalah petunjuk yang berupa hukum yaitu ; Hukum Karma Phala.

Dengan judul pembahasannya adalah; Masihkah hukum karma phala itu berlaku di jaman globalisasi. Ajaran ini sangat perlu kita bahas dan kita pahami, sebab akhir-akhir ini telah terindikasi adanya penurunan keyakinan terhadap hukum tersebut, bahkan ada pula yang sama sekali tidak meyakini keberadaan hukum tersebut. Semuanya ini terjadi karena kekurangan dan kesalahan kita bersama menganggap hukum tersebut bukan untuk kelompoknya atau dengan alasan yang lainnya senada dengan hal tersebut. Sehingga kehidupan kita menjadi semakin semerawut, semakin tidak menentu, kekhawatiran dan kecemasan muncul setiap saat dibenak hati kita. Kalau kita amati peruntukan dari hukum Karma Phala tersebut adalah untuk alam dengan segala isinya, sebab hukum tersebut adalah hukum alam, kalau memang ada yang hidup diluar alam semesta ini baru mereka tidak terikat kepada hukum ini.

Hukum Karma Phala itu adalah hukum alam yang juga boleh disebut dengan Rta, atau diterjemahkan denga kalimat Hukum sebab dan akibat. Siapapun dia tidak akan bisa terlepas dari hukum ini. Memang kalau kita kaitkan dengan ajaran agama, hanya ajaran agama Hindu yang mengajarkan hukum ini. Walaupun demikian bukan berarti hanya orang yang beragama Hindu saja yang kena. Mungkin itu juga merupakan ciri khas kitab suci agama Hindu yang dikenal denga nama Veda, merupakan ajaran asli dari wahyu Tuhan sebab kalau diamati dari kelengkapannya. Jadi Hindu itu sama sekali bukan agama Budaya seperti yang ditulis atau diajarkan oleh orang-orang yang belum memahami isi Veda itu sendiri.

Semakin kita tidak meyakini hukum alam tersebut, hidup kita semakin tergilas oleh prilaku dan lengkah kita sendiri.

Selanjutnya akan diuraikan arti dari pada Hukum Karma Phala itu sendiri untuk menghindari kesalah pengertian. Hukum diartikan peraturan atau ketentuan, norma-norma, bila hal itu dilanggar maka akan mendapatkan akibat olehnya. Karma diartikan setiap perbuatan kita sekecil apapun, Atau sebab. Phahala (pala) diartikan hasil, atau akibat. Arti keseluruhannnya adalah Ketentuan yang pasti untuk akibat dari sebuah sebab sekecil apapun juga. Atau bahasa pendeknya adalah Hukum yang menentukan hasil dari karma. Dengan depfenisi tersebut maka akan mudah untuk memahaminya, jadi selama manusia itu masih bisa berbuat, baik masih dalam pikiran, perkataan, apalagi melalui tindakan, maka pasti akan mendapatkan hasil (phahala) dari perbuatan mereka sendiri. Hukum Karma Phala ini terbagi atas tiga;

1. Sancita Karma Phala; Perbuatan dimasa lapau(semasih hidup terdahulu sebelum hidup yang sekarang), oleh karena saat itu belum dapat dinikmati phahalanya maka semasa hidup sekarang pasti phahala dari perbuatan tersebut akan diterima.

2. Prarabda Karma Phala; Perbutan dimasa hidup sekarang, phahalanya akan diterima dimasa sekarang pula.

3. Wartamana Karma phala; Perbuatan dimasa hidup sekarang karena sesuatu ( kematian ), belum sempat menerima phahalanya, maka phahala dari karma tersebut akan diterima dimasa hidup dikemudian hari. Begitulah perputaran Hukum Karma Phala itu. Dan yang perlu diingat adalah phahala dari karma seseorang itu tidak akan bisa diwariskan atau dipindah tangankan kepada pihak lain. Siapa yang berbuat merekalah yang akan menerimanya. Hukum Karma Phahala ini berlaku untuk karma yang baik (subhakarma), dan untuk karma yang buruk (asubhakarma).

Sebagai contoh; seribu ekor induk sapi betina yang semuanya punya anak, dilepas disebuah lapangan yang luas, kemudian dilepas pula semua anak sapi tersebut, maka anak sapi akan mencari induknya sendiri, merka tidak akan mau menyusui pada sapi yang bukan induknya.

Demikianlah phala dari karma itu, yang dimaksudkan bahwa phala dari karma seseorang yang tidak bisa diwariskan dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihaklain. Bila demikian keberadaan hukum karma phala tersebut, maka sudah dapat dipastikan berlaku disegala jaman, tidak terbatas pada jaman A, atau jaman B atau jaman yang lainnya, sekalipun yang disebut jaman global. Diyakini atau tidak diyakini hukum karma phala itu tetap akan berlaku untk siapa saja. Sehingga jika kita meyakini hukum tersebut, akan sangat mudah sekali yaitu dengan cara berkarmalah yang baik (berbuat yang Baik), sudah pasti kita akan menerima hasil yang baik pula. Karma yang baik itu melingkupi perbuatan yang sesuai dengan petunjuk agama (Tuhan), sesuai dengan kaedah-kaedah dan norma-norma kesusilaan, yang berakibat kepada kedamaian dan kebahagiaan bersama. Apalagi dijaman global seperti sekarang ini dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dianggap maju, sangat gampang sekali berbuat baik, asalkan kita memiliki kesadaran tentang makna hidup ini.

Mari kita bandingkan jaman yang kita anggap maju seperti sekarang ini, dibandingkan di jaman dahulu semasa didirikannya candi Borobudur, candi Prambanan, kalau diBali didirikannya Pura Besakih, yang kita anggap jaman kuna, belum berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dihati kita akan berbicara bahwa jaman sekarang jauh lebih maju dibandingkan di jaman itu. Tetapi kalau kita amati dengan saksama akan kita dapat simak, berdirinya bangunan yang kapasitas sangat besar, sudah pasti dilandasi oleh persatuan dan kesatuan, keyakinan penuh kehadapan Tuhan, ketulusan, pelayanan dan pengabdian. Jika hal tersebut tidak dilandasi oleh pemikiran seperti itu, maka pembangunan seperti itu tidak akan bisa terwujud.

Sebab peralatan masih sangat sederhana, transportasi masih sangat kurang, Insinyur mungkin belum ada, nah dengan terbukti bangunan itu telah ada yang kita warisi sampai sekarang, berarti dijaman dahulu itu jauh lebih maju moralitasnya dibandingkan dengan jaman sekarang. Tidak itu saja membangun bangunan sebesar itu sangat memerlukan keamanan dan kenyamana, sebab waktu yang dibutuhkan menyelesaikan bangunan tersebut memerlukan waktu yang sangat panjang. Bisa ditebak waktu itu keadaannya sangat aman dan kondusip, kenapa bisa aman dan kondusip? Sebab masyarakat waktu itu sangat meyakini adanya hukum karma phala, yang merupakan salah satu dari sekian banyak keyakinan yang mereka yakini.

Jadi kesimpulannya adalah; Hukum Karma Phala diyakini maupun tidak akan tetap berlaku disepanjang jaman. Sebab hukum tersebut adalah hukum alam, artinya hukum yang bukan merupakan produk manusia. Sekian dan terima kasih.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM


Sumber: facebook