Sunday, September 14, 2014

UPACARA AGAMA MEMBENTUK MASYARAKAT KREATIF DAN PRODUKTIF


OM SWASTIASTU

Masyarakat Hindu khususnya yang berada di Bali, hampir setiap hari disibukkan oleh kegiatan upacara agama, dengan kata lain bisa disebut; Tiada hari tanpa upacara. Makanya banyak mengundang pertanyaan dari berbagai pihak. Ada yang bertanya karena memang ingin tahu, ada yang bertanya bernada sinis, dan lain sebagainya. Terlepas dari semuanya itu, apakah ada manfaat upacara dilihat dari kehidupan bermasyarakat? Inilah yang perlu direnungkan. Saya sangat setuju bila kita dapat mengangkat pengaruh nilai-nilai positif dari aktivitas upacara dalam kehidupan kita, lebih-lebih di dalam kita memasuki zaman global yang tidak bisa dihindari. Saya kira itu pasti ada, hanya saja belum ada yang dapat mengangkat atau menggalinya, sehingga kegiatan upacara agama banyak mendapat kritik-kritik yang bisa berakibat melemahnya semangat untuk melaksanakan upacara agama.

Jika hal itu benar-benar terjadi, apa jadinya agama kita? Sebab agama Hindu terdiri dari tiga kerangka dasar yaitu;

• Tattwa (Filosofi)
• Susila (Etika)
• Upacara (Ritual)

Ketiga kerangka dasar ini harus dijalankan secara serasi seimbang dan harmonis. Kalau satu tidak ada berarti kesemuanya tidak jalan. Untuk selalu terjaga keseimbangan ketiga kerangka tersebut, kita harus memahami melalui tatacara seperti ini;

MELALUI PELAKSANAAN UPACARA KITA MENDALAMI TATTWA DAN MENERAPKAN SUSILA.

Nah sekarang saya akan kembali ke masalah pokok dari renungan saya tadi, mengenai dampak pelaksanaan upacara agama terhadap kehidupan bermasyarakat. Para perumus ajaran veda di jaman dahulu, pasti sudah berpikir agar pelaksanaan ajaran veda di manapun dan kapanpun itu dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Jika tidak seperti itu, tidak akan mungkin masih dianut oleh umat manusia sampai zaman sekarang dari zaman 5 ribu tahun sebelum masehi. Dan perlu juga diketahui bahwa agama Hindu yang kita anut sekarang (agama Hindu seperti di Bali), menurut cerita beberapa tokoh agama terkemuka, itu masih asli artinya belum pernah mengalami perubahan atau pergeseran. Pernah juga saya dengar kata-kata bahwa, untuk belajar agama Hindu yang utuh belajarlah di Bali. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi mengutak-atiknya, karena dampak positifnya telah kita rasakan bersama.

Melalui pelaksanaan upacara agama diterapkan pendidikan kepada masyarakat agar selalu berkreatvitas dan berproduktifitas secara berkesinambungan. Maka dari itulah, kita dapat melihat setiap acara upacara agama dilaksanakan, kreasi-kreasi baru berkembang dengan pesat, dan ikut memberikan rasa bangga dan rasa bahagia, karena kreasi yang dikembangkan tidak lepas dari lingkaran tattwa dan susila, bahkan sebaliknya dapat memantapkan rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi Beliaupun tidak merasa percuma memberikan umat manusia kelebihan berpikir dibandingkan makhluk lain ciptaanNya, karena kita mampu memanfaatkan pikiran secara positif.

Demikian pula halnya terhadap pelaksanaan upacara agama dapat memberikan pendidikan untuk menciptakan masyarakat produktif. Orang-orang Hindu di Bali terkenal dengan masyarakat yang sangat produktif. Pernah suatu ketika saya di mohon untuk muput yadnya di rumah asal ibu saya, yaitu di daerah Kendran masih wilayah kecamatan Tegalalang. Dalam perjalanan menuju Kendran lewat Desa Pliatan ke utara, dipinggir jalan raya banyak sekali toko-toko yang menjual hasil kerajinan tangan (barang seni). Di situ saya sempat kaget melihat ada patung itik (bebek) yang menurut saya teramat seni, dan bahannya adalah dari pangkal bambu yang masih ada akaranya. Pada hal kesehariannya pangkal bambu seperti itu luput dari perhatian, selain digunakan sebagai kayu bakar. Apalagi di zaman sekarang kayu bakar semakin kurang dapat pasaran yang disebabkan maraknya penggunaan kompor berbagai macam jenis yang dianggap lebih praktis.

Berdasarkan kreatif dan produktifnya orang Bali akhirnya benda yang biasanya di buang, menjadi barang yang sangat berharga. Banyak lagi barang-barang produksi seniman Bali semacam itu. Jadi dipikiran saya terlintas apa yang menyebabkan masyarakat Hindu di Bali menjadi seperti itu? Setelah beberapa kali berpikir bulak balik, akhirnya saya teringat bahwa ada kaitannya dengan kegiatan rutin umat Hindu di Bali, seperti saban hari melakukan upacara agama. Permasalahan inilah saya akan mencoba untuk menguraikan sesuai dengan suara hati saya.

Begini saudara-saudara pembaca; Sebelum upacara agama itu berlangsung, ada kegiatan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong dalam mempersiapkannya, seperti misalnya; ”majejaitan” (merajut), membuat jajan banten, menganyam, matanding (menyajikan), dan lain sebagainya. Kesemua kegiatan tersebut memerlukan perhatian yang cukup serius, diskusi, tanya jawab terus menerus. Karena di saat itu terjadi pula proses pendidikan dengan menggunakan metoda kejar, yaitu Kerja sambil Belajar. Peristiwa semacam itu menuntun mereka untuk berpikir kritis, rumit dan dinamis. Di dalam masyarakat yang berpikir rumit, kritis dan dinamis, akan terbentuk pula masyarakat yang produktif.

Masyarakat Hindu di Bali semasih mau membuat banten sendiri akan tetap berpikiran kritis, rumit dan dinamis, otomatis masyarakat produktif tetap bisa dipertahankan. Nah bukti-bukti di lapangan sudah terlihat bahwa masyarakat Hindu di Bali telah mulai berpikir; praktis, ekonomis, dan gelis (serba cepat), kalau diwaktu kita melakukan kegiatan agama berdasarkan pola pikir seperti itu, rasanya tidak tepat, dan mempercepat proses terbentuknya masyarakat konsumtif. Arah pola pikir masyarakat seperti yang telah saya sebutkan di atas muncul di Bali disertai bukti-bukti, hampir semua sarana upacara sekarang dari membeli. Bahkan banyak pula umat Hindu yang lebih senang membeli banten untuk upacara dibandingkan mereka membuat sendiri. Jangankan banten yang berskala besar, canang saripun yang begitu sederhananya mereka masih membeli.

Mereka tidak peduli entah bagaimana proses membuatnya, apakah sudah memenuhi standar kesucian, demikian pula kelengkapannya. Karena mereka sudah berada di dalam pola berpikir praktis, ekonomis dan gelis. Lucunya lagi banyaknya pedagang banten (canang) bukan dari orang Hindu, yang nota bene belum memahami proses pembuatan banten sesuai dengan ketentuan-ketentuan sastra agama. Menurut hemat saya upacara agama yang menggunakan sarana banten dari membeli dibandingkan dengan banten yang dari membikin secara gotong royong, bobotnya sangat berbeda. Banten yang dari membeli sudah jelas tatanan di waktu membuatnya sudah dibayangi oleh pemikiran untung dan rugi, juga pasti ada langkah-langkah yang semestinya harus ditempuh akan ditinggalkan, misalnya; upacara mepada, upacara panca kerta, upacara pengalang dan lain sebagainya.

Pernah saya dengar, ada upacara berskala besar di suatu tempat, bantennya keseluruhan dari membeli. Si pedagang banten semestinya memotong kerbau, tetapi mereka hanya membeli kulit (belulang) kerbau dan beberapa kilo dagingnya. Mereka yang membeli banten tidak peduli, mungkin lantaran tidak tahu atau lantaran berpikir, toh kita sudah membeli. Jika hal ini benar-benar terjadi, sangat disayangkan sekali, sebab prosesi upacara mapepada jelas tidak dilakukan, kita sudah mengetahui bahwa upacara mapepada itu sangat penting artinya. Demikianlah sedikit gambaran mengenai pelaksanaan upacara agama yang dilakukan berlandaskan pemikiran praktis, ekonomis dan gelis (cepat), sehingga latihan berpikir rumit, kritis dan dinamis semakin berkurang, karena aktivitas membuat banten sudah semakin dijauhi.

Akibatnya proses terbentuknya masyarakat konsumtif semakin cepat meninggalkan masyarakat produktif. Kalau hal ini sudah membudaya, masyarakat pada umumnya tidak lagi memiliki kesabaran, tidak memiliki kesadaran, dan rasa kasih, rasa sayang, serta sifat pemaaf akan sirna. Sifat individu semakin menonjol, sifat egois tumbuh subur, yang tidak kalah pentingnya adalah penyakit masyarakat semakin dipelihara dengan subur.

Adapun penyakit masyarakat yang saya maksudkan yaitu PANCA MA. Saya merasa sangat ngeri sekali karena, apabila itu betul-betul memasyarakat, sorga akan berbalik menjadi neraka, sudah barang tentu predikat pulau Bali sebagai pulau sorga akan berbalik menjadi Bali sebabai Pulau Neraka. Perlu saya jelaskan di sini mengenai apa yang dimaksudkan dengan Panca Ma tadi, yaitu;

1. Ma, artinya mamotoh (berjudi), prosentasa penjudi semakin hari semakin tinggi di masyarakat. Seperti telah diketahui bersama, bahwa penjudi itu kebanyakan malas bekerja, dan kurang memperhatikan keluarga, dan sering melanggar aturan yang telah ditetapkan. Mereka hanya berpikir asal punya uang untuk keperluan main judi itu paling penting.

2. Ma, artinya mamunyah (mabuk), di sini saya lebih menekankan pada mengkonsumsi minuman keras. Apabila memunyah ini sudah memasyarakat, pertengkaran, konflik yang memakan korban jiwa maupun arta benda sulit dihindari, kesadaran manusia semakin menurun.

3. Ma, artinya mamadat (pecandu), antara lain merokok, narkoba, yang semuanya itu dapat merusak kesehatan, dan merusak masa depan. Jika hal ini tidak dapat ditanggulangi, berarti kehancuran generasi penerus sudah berada di ambang pintu.

4. Ma, artinya mamadon (berselingkuh), dalam bahasa kawi disebut anyolong semara, perbuatan seperti ini akan merusak kebahagiaan hidup, meracuni generasi penurus.

5. Ma, artinya mamaling (mencuri), mencuri adalah perbuatan yang paling meresahkan masyarakat, dapat menghilangkan ketentraman masyarakat. Bila penyakit ini telah muncul dimasyarakat, bisa dipastikan kehancuran sudah dekat. Baik kehancuran moral maupun kehancuran dibidang spiritual.

Inilah penyakti masyarakat yang bisa terjadi di dalam masyarakat berpola konsumtif. Makanya para pendahulu kita telah berpikir jauh ke depan untuk membentuk masyarakat produktif, melatih masyarakat melalui kegiatan spiritual, salah satu di antaranya adalah upacara agama. Di jaman masyarakat produktif, jarang kita temui perselisihan-perselisihan, konflik-konflik. Mereka hidup bersaudara sesama manusia, berteman akrab dengan lingkungan, dan memperlakukan alam seperti menyayangi dirinya sendiri. Hidup menjadi rukun, damai dan sejahtera, tak ubahnya seperti hidup di sorga, gelak tawa kedengaran seperti kidung rohani menuntun kedamaian turun ke bumi, senyum menghiasi setiap bibir manusia. Jeritan tangis dan rintihan ditelan oleh gelombang kedamaian. Kapan kondisi seperti itu bisa kita nikmati.

Jangan biarkan leluhur kita sedih di alam sana, melihat konsep-konsep kehidupan ”adhi luhung” telah kita hancurkan. Jangan pula dibiarkan generasi penerus kita kehilangan pegangan dan kehilangan arah dikemudian hari. Kalau itu tidak kita pikirkan, generasi penerus kita tak ubahnya seperti ”tokek hanyut” dalam arus yang sangat deras (tuke anyud, bahasa bali. Pati grape), begitu jadinya mereka nanti.

Suara hati saya memanggil saudara-saudara untuk bisa diajak bersama mewujudkan hidup bahagia melalui penerapan konsep kedamaian dari leluhur kita.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM




ORANG HINDU SELALU MENERAPKAN KONSEP KESUCIAN DALAM HIDUPNYA


OM SWASTIASTU

Kadang-kadang orang menyamakan pengertian antara suci dan cemer dengan bersih dan kotor. Sebenarnya dua pasang kata-kata itu memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Tetapi untuk mendapatkan pengertian yang sebenarnya, perlu kita merenung secara mendalam. Pulau Bali sebenarnya sebuah pulau yang bermakna kesucian. Jadi pulau ini dibangun dan ditata melalui konsep kesucian. Oleh karena kesucian itu selalu berdampingan dengan cemer, yang diatur melalui hukum rwa bhineda, namun sekarang ini akan diungkapkan lewat kata hati saya adalah tentang konsep kesuciannya saja. Sehingga yang berlawanan dengan konsep kesucian itu adalah merupakan cemer.

Kesucian itu tiada lain adalah kesan rokhani yang jernih dan tenang. Untuk menjaga kesucian Bali, masyarakat Hindu mulai dari menerapkan kesucian diri pribadinya masing-masing. Baik secara jasmaniah maupun secara rohaniah. Misalnya; Orang Bali (Hindu), dari cara membuat makanan sudah menerapkan konsep kesucian. Alat-alat memasak tidak boleh dicampur kegunaannya dengan kepentingan lain, seperti digunakan untuk mencuci pakaian dan lain sebagainya. Makanya orang Hindu mempunyai ember lebih dari satu. Ember untuk keperluan masak makanan berbeda dengan ember yang digunakan untuk mencuci pakaian. Demikian pula terhadap alat-alat lain yang dipergunakan untuk kepentingan hidupnya. Hal seperti ini selalu dipertahankan untuk tetap menjaga kesucian diri pribadinya.

Lalu saya ingat sebuah cerita Mahabharata, sewaktu sedang berkecamukanya Bharata Yudha, Bhagawan Bisma rebah kena panah Arjuna di Kuru Ksetra. Pada malam harinya saat perang sedang istrirahat, Panca Pandawa bersama Drupadi menjenguk kakeknya (Bhagawan Bisma), di dalam pertemuan antara cucu dengan kakek itu terjadi dialog. Diawali oleh Bhagawan Bisma, menyapa dan menasehati Dewi Drupadi, inti nasehatnya agar Dewi Drupadi tetap tabah, dan setia melayani para suaminya, serta tetap konsisten menjaga kesucian diri. Mendengar nasehat sang kakek seperti itu, Dewi Drupadi jadi tersinggung, sebab dia teringat pada waktu ditelanjangi oleh Dusasana di depan orang banyak, termasuk di depan mata para Maha Rsi, dan di depan mata Bhagawan Bisma, kok beliau tidak ada keinginan untuk mencegahnya, atau menasehati si Dursasana dan si Duryodana. Kekesalan yang ada di dalam hati Drupadi seperti ini lah di utarakan dihadapan kakeknya yang sedang sekarat, melalui kalimat-kalimat yang cukup tajam dan pedas. Antara lain; Kenapa baru sekarang kakek menasihati saya dengan kata-kata penuh makna? Sewaktu saya ditelanjangi oleh Dursasana, kakek kan ada disana, kenapa waktu itu kakek membiarkan kejadian yang memalukan dan menginjak martabat saya, serta martabat kaum perempuan? Kemana kepintaran kakek saat itu? Bhagawan Bisma menjawab sambil tersenyum; Cucuku yang aku sangat sayangi, pada waktu itu kesucian pikiran kakek terbungkus oleh kejahatan, yang diakibatkan oleh makanan, minuman, yang kakek nikmati di Korawa. Sebab semua yang diberikan oleh orang jahat, sudah pasti pemberiannya itu dicemari oleh sifat mereka. Nah sekarang saat darahku yang tercemar itu mengalir membasahi bumi, barulah kesucian pikiran kakek nampak. Saat sekarang pula kakek baru dapat menasihati kalian.

Di samping itu perlu kalian ketahui, bahwa makanan sangat berpengaruh bagi pikiran manusia. Untuk itu hati-hatilah kalian makan, pililah makanan yang tidak tercemari oleh hal-hal yang bersifat cemer, agar pikiran kalian tidak ikut cemer. Berdasarkan cerita tersebut, orang-orang Hindu sangat memperhatikan kesucian makanan, dan kesucian segalanya agar mereka dapat hidup di alam kesucian. Di Bali pedagang makananpun (Yang saya tahu pedagang beragama Hindu), mereka tetap menjaga kesucian dari barang dagangannya. Sebab di Hindu berdasarkan konsep Tri Hittakarana, Dewa yang menjadi pujaan para pedagang adalah Bhatari Melanting. Maka dari itulah mereka harus tetap menjaga kesucian dagangan mereka, sehingga si pembeli tetap dapat menikmati kesucian.

Kalau hal seperti ini dapat dipertahankan, saya yakin orang-orang Hindu tetap akan dapat melihat yang mana benar dan yang mana salah, karena pikirannya tidak dicemari oleh kekotoran (cemer). Jika perhatian kita kurang terhadap kesucian, dengan cara makan apa saja, dan belanja dimana saja. Tercemarlah pikiran kita, tingkah laku kitapun akan berubah menjadi sadis, kurang bersahabat, kurang kasih sayang. Dunia menjadi gelap, langkah tidak menentu, tujuan hidup semakin sulit dicapai. Untuk itu saya pikir bagi semua umat Hindu, agar memperhatikan kesucian makanan terutama makanan yang dibeli di warung dan di tempat lain yang menjual makanan, kalau kalian mau menjaga kesucian diri pribadi kalian.

Di samping itu, mulai dari cara makanpun tercermin kepribadian seseorang. Cara makan yang paling terhormat dan mencerminkan kesucian diri adalah duduk bersila, duduk di kursi atau tempat duduk yang tersedia dengan sikap duduk yang sopan. Selain cara makan seperti itu masih dianggap kurang sopan dan tidak mencerminkan kesucian.

Demikianlah cara-cara orang Hindu di Bali menjaga kesucian, melalui cara menjaga kesucian diri mereka masing-masing. Kemudian dilanjutkan menjaga kesucian keluarga dan rumah, kesucian lingkungan, melalui penerapan konsep-konsep ; Tri Mandala, Tri Hittakarana, konsep memanusiakan alam dan lingkungan.

Saya sangat merasa bangga bila semua orang-orang Hindu menyadari prihal seperti tersebut di atas. Lebih-lebih dapat mentaati peraturan untuk tidak makan daging sapi. Hentikanlah prilaku dan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Marilah secara perlahan-lahan menuju kesucian diri (buana alit dan buana agung). Pesan-pesan kesucian telah diwariskan kepada kita, untuk tetap menjaga predikat Bali sebagai pulau sorga, Bali sebagai pulau Dewata, serta predikat-predikat lain yang telah terbukti membawa nama harum pulau Bali sampai ke pelosok dunia.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

KAWITAN ADALAH PENGINGAT ASAL


OM SWASTIASTU

Kawitan itu berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal mula manusia adalah Tuhan, maka sesungguhnya setiap orang punya kawitan. Di luar Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang ditetapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. 

Kawitan di Jawa  tidak sedetail di Bali, yang ada adalah dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatannya tidak sekuat konsep kawitan di Bali. Mengenai adanya banyak kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Jika misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama kawitan tersebut. Begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana kawitan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, dharma dan berwibawa. 

Dengan mengingat kawitan maka seolah kita ditantang, apakah dengan sikap dan perilaku kita seperti sekarang ini kita layak menyandang nama kawitan sebagai keturunan beliau? Kawitan adalah pengingat wit atau asal. 

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

UPACARA MEMPUNYAI KEDUDUKAN YANG PENTING


OM SWASTIASTU

Upacara merupakan bagian dari pelaksanaan ajaran agama Hindu Bali yang berfokus pada karma sandyasa. Namun dalam pelaksanaanya jangan sampai keluar dari rel yang ditentukan. Dari sudut artha atau kemampuan secara materi sudah ada tingkatan yang bisa dipilih yaitu Khanista, Madya dan Utama dan semua tingkatan itu sama mulianya, yang terpenting dipersembahkan dengan tulus ikhlas. Jadi sesuaikan kemampuan materi kita dengan tingkatan yang bisa dilakukan.

Ini yang sering keliru dipahami oleh umat sehingga timbul kesan bahwa upacara itu adalah sebuah pemborosan. Seperti yang sering pedanda sampaikan, ada 4 kritera seseorang Nangun Yadnya, yaitu kemauan, kemampuan, situasi dan kondisi serta harus ada landasan sastra. Berupacara haruslah didasari atas kemauan atau keinginan berbhakti kepada Sang Hyang Widhi yang mana tingkatan upacara harus disesuaikan dengan kemampuan materi, situasi saat itu dan juga dalam pelaksanaanya mengacu pada sastra agama. Sangat salah bila kita berupacara terlalu memaksakan diri sehingga malah menjadi berhutang. Yang sering menjadi masalah adalah perasaan gengsi jika tidak berupacara dengan mewah padahal kemampuan tidak memadai. Lain halnya jika dari segi materi kita mampu maka itu tidak menjadi masalah karena tidak akan membebani ekonomi keluarga dan disamping itu juga memutar perekonomian karena semua lapisan masyarakat mulai dari dagang busung, dagang babi dan lainya ikut mendapatkan rejeki dari pelaksanaan upacara tersebut.

Upacara adalah media pendidikan atau sebuah sarana pembelajaran guna dapat memahami tatwa agama sehingga bisa diterapkan dalam tingkah laku sehari-hari/susila. Upacara adalah sebuah wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi yang dalam pelaksanaanya dilandasi dengan Tatwa atau filsafat agama, jadi semestinya saat kita melakukan suatu upacara kita harus bisa memahami tatwa atau filsafat apa yang terkandung dalam upacara tersebut, sehingga nilai – nilai filsafat itu bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari. Inilah yang tidak nyambung sekarang ini, sehingga seolah – olah upacara berdiri sendiri dan menjadi lebih dominan daripada tatwa dan susila, yang mana seharusnya ketiganya seiring sejalan. Seharusnya, semakin sering berupacara, semakin banyak tahu tatwa, semakin banyak tahu tatwa semakin bagus mental dan spiritual, semakin bagus mental dan spiritual maka makin baik pula tingkah laku kita.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM




TANGKIL KE PURA UNTUK NGAYAH DAN BERSEMBAHYANG MERUPAKAN LANGKAH MEMPRAKTEKKAN YOGA


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Mengamati banyak pura kuno yang ada di Bali, sebagian besar letaknya di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Seperti misalnya; Pura Pasar Agung di wilayah Karangasem, Pura Lempuyang juga di wilayah Karangasem, Pura Pucak Manik di wilayah Singaraja dan banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan semuanya. Letak pura seperti ini yang sangat menggugah pikiran saya untuk mengetahui. Kenapa bisa seperti itu? Apakah leluhur kita dahulu tidak bisa mencari tempat strategis pada saat dibangunnya pura tersebut? Saya kira tidak sulit mencari lahan untuk membangun pura, mau mencari lahan di kota, di pedesaan itu sangat mudah. Kenapa beliau tidak mau lakukan itu?

Tetapi di zaman sekarang, konsepnya berbalik. Jika ada yang ingin membangun pura, mencari tempat yang strategis, supaya dapat dipinggir jalan besar biar mudah dijangkau. Lucunya lagi, pura yang dibangun oleh leluhur kita, seperti yang saya katakan tadi cukup sulit dijangkau, dibuatkan jalan agar mudah dijangkau oleh semua orang. Apakah pemikiran seperti itu sudah boleh dikatakan benar?

Sudahkah langkah yang diambil seperti itu sesuai dengan konsep dasar pemikiran leluhur kita sewaktu membangun pura tersebut? Inilah pokok permasalahan yang saya ingin tuangkan, dengan mencoba melihat dari sudut latihan yoga. Sekaligus saya menginginkan adanya pemahaman dan pengertian di antara kita. Yoga merupakan aktivitas yang mampu meningkatkan kerohanian, dan mampu menuntun umat manusia untuk menemukan jati dirinya (mewali ring sangkanin dumadi). Itulah pemahaman bebas dari saya tentang yoga untuk memberikan batasan agar dapat kita menguraikan selanjutnya.

Oleh karena, begitu luhurnya ajaran yoga, maka para pendahulu kita ingin keturunannya dapat melakukan yoga secara rutin, untuk dapat merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Namun beliau juga sudah memahami sifat-sifat dasar manusia salah satu diantaranya adalah malas (ngekoh dalam bahasa Bali), sifat ingin yang gampang-gampang saja dan sifat lainnya yang sejenis. Namun yoga akan merubah sifat-sifat semacam itu. Disinilah kelihatannya agak kontradiktif. Maka dari itu ajaran yoga dikemas secara halus sekali sehingga tidak nampak. Artinya mereka yang melakukan yoga tersebut tidak merasa apa yang mereka sedang lakukan adalah sesuatu yang sangat luhur dan bermanfaat bagi hidupnya (gerakan yoga).

Sebelum saya melanjutkan uraian tadi, kata yoga di dalam masyarakat umum (Hindu di Bali), sangat disucikan, bahkan kelewatan caranya menyucikan akhirnya muncul rasa ketakutan mendengar kata yoga (dianggap serem). Perkembangan pemikiran seperti itu sudah dibayangkan sebelumnya oleh leluhur kita, makanya saya katakan tadi yoga itu dikemas secara halus biar mudah dapat dilakukan, bahkan tidak terasa melakukan yoga. Namun pada intinya yoga itu dapat menyentuh lapisan masyarakat terbawah dengan tidak membedakan kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi dan kemampuan yang lainnya. Dasar pemikiran seperti itu dituwangkan di dalam konsep pendirian pura, konsep ngayah di pura pada waktu ada pujawali atau pada waktu ada kegiatan di pura, dan banyak lagi penjabaran yoga dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.

Kita akan kembali pada pokok bahasan tentang pembangunan pura yang berlandaskan konsep yoga. Seperti kita ketahui pura kuno dibangun di atas gunung, di tepi tebing, di dalam lautan, di dalam guwa, pokoknya di tempat yang agak sulit dijangkau. Untuk dapat dipahami secara jelas pembangunan pura berdasarkan konsep yoga, harus juga dimulai dari menguraikan tahapan yoga, kemudian sesuaikan dengan konsep pembangunan pura tadi. Saya akan mencoba untuk menguraikan tahapan yoga secara umum saja yaitu;

• Panca Yama brata
• Panca Niyama brata
• Asana
• Pranayama
• Dyana (semadi)

Mungkin tahapan yoga yang saya uraikan ini tidak lengkap sekali, karena saya ingin mencari yang paling menonjol kaitannya dengan pembangunan pura. Panca yamabrata dan panca niyamabrata ditekankan agar dilakukan setiap hari, di dalam kehidupan sehari-hari. Lalu asana, pranayama dan dyana agak jarang dilakukan, sebenarnya ini juga harus setiap hari dilakukan. Dikarenakan oleh adanya suatu sebab yang kurang jelas, maka tahapan yoga bagian asana, pranayama dan dyana kurang tekun dilakukan.

Nah sekarang kaitannya dengan pembangunan pura yang lokasinya seperti yang telah diuraikan tadi, itu akan memberikan peluang yang sangat besar untuk melakukan asana, pranayama dan dyana dengan tidak kita sadari. Misalnya untuk bisa sembahyang atau ngayah ke pura yang sulit dijangkau, memerlukan persiapan fisik dan mental yang memadai serta melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah.

Sekarang kita ambil contoh mau sembahyang ke Pura Pucak Manik di wilayah Grokgak Singaraja. Sebelumnya orang yang mau sembahyang harus siap mental artinya, harus sehat, dan berkonsentrasi, tidak boleh ragu-ragu, pakaian sederhana, barang bawaan secukupnya dan sepantasnya, sebab perjalanan akan melalui medan yang cukup berat dan posisinya naik. Di dalam perjalanan melalui jalan setapak, tebing-tebing, hanya ada pohon dan akar yang dapat digapai sebagai pembantu. Nafas terengah-engah, CO2 keluar dengan derasnya demikian pula O2 akan masuk dengan deras pula melalui hidung kita, pertukaran udara akan terjadi antara orang yang tangkil dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar areal perjalanan. Rasanya paru-paru dicuci bersih, jantung terasa berat memompa darah, sehingga dada terasa berdebar.

Setelah perjalanan berakhir di areal pura, nafas masih terengah-engah, sudah pasti memerlukan waktu istirahat barang 10 menit, kemudian baru berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan sembahyang. Setelah nafas agak sempurna, dada terasa ringan, beban pikiran menjadi ringan, perasaan jadi sangat tenang. Kita duduk dengan pikiran hening, lalu melakukan persembahyangan melalui urutan sebagaimana mestinya. Setelah bersembahyang ketenangan sangat terasa, perutpun mulai terasa lapar, mau tidak mau ”lungsuran banten” (banten yang telah dihanturkan) dimakan habis. Dalam keadaan seperti itu semua orang yang mengalami tangkil ke pura yang sejenis medannya dengan Pura Pucak Manik, akan tidak menyadari dirinya telah melakukan yoga dari tahap awal sampai tahap dyana.

Perjalanan mendaki yang diuraikan tadi, itu sama dengan asana yang sangat sempurna, keringat bercucuran. Nafas terengah-engah, itu sama dengan pranayama yang sempurna. Setelah tenang duduk lalu bersembahyang itu adalah dyana semadi/meditasi yang tidak kalah bobotnya. Demikian bijaknya para leluhur kita melatih generasi penerusnya untuk selalu dapat melaksanakan yoga, sehingga bisa terbentuknya moral yang luhur. Di samping itu adapula makna yang dapat dipetik, bahwa tidak sembarangan orang dapat sembahyang langsung di pura itu. Bagi mereka yang berpikir ragu-ragu pasti tidak bisa, mereka yang sakit-sakitan, ibu-ibu hamil, anak-anak yang belum cukup umur, cacat fisik, sangat sulit menempuh perjalanan seperti itu. Mereka akan sembahyang di pura yang mudah dijangkau oleh mereka.

Demikian pemahaman saya mengenai pembangunan pura yang letaknya sulit dijangkau oleh masyarakat umum, bila dikaitkan dengan penerapa yoga secara praktis, halus sehingga hampir tidak dapat dirasakan oleh si pelaku.

Permasalahannya sekarang adalah, sebagian besar pura seperti tadi sudah dibuatkan jalan untuk mudah dapat dijangkau oleh semua golongan, bahkan sampai pedagang kaki limapun ikut menyemarakkan, pura jadi ramai, dagang kaset itu memutar kasetnya agar laku dijual. Pemandangan yang muncul tak ubahnya semakin jauh. Bagi mereka yang bersembahyang pun tidak mengalami proses yoga yang benar dan mantap. Judi semarak, menurut pengamatan saya pura yang merupakan tempat mencari kesucian, berubah menjadi tempat mencari hiburan.

Saya rasa, menangis leluhur kita di alam sana, karena kita sebagai pewarisnya tidak mampu memanfaatkan pura seperti langkah dan tujuan leluhur kita terdahulu. Jika begini terus habislah segala warisan yang adhi luhung itu. Wahai generasi penerus, engkau tidak akan dapat menikmati Bali yang sempurna seperti dahulu.

Saya kira masih ada kesempatan untuk melestarikannya, kalau kita sama-sama menyadari demi keturunan kita nanti. Marilah berbuat bukan hanya untuk dinikmati sekarang saja, berbuatlah untuk generasi masa datang.

Mungkin ada di antara pembaca yang ingin bertanya. Jadi kalau begitu pemahamannya, rasanya ada unsur membedakan antara umat yang kuat dan umat yang lemah untuk dapat mengikuti yoga? Sebenarnya tidak ada yang membedakan. Kecuali mereka sendiri yang membedakan dirinya dengan yang lain. Maksudnya mereka yang sakit pasti berbeda dengan mereka yang sehat. Mereka yang sungguh-sungguh ingin menyembah Ida Sang Hyang Widhi akan berbeda dengan orang yang sekedar memamerkan pakaian, memamerkan kekayaan, memamerkan postur tubuh datang ke pura. Kalau memang mereka merasa sama tidak ada larangan untuk tangkil bersembahyang. Begitu mereka tangkil ke pura, otomatis mereka sudah melakukan yoga.

Kesimpulannya itu sangat tergantung pada kesungguhan dan ketekunan kita. Sebagai orang awam, begitulah pemahan saya tentang dibangunnya pura yang letaknya ditempat yang sulit dijangkau. Jangalah diutak-atik lagi, yang sifatnya memudahkan dan tidak mendidik. Mudah menjangkau beda bobotnya dengan yang sulit dijangkau.

OM, SHANTIH, SHANTIH, SHANTIH, OM

HIDUP ITU SEPERTI SEBUAH PERJALANAN


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU

MATANGNYN HAYWA JUGA WWANG MANASTAPA,AN TAN PARIBAWA, SI DADI WWANG TA PWA KANGONGAKNA RI AMBEK APAYAPAN PARAMADURLABHA SI JANMAMANUSA NGARAN YA, YADYAPI CANDALAYONI TWI. (SS. 4. hal. 8).

Artinya;
Oleh karena itu, janganlah bersedih hati, sekalipun hidup tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu, hendaknya menjadikan berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, sekalipun kelahiran cacat sekalipun.

Setelah direnungkan kalimat tersebut diatas, maka penyesalan atas segala yang kita hadapi dalam hidup ini tidaklah perlu, walaupun keadaan hidup sekarang ini kurang, cacat fisik. Sebab dengan menjadi manusia itu saja kita harus berbesar hati. Sebab dengan lahir menjadi manusia kita dapat berbuat baik untuk menyempurnakan (melebur) perbuatan yang buruk.

Memang prakteknya sangat sulit, namun dengan keyakinan dan ketekunan untuk menghayati hidup ini maka semua yang kita anggap sulit akan menjadi terbiasa. Oleh karena itulah saya mengumpamakan hidup ini tidak lebih seperti sebuah perjalanan untuk menuju tujuan. Dalam perjalanan tersebut sudah pasti kita pernah melewati jalan rusak jalan naik, jalan berkelak-kelok, jalan bagus dan jalan turun atau jalan datar, jalan lurus. Maka dari itu disaat melalui jalan yang bagiamanapun kita harus selalu hati-hati dan waspada.

Janganlah hidup yang sudah berat ini lagi ditambah dengan beban yang lebih berat seperti penyesalan. Lakoni hidup ini dengan 4 jalan;

1. Berbhaktilah kepada Tuhan, orang tua (ayah dan ibu), karena beliau memberi kita jalan lahir hidup menjadi manusia.

2. Belajarlah ilmu agama (sastra) dan praktekan dalam hidup ini, sebab agama memberikan kita penerangan jalan yang akan kita lalui.

3. Jangan lupa di dalam menjalani hidup ini melakoni/taat terhadap etika kehidupan, sebab etika itu merupakan rambu-rambu jalan yang kita lalui untuk selamat sampai di tujuan.

4. Tuhan sebagai tujuan akhir dari perjalanan hidup kita ini.

Janganlah sia-siakan kesempatan hidup ini yang kita dapati dalam waktu yang amat singkat pula. Yang dimaksudkan menyia-nyiakan kesempatan hidup adalah, perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri, merugikan keluarga dan merugikan orang lain. 

SEKIAN DAN TERIMA KASIH. SELAMAT MERESAPI DAN MERENUNGKAN. 

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

MENCOCOKAN BUDAYA HIDUP PALING SULIT


OM SWASTIASTU, OM AWIGNAMASTU.

Cerita ini adalah sebuah fakta di lapangan, walaupun yang dimaksud dengan fakta di sini tidak merupakan hasil dari penelitian, namun hanya berdasarkan pengamatan saja. Sekalipun demikian kenyataannya hal seperti ini sering terjadi. Bila hal ini tidak di ketahui secara dini, kemungkinan besar bisa akan terjadi hal-hal yang sangat kita tidak harapkan di dalam menjaga keharmonisan berumah tangga. Untuk itulah harapan saya semoga apa yang mampu saya tuwangkan di dalam tulisan ini semoga dapat membantu didalam mewujudkan rumah tangga yang harmonis dan rumah tangga yang bahagia seukuran manusia. Maka dari itu Tulisan ini didahului dengan sebuah cerita nyata namun tanpa menuliskan identitas yang sebenarnya.

Cerita;
Pada suatu hari ada sepasang remaja sedang memaduh kasih, disaat itu bayangan yang ada di hati mereka berdua tidak lain adalah gambaran kebahagiaan, keindahan, bermanja-manja. Bila si Pemudi kakinya tersandung sedikit, maka si pemuda akan bertanya dengan kalimat yang indah dan intonasi bahasa yang amat sopan: " Bagaimana sayaaaang......!!!! Sakit sayaaaaang...! Hati-hati sayaaaaang....!!!. Sambil mengusap-ngusap kaki si perempuan yang dikatakan tersandung ". Disaat itu kelihatan mereka berdua tak ubahnya berperilaku seperti Dewa dan Dewi.

Si Pemuda setiap hari menawarkan diri untuk mengantar pacarnya kemana saja maunya, dengan tulus dan ikhlas. Siapapun melihat peristiwa itu pasti turut merasakan kebahagiaan yang mereka sedang lakukan, dan turut mendoakan agar situasi dan kondisi seperti itu bisa dipertahankan sampai mereka menyusun rumah tangga nantinya.

Namun sangat berbeda kondisinya setelah mereka melakoni perkawinan, kadang-kadang berubah 180 derajat. Bila istrinya yang nota bena mantan pancarnya itu lagi kesandung kakinya, kalimat yang keluar dari bibir suaminya, Rasa bahasanya dan intonasinya sangat berubah; keras, kadang-kadang bernada marah. Tidak lagi mau atau jarang-jarang mau mengantar istrinya ke pasar membeli bahan makanan untuk keperluan mereka. Pokoknya ada perubahan.

Kalau kita lihat secara nyata, yang pacaran dulu adalah mereka, yang kawin juga mereka, dan secara fisik tidak ada perubahan, kenapa sikap bisa terjadi perubahan???? Perlu saya tekankan disini, memang tidak semua pasangan suami istri yang seperti itu, masih banyak pula yang sadar dapat memelihara hubungan harmonis mereka seperti saat mereka pacaran. Namun dalam tulisan ini yang disorot adalah mereka yang kurang mampu mempertahankan keharmonisan itu. Disamping itu untuk menghindari terjadinya rumah tangga yang berantakan. Tolong renungkan hal ini bagi saudara yang belum berumah tangga maupun saudara yang telah berumah tangga.

Masing-masing punya kelemahan
Kaum laki dan kaum perempuan masing-masing punya kelemahan, maka dari itu didalam berumah tangga hal ini perlu diketahui dan pun bisa digunakan sebagai alat untuk menuju hal-hal yang positif (keluarga yang harmonis). Kaum laki kelemahannya di mata, dan kaum perempuan kelemahannya di telinga. Walaupun hal ini tidak berdasarkan penelitian maka kenyataannya dilapangan sudah seperti itu.

Misalnya;
Kalau kita bersuami istri, bila si suami sedang marah atau sedikit tersinggung, bila kita berpegang pada teori diatas, "Laki punya kelemahan di mata". Istri jangan ikut berbicara (melawan), kalau ikut melawan akan terjadi hal yang lebih rumit lagi. Lalu berprilakulah yang dapat menarik perhatiannya, misalnya; masuk ke kamar hias, berhiaslah yang dengan sempurna dan pakain sedikit menarik perhatiannnya (yang disenangi oleh mereka), setelah itu berjalanlah, usahakan dapat melintas minimal 2X lewat didepannya. Sudah pasti marahnya sedikit turun bahkan seketika mereda. Sebaliknya bila si istri marah atau ngomel, si laki jangan ikut melawan dengan bahasa yang keras, jangan digertak sebab disaat seperti itu si Istri akan tidak mau mundur (hindari KDRT ). lalu si laki harus menurunkan nada bahasanya, menghaluskan intonasi bahasanya saat menyaut, sebab kelemahan perempuan ada di telinga. Pasti marah istri itu akan mereda.

Mencocokan budaya hidup.
Yang paling sulit di dalam perkawinan adalah mencocokan budaya hidup, sebab budaya seseorang sangat sulit untuk dirubah, walaupun bisa akan memakan waktu sangat lama.

Misalnya:
Pada waktu pacaran sebelum nikah semua gambaran hidup yang bahagia, gembira, indah yang keluar, namun kebiasaan yang kurang baik jarang diutarakan bahkan tidak pernah dimunculkan, seperti misalnya salah satu dari mereka setiap tidur mendengkur, atau setiap tidur ngorok, lalu pasangannya tidak bisa tidur lelap bila tidur bersama dengan orang yang biasa mendengkur/biasa ngorok. ini akan menjadi masalah yang kemungkinan akan terjadi hal yang tidak diharapkan. Itu salah satu contoh, mungkin banyak lagi contoh yang bisa diambil.

Lalu bagaimana caranya supaya hal seperti itu tidak menjadi latar blakang pertengkaran. Solusinya begini;

1. Syukurilah apa yang kita dapati memang itu merupakan bagian dari hidup kita, sebab kitalah yang memilihnya sehingga terjadi pernikahan.

2. Disaat pacaran bila perlu utarakan hal-hal atau kebiasaan yang kita miliki, agar lawan jenis (calon pasangan) kita atau calon kita jauh sebelumnya sudah menyadarinya.

Demikianlah sekilas tulisan ini semoga ada manfaatnya demi keutuhan keluarga kita. Bila ada hal-hal yang tidak atau kurang berkenan di dalam tulisan ini mari kita mohonkan ampun kehadapan yang Maha Kuasa dengan ucapan parama santi;

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

KE MANA DAN BAGAIMANA SAAT SIWARATRI.

OM SWASTIASTU


Hari Siwaratri telah dikenal dan terkenal utamanya dikalangan umat Hindu, namun masih dalam tataran mengenal "belum melakoni dengan baik", walaupun sudah ada yang melakoni dengan khusuk, namun masih banyak yang hanya ikut-ikutan. Ada yang melakoni Siwaratri itu dengan bersepeda motor berbanyak menggunakan knalpot broong, ada yang menuju tempat sepi hanya berdua dengan yang mereka senangi, ada yang duduk-duduk di jalan sehingga menghambat orang berlalu lintas, dan yang paling parah adalah ada yang sambil meminum minuman keras (mabuk mabukan). Disini saya tidak menyalahkan, sebab saya sadar kapasitas saya bukan tukang salahin, karena di alam ini selalu ada dua hal yang bertolak belakang, oleh karena itu mereka yang melakoni seperti itu mungkin sedang melakoni BHUTARATRI. Sebab ada Dewa, ada Bhuta. Oleh karena itulah disini saya akan menulis " KE MANA DAN BAGAIMANA SAAT SIWARATRI " dengan harapan semakin tahun semakin menjadi bermakna Siwaratri itu bagi kehidupan kita. Tulisan ini bersumber dari kitab Bratha Siwaratri. Mungkin ada sumber lain yang menulis berbeda, namun jangan perbedaannya yang dipertdebatkan apalagi dipertentangkan, mari kita cari maknanya, pasti tidak akan berbeda, semuanya mengarahkan kita untuk mendapatkan rasa dari Siwratri itu sendiri.

Ke mana saat Siwaratri:

Pagi kira - kira jam 6 pagi atau galang tanah pada saat hari Siwaratri; Kita harus asuci laksana, mandi, keramas selengkapnya, lalu metirtha ( bila punya tirtha dari Wiku ), bila tidak boleh menggunakan air bungkak kelapa gading, kemudian sembahyang di merajan. Setelah itu, bagi yang tidak bekerja atau yang tidak melakukan kegiatan, lanjutkan sembahyang kepura (Kahyangan Tiga). Bagi yang kerja silahkan bekerja seperti biasa, namun tidak terlepas dari persyaratan Siwaratri (pengendalian pikiran salah satunya ). Setelah siang hari lagi sembahyang, di sore hari lagi sembahyang. Hal ini bisa dilakukan di rumah sendiri dan bisa di pura secara bersama-sama. Di Pura mana saja boleh, namun sebaiknya di Pura Dalem. Bila ada program pemusatan pelaksanaan Siwaratri oleh siapa saja (Desa atau Pemerintah) kalau berkenan ikut bisa ikut bersama. Bisa juga dengan menyepi sendirian.

Bagaimana saat Siwaratri;

Saat Siwaratri, kita harus melek ( tidak tidur selama 36 jam ) mulai jam 6 pagi pada hari "H", sampai jam 6 sore besoknya, bila tidak mampu karena sesuatu dan lain hal, lakukan melek selama 24 jam, bila tidak mampu, lakukan 12 jam di malam hari saja, namun yang paling penting lakukan melek rokhani selama Hidup kita. Sambil melek untuk menghalau kantuknya, baca buku kerokhanian, atau berdiskusi tentang kerokhanian, atau berjapa.
Bila ada yang mau lebih lagi, bisa melakukan upawasa, dan mono, selama waktu yang kita mampu sesuai denga keterangan di atas. Atau upawasa saja, mungkin hanya melek saja semalam suntuk boleh juga. Jangan memaksakan diri, sesuaikan dengan kemampuan masing-masing, disini tidak ada memaksa, dan kita tidak berlomba secara sekala, namun secara niskala boleh berkompetisi.

Jadikan Siwaratri ini sebagai kebutuhan hidup untuk menuju tujuan hidup kita, dan lakoni siwaratri itu dengan slogan: DARI KITA OLEH KITA DAN UNTUK KITA. Sebab urusan manusia dengan Tuhannya itu hal yang amat pribadi. Saran saya jangan sampai kita memiliki pikiran atau tidak akan berprilaku, dan berbicara yang sampai menodai hari Suci Siwaratri itu. Kalau tidak kita yang menjaga kesucian itu, siapa lagi? Ini merupakan kesempatan emas yang kita dapati dari ajaran Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Penyayang.

Lakukanlah Siwaratri itu mulai dari kesadaran diri sendiri, tidak ada yang akan bisa membantu kita melepaskan diri dari keterikatan dengan hal-hal yang negatif menurut pandangan agama, selain diri kita sendiri, dan tidak ada yang mampu menciptakan diri kita mau jadi apa? selain dimulai dari diri kita sendiri. Jangan menunggu orang lain.

Terima kasih atas perhatian saudara. Semoga Hindu yang kita cintai semakin bersinar dapat memberikan pencerahan kepada alam serta isinya.

Om Santhih, Santhih, Santhih, Om.

PURNAMA DAN TILEM SANGAT PENTING BAGI KITA


OM SWASTIASTU,

Saya memandang sangat perlu menulis disini tentang hari Purnama dan hari Tilem, agar hari suci tersebut tidak terlewati begitu saja. Adapun hari Purnama dan Tilem itu datangnya masing-masing 30 hari sekali. Pada hari ini disebut hari sesucian terhadap Sanghyang Rwa Bhineda, yaitu; Sanghyang Surya dan Sanghyang Ratih. Kalau hari purnama, Sanghyang Ratih (Bulan) beryoga, kalau hari tilem Sanghyang Surya beryoga. Dengan demikian pada hari tersebut bagi para Sulinggih, dan para umat Hindu patut melakukan penyucian diri (asuci laksana), juga menghaturkan sesaji; wangi-wangian, canang dihaturkan di merajan dan di pelangkiran dengan tujuan agar para Dewata dan para leluhur senantiasa menuntun hidup kita ke arah yang lebih baik, selanjutnya bagi para sulinggih melakukan pemujaan dan persembahyangan di pagi hari, demikian pula umat agar melakukan persembahyangan di pagi hari, memuja kebesaran Tuhan dan memohon ampun atas segala kesalahan kita serta memohon tuntunan. Jangan lupa mohon air suci atau wangsuh pada.

SELAMAT MELAKONI, UNTUK KEBAIKAN DIRI KITA.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Wednesday, January 22, 2014

SIWA RATRI



SIWA RATRI DALAM KONTEKS; SIWA MENCARI SIWA, SIWA BERTEMU SIWA, SIWA KEMBALI KE SIWA.

Om Swastiastu. Om Awignamastu Namosidam. Semoga Sang Hyang Paramasiwa (Tuhan), selalu menyinari pikiran kita.

Tepatnya hari Rabu, tanggal 29 Januari 2014, adalah hari yang amat suci yaitu hari Siwa Ratri. Berbicara tentang Siwa Ratri ditataran permukaan sudah sering kita dengar, kita baca, namun apa intinya Siwa Ratri itu masih belum sering kita dengar atau kita baca. Sebab setiap berbicara tentang Siwa Ratri, yang tersirat dipikiran kita adalah: melek (begadang) semalam suntuk, menebus dosa, sembahyang, jalan-jalan sampai pagi, tidak makan tidak minum dsb. belum terpikirkan oleh kita, MENGAPA KITA MELAKONI SIWA RATRI? UNTUK APA KITA MELAKONI SIWA RATRI?

Sehingga masih ada diantara kita berpura-pura melaksanakan Siwa Ratri namun kenyataannya perilakunya sangat menyimpang, bahkan sangat bertentangan dengan hakekat dari Siwa Ratri itu sendiri. Misalnya; begadang dengan minum-minuman keras, begadang sambil berjudi, begadang sambil mengumbar nafsu dsb.
disini saya sama sekali tidak ada keinginan untuk menyalahkannya, sebab semuanya itu adalah hak mereka/karma mereka, mereka akan menerima pahalanya.

Oleh karena itu pada kesemptan sekarang ini saya ingin menyumbangkan pikiran (Jnana Yadnya ) tentang Siwa Ratri yang berkisar pada judul seperti diatas. Namun tidak terlepas dari babonnya yaitu "LUBDHAKA CERITA". Dengan harapan agar kita semakin mendekati pada makna Siwa Ratri yang sebenarnya, dan menghindari penyalah laksanaan Hari yang amat kita sucikan.

SEPINTAS CERITA LUBDHAKA.
Di dalam cerita Lubdhaka disebutkan; Ada seorang pemburu (hanya berburu), namanya Lubdhaka, setiap hari pekerjaannya BERBURU binatang ke hutan, Yang diburu adalah binatang BESAR-BESAR, seperti GAJAH, HARIMAU, SINGA, di dalam cerita tidak diceritakan dia berburu kelinci dan sejenisnya. Pada suatu hari tepatnya sehari sebelum hari tilem sasih ke pitu (prawaninin tilem kapitu), dia berangkat berburu dipagi buta (kurang lebih jam 6,00 pagi), sampai sore dia berburu, namun nasibnya sangat apes, sebab seekor binatangpun tidak didapati, apalagi didapati melihat binatangpun dia tidak. Setelah hari semakin sore, semakin gelap, dia sampai ditepi kolam, disitu dia menunggu binatang yang kemungkinan akan minum, namun sial juga nasibnya, tidak ada seekor binatangpun yang datang untuk minum. Nah muncullah dipikirannya ketakutan akan binatang buas akan memangsa dirinya dimalam hari. Di situlah si lubdhakan naik ke pohon BILA (pohonnya berduri tajam-tajam), untuk menghindari sergapan binatang buas. Setelah diatas pohon bila dia takut jatuh, nah disitu dia melek sambil MEMETIK DAUN BILA, yang berjumlah 108 sampai pagi. Disitulah daun bila yang dipetik dilemparkannya kedalam kolam dibawahnya, dengan tidak sengaja dan tidak terpikirkan olenya bahwa percikan air telaga yang ditimpa daun bila yang dilempar mengenai sebuah LINGGA (linggih Ida Bhatara Siwa), hal itu diketahui oleh Beliau Dewa Siwa. Singkat cerita keesokan harinya si Lubdaka pulang dengan tangan hampa, lama kelamaan dia sakit dan meninggal. Disaat itulah rokhnya mendapat siksaan oleh Sang Yamabala, karena dia punya dosa membunuh binatang. Namun hal itu diketahui oleh Dewa Siwa maka, rokh Lubdhakapun diselamatkan oleh Ganabala, prajurit Dewa Siwa, selanjutnya diantar menghadap dewa Siwa di Siwaloka, dan Rokh Lubdhaka di terima menyatu dengan Beliau.

SIMPUL-SIMPUL PENTING DALAM CERITA DIATAS.
LUBDHAKA artinya; lub berasal dari kata celub ( di dalam bahasa Indonesia celup ) artinya masuk. Di dalam kitab Tattwa Jnana disebutkan dengan istilah HUTA PROTA. Jadi Sang Hyang Siwatma masuk ( ke jasad manusia ), ini yang saya maksudkan Siwa ( dalam wujudnya sebagai Siwatma ). Dhaka artinya daki (kotor). Sang Hyang Siwatma yang amat suci masuk ketubuh manusia yang penuh dengan kotoran seperti kotoran disebabkan oleh sadripu, oleh sapta timira dsb.

Kemudian BERBURU BINATANG BESAR, artinya bagi mereka yang hidupnya dalam kegelapan, akan berburu kemewahan (harimau), kewibawaan, kekayaan ( gajah ), berburu jabatan (singa), dan yang lainnya sejenis itu, ini disebabkan oleh kegelapan mereka akan makna hidup ini.

Si Lubdhaka tidak dapat apa yang mereka inginkan artinya; seseorang yang berburu tentang keduniawian tidak tercapai. Lalu si Lubdhaka naik ke pohon Bila, artinya dia dengan ketakutan akan phala dari semua dosanya, maka dia sadar sehingga dia mulai membelajarkan diri menaikan/meningkatkan moralitasnya melalu jalan melek (membuka pikiran dan mendapatkan pencerahan), sambil berjapa dengan daun (keinginan) bila, melepaskan satu persatu keinginannya/keterikatannya terhadap keduniawian DALAM KONSEP SIWA MENCARI SIWA, akhirnya dengan tekun. yakin dan desiplin, sehingga tidak disadari akibat dari japanya maka dia bertemu Lingga, SIWA BERTEMU SIWA. Setelah Lubdhaka pulang, kemudian sampai sakit dan meninggal, disitulah dia menikmati pahalanya, diampuni dan diterima oleh Beliau Dewa Siwa, SIWA KEMBALI KEPADA SIWA.

Jadi saat Siwaratri bukan hanya sekedar melek dalam artian jasmani, yang lebih ditekankan adalah melek di dalam rokhani. Sehingga nilai-nilai Siwaratri itu harus dihayati setiap hari dan dipraktekkan dengan yakin, tekun, serta disiplin. Nah disaat hari Prewani Tilemin sasih kepitu, kita melakukan serimonialnya.

Menurut hemat saya memahami makna Siwaratri adalah; Siwaratri itu tidak lain sebuah ajaran yang dituwangkan dalam sebuah kisah, sehingga cepat dapat dimengerti dan dipahami, untuk menuntun kita mencapai tujuan Hidup yaitu "Moksartam".

Alangkah mulianya ajaran tersebut, maka dari itu marilah kita pahami dan lakoni dengan tetap pada batasan kesopanan beretika, kesusilaan, untuk menjaga kesuciannya. Banyak orang mengatakan hari Siwaratri itu adalah hari penebusan Dosa, ya ini boleh-boleh saja dalam tataran pemikiran pemula, namun jika kita mendalami ajaran agama Hindu yang saya tau PENEBUSAN DOSA itu rasanya tidak ada, mungkin itu kata serapan. Makanya dalam guyonan saya sering mengatakan; AGAMA HINDU TIDAK MENGAJARKAN MENEBUS DOSA, SEBAB BILA KITA MENEBUS DOSA KITA AKAN MENDAPAT DOSA, KARENA BILA ADA ORANG NEBUS BPKB, DIA AKAN MENDAPATKAN BPKB.

Dasar saya berseloroh demikian adalah mengingat cerita Swarga Rokhanika Parwa, disaat sang Yudhistira tenggelam sepergelangan kakinya di neraka (kawah), karena dosanya waktu Baratayudha membilang (berbohong) bahwa Aswatama Mati di depan Gurunya Bhagawan Drona.

SELAMAT BER-SIWARATRI YANG BENAR DAN PATUT.

Demikanlah tulisan singkat saya tentang Siwaratri semoga ada manfaatnya.

Om Shantih, Shantih, Shantih Om.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts