Tuesday, December 3, 2013

TANGKIL KE PURA UNTUK NGAYAH DAN BERSEMBAHYANG MERUPAKAN LANGKAH MEMPRAKTIKAN YOGA


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMO SIDAM.

Mengamati banyak pura kuno yang ada di Bali, sebagian besar letaknya di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Seperti misalnya: Pura Pasar Agung di wilayah Karangasem, Pura Lempuyang juga di wilayah Karangasem, Pura Pucak Manik di wilayah Singaraja dan banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan semuanya. Letak pura seperti ini yang sangat menggugah pikiran saya untuk mengetahui. Kenapa bisa seperti itu? Apakah leluhur kita dahulu tidak bisa mencari tempat strategis pada saat dibangunnya pura tersebut? Saya kira tidak sulit mencari lahan untuk membangun pura, mau mencari lahan di kota, di pedesaan itu sangat mudah. Kenapa beliau tidak mau lakukan itu?

Tetapi di zaman sekarang, konsepnya berbalik. Jika ada yang ingin membangun pura, mencari tempat yang strategis, supaya dapat dipinggir jalan besar biar mudah dijangkau. Lucunya lagi, pura yang dibangun oleh leluhur kita, seperti yang saya katakan tadi cukup sulit dijangkau, dibuatkan jalan agar mudah dijangkau oleh semua orang. Apakah pemikiran seperti itu sudah boleh dikatakan benar?

Sudahkah langkah yang diambil seperti itu sesuai dengan konsep dasar pemikiran leluhur kita sewaktu membangun pura tersebut? Inilah pokok permasalahan yang saya ingin tuangkan, dengan mencoba melihat dari sudut latihan yoga. Sekaligus saya menginginkan adanya pemahaman dan pengertian di antara kita. Yoga merupakan aktivitas yang mampu meningkatkan kerohanian, dan mampu menuntun umat manusia untuk menemukan jati dirinya (mewali ring sangkanin dumadi). Itulah pemahaman bebas dari saya tentang yoga untuk memberikan batasan agar dapat kita menguraikan selanjutnya.

Oleh karena, begitu luhurnya ajaran yoga, maka para pendahulu kita ingin keturunannya dapat melakukan yoga secara rutin, untuk dapat merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Namun beliau juga sudah memahami sifat-sifat dasar manusia salah satu diantaranya adalah malas (ngekoh dalam bahasa Bali), sifat ingin yang gampang-gampang saja dan sifat lainnya yang sejenis. Namun yoga akan merubah sifat-sifat semacam itu. Disinilah kelihatannya agak kontradiktif. Maka dari itu ajaran yoga dikemas secara halus sekali sehingga tidak nampak. Artinya mereka yang melakukan yoga tersebut tidak merasa apa yang mereka sedang lakukan adalah sesuatu yang sangat luhur dan bermanfaat bagi hidupnya (gerakan yoga).

Sebelum saya melanjutkan uraian tadi, kata yoga di dalam masyarakat umum (Hindu di Bali), sangat disucikan, bahkan kelewatan caranya menyucikan akhirnya muncul rasa ketakutan mendengar kata yoga (dianggap serem). Perkembangan pemikiran seperti itu sudah dibayangkan sebelumnya oleh leluhur kita, makanya saya katakan tadi yoga itu dikemas secara halus biar mudah dapat dilakukan, bahkan tidak terasa melakukan yoga. Namun pada intinya yoga itu dapat menyentuh lapisan masyarakat terbawah dengan tidak membedakan kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi dan kemampuan yang lainnya. Dasar pemikiran seperti itu dituwangkan di dalam konsep pendirian pura, konsep ngayah di pura pada waktu ada pujawali atau pada waktu ada kegiatan di pura, dan banyak lagi penjabaran yoga dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.

(Bersambung)

OM. SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

No comments: