Wednesday, November 25, 2009

Leak Pakai Panca Aksara


Sebuah tulisan dari sudarma (shri_danudp)

Bentuk Endih Leak

Leak merupakan suatu ilmu kuno yang diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali. Pada zaman sekarang ini orang bertanya-tanya apa betul leak itu ada?, apa betul leak itu menyakiti? Secara umum leak itu tidak menyakiti, leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat. Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Tidak gampang mempelajari ilmu leak. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu. Ilmu leak juga sama dengan ilmu yang lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.

Dulu ilmu leak tidak sembarangan orang mempelajari, karena ilmu leak merupakan ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar. Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia.

Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan. Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti. Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul, ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat seringkali dicap sebagai ilmu leak. Seperti yang dikatakan diatas leak itu memang ada sesuai dengan tingkatan ilmunya termasuk dengan endih leak. Endih leak ini biasanya muncul pada saat mereka lagi latihan atau lagi bercengkrama dengan leak lainnya baik sejenis maupun lawan jenis. Munculnya endih itu pada saat malam hari khususnya tengah malam. Harinya pun hari tertentu tidak sembarangan orang menjalankan untuk melakukan ilmu tersebut.

Mengapa ditempat angker? Ini sesuai dengan ilmu leak dimana orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi, biasanya di kuburan atau di tempat sepi. Endih ini bisa berupa fisik atau jnananya (rohnya) sendiri, karena ilmu ini tidak bisa disama-ratakan bagi yang mempelajarinya. Untuk yang baru-baru belajar, endih itu adalah lidahnya sendiri dengan menggunakan mantra atau dengan sarana. Dalam menjalankan ilmu ini dibutuhkan sedikit upacara. Sedangkan yang melalui jnananya (rohnya), pelaku menggunakan sukma atau intisari jiwa ilmu leak. Sehingga kelihatan seperti endih leak, padahal ia diam di rumahnya. Yang berjalan hanya jiwa atau suksma sendiri. Bentuk endih leak ini beraneka ragam sesuai dengan tingkatannya. Ada seperti bola, kurungan ayam, tergantung pakem (etika yang dipakai). Ilmu ini juga memegang etika yang harus dipatuhi oleh penganutnya.

Endih leak ini tidak sama dengan sinar penerangan lainnya, kalau endih leak ini biasanya tergantung dari yang melihatnya. Kalau yang pernah melihatnya, endih berjalan sesuai dengan arah mata angin, endih ini kelap-kelip tidak seperti penerangan lainnya hanya diam.

Warnanya pun berbeda, kalau endih leak itu melebihi dari satu warna dan endih itu berjalan sedangkan penerangan biasanya warna satu dan diam. Karena endih leak ini memiliki sifat gelombang elektromagnetik mempunyai daya magnet. Ilmu leak tidak menyakiti. Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas. Bersikap sewajarnya saja. Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas.

Dan endih tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak bersifat niskala, tidak bisa dijamah.

Leak Shopping di Kuburan

Pada dasarnya, ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak. Yang ada adalah “liya, ak” yang berarti lima aksara (memasukan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.

* Si adalah mencerminkan Tuhan
* Wa adalah anugrah
* Ya adalah jiwa
* Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan
* Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa

Kekuatan aksara ini disebut panca gni (lima api). Manusia yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumnya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut. Sehingga apabila kita melihat orang di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.

Pada prinsipnya, ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo. Kata ngelekas artinya kontaksi batin agar badan astra kita bisa keluar. Ini pula alasannya orang ngeleak. Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut angeregep pengelekasan. Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut endih. Bola cahaya melesat dengan cepat. Endih ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu)

Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Jangan salah, dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya. Sebab tidak semua orang bisa melihat endih. Juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak. Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati. Orang ngeleak hanya shopping-nya di kuburan (pemuwunan). Apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya. Begini bunyi doa leak memberikan berkat :

Ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah.

Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikan sebagai tirta. Nah, di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam. Dikatakan bahwa leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu. Kenapa harus di kuburan? Paham leak adalah apa pun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan.

Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian? Di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang menyeramkan. Ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar tatwaning ulun setra. Sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan.

Di Jawa tradisi ini disebut tirakat. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak. Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api. Leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, leak siwa klakah. Leak Siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.

Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran. Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam.

Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri).

Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri. Pengiwa banyak menggunakan rajah-rajah (tulisan mistik). Juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgent di lab. Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang, beginilah bunyi mantranya, ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni…bla…bla…..

Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.

Sumber: Lontar Panestian: koleksi pribadi


Tuesday, November 24, 2009

Penemuan Manusia Antara Surga, Neraka, Bumi



(Perjalanan Atma, Mencari Bekal di Jalan Dharma)
sebuah tulisan dari sudarma (shri_danudp@yahoo.co.id)

SESAAT setelah badan jasmani mati, Atma melakukan perjalanan jauh. Cerita perjalanan Atma ada di banyak tempat, dalam berbagai kebudayaan, dan bermacam kepercayaan. Yang sama dari tiap cerita itu, Atma dikabarkan sengsara, kesepian, dan ketakutan. Walaupun perjalanan itu penuh penderitaan, tidak ada cerita Atma menunda perjalanan. Apalagi membatalkan. Sepertinya tidak ada pilihan lain bagi Atma kecuali melakukan perjalanan itu. Ia tak mungkin bertahan tinggal dalam tubuh yang segera akan membusuk. Bagian tubuh yang berasal dari tanah kembali menjadi tanah. Yang berasal dan air kembali menjadi air. Maka Atma mencari rumah baru. Pilihan ada dua, hanya dua menurut cerita : Surga atau Neraka.

Atma seseorang yang di dunia berkarma baik diyakini masuk Surga. Sebaliknya, yang berkarma buruk, dipastikan masuk neraka. Kepastian ini sebatas keyakinan. Karena mustahil membuktikannya. Baik Surga maupun neraka konon letaknya jauh di sana, entah di mana. Di mulut tukang cerita lihai, anak-anak sampai menangis mendengar kisah kesengsaraan Atma. Di tangan tukang cerita yang kurang berbakat cerita itu jadi rusak. Sebaliknya, tukang cerita humoris membuat orang terpingkal-pingkal mendengar perilaku Atma yang ternyata juga bisa lucu.

Banyak orang tidak mempercayai kebenaran cerita seperti itu. Tetapi orang yang meyakini kebenarannya, jauh lebih banyak lagi. Namanya juga keyakinan, pasti susah dibuktikan. Sekarang cerita perjalanan dalam bentuk buku. Sudah banyak pula diterjemahkan, dari satu bahasa ke bahasa lain. Sehingga menceritakan atau mendengarkan cerita Atma tidak lagi menakutkan seperti dulu sebelum listrik masuk desa. Sekarang banyak orang mendengarnya sambil makan kacang, minum bir dan goyang-goyang kaki. Tak jarang mereka tarpingkal-pingkal, karena yang sakral dari atma diceritakan dengan vulgar.

Disini, di Pulau Bali ini, orang mengenal cerita perjalanan Atma lebih banyak lewat pendengaran. Jadi, bukan karena membaca. Kenyataan ini berhubungan dengan lebih donminannya kebiasaan ngobrol daripada kebiasaan menulis dan membaca. Dalam salah satu fragmen kisah perjalanan Atma, diceritakan Atma menyeberangi sebuah jembatan oleng (titi ugal-agil). Dibawah jembatan oleng itu ada jurang menganga. Dari dasar jurang terdengar jeritan Atma yang terjatuh minta tolong.

Ratapan itu didengar oleh Atma yang sedang menyeberang. Makin ciut nyali Atma itu. Beberapa Atma nampak tertancap diruncing batu cadas yang seakan taringnya jurang. Beberapa lainnya tersangkut bergelantungan di ranting pohon pinggir jurang, dipatuk-patuk ular berbisa. Mereka adalah Atma yang gagal menyeberangkan dirinya. Karena berat membawa beban karma buruk selama hidup di dunia. Mereka terjatuh dan menjadi penghuni jurang. Disiksa bermacam binatang buas dan hawa dingin panas bergantian. Hanya karma baik menyebabkan Atma sukses melewati jembatan oleng itu. Atma yang berhasil, setelah melewati jembatan itu, konon akan menemukan jalan bercabang dua.

Cabang pertama berupa jalan bersih, aman, lestari, indah. Itu konon jalan menuju neraka. Sebaliknya cabang kedua, penuh duri, susah, penuh godaan, berbahaya. Konon itu jalan menuju surga. Diceritakan pada umumnya Atma bingung memilih jalan. Karena itu, keluarga yang masih hidup disarankan menasihati orang yang mati.

Di hadapan jenasah, yang hidup dilatih berpesan, agar Atma berani memilih jalan yang sulit Nasihatnya, jangan sekali-sekali tergoda oleh kemudahan sebuah jalan. Jalan yang mulus dan lancar-lancar saja sering menipu. Keluarga yang ditinggalkan ingin agar Atma orang yang mati langsung menuju surga. Karena surga sudah pasti lebih bagus daripada neraka Pengetahuan mereka tentang surga didapat dari bergaul dengan tradisi. Jadi, bukan pengalaman langsung. Karena sangat absurd, bila seseorang harus mati dulu hanya untuk tahu surga maupun neraka.

Tetapi di dalam dunia cerita, yang pasti berbeda dengan kenyataan, ada manusia super bisa jalan-jalan ke surga maupun neraka, tanpa harus mati terlebih dahulu. Contoh paling sering disebut-sebut, kisah perjalanan Dharmawangsa setelah istrinya (Drupadi) dan semua adiknya (Pandawa) mati. Setelah perang Bhatayuddha yang maha dahsyat, tinggal ia bersama seekor anjing. Bersama anjing setia itu ia naik ke surga barbadan manusia. Dalam pementasan wayang, tentu ia naik ke surga berbadan wayang. Ternyata adik dan istrinya tidak ada disana. Mereka sudah dimasukkan ke neraka karena kesalahan masing-masing. Ia pun lantas mengunjungi mereka ke neraka. Karena ia manusia suci, ke mana pergi kesucian mengikuti. Kesucian menjadi kekuatan menawan yang tinggi. Neraka kemudian ia ubah menjadi surga dan berhasil. Itulah salah satu contoh manusia yang bisa pergi ke surga ketika masih berbadan kasar.

Masih ada contoh manusia super masuk Surga tanpa mati terlebih dahulu, seperti dalam cerita rakyat Bali-Lombok, Cupak-Grantang. Bukan karena kesucian ia naik ke Surga, tetapi dengan menyatukan empat saudara mistis kelahirannya. Cerita ini banyak penggemarnya di luar "tembok istana".

Dahulu Tradisi dibedakan atas tradisi di dalam tembok istana dan tradisi di luar tembok istana. Bila Dharmawangsa datang dari negeri nun jauh di sana, Cupak datang dari dekat-dekat sini. Tampang mereka sangat bertolak belakang. Dharmawangsa berwajah Dewa. Cupak berwajah preman, rambutnya gondrong acak-acakan, tidak pernah disisir dan diminyaki. Matanya selalu marah karena sering mabuk. Cara berpakaiannya pun tidak umum. Keduanya mewakili kelompok dan paham tidak sama. Yang satunya elite yang satunya lagi jelata Yang satunya Shiwa, satunya lagi Bhairawa. Cerita Cupak memang tidak dikelompokkan dalam epos atau mitos, tetapi cerita rakyat.

Dalam dunia cerita, bukan hanya manusia super mengunjungi Surga. Raksasa pun diceritakan memasuki surga dengan masih mengenakan badan kasar. Pelukisan badan kasar raksasa memang sangat kasar. Perilakunya kasar. Bicaranya kasar. Makanannya pun yang kasar-kasar. Sangat bertolak belakang dengan para Dewa yang berbadan halus, berbahasa sopan, berperilaku adab, makanannya sari-sari, menghormati kaum lemah seperti bidadari, dan wanita surga. Bila Atma manusia datang untuk menjadi abdi di surga, raksasa datang untuk menggempur istana Dewa. Dalam banyak cerita, raksasa selalu bemafsu merebut kekuasaan dari tangan Dewa. Dewa yang tidak sudi mengotori tangan beliau dengan darah dan kekerasan, meminjam tangan manusia sakti yang beliau temukan di hutan pertapaan lewat utusan bidadari penggoda. Manusia pilihan Dewa pasti berhasil menyelamatkan surga. Karena tuntutan moral cerita. Raksasa harus kalah. Manusia harus berperang di jalan Dharma. Dan Dewa harus suci plus dihormati Tidak ada Dewa tidak suci. Manusia yang menolak berperang dihinakan dan dinistakan. Raksasa yang kalah perang dimatikan. Tetapi bagaimana cara raksasa datang ke Surga semasih berbadan kasar? Jawabannya tidak dapat diketahui dari dalam cerita. Mereka datang saja ke surga, seakan rumah mereka tidak jauh dari sana.

Surga dan neraka sekadar contoh dualisme yang paling sering disebut-sebut. Bila surga neraka tempat sesudah mati, lantas bumi tempat kita hidup sekarang ini apa? Tradisi menyebutnya “tempat dimana ada kematian”(mertyupada). Yang mematikan adalah Waktu (Kàla). Manusia lahir sebagai bayi di tempat di mana ada kematian. Itu masuk akal. Karena tiap yang lahir langsung terkena vonis mati oleh kehidupan. Hari dan tanggal eksekusi dirahasiakan. Karma baik adalah bekal yang akan menolong perjalanan Atma. Di sinilah agama menghadirkan dirinya sebagai pemandu hidup. Pada zaman seperti sekarang, agama tidak sendirian memandu hidup manusia. Muncul pemandu tandingan merebut kapling agama, seperti ideologi negara, ideologi pasar, dan sebagainya.Di banyak tempat, agama sebagai pemandu hidup telah ditinggalkan. Di lebih banyak tempat di dunia ini, agama sebagai pemandu makin dikukuhkan. Karena bumi di maknai tempat di mana ada kematian (mertyu pada), konsekwensinya pemandu (agama) pun pada saatnya nanti akan mati. Karena hanya di dunia di mana ada kematian ada kelahiran, maka konskwensinya akan muncul pemandu baru yang tidak harus agama. Lalu apa?

Karena kita akan mati, bumi ini tidak ubahnya sebuah titik persinggahan sementara. Sebuah titik yang sangat besar untuk mampu dijelajahi manusia seorang diri. Hidup seratus tahun akan terasa sangat membosankan bagi orang yang hanya mencari bekal hidup. Bagi yang mencari bekal mati, satu umur manusia konon terlalu pendek. Mungkin karena itu, pameo “aku ingin hidup seribu tahun lagi” lebih dikenal daripada puisi yang memuat kalimat itu. Bagi yang letih berkarma karena konteks sudah tidak mendukung, sering mengambil pilihan memaksa. Waktu mengakhiri pencariannya. Bunuh diri !

Dalam banyak cerita, bumi ditempatkan di bawah. Dewa atau bidadari yang pergi ke bumi secara sukarela maupun terpaksa, disebutkan turun ke bumi. Mereka berjalan melewati langit dan menerobos awan. Arjuna pun disebutkan kembali turun ke bumi, setelah menyelesaikan tugas menyelamatkan surga dari serangan raksasa, dan tentunya setelah usai menikmati limpahan anugerah sebagai pahlawan.

Penganut paham Samkhyadarsana, satu dari enam aliran filsafat Hindu, menempatkan bumi pada urutan paling bawah pada sistem tattwa yang mereka pakai memahami realita. Di atas bumi ada banyak realita yang tidak akan dibicarakan di sini. Bumi disebut realita paling bawah karena semua realita yang ada di atasnya. Dalam realita bumi inilah surga dan neraka diciptakan. Surga dan neraka adalah satu dari beberapa penemuan besar manusia bumi. Penemuan lebih besar adalah agama. Penemuan paling besar, sudah tentu. Tuhan.


AHAM BRAHMAN ASMI


(Aku Adalah Tuhan)
sebuah tulisan dari sudarma (shri_danudp@yahoo.co.id)


Selama ini kita sering berkata bahwa tuhan itu ada nun jauh disana, bagaimana anda memaknai slogan di atas yang menjadi topik pada tulisan ini?


Jawaban Sementara:

  1. Tingkat kesadaran seseorang akan hubungan dirinya dengan Tuhan tertuang dalam Filsafat Dwaita (dirinya berada terpisah dengan Tuhan) dan Adwaita (dirinya berada di dalam Tuhan). Selogan di atas yang berbunyi ’’Tuhan nun jauh di sana’’ menjelaskan bahwa seseorang itu baru menyadari bahwa Tuhan berada terpisah dengan dirinya (Dwaita). Sedangkan pernyataan bahwa ’’aku adalah Tuhan’’ menerangkan bahwa kesadaran orang tersebut sudah mencapai tingkat Filsafat Adwaita, namun berada di dalam Tuhan tidaklah cukup kita harus meningkatkan bhakti dan para bhakti agar dapat benar-benar menyatu dengan Tuhan.
  2. Slogan di atas mengandung makna bahwa Tuhan memiliki dua sifat yaitu transenden dan imanen. Tuhan berada jauh di sana adalah Tuhan yang transenden, bahwa kita sebagai manusia terpisah jauh dari Beliau.
  3. Dari slogan ini, saya sebagai insan ciptaan Tuhan ingin mengajak teman-teman untuk merenungi diri kita, tentang keberadaan kita di dunia ini. Mengapa saya katakan begitu, karena kita adalah bagian dari Tuhan, dimana Atman yang bersemayam dalam diri kita adalah bagian dari Tuhan itu sendiri. Seperti yang kita lihat dewasa ini banyak orang mencari Tuhan diluar dirinya, sehingga orang itu merasa jauh dan sangat jauh dari sang pencipta sehingga orang itu sendiri menjadi bingung dan cenderung untuk berbuat anarkis yang mengakibatkan kerugian baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kalau kita menyadari bahwa Tuhan sebenarnya tidak jauh dari kita, maka kita akan merenung, dengan banyak melakukan perenungan (puasa, meditasi, dll) maka sang Atman yang berada dalam diri kita akan membimbing kita kejalan kesadaran batin. Seperti ada kata slogan ”dirimu adalah ibarat sebuah pura”. Dari slogan ini kita dapat mengambil kesimpulan janganlah mencari kebenaran keluar, tetapi galilah potensi yang ada didalam dirimu, karena jika kamu sudah mengetahui potensi yang ada dalam dirimu maka kamu akan mencapai kesadaran dan ketenangan batin .
  4. Tuhan itu sebenarnya tidak jauh tetapi ada pada diri kita sehingga apa yang kita perbuat apa yang kita lakukan harus sesuai dengan ajaran darma sehingga manusia dapat selalu mawas diri dan merasa dekat dengan Tuhan karena kalau kita memikirkan Tuhan yang trasenden maka kita tidak akan tahu bentuk dan wujudnya.

Telah banyak kita dengar bahwa dalam setiap mahluk hidup yang ada didunia, memiliki esensi yang paling mendasar. Esensi yang dimaksud adalah setiap mahluk hidup ada yang menghidupi.

Siapa yang menghidupi semua itu? Dia adalah Tuhan yang Maha Esa.

Bila Ia menghidupi semua mahluk hidup berarti Ia ada dalam setiap mahluk hidup. Karena berada didalam mahluk hidup, bagaimana dengan manusia yang merupakan bagian dari mahluk hidup? ........ yang pasti didalam diri manusia juga ada Tuhan.

Bagaimana kita mengetahui bahwa beliau ada dalam diri kita ibarat kita bercermin didalam air. Kita akan bisa melihat dengan jelas bila air itu jernih. Untuk menjernihkan air itu perlu usaha yang keras dengan cara melatih diri untuk menarik indria-indria kita terfokus kedalam diri kita yang dimana disana Tuhan bersemayam dengan dialasi padma yang indah dan berkilauan.



Thursday, November 12, 2009

Apakah semua orang Kristen pergi ke Sorga?

Ditulis atas inspirasi dari kehidupan serta tulisan Stephen Knapp

Sebuah Pesan Agar umat Hindu tak Mudah Meninggalkan Agamanya



Kebanyakan orang Kristen merasa bahwa mereka pasti pergi ke sorga hanya karena mereka percaya bahwa Kristus mati untuk dosa mereka. Hal ini adalah salah satu prinsip-prinsip dasar Kekristenan, yang merupakan gagasan yang dicetus oleh Paulus.

Sebagai seorang keturunan Yahudi yang terlahir dan dibaptis sebagai seorang Kristen, Stephen Knapp dengan serius belajar Teologi Kekristenan selama 20 tahun dari hidupnya. Menurutnya, kebanyakan orang-Kristen berpikir, dan beberapa bahkan berkata, bahwa sekalipun mereka tidak bisa menghilangkan kebiasaan-kebiasaan mereka yang penuh dosa, yang harus mereka perbuat hanyalah percaya akan Yesus dan bahwa Yesus telah mati untuk dosa mereka, dan mereka akan diselamatkan. Hal ini sangat sederhana. Maka ketika mereka membandingkan Kekristenan dengan agama-agama yang lain, mereka akan mengatakan bahwa agama Kristen adalah yang paling mudah dari pada agama lainnya. Terutama sekali mereka melakukan hal ini ketika berkhotbah pada pemeluk Hindu atau Budha untuk mengkonversi mereka menjadi Kristen.

Namun, kepercayaan akan Yesus dan penyalibannya yang mendasari ajaran Kekristenan saat ini adalah suatu hal yang sangat kontroversial. Tidak semua Injil-Injil yang beredar ketika Perjanjian Baru itu dikompilasi dan menyetujui bahwa penyaliban adalah satu tindakan tobat. Demikian juga jika anda benar-benar belajar tentang ajaran pemikiran elementer Yesus yang salah satu diantaranya adalah tidak membunuh dalam 10 ajaran Yesus. Tentunya hal ini adalah hal yang lebih sulit dari pada sekedar parcaya pada Yesus dan tentang penebusan dosanya.

Yang pertama orang perlu menyadari bahwa Yesus adalah seorang Yahudi yang pesan-pesannya terutama untuk orang-orang Yahudi. Dalam Matius (10.5-6), Yesus mengatakan kepada dua belas muridnya untuk pergi berkhotbah, tetapi bukan kepada orang non-Yahudi (nonjews), maupun kepada orang Samaria, tetapi pergi ke domba yang hilang di rumah di Israel. Hal ini menunjukkan kepada siapa pesannya disampaikan.

Demikian juga pada Matius (15.22-24), seorang wanita memohon kepada Yesus dan meminta kemurahan hatinya karena putrinya diganggu oleh setan. Tetapi Yesus berkata tidak satupun baik dia dan muridnya, yang adalah Yahudi, memintanya untuk mengutusnya pergi karena dia menangis. Jadi jelas bahwa Yesus datang ke dunia hanya untuk domba yang hilang dari Israel. Misinya hanya untuk membantu orang-orang Yahudi. Hanya karena permohonan yang sangat dari seorang ibu, Yesus akhirnya menyembuhkan putri si ibu tersebut. Jadi ini juga menunjukkan bahwa minat utama Yesus ada Bangsa Yahudi.

Namun, Bangsa Yahudi sepenuhnya menolak Yesus. Mereka tidak menerima keilahian Yesus sebagai juru selamat. Dan ketika ia disalib oleh bangsa Roma, hal ini mengindikasikan bahwa Yesus bukanlah mesias yang digambarkan di dalam ramalan kitab-kitab suci Yahudi. Meskipun begitu, orang-orang non-Yahudi menerima doktrin Kekristenan dan sekarang percaya bahwa mereka akan diselamatkan oleh darah dari Kristus, yang merupakan konsep yang digagas oleh Paulus. Anda tidak akan menemukan ajaran ini sebelum Paulus menyisipkan pemikiran dan tulisannya sendiri ke dalam Kekristenan.

Apakah semua orang Kristen akan pergi ke sorga? Jika anda belajar dan memahami Perjanjian Baru, Yesus meninggalkan perintah spesifik yang harus diikuti sebagai pintu masuk ke sorga. Dalam Matius (10.37), Yesus berkata bahwa jika siapapun mencintai dirinya atau ayahnya, ibu, putra, atau putri lebih dari dirinya tidaklah pantas memilikinya. Dan dalam Matius (15.4), Tuhan memerintah agar seseorang harus menghormati ayah dan ibunya, dan ia yang menghinakan ayah atau ibunya harus mati. Jadi Anda harus menghormati orang tua anda, tetapi tidak lebih dari anda mengasihi Yesus atau anda tidak akan memperoleh sorga.

Yesus juga menjelaskan dalam Martius (12.36) bahwa setiap kata-kata bohong yang dikatakan manusia akan dihitung pada hari pengadilan nanti. Jadi anda juga harus menjaga mulut anda dari kebohongan dan gosip. Hal ini bukanlah hal yang mudah bagi sebagian besar orang. Kebanyakan orang yang mengaku Kristen yang saya kenal sama sekali tidak berusaha menahan kecenderungan ini. Lebih lanjut dalam Martius (16.23-28) Yesus menjelaskan bahwa setiap manusia harus mengekang dirinya dari keinginan atau kesenangan-kesenang an dan mengangkat salib dan mengikutinya jika dia benar-benar berkeinginan mencari kerajaan Tuhan. Hal ini tentu saja menunjukkan tidak saja keyakinan/keimanan yang harus dimiliki oleh orang Kristen, tetapi berapa banyak dia dapat mengekang dirinya dari nafsu dan keinginan dan mengangkat salib!

Dalam Matius (18.34-35), Yesus berkata bahwa Tuhan akan menghukum anda jika anda tidak mengampuni kesalahan setiap orang terhadap anda. Dan kembali pada Matius (25.35-46) kita menemukan bahwa diharapkan seorang Kristen yang baik harus memberi makan dan pakaian pada yang miskin, dan menerima tunawisma, meskipun mereka adalah orang asing, untuk sejumlah yang anda lakukan bagi mereka, anda juga melakukannya untuk Yesus. Dan jika anda mengabaikan seseorang, hal ini juga berarti anda mengabaikan Yesus, dan anda akan memperoleh hukuman kekal.

Sekarang kita dapat melihat bahwa persyaratan untuk bisa mencapai sorga tidaklah semudah yang dikira. Tetapi tunggu dulu, dalam Matius (19.20-30) dikatakan bahwa seorang manusia datang kepada Yesus dan ingin menjadi pengikutnya, tetapi Yesus berkata kepadanya agar pertama-tama menjual segala hal yang ia miliki dan memberikan uangnya kepada yang miskin. Namun, orang itu tidak bisa berbuat demikian dan dengan segera pergi. Yesus menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa lebih sulit bagi orang kaya untuk dapat masuk sorga; adalah lebih mudah bagi seekor unta untuk melewati lubang jarum. Lalu muridnya menjadi kagum dan bertanya, dalam kasus ini, siapakah yang dapat diselamatkan? Yesus menjawab bahwa segala sesuatu mungkin bagi Tuhan, tetapi mereka yang sudah meninggalkan rumah, ayah, ibu, istri, anak-anak, atau harta miliknya, tekun dalam memuji nama-Nya akan mencapai kehidupan kekal. Sehingga kesimpulannya adalah jika anda tidak bisa mengubah pola pikir, pandangan dan tingkah laku anda, maka meski anda mengaku Kristen, anda tidak akan mencapai sorga atau kehidupan kekal di sisi Tuhan.

Demikian juga dalam Lukas (6.20, 24-30), Yesus berkata diberkatilah yang miskin, karena mereka akan mencapai Kerajaan Tuhan, dan celakalah yang kaya, celakalah mereka yang berlebihan karena mereka akan lapar, dan celakalah mereka yang tertawa sekarang karena mereka akan berdukacita. Anda harus mengasihi dan berbuat baik pada musuh-musuh anda dan mereka yang benci anda, berikan pipi kanan jika mereka menampar pipi kiri anda, jangan melarang siapapun untuk mengambil mantel anda, dan jangan meminta kebaikan anda akan dikembalikan oleh orang yang pernah anda tolong/beri. (Hal ini merupakan perbedaan yang sangat besar dibandingkan dengan tindakan kaum misionaris yang dengan semangat gospel-nya telah membunuh atau menyiksa siapa saja yang menolak untuk menjadi Kristen.)

Dalam Lukas (9.61-62), terdapat kisah tentang seorang laki-laki yang datang pada Yesus dan meminta untuk mengikutinya, hanya untuk mengucapkan selamat tinggal pada keluarganya. Tetapi Yesus menolaknya dan berkata bahwa tidak ada manusia, yang menaruh kepalanya pada bajak dan melihat ke belakang yang sesuai untuk Kerajaan Tuhan. Dan dalam Lukas (9.59-60), Yesus menyuruh seseorang untuk mengikutinya, tetapi orang itu meminta Yesus agar pertama-tama mengizinkan dia menguburkan jasad ayahnya. Namun, Yesus berkata biarlah orang mati menguburkan kematiannya sendiri, dan pergi berkhotbah tentang Kerajaan Allah. Dalam Matius (5.21-22), Yesus menjelaskan bahwa jika seseorang membunuh orang lain maka ia pasti berada dalam bahaya penghakiman. Tetapi lebih lanjut dia menjelaskan bahwa menjadi marah pada orang lain tanpa sebab jelas juga akan berada dalam bahaya penghakiman. Dan dalam (Matius 5.20) terkecuali jika kebenaranmu sendiri melebihi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, anda sama sekali tidak dapat masuk kedalam Kerajaan Tuhan.

Dengan demikian jelaslah bahwa tidaklah cukup mengatakan bahwa dengan dibabtis dan menyatakan diri sebagai Kristiani dan mempercayai Yesus sebagai Tuhan yang kematiannya di kayu salib sudah pasti akan membawa anda mencapai Surga. Masih terdapat hukum sebab akibat dan aturan-aturan lain yang diajarkan Yesus yang harus dilaksanakan.

Apa yang akan terjadi pada mereka yang tidak dapat mengikuti aturan standar Yesus sebagaimana yang dituliskan dalam Al-Kitab setelah mereka meninggal? Dalam Matius (13.41-42), Yesus berkata bahwa Tuhan akan mengutus para malaikatnya yang akan berkumpul ke luar segala sesuatu dan menyerang orang-orang yang kejahatan/kebengisa n dan memasukkan mereka ke dalam suatu tungku perapian yang akan menjadi ratapan luar biasa dan mengertakkan gigi.

Jika semua aturan Yesus ini harus diikuti dengan sempurna, beserta dengan semua perintahnya agar semua orang Kristen mencapai surga, tungku perapian yang panas dan membara itu mungkin haruslah lebih besar. Tapi Tuhan seperti apakah yang tega membiarkan mahluknya mendrita selamanya di neraka karena kesalahan singkatnya di dunia? Apa lagi dalam teologi Kristen kehidupan hanya dikatakan sekali, dalam kehidupan satu kali ini seseorang harus sempurna untuk mencapai sorga, atau akan disiksa selamanya di neraka. Apa nilai dari hukuman ini sementara sang jiwa tidak pernah mendapat kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya walaupun untuk kesempatan yang kedua kalinya? Kenapa Tuhan menciptakan mahluk hidup yang memang cenderung berbuat salah dan mengirim mereka ke neraka abadi jika tidak mengikuti aturan-aturannya, terutama dalam Al-Kitab dengan tepat? Apakah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan mengancam dan memeberikan teror terhadap mahluknya dengan Neraka abadi? Karena itu konsep Ketuhanan semacam ini perlu dipertanyakan karena hukuman yang diberikan tidak memberikan kesempatan untuk rehabilitasi, tetapi didasarkan oleh sikap kemarahan dan balas dendam. Kenapa Tuhan bisa seperti ini jika memang beliau adalah Yang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang? Kenapa Tuhan menghabiskan waktunya hanya untuk memunculkan tirani kemarahan dan balas dendam? Tentunya Beliau memiliki hal yang lebih baik daripada menyebar teror kemarahan dan tirani. Dan ketika kita lihat dalam konsepsi Veda, Tuhan dengan sifat-sifat- Nya sebagaimana digambarkan dalam kitab-kitab Purana, kita akan menemukan sangat banyak perbedaan dari apa yang diuraikan dalam kitab-kitab Abrahamik dan dengan sifat-sifat- Nya yang sangat mulia sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh yang maha mutlak.

Konsep Ketuhanan dalam Kristen adalah bahawa kita harus takut pada Tuhan. Hal ini ditunjukkan dalam kitab Keluaran (20.5) yang menyatakan Tuhan berkata bahwa Dia adalah Tuhan yang pencemburu. Hanya saja pada kenyataannya seseorang akan memperlihatkan kecemburuannya atau marah jika ia takut kalah, merasa lemah, sedang bersaing dengan orang lain atau tidak mendapatkan sebagaimana yang ia inginkan. Jadi kenapa Tuhan yang merupakan pencipta, penguasa dan pengatur segala sesuatu bisa menjadi pencemburu? Sifat-sifat pencemburu, kegelisahan, rasa tidak aman, marah atau sikap balas dendam adalah sikap yang bisa ditemukan pada kebodohan dan nafsu. Hal seperti ini seharusnya tidak menjamah Tuhan yang maha segalanya.

Dalam Bhagavad-gita (9.18), Sri Krishna berkata bahwa Dia adalah pencipta, dasar dari segala sesuatu, pendukung, tujuan, tempat perlindungan, tuan, dan juga sahabat. Hal ini menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan. Secara alamiah, Dia harus dapat sebagai seorang kawan yang terhormat karena kita merupakan bagian dari energi spiritual-Nya.

Hal yang membuat seakan-akan terdapat kekuatan yang menentang Tuhan, sebagaimana setan yang dilukiskan dalam ajaran agama-agama Abrahamik hanyalah karena ketidaktahuan akan pengetahuan rohani yang sejati. Bagaimana Tuhan yang maha mutlak tidak mampu mengalahkan setan yang merupakan ciptaannya? Kenapa Tuhan sampai hati menguji ciptaannya dan menjebloskan mereka yang tidak kuat godaan ke neraka abadi selamanya? Kenapa Tuhan sibuk akan hal konyol seperti itu? Tidakkah Tuhan Maha Penyayang? Kalau ya, seharusnya Tuhan tidak menciptakan setan yang selalu mengoda manusia menjadi jahat, sehingga dengan demikian semua manusia menjadi baik dan bahagia dalam surga abadi. Kekonyolah dan Kesalahpahaman konsepsi seperti inilah yang harus diluruskan. Tuhan tidak memiliki musuh, beliau menyayangi semua mahluk ciptaannya dan menurunkan kitab suci kepada kita sebagai panduan akan siapa diri kita yang sejati, dimana kebahagiaan yang abadi dan kemana hidup ini harus di arahkan! Veda sendiri melalui jalan bhakti menuntuk kita untuk mengembangkan sikap cinta kasih dan bhakti kepada Tuhan. Anda tidak akan dapat menyayangi dan mencintai Tuhan jika anda takut dengan-Nya, ketakutan dan kasih sayang adalah suatu hal yang bertentangan. Oleh karena itu seseorang yang secara rohani menyayangi dan mencintai Tuhan, tidak akan pernah bisa menerima bahwa Tuhan sebagai sosok yang pemarah, pencemburu dan pendendam sebagaimana yang diuraikan dalam Alkitab maupun ajaran agama-agama Abrahamik lainnya.

Kenapa Tuhan marah dan cemburu pada kita jika memang benar Tuhan telah menciptakan hukum alam yang mengatur segala tingkah laku dan konsekuensi tindakan kita?

Semua mahluk hidup sejatinya adalah Atman/Jiwa yang merupakan bagian dari Tuhan dan diberikan kebebasan untuk merasakan kehidupan di alam material atau tetap di alam rohani. Tuhan sendiri melalui kitab suci sudah menjelaskan bagaiaman keadaan alam material ini, hanya saja sifat Jiwa yang pengen tahu menuntunnya untuk mencoba mengaruhi dunia material. Berkat kasih sayang dan keadilan-Nya, Tuhan memberikan sang jiwa fasilitas kehidupan dan dengan jenis kehidupan yang diinginkannya. Ada yang memilih badan manusia, ada yang memilih badan tumbuhan, binatang bahkan bakteri. Kenapa Jiwa tidak memilih badan manusia/dewa yang posisinya baik? Nah, kita tidak bisa mengatakan mana yang baik dan buruk disini, semuanya tergantung dari mindset anda. Karena anda manusia dan pernah membaca kitab suci, maka anda mungkin mengatakan bahwa manusialah yang paling baik, mungkin malaikat/dewa di sana akan berpikir bahwa merekalah yang paling baik, demikian juga dengan elien atau mahluk hidup lainnya akan berpikir kalau merekalah yang paling unggul. Untuk menjamin keharmonisan 8.400.000 jenis kehidupan di alam material ini, Tuhan telah menetapkan hukum alam yang memberikan punishment atau reward secara adil dan atas cinta kasihnya selalu memberikan kesempatan rehabilitasi untuk setiap kesalahan ciptaannya lewat proses reinkarnasi.


Wednesday, November 4, 2009

PENCIPTAAN JAGAT RAYA MENURUT HINDU DAN RESPON TERHADAP TEORI-TEORI ILMIAH BARU

Agak Panjang, siapkan waktu untuk membaca...


“In the beginning, there was but the Absolute Self alone.

Nothing else was. Brahman willed,

Let me create the world”



Aitareya Upaniṣad I.1.1.

Pendahuluan

Teori tentang penciptaan jagat raya bersumber kepada kitab suci Veda dan susastra Hindu. Kitab suci Veda merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari kitab Ṛgveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda. Masing-masing kitab itu disebut Samhita dan keempatnya disebut Catur Veda Samhita. Masing-masing Samhita tersebut memiliki kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upaniṣad yang jumlahnya cukup banyak. Seluruh kitab-kitab tersebut digolongkan ke dalam kitab-kitab Sruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab-kitab Upaniṣad juga disebut kitab-kitab Vedānta atau bagian akhir yang merupakan semacam kesimpulan atau intisari Veda.

Di samping sumber utama tersebut di atas, sumber lainnya adalah kitab-kitab yang digolongkan ke dalam kitab-kitab susastra Hindu, yaitu kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata, juga kitab-kitab Purāṇa yang jumlahnya sebanyak 18 buah. Kitab-kitab tersebut menguraikan tentang penciptaan alam semesta, makhluk hidup di dalamnya dan bagaimana proses penciptaan tersebut terjadi. Khusus kitab-kitab Purāṇa, sampradaya atau kelompok keagamaan Hindu Vaiṣṇava memasukkannya ke dalam kitab Veda atau sruti, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan meyakini mahārṣi Vyasa sebagai penyusun kitab-kitab tersebut juga sebagai avatara-Nya (Penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa).


Penciptaan menurut kitab suci Veda

Di dalam kitab suci Veda terdapat dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta. Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazūkta (Terjadinya Alam Semesta)(Ṛgveda X.129.1-7) tersebut.

‘Pada waktu itu, tidak ada mahluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya (1)’

‘Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’

‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’

‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Ṛṣi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi (4)’

‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’

‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’

‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’


Dari terjemahan mantram Ṛgveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta ini. Sūkta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sūkta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material. Sūkta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. Sūkta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para Ṛṣi yang bermeditasi kepada-Nya (Sūkta 4). Sūkta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. Sūkta keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta.

Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasūkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Ṛṣi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian. V. Madhusudan Reddy (1991:186) menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dengan kekuatan-Nya yang sangat unik dengan pemusatan pikiran, mewujudkan kekuatan anima (salah satu kekuasaan-Nya menjadikan diri-Nya sangat halus tidak tertangkap oleh indra penglihatan) menciptakan dunia dan alam semesta yang tidak abadi dan berbagai keserbaragaman. Tuhan Yang Maha Esa mengejawantah dalam berbagai hal, dan juga menjadi dasar yang mengatur semua, menyatukan dan mengharmonisasikannya, seperti dinyatakan dalam terjemahan mantra Ṛgveda V.81.2 berikut:



‘Tuhan Maha Pencipta, Yang memancarkan cahaya-Nya dalam berbagai wujud, dan yang selalu menganugrahkan kebajikan kepada semua ciptaan-Nya. Yang Maha Bercahaya menerangi jagat raya, sorga, dan selalu bercahaya di luar Fajar’.



Tuhan Yang Maha Esa yang memancarkan cahaya gemerlapan, menyinari segalanya dan memberikan kesadaran kepada alam semesta. Ia adalah api kedevataan, maha mengetahui dan merupakan nafas hidup dari jagat raya, yang tanpa batas, yang kekuatan tapa-Nya tiada habisnya, bagaikan mentega dan nektar keabadian. Lebih jauh di dalam Ṛgveda III.26.7 dinyatakan bahwa:



Segala sesuatunya merupakan ekspṚṣi pancaran Cahaya dari segala cahaya. Ia yang muncul dari keadaan Gelap (Malam Brahma). Ia yang sangat mengagumkan, Ia yang membentang sangat jauh dan mengejawantahkan diri-Nya.



Di dalam Ṛgveda I.113.1 dinyatakan bahwa alam semesta sebagai Wujud Yang Agung (Supreme Form). Hal tersebut merujuk kepada tiga kondisi Yang Maha Suci, yaitu status caratham, jagatas tasthusas dan amritam martyam, yakni yang tidak bergerak dan kekal abadi dan yang berubah-ubah, yang tidak terbatas dan yang terbatas, dan yang hidup abadi dan yang fana (Reddy, 1991:188).

Demikian pula dinyatakan bahwa kekuatan aktif yang bersinar terang benderang merupakan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, bermanifestasi melalui hukum-Nya yang abadi, tercipta bersama dengan kausa material alam semesta, dari sana malam (sesudah alam tercipta berlangsung) diciptakan. Dari sana pula samudra atmosfir yang mengandung prinsip-prinsip kosmik menjadi terwujud (Ṛgveda X.190.1).

Berdasarkan uraian singkat di atas dapat dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa melalui kekuatan tapas, memancarkan energi (cahaya) dari kegelapan yang pekat dan kosong, kemudian atas kehendak-Nya berlangsung proses penciptaan yang berasal dari energi atau cahaya-Nya yang maha dahsyat tersebut.

Tentang penciptaan alam semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruṣasūkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa) (Ṛgveda X.90.1-16) yang terjemahannya dikutipkan sebagai berikut:



‘Puruṣa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’



‘Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’



‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’



‘Tiga perempat dari Puruṣa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.



‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Virāj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’



‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruṣa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’



‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruṣa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Ṛṣi mempersembahkan kurban (7)’



‘Dari korban Puruṣa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’



‘Dari korban Puruṣa yang dipersembahkan, Ric (Ṛgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’



‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.



‘Ketika mereka menjadikan Puruṣa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’



‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’



‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.



‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.



‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruṣa sebagai kurban (15)’



‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’



Puruṣasūkta adalah sebuah Sūkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sūkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahārṣi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahārṣi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).

Puruṣa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruṣa. Dari Puruṣa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).

Menurut Puruṣasūkta di atas, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia. Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula. Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.

Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.121.1 berikut:



Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.



Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).

Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.





Penciptaan menurut kitab-kitab Upaniṣad (Vedānta)

Seperti disebutkan di atas, kitab-kitab Upaniṣad juga disebut sebagai sruti (wahyu Tuhan Yang Maha Esa). Kitab-kitab Upaniṣad juga disebut kitab-kitab Uttara Mimaýúa atau Vedānta yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat yang artinya akhir dari Veda (vedasya antah), kesimpulan maupun tujuan Veda (Radha- krishnan, 1990:24). Di dalam kitab-kitab Upaniṣad, kata yang dipergunakan untuk mengartikan Yang Nyata Maha Tinggi, Ma Pencipta adalah Brahman. Kata ini berasal dari akar kata brh yang berarti berkembang, timbul atau muncul ke mana-mana. Kata turunannya berarti meluap ke luar, berbuih ke luar, perkembangan yang tidak habis-habisnya, brihattvam. Menurut Sankara, Brahman berasal dari akar kata brihati, melampaui, atisayana, kebadian, murni. Menurut Madhva, Brahman adalah oknum yang seluruh sifatnya ada dalam kesempurnaan, brihanto hy asmin gunah. Yang nyata bukanlah suatu abstraksi yang redup, melainkan sangatlah hidup dan dengan vitalitas yang kuat (Radhakrishan, 1990:52).

Di dalam Brihadaranyaka Upaniṣad (II.1.1-20) dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta semua makhluk. Itulah sesungguhnya yang harus dimengerti. Brahman adalah Satyasya Satyam. Yang Nyata dari Yang Nyata, sumber dari semua benda-benda yang ada. Di dalam Katha Upaniṣad (II.50) dinyatakan bahwa api setelah memasuki alam semesta mengambil semua bentuk. Di dalam Chandogya Upaniṣad (VI.8.4) dinyatakan bahwa api yang muncul pertama dari Makhluk Pertama, dan dari api muncullah air, dari air muncullah tanah. Pada saat peleburan kembali, tanah dilebur pada air, air pada api, dan api pada Makhluk Pertama.

Mandukya Upaniṣad menyatakan bahwa Brahman adalah catus-pat, berkaki empat atau memiliki empat azas, yaitu: Brahman (Impersonal), Isvara (Personal), Hiranyagarbha (bibit seperti telur berwarna keemasan yang melahirkan Brahmanda-Brahmanda, telor-telor Brahman atau planet-planet di alam raya) dan Viraj (energi yang bercahaya). Radhakrishnan (1990:65) menyatakan adanya empat macam status dari Yang Nyata Abadi, yaitu (1) Brahman Yang Mutlak, (2) Isvara, yakni Jiwa yang berkemampuan (Creative Spirit), (3) Hiranyagarbha (Jiwa alam semesta), dan (4) Alam Semesta.

Dalam perkembangan selanjutnya ketika kitab-kitab Upaniṣad dirumuskan menjadi sebuah sistem filsafat yang dikenal dengan nama Vedānta, maka muncullah kitab Vedāntasara atau Vedāntasutra yang disusun oleh mahārṣi Vyasa. Kitab ini diduga sudah ada sebelum 5.000 tahun yang lalu. Sekitar 5.000 tahun yang lalu muncul kitab Srimadbhagavatam atau Bhagavata Purāṇa yang memberi ulasan terhadap Vedāntasutra. Setelah itu kitab ini dijelaskan oleh beberapa acarya atau guru-guru suci. Ulasan Sankaracarya (sekitar abad delapan Masehi), merupakan ulasan dari perguruan impersonal dan monistik (advaita). Ulasan Ramanujacarya (sekitar abad sebelas Masehi) dari perguruan keesaan khusus (vasistadvaita).Ulasan Nimbarkacarya (sekitar abad dua belas sampai empat belas Masehi) adalah ulasan keesaan dan dualisme (dvaitadvaita) dan ulasan Madhvacarya (abad tiga belas Masehi) adalah perguruan dualisme (Bhaktisvarupa, 2003:4).

Menurut Bhaktisvarupa Damodara Svami (2003:35) Vedānta merupakan bentuk risalat ilmiah dan keagamaan yang paling maju dari warisan kultural dan spiritual India. Makna dasar dari kata Vedānta adalah pengetahuan kebenaran yang tertinggi. Vedānta tidak hanya merujuk kepada Vedāntasutra melainkan juga kepada semua pustaka Veda, yang menjelaskan kesimpulan-kesimpulan dari Veda, khususnya Bhagavadgìtā, Srimadbhagavatam, kitab-kitab Upaniṣad, dan lain sebagainya.

Di dalam sutra (aforisme) 1.1.2 dari Vedāntasutra dinyatakan: janmadyasya yatah, yang terjemahannya adalah: Brahman, Kebenaran Mutlak atau Tuhan Yang Maha Esa adalah yang dari Siapa penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan alam semesta ini berasal. Secara singkat dapat dinyatakan Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.

Perwujudan alam semesta ini sebagai energi material dipisahkan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui Kala, waktu yang merupakan segi impersonal Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber asli dan sebab dari segala sesuatu sarva karana karanam. Dalam Bhagavadgìtā (X.8), Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krisna memberi tahu Arjuna, teman dan penyembah-Nya, “Akulah sumber dari semua dunia spiritual dan material. Segala sesuatu memancar dari-Ku (Bhaktisvarupa, 2003:52).





Penciptaan menurut kitab-kitab Purāṇa

Isi pokok kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada setiap masa), (4) Vamsa (cerita dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Ṛṣi-Ṛṣi dan raja yang akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya pada sarga dan pratisarga sebagai berikut.

1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus)

Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara) dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat), selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga udaritah). Di kitab-kitab Purāṇa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak termanifestasikan, avyakrita, yakni unsur materi yang pertama atau Prakriti), dari tiga lapis Ahamkara (keakuan dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara) dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas) organ indriya (Panca Budhiriya, Karmendriya dan pikiran) dan obyek-obyek indriya. Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan (2) Laukika (keduniawian). Penciptaan kedevataan merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata, saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha, mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia. Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan). Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Purāṇa menggambarkan jalan pengetahuan (Jnana Marga)(Tagare, Vol. Part 5, 1989: XXIV).

Di dalam kitab Bhagavata Purāṇa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlaut pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devata yang bersemayam pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit).

Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Purāṇa (17.1-16), sebagai berikut:

Agni bersabda:

Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam Samkhya disebut Brahma). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).

1) Brahma, yang tidak menampakan diri, sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam Prakriti (unsur materi) dan ke dalam Puruṣa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya (2).

2) Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat). Kemudian terwujudlah ego (ahamkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan (3).

3) Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara). Kemudian angin (vayu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rupa) menjadi ada dari padanya (4).

4) Air (apah) sebagai unsur dasar rasa (rāsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (prithivi) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indriya (menjadi ada) yang nampak berkilauan (5).

5) Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup (6).

6) Sang Hyang Brahma menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan (disebut) sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi (7).

7) Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan (8).

8) Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup (di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).

9) Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ṛgveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).

10) Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).

11) Kemudian Ia menciptakan para Ṛṣi Marici, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).

12) Oh, Yang Mulia! Para Ṛṣi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).

Pada bagian lain, kitab Agni Purāṇa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:

1) Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahma. Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca mahabhuta (1).

2) Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindriyasarga). Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).

3) Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain (3).

4) Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvaksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).

5) Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).

6) Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyāti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinì. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).

Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Purāṇa, yang dapat diringkas (direkapitulasi), sebagai berikut.

1) Ciptaan pertama

(1). Mahat (ciptaan kesadaran yang tinggi)

(2). Tanmatra (ciptaan disini disebut juga Bhutasarga)

(3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)

Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai

awal ciptaan.

1) Penciptaan yang kedua

(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)

(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)

(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).

(7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)

(8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)

Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).

2) Penciptaan (setelah) kedua (?)

(9). Kaumarasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu, Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).

G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Purāṇa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Purāṇa ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedānta, (2). Teori Purāṇa dan (3). Teori Samkhya. Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:

1) Teori Samkhya-Vedānta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Mahabhuta dan Pañca Tanmatra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña. Kitab-kitab Purāṇa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Samkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/ I.1.4,16). Teori sintese Samkhya-Vedānta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Purāṇa, antara lain: Agni Purāṇa XVII.2-26, Brahmanda Purāṇa I.1.3.6, dan Kurma Purāṇa I.2.3.

2) Teori Purāṇa. Ksetrajña disebut Brahma yang bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma. Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).

3) Teori Samkhya. Teori Vedānta, Samkhya dan Purāṇa dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas), Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu (dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.

Dari kutipan di atas, maka jelaslah bagi kita teori evolusi yang tercantum dalam kitab-kitab Purāṇa rupanya merupakan perpaduan antara teori penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda (Brahmana dan Upaniṣad/Vedānta) dan sistem filsafat Hindu Samkhya.

2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta)

Penciptaan alam semesta tidaklah sebuah kenyataan yang permanen (kekal), semua ciptaan akan berakkhir pada masa penghancuran yang selanjutnya berulang pada masa penciptaan kembali. Demikianlah, dalam kitab-kitab Purāṇa diuraikan beberapa macam penghancuran besar dan kecil (Shastri, Vol.3, Part I, 1990:XXI).Di dalam kitab-kitab Purāṇa dinyatakan sebuah penghancuran total terjadi pada setiap hari Brahma yang lamanya sama dengan satu Kalpa, satu periode yang lamanya 432 juta tahun manusia. Satu Kalpa terdiri dari 14 Manvantara. Jadi satu hari Brahma sama dengan satu Kalpa terdiri dari 14 kali penghancuran. Tetapi penghancuran tersebut tidak merupakan penghancuran total, melainkan parsial. Pada akhir Manvantara (akhir Manvantara yang ke-14), sama dengan sehari Brahma dan hal itu merupakan satu Kalpa, yang sama dengan sebuah penghancuran yang besar. Hal itu juga merupakan sebuah penghancuran yang lengkap ketika Brahma mengakhiri kehidupan-Nya. Sebelum penghancuran ini (Prakritaprakaya), mahluk hidup dan benda-benda yang bergerak dan yang tidak bergerak, para devata, Asura, ular-ular, raksasa, dan lain-lain semuanya hancur lebur. Segala sesuatunya itu lenyap danm kembali kepada Prakriti yang masuk dan tersembunyi ke dalam devata tertinggi Sang Hyang Siva. Sang Hyang Siva sendiri yang bertahan, tidak ada mahluk apapun di mana-mana (Linga Purāṇa I.85.7-8).

Ketika awal penciptaan kembali setelah masa penghancuran, Sang Hyang Siva tampil dalam 2 wujud, yaitu berupa Prakriti dan Atman. Sang Hyang Visnu mengambil wujud sebagai Prakriti dan terletang dalam sikap seorang yogi (yoganidra) di tengah-tengah air. Selanjutnya Brahma lahir dari sebuah bunga padma yang muncul dari pusar Sang Hyang Visnu. Brahma meminta Sang Hyang Siva untuk memberikan kekuatan untuk menciptakan kembali alam semesta bersama seluruh isinya (Ibid., I.85. 10-11)

Kitab Kurma Purāṇa menyebut Pratisarga dengan Pratisañcara dan menguraikan dua versi yang berbeda, satu menunjukkan pengaruh Vaiṣṇava dan yang lain menunjukkan pengaruh Saiva. Terdapat 4 macam penghancuran (laya), yakni: Nitya, Naimittika, Prakrita dan Atyanta. Nitya adalah ketidak munculannya sehari-hari dari bumi ini dalam kegelapan dan Atyantika adalah persatuan tertinggi dan terakhir dari setiap roh individu ke-dalam alam Visnu melalui pengetahuan spiritual. Dalam tiap Pralaya ini, roh individu tidak kembali lagi menjelma dari alam baka. Naimittika Pralaya mengambil tempat pada akhir setiap Kalpa. Pada saat itu, terjadi kekeringan yang mengerikan selama ratusan tahun dan semua samudra menguap yang menjadikan panas matahari sangat kejam. Api kehancuran meledak dan membakar habis segalanya dan Sang Hyang Visnu (Prajapati) dalam wujud sebagai seorang Yogi dalam posisi tidur (Yoganidra) untuk satu Kalpa lamanya. Terdapat beberapa jenis Kalpa (Kurma II.45). Prakrita Pralaya datang setelah dua tahun parardha. Sang Hyang Mahadeva berwujud api yang memusnahkan dan membakar seluruh jagat raya termasuk para devata Brahma, Visnu dan Siva (tiga devata ini lebih rendah tingkatannya dibanding dengan Tuhan Yang Maha Agung). Menggunakan hiasan karangan bunga dari tengkorak manusia, Mahadeva menunjukkan tarian Tandava. Devi (pasangannya) masuk ke dalam tubuh Sang Hyang Mahadeva dan proses penarikan kembali semua unsur Pañca Mahabhuta berlangsung, unsur Prithivi (tanah) bersama dengan Guna (seperti bau) menyatu ke dalam unsur air dan seterusnya, sampai segala sesuatunya lebur dan bersatu ke dalam Mahat, yang akhirnya kembali ke dalam diri Sang Hyang Mahadeva. Pradhana dan Puruṣa kembali terpisah, saat itu terjadi keseimbangan unsur Tri Guna dari Prakriti (Kurma I.5.19, II.45. dan 46, 1-25).

Proses peleburan dan penciptaan kembali dapat pula kita jumpai dalam Visnu (I.7.41-43; VI.3.2) dan Brahmanda Purāṇa (II.4.132-190, II.4.3.1-24; II.4.1.1311). Berikut kami kutipkan penjelasan tentang proses peleburan dan penciptaan kembali menurut kitab Brahmanda Purāṇa.

(1) Nitya Pralaya (yang biasa) yakni segala sesuatu yang terjadi setiap hari seperti hidup dan matinya semua mahluk.

(2) Naimitika Pralaya (secara periodik), mengambil bagian pada akhir sebuah Kalpa, yakni pada akhir satu set ribuan (Catur) Yuga. Sang Hyang Brahma memulai menarik semua unsur alam semesta ke dalam diri-Nya. Terjadi kekeringan yang berkelanjutan ratusan tahun lamanya, matahari dengan 7 pancaran sinarnya membakar segala sesuatu dan semua samudra menguap. Api Samvartaka membakar Catur Loka (Bhur, Bhuvah, Svah dan Mahat). Selanjutnya mendung Samvartaka menebarkan hujan yang sangat deras dan s egala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak hancur lebur menjadi satu dalam bentuk samudra luas membentang dan Sang Hyang Brahma berwujud ribuan mata, ribuan kepala menyatu padu dan tertidur nyanyak untuk seribu set Catur Yuga (siang dan malamnya Brahma) (II.4.132-190). Pada akhir malamnya Brahma, Ia bangkit kembali dan kembali mencipta. Siang dan malam Brahma, yang merupakan satu hari Brahma disebut Visesakalpa (Ibid. 190-210).

(3) Prakritika Pralaya terjadi pada saat berakhirnya periode Brahma. Ketika itu berlangsung Pratyahara (tertariknya seluruh alam semesta) dalam waktu yang singkat, Bhuta (unsur materi yang kasar dan halus) langsung lenyap, evolusi Prakriti mulai dengan Mahat dan berakhir dengan Visesa hancur lebur. Air menelan sifat tertentu seperti bau di bumi, api di dalam air meluap sampai ke Akasa, yang kemudian bersatu ke dalam Bhutadi. Dalam hal ini, evolusi Prakriti menelan semua yang lebih rendah, sampai Mahat menyatu ke dalam Gunasamya (keseimbangan Guna). Hanya Atman yang tersisa. Proses leburnya kembali prinsip dasar (Tattvasamya) berulang-ulang kembali (Bhagavata II.4.3.1-24).

(4) Atyantika Pralaya bila seseorang mampu membebaskan dirinya melalui pengetahuan spiritual. Ia tidak mengambil wujud apapun, seperti halnya kecambah (tidak pernah muncul ke luar) ketika benih terbakar (Ibid.80-84). Hal ini disebut penghancuran jalan spiritual (II.4.1.131)(Tagare, Vol. 22. Part I, XXXV).

Berdasarkan uraian tersebut, proses Pralaya dalam kitab-kitab Purāṇa pada prinsipnya sama, dalam beberapa hal terjadi perbedaan namun hal tersebut tidaklah demikian penting dan teori tersebut sangat dekat dengan ajaran filsafat Samkhya dan Vedānta. Lebih jauh tentang penciptaan alam semesta, Sri Sathya Sai Avatar (2001:30) menyatakan: “There was no one to know who I am...... Till I created this world at my pleasure..... With one word....”. Dari Omkara muncullah unsur-unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu yang pertama adalang ether. Dari ether muncul udara, dari udara muncul api, dari api muncul air, dari air terciptalah bumi. Dari pusat Omkara munculah Kebenaran dan seluruh jagat raya ada dalam Keagungan dan Kemuliann-Nya. Dari samudra universal mucul Waktu (Kala) yang menguasai setiap saat. Yang mengatur siang dan malam. Selanjutnya, seperti sebelumnya. Tuhan Maha Pencipta menciptakan matahari, bulan dan sorga, dan bumi. Di bumi segera saju muncul gunung-gunung, segera juga muncul sungai-sungai yang mengalirklan airnya. Bumi posisinya di bawah dan angkasa di atas. Terciptalah samudra-samudra dan lautan-lautan, tanah dan batas air, matahari, bulan dan pasir di gurun. Dia menciptakan angkasa, bumi dan sorga di luar itu dan air di bawah. “To prove my existence...... came all forms.......beasts.....and birds flying.....human beings......mankind......speaking ......hearing......And all powers.......were bestowed upon them under my orders”. “The fist place was granted to mankind and My knowledge was placed in his mind”. Yang terakhir ini kiranya berkaitan dengan God Spot yang terdapat pada bagian otak manusia.

Respon Hindu Tentang Penciptaan Terhadap Teori-Teori Ilmiah Baru

Kebanyakan teori sains modern mengenai asal mula alam semesta didasarkan pada konsep Big Bang (ledakan besar) dan variasinya. Teori ini pertama-tama disusun pada tahun 1927 oleh seorang pendeta Belgia yang bernama Georges Lamaitre. Gagasan utama dari Big Bang adalah bahwa seluruh jagat raya diledakkan dari suatu keadaan padatan yang tak terbatas, pada tingkatan suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Akibatnya, alam semesta terpecah-pecah dan mengalami pendinginan. Para pendukung teori Big Bang menjelaskan bahwa pada suatu tingkat ekspansi tersebut terwujudlah berbagai partikel sub-atom. Setelah itu elemen-elemen cahaya seperti hidrogen dan helium terbentuk diikutim oleh elemen-elemen berat. Dengan terbentuknya elemen-elemen, tidak ada elektron bebeas yang tersisa yang memancarkan foton cahaya dan jagat raya ini menjadi transparan untuk radiasi, yang diamati sekarang sebagai latar belakang kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:39).

Teori penciptaan alam semesta Big Bang ini adalah teori yang sangat terkenal. Teori ini semakin mendapat dukungan dari berbagai kalangan ilmuwan karena menunjukkann bukti-bukti yang sangat kuat dan dapat diterima secara meluas. Bahkan banyak kalangan agamawan akhirnya mendukung teori ini. Pengajuan teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa alam semesta ini sekarang sedang mengembang. Pengamatan telah dilakukan dengan teleskop Hubble milik Amerika Serikat. Sebagai catatan teleskop Hubble diluncurkan oleh NASA pada 1990. Setahun kemudian, 1991 menyusul telekop Compton yang lebih canggih, bisa mendeteksi pancaran sinar Gama. Dan tahun 2003 NASA meluncurkan teleskop Spitzer yang bisa mendeteksi sinar infra merah. Data dari teleskop yang sangat canggih itu mencatat bahwa ternyata semua benda langit sedang bergerak saling menjauhi. Dan itu terjadi secara merata di berbagai penjuru langit. Jadi kalau kita melihat ke ‘atas’, maka diperoleh dasta bahwa benda-benda langit itu saling menjauhi. Demikian puka kalau kita melihat ke arah ‘bawah’ benda-benda langit pun bergerak saling menjauhi. Begitu pula bila kita melihat langit sebelah kiri dan kanan, semuanya sama, benda-benda langit bergerak saling menjauhi. Maka hanya ada satu kesimpulan, yaitu: alam semesta ternyata sedang mengembang. Bila demikian adanya, maka berarti, dulu alam semesta ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan sekarang. Atau dengan kata lain benda-benda langit berada pada posisi lebih dekat. Dan jika kita runut lebih ke belakang lagi, benda-benda langit itu dalam posisi sangat dekat. Dan akhirnya, sekian miliar tahun yang lalu, semua benda langit berada dalam satu tempat. Di pusat alam semesta. Seluruhnya dimampatkan ke dalam satu titik. Betapa dahsyatnya pemampatan itu, karena material yang tak berhingga besarnya ditambah dengan energi yang sangat besar tak terkira ‘dipakska” berada dalam titik yang sama. Seperti sebuah pegas yang ditekan, maka dia cenderung akan melawan untuk melenting menuju posisi seimbangnya (Mustofa, 2005:54).

Teori Big Bang mengatakan bahwa alam semesta yang dikompres ke dalam satu titik itu lantas menjadi tidak stabil, dan meledak dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Sehingga seluruh material cikal bakal alam semesta itu terhambur ke segala penjuru langit, itulah saat penciptaan alam semesta dimulai. Kejadian itu, diperkirakan oleh para pakar astronomi terjadi sekitar 12 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu 12 miliar tahun itulah alam semesta mengalami pendinginan secara berangsur-angsur. Dalam masa itu juga tercipta berbagai benda langit secara bertahap, seperti nebula, galaksi, matahari, planet dan satelit. Akibat ledakkan itu seluruh alam semesta mengembang. Bagaikan balon udara yang sedang ditiup (Mustofa, 2005:55).

Ada beberapa tahapan proses penciptaan alam semesta ini.

1) Tahap pertama adalah ketika alam semesta berupa cikal bakalnya yang disebut sebagai Sop Kosmos. Pada tahapan tersebut cikal bakal alam semesta itu berada dalam kondisi yang sangat labil disebabkan tempratur dan tekanan yang sangat tinggi. Zat yang ada di dalam Sop Kosmos itu tidak bisa didefinisikan sesuai dengan ragam zat yang ada sekarang. Dia bukan zat padat, bukan zat cair, juga bukan gas. Semacam kumpulan energi yang sangat ekstrim. Sebab semua material dan energi di alam ini dikompres ke dalam sebuah titik yang berukuran hampir nol, di mana ruang dan waktu juga berada di dalamnya. Semuanya terdapat dalam cikal bakal alam semesta dalam ukuran ‘Hampir Tiada’. Bahkan ada yang berpendapat bahwa cikal bakal itu sebenarnya adalah sebuah ‘Ketiadaan Mutlak. Alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Waktu pun tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya Ketiadaan Mutlak (Mustofa, 2005:56).

Tahap pertama teori Big Bang di atas bahwa alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya ‘Ketiadaan Mutlak’ sejalan dengan teori penciptaan menurut NasadiyaSūkta, kitab suci Ṛgveda (X.129.1-7) di atas. Teori Big Bang hampir sama dengan proses Pralaya (peleburan kembali) menuju Sristi atau Utpati (proses penciptaan).

2) Tahap kedua adalah sesaat setelah ledakan terjadi. Pada detik pertama, suhu alam semesta turun menjadi 10 pangkat 10 derajat Kelvin. Ini sama dengan suhu di pusat matahari. Atau sama dengan suhu di bintang yang paling panas. Dan beberapa jam kemudian, mulailah terbentuk partikel-partikel elementer pembentuk alam semesta. Dan kemudian tercipta atom-atom bermassa rendah seperti Hidrogen dan Helium (Mustofa, 2005:56). Tahap kedua ini tampak seperti proses terciptanya Panca Tanmatra (lima unsur halus yang tidak dapat diukur) yakni: Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa), Rupa (unsur panas), Sparsa (unsur air) dan Sabda (unsur suara) yang nantinya memadat menjadi Panca Mahabhuta (lima unsur) yang lebih padat, yakni: Prathivi (tanah), Teja (api) Vayu (udara), Apah (air), dan Akasa (ether).

3) Tahap ketiga, selama jutaan tahun kemudian, alam semesta tidak mengalami perubahan yang berarti. Akan tetapi terus menerus mengembang ke segala penjuru. Puluhan jenis unsur alam semesta terbentuk. Ruang alam semesta semakin membesar. Waktu pun ikut bergerak maju (Mustofa, 2005:56). Proses tersebut sangat dekat maknanya dengan proses sthiti, yakni stabilnya alam semesta namun bergerak terus pada porosnya.

4) Tahap keempat, selama kurun waktu miliaran tahun kemudian, terbentuklah benda-benda langit akibat pengelompokkan atom-atom dan molekul-molekul yang bersenyawa. Pada pembentukan generasi pertama, terciptalah bintang-bintang atau gugusan bintang dari material yang memang hanya ada di waktu itu, yaitu Hidrogen dan Helium. Hidrogen dan Helium ini masih tersisa di dalam matahari maupun bintang-bintang di jagad semesta. Dan setiap saat terjadi perubahan empat atom Hidrogen menjadi satu Helium sehingga menghasilkan panas jutaan derajat. Dan kemudian, panas itulah yang menghidupi ‘planet-planet’ yang mengorbit di sekitar matahari. Termasuk di dalamnya adalah bumi. Tanpa matahari, planet bumi tidak bisa memunculkan kehidupan. Allah menciptakan matahari agar di bumi terjadi kehidupan. Jika, suatu ketika, matahari padam, maka bumi pun ikut ‘mati’. Dan matahari memang akan mati di suatu saat nanti, sekian ratus juta tahun ke depan. Kenapa begitu? Ya, karena matahari itu sebuah tabung ‘gas’ yang sangat besar, namun terus-menerus mengalami penurunan jumlahnya akibat terbakar terus menerus. Reaksi yang terjadi di dalam matahari itu disebut sebagai reaksi termonuklir alias reaksi fusi. Lama kelamaan atom Hidrogennya habis, yang ada hanya atom Helium. Maka berhentilah proses pembakaran di sana. Dan matahari itu pun padam. Matahari kita tersebtuk sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Dia termasuk kelompok matahari generasi kedua, karena di dalamnya ditemukan gas-gas yang memiliki massa lebih besar dari Hidrogen dan helium. Sekitar 2 persen massa matahari ternyata mengandung Oksigen dan Carbon (Mustofa, 2005:56-57). Tahap keempat ini tampak seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda (telur Brahman, yakni planet-planet di jagat raya) dan matahari disebut sebagai yang terbesar dan yang memancarkan cahaya yang sangat besar di antara Brahmanda-Brahmanda tersebut. Di dalam Veda matahari (surya) disebut jyotir uttamamam, devam adidevam (cahaya yang gemerlapan dan utama, terbesar di antara planet-planet di alam raya) dan dsebut juga sebagai surya atma jagatas tasthusas ca (sumber hidup di jagat raya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak).

5) Tahap kelima. Matahari, dulunya berasal dari gas panas (nebula) yang berpusar. Di tengah-tengah pusaran itu terbentuk matahari. Sedangkan di pinggirannya terjadi pendirnginan lokal yang lebih cepat dari pada pusatnya. Akibat pendinginan itu, maka terjadilah padatan-padatan, yang kemudian terpental akibat gaya putra (sentrifugal). Bagian yang terpental itu adalah cikal bakal planet-planet. Termasuk di dalamnya adalah planet bumi. Ini terjadi sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Jadi bumi kita sebenarnya sudah berusia sangat tua. Alam semesta sendiri berumur lebih tua, diperkirakan 12 miliar tahun. Dan sampai sekarang, proses penciptaan alam tersebut belum berhenti. Setiap saat selalu ada bintang atau matahari yang tercipta. Sebagaimana juga selalu ada matahari dan bintang yang padam. Demikian pula selalu ada planet-planet yang tercipta dan yang mengalami kehancuran. Benda-benda langit jumlahnya hampir tak berhingga. Di alam semesta ini diperkirakan ada sekitar 10 pangkat 80 partikel yang bisa teramati oleh para peneliti. Dalam waktu yang bersamaan, alam semesta juga terus berkembang. Hal ini teramati melalui teleskop Hubble. Sampai kapankah alam semesta terus berkembang? Diperkirakan sampai 3 miliar tahun lagi. Setelah waktu itulah, diperkirakan alam akhirat akan dimulai oleh Allah (Mustofa, 2005:57-58). Uraian tahap kelima ini masih sama seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda di jagat raya ini dan total umur alam semesta dinyatakan dalam kosmologi Vedānta adalah: 100 tahun Brahma = 100 x 360 x 2 x 1 Brahma = 311 triliun dan 40 milir tahun dan pada setiap 311.040 miliar tahun terjadilah peleburan total atau keseluruhan. Setelah itu penciptaan dimulai lagi (Bhaktisvarupa, 2003:76).

6) Tahap keenam adalah tahap diciptakan oleh-Nya makhluk hidup di permukaan planet bumi hingga drama kehidupan yang digelar sampai kiamat nanti (Mustofa, 2005:58). Tentang bentuk kehidupan di bumi, kitab Padma Purāṇa menyatakan sebagai berikut. “Secara keseluruhan terdapat 8.400.000 bentuk kehidupan. 900.000 bentuk kehidupan di dalam air, dan 2000.000 bentuk pohon dan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya, terdapat 1.100.000 species binatang, serangga, dan reptil, dan 1.000.000 species burung. Akhirnya, terdapat 3.000.000 jenis hewan dan 400.000 species manusia” (Bhaktisvarupa, 2003:24).



Teori Big Vision

Teori Big Vision dikemukakan oleh Bhaktisvarupa Damodara Svami, yang ketika belum diinisiasi menjadi seorang rohaniwan bernama T. D. Singh, Ph.D. Menurutnya teori Big Vision adalah teori asal mula kehidupan dan penciptaan jagat raya yang terwujud berdasarkan Vedānta. Konsep sentral dari Big Vision ini adalah bahwa jagat raya mempunyai tujuan untuk membimbing para makhluk hidup pada jalan kebahagiaan yang sempurna. Karena merasa kagum terhadap benda-benda unik dan tidak dapat dipahami di dunia ini seperti hukum-hukum alam yang teratur (susunan kecerdasan, dan nilai unik dari konstanta fisika dari jagat raya. Banyak ilmuwan dan sarjana terkemuka merasa bahwa barangkali ada tujuan tertentu dari penciptaan jagat raya ini. Banyak orang berpikir bahwa jagat raya kita ini adalah sangat spesial dan memiliki suatu tujuan. Semua pernyataan ini secara tidak langsung mendukung model Big Vision Vedānta.

Menurut Vedānta, tujuan di balik manifestasi dunia material ini adalah untuk membawa para makhluk hidup yang sedang mengkhayal menuju kepada tingkat kebahagiaan yang sejati dengan membangkitkan bhakti, yoga, dan pengabdian di dalam diri setiap orang. Bhakti merupakan sifat pengabdian yang paling luhur yang menghubungkan individu dengan Jiwa Yang Tertinggi – Tuhan Yang Maha Esa dengan kerendahan hati yang paling dalam serta pelayanan yang murni. Dengan salah menggunakan kebebasan bertindak (memilih/kehendak bebas), makhluk hidup di jagat raya ini ingin mengambil peran sebagai Majikan Yang Tertinggi dan menikmati secara tidak terbatas dengan berusaha untuk memuaskan permintaan pikiran dan indera-indera yang tiada habis-habisnya. Ketika seseorang serius telah memahami kedudukannya yang salah dan telah mengalami bahwa ia tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan sejati secara material maka ia akan mulai bertanya, “Apakah kesalahan saya? Bagaimana caranya saya mendapatkan kebahagiaan sejati?” Maka ia akan berpaling kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon pertolongan. Pencarian untuk memahami makna kehidupan yang lebih dalam ini merupakan saat penetuan (titik balik) dari kehidupan suatu individu (Bhaktisvarupa, 2003:56).

Kosmologi Vedānta didasarkan pada Big Vision yang agung dari Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan kebahagiaan tertinggi kepada seluruh makhluk hidup. Demikianlah ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan, “Mengapa jagat raya ini diciptakan?” Oleh karena itu Vedānta menjelaskan kosmologi ketuhanan. Dalam kitab suci Bhagavadgìtā (IX.10) Tuhan Yang Maha Esa menyatakan bahwa Beliau adalah sumber dari segala sesuatu. Orang mendapatkan sekilas prinsip-prinsip dasar Big Vision dengan mengamati beberapa gejala di dalam laboratorium kosmik, antara lain: (1) Hekakat kehidupan material yang bersifat sementara, (2) Evolusi kesadaran dan keunikan dari kehidupan manusia, (3) Tuntunan dari Paramatma, Tuhan Yang Maha Esa, dan (4) Elemen-elemen kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:56-59).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, teori Big Vision dimaksudkan untuk membangun teori atau kosmologi yang berbasis ajaran ketuhanan, karena eksperimen manusia yang menggunakan daya nalar dan daya pikir sangat terbatas, sedang kitab suci yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa tidak diragukan lagi kebenarannya.

Demikianlah penciptaan jagat raya menurut Hindu dan respon terhadap teori-teori ilmiah baru tentang penciptaan alam semesta yang perlu lebih dikembangkan lagi dalam memahami proses penciptaan itu. Mengakhiri tulisan ini dikutipkan ulasan Deepak Chopra terhadap karya Rabindranath Tagore Pantai Keabadian, sebagai berikut.



“Tagore mengenal dirinya sendiri dengan kejernihan dan keyakinan yang luar biasa. Dia tahu bahwa rumah sejatinya adalah keabadian. Dia tidak pergi ke mana-mana setelah mati, sebab keabadian tidak memiliki masa lalu, masa sekarang atau pun masa depan. Ilmu pengetahuan telah membuktikan pendapat ini. Benda-benda materi memang terasa padat ketika disentuh, tetapi pada level kuantum 99,999 persen dari sebuah atom sebenarnya adalah ruang kosong dan kepadatan itu akan lebur menjadi sekumpulan energi yang memancar. Energi ini tidak pernah diciptakan dan tidak pernah dihancurkan. Energi ini menyala ke luar masuk dalam wilayah prekuantum sebanyak jutaan kali setiap detiknya. Itulah satu-satunya kelahiran dan kematian dalam arti yang nyata yang bisa kita alami. Tubuh kita sama sekali bukanlah kejadian yang unik sebab tubuh kita mati ratusan kali sebelum mata anda selesai membaca satu kata dalam kalimat yang sedangkan anda baca ini. Apa yang kita sebut kematian adalah sebuah kesalahan istilah, kematian adalah sekadar terhentinya proses muncul dan hilang. Setelah menghembuskan nafas yang terakhir, kita kembali kepada situasi di mana waktu tidak ada lagi. Apa yang kita sebut maut sebenarnya adalah terhentinya kelahiran dan kematian” (Chopra, 2004:19-20).



Om Santih Santih Santih Om


by: I Wayan Sudarma @ 5 Nop 2009

Tuesday, October 6, 2009

MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Pendahuluan.

Perayaan Galungan bagi umat Hindu di Bali sudah sangat memasyarakat dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya Galungan tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksman Galungan,Susila dengan Upakaranya. Artinya antara Tattwa yang tercantum dalam teks pustaka Sundarigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang bertentangan.antara Tattwa Galungan yang demikian luhur dan idial dinyatakan dalam teks Pustakanya dengankenyataan perayaan Galungan dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan setiap enam bulan wuku (210 hari).

Ada kalanya disuatu waktu dan tempat perayaan Galungan lebih menonjolkan perayaan Galungan dengan pesta-pesta pora yang bersifat hedonis. Makan masakan khas daerah yang lebih nikmat dari sehari-harinya.Demikian pula Galungan diwujudkan dengan berpakaian serba baru,pergi ketempat-tempat hiburan dan melakukan hal-hal yang lebih menekankan keikmatan indria. Padahal Galungan adalah sebagai suatu peringatan untuk menajamkan daya spiritual untuk mensinergikan penerapan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci untuk mencerahkan hati nurani umat sehingga dapat membangun kehidupan yang cerah dan bergaiarah untuk mengamalkan Dharma. Galungan bukan sebagai media untuk lebih mendinamisir dominasi indria dalam diri. Sesungguhnya untuk mengimplementasikan Tattwa Galungan banyak hal yang dapat kita perbuat dengan mengembangkan Tattwa Galungan kedalam berbagai program nyata sehingga Tattwa Galungan menjadi nyata dalam wujud susila dan upakara nya Inilah tujuan utama penulisan tentang Galungan dan Kuningan dalam tulisan singkat ini.


1.Pengartian Umum.

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama : manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertama kali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu popular dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya

Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.


2. Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecenderungan karaksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewa Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.

Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung Jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaningsang ngamongyoga samadhi.”

Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaituhidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata,

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).

Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan
upacaranya.


3. Macam-macam Galungan

Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

b. Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.

Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotoninatau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.

Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

c. GalunganNara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:

"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9,Galungan Nara Mangsa ngaran."

Artinya:

Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungarniya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:

Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yon mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.

Artinya:

Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilangsungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.

Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diiiustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

4. Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara
Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam).

Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Nawa Ratri itu dilakukan dengan mumuja Dewi Durgha selama tiga hari. Tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi.

Tiga hari memuja Dewi Durgha bertujuan untuk membangun niat baik dalam hati nurani. Membangun niat baik inilah pekerjaan yang paling sulit.

Tiga hari memuja Dewi Saraswati artinya untuk meningkatkan kemampuan kita menguasai ilmu pengetahuan. Niat baik saja tidak cukup.Niat baik itu harus disertai dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk menuntun hidup manusia.

Tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi. Ini artinya puncak dari perjuangan membangun niat baik dan menguasai ilmu pengetahuan adalah hidup sejahtra lahir batin. Niat baik dan ilmu pengetahuan itu tidak ada apa-apanya kalau tidak menghasilkan hidup sejahtera lahir batin. Pemujaan pada dewi Laksmi ini bertujuan agar niat baik dan ilmu pengetahuan itu benar-benar diarahkan untuk mewujudkan hidup sejahtra Sekala dan Niskala. Untuk membangun hidup sejahtra itu tidak mudah,karena itu harus dilakukan upaya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi pada tiga hari terakhir dari Nawa Ratri tersebut. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.

Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.

Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk
memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman.

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Hanuman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untukmengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.