Friday, December 6, 2013

PRAHU LAYAR YANG INDAH.

OM SWASTIASTU, OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Di pagi buta saat bulan purnama tepatnya hari Minggu tg 17 November 2013, jam 4 pagi saya bangun dan bersama putra saya pergi ke pantai Saba, mencoba kegemaran saya olah raga rutin setiap pagi, disamping itu saya ingin sekali-sekjali melihat matahari terbit.

Kira -kira jam 5.45, kelihatan warna merah diupuk timur, pelan-pelan merambat naik mewarnai air laut di depannya; Matahari terbit mehilangkan kegelapan, matahari terbit memulai kehidupan. Ayampun berkokok, burung-burung berkicau, menyambut Sang Surya bangun dari istananya. Namun bersamaan dengan itu saya melihat sebuah perahu layar sedang berlayar, mungkin menuju pulau tujuannya entah kemana, disitulah muncul pikiran saya membandingkan hidup ini dengan keberadaan perahu layar yang di kemudikan oleh nelayan tersebut.

Begini;
Dalam hidup ini kita memiliki; bayu, sabda, dan idep, disertai dengan ajaran Dharma (agama), artha, kama,hidup ini mempunyai tujuan dan hidup ini memerlukan sarana seperti artha dan kama.

Bila kita bandingkan dengan perahu layar itu sangat cocok sekali, misalnya; Perahu adalah Dharma, layar itu pikiran manusia, 2 tali layar adalah alat pengendali (stirnya), angin adalah kama, air laut adalah artha, nelayan itu adalah manusia (atma). Pelabuhan keberangkatan perahu itu adalah alam ini, dan pulau tujuannya adalah tujuan hidup kita.

Bila si nelayan ingin mencapai tujuan dari pelayarannya, dia mesti menginginkan angin yang sedikit kencang, untuk mempercepat jalan perahunya, dan si nelayan harus memegang tali kemudi serta mengendalikannya, dan si nelayan perlu air laut untuk landasannya berlayar. Maka tujuan pelayarannya akan bisa tercapai.

Demikian pula manusia; sangat memerlukan artha hanya untuk sebagai landasan hidup, memerlukan kama (angin) sebagai pendorong, memerlukan agama (perahu) sebagai alat untuk menyebrang, dan selalu dan mampu memekang pengendalian pikiran (tali kemudi). Maka tujuan Hidup ini akan dapat tercapai.

Bila manusia tidak tau tentang manfaat artha lalu dia mencari artha sebanyak-banyaknya, dengan segala cara termasuk cara yang dilarang oleh ajaran agama. Sama dengan si nelayan mengisi perahunya dengan air laut yang begitu banyak, maka perahunya akan tenggelam.

Demikian pula dengan kama, ada manusia yang memenuhi kamanya secara membabibuta dan tidak dikendalikan, maka sama dengan nelayan yang memerlukan angin kencang dan tidak mengendalikannya, maka perahunya akan terombang-ambing berputar-putar hingga tenggelam, tujuan perjalan hidupnya tidak tercapai.

Memang artha dalam hidup ini perlu namun sesuaikan dengan manfaatnya yang dapat mendorong tercapainya tujuan hidup ini (berdasarkan Dharma), demikian pulan kama. Maka dari itu, para penjahat, para koruptor adalah mereka yang salah menerjemahkan hidup ini, kasihan mereka, menari-nari diatas kesengsaraannya sendiri. Bangga dengan kebodohannya yang berselimutkan kemunafikan.

Saran saya;
Marilah kita secara pelan-pelan menyadari arti dan makna hidup ini, kasihan Sang Hyang Atma terlalu lama terombang ambing dengan kebodohan kita.

Demikianlah pengalaman saya diwaktu pagi buta bulan purnama, semoga ada manfaatnya.
S E K I A N.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 20 Nov 2013

DAMAI ITU SANGAT INDAH.

OM SWASTIASTU, OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Kita ketemu lagi dalam tulisan yang berbeda, semoga saudara-saudara tetap dalam keadaan yang sehat dan berada dalam pikiran damai.

Akhir-akhir ini semakin bermunculan peristiwa yang sangat mengerikan yaitu; perkelahian, tawuran, baik secara individu maupun antar kelomppok. Justru yang berklahi itu adalah mereka yang masih bersaudara, apakah bersaudara sesama orang Bali, bersaudara sesama Bangsa Indonesia, pokoknya bersaudara sesama manusia.

Katanya semua orang sangat senang dengan situasi yang DAMAI.......!!!!!!! KENAPA TIDAK BISA DAN TIDAK MAU MEMBUAT DAMAI????? Mungkin dia salah menerjemahkan DAMAI itu sendiri. Damai menurut mereka itu adalah damai dengan teman-teman yang seide atau teman seorganisasi saja. Tak perduli dengan yang lain. Dan mereka tidak pernah berpikir; KALAU KITA MENANG, APA HASILNYA YANG BISA DIWARISKAN KEPADA KETURUNAN KITA NANTI?

Saya punya teman, dia dulunya sangat senang berkelahi dijalanan, dan selalu menganggap dirinya paling benar, paling kuat, paling banyak punya teman dsb. Nah sekarang dia sudah punya anak sedang remaja, anaknya juga meniru sifat bapaknya diwaktu muda. Lalu teman saya itu menasehati anaknya agar tidak bersifat seperti itu, jangan menjadi langganan sel polisi. lalu apa kata anaknya; SAYA BERSIFAT SEPERTI INI ADALAH WARISAN DARI SIFAT BAPAK DULU, APAKAH SAYA SALAH, KALAU SAYA SALAH KENAPA BAPAK MEWARISKAN SIFAT SEPERTI INI KEPADA SAYA? katanya ada pepatah mengatakan; kalau kita anak ikan (nyalian), minimal kita harus bisa berenang, jangan sampai anak ikan mati berenang. Sehingga saya tidak mau dikatakan anak orang lain, makanya saya meniru sifat bapak agar saya dipercaya sebagai anak bapak yang asli. Lalu teman saya itu tidak punya jawaban, hal ini dia sampaika kepada saya, dan saya sulit memberi pandangan.

Saudara-saudaraku semua, marilah kita mulai belajar berbuat damai sesuai dengan kemampuan kita. Janganlah kita mati meninggalkan belang seperti harimau. Mari kita mati meninggalkan gading seperti gajah. Terutama saudaraku sesama orang Bali, sadarlah kita bahwa yang kita ajak berkelahi itu adalah saudara kita sendiri, janganlah mewariskan hal-hal yang tidak baik kepada keturunan kita nanti. Boleh kalian berorganisasi, namun tujuannya membuat kedamaian bersama, mari kita bergandengan tangan. Perkelahian itu hanya cocok di jaman penjajah, untuk menentang penjajah dan mencapai kemerdekaan, itu sudah dilakukan oleh leluhur kita para pejuang kemerdekaan NKRI, dan hal itu sudah lewat, sekarang kita tinggal mengisinya, sesuai dengan cita-cita Beliau para pejuang yang telah rela darahnya mencuci bumi pertiwi. Sekarang mari kita berkelahi dengan kebodohan dan mengusir kemiskinan.

Saya punya usul kepada saudara baik dari kelomok mana saja dan siapa saja, mari kita membikin acara bersama, bergandengan tangan menuju kedamaian, saya mau ikut kok.

HENTIKAN SIFAT-SIFAT ANARKIS, CINTAILAH NEGARAMU, CINTAILAH BANGSAMU, CINTAILAH SUKUMU, DAN CINTAILAH AGAMAMU TERAKHIR CINTAILAH TUHANMU.

S E K I A N D A N T E R I M A K A S I H.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 16 Nov 2013

UNTUK YANG INGIN TAU DAN YANG BELUM TAU (lanjutan)

OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

1. SEMUA AKTIFITAS MENGANDUNG UNSUR KETUHANAN.

Orang Hindu di Bali beraktifitas mungkin sama dengan saudara kita yang lainnya, namun di dalam mereka melakoni aktifitasnya saya melihat keunikan dan kristalisasi konsep Berketuhanannya sangat kental. Misalnya; Kalau mereka berjualan, pasti memuja Bhatari Melanting sebagai Deva Perekonomian, kalau mereka bertani ada Bhatara Ulun carik, pengairan (subak) Bhatara sedahan Mpelan, dan banyak lagi kalau kita mau mengamatinya. Itu menunjukan bahwa tatacara leluhur orang Bali dari jaman dahulu sudah menanamkan konsep berketuhanan secara sistematis, artinya disaat kapan saja dan dimana saja kita tidak boleh melupakan Tuhan dengan segala manifestasinya. Jadi kalau mengingat Tuhan tidak saja melalui melafal nama Beliau, juga bisa dilaksanakan dengan mengingat beliau dalam segala aktifitas kita. Disamping itu ada nilai - nilai etika sosial yang dapat mempertahankan nilai BALI ADALAH PULAU BAWA MAURIP.

2. BAHASA BALI.

Saat sekarang sudah sangat kentara "orang Bali" semakin meninggalkan budaya bahasa ibunya. Padahal Bahasa Bali adalah Bahasa yang mengandung ajaran tattwa, susila yang amat kental. Dari berbahasa sangat kentara etika mereka. Yang paling penting adalah; Bahasa merupakan salah satu unsur budaya, bila bahasa itu sudah dilupakan oleh pendukungnya itu berarti salah satu unsur budaya sudah mati, sehingga lambat laun budaya itu sendiri akan musnah, musnahnya sebuah budaya berarti hancurnya suku itu sendiri. Demikian pula huruf bali juga merupakan salah satu unsur budaya Bali. inilah yang patut kita pertahankan dan lestarikan jika ingin mempertahankan kebalian kita sebagai orang Bali. Dan mempertahankan Bhawa Mauripnya Bali, mewujud nyatakan slogan Ajeg Bali, konsep Tri Hittakarana agar tidak hanya digunakan sebagai pemanis bibir disaat ada kepentingan saja. Marilah kita pertahankan budaya Bali warisan leluhur kita yang adhi luhung itu, dan telah terbukti bisa memberikan manfaat positif bagi kehidupan kita.

INILAH YANG PERLU DISIMAK, DIFAHAMI OLEH SEMUA PIHAK TERUTAMA MEREKA YANG TINGGAL DI BALI.

Judul tulisan yang akan datang adalah; BALI TERBENTUK MELALUI KONSEP ANDA BWANA.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM

https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 12 Nov 2013

UNTUK YANG INGIN TAU DAN YANG BELUM TAU

OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM

Selamat bertemu lagi saudaraku lewat media ini, semoga semuanya dalam keadaan sehat. Tulisan ini sengaja saya beri judul seperti itu, sebab di dalam pikiran saya tersirat tentang apa yang akan saya tulis ini sudah ada yang tau, dan kemungkinan juga ada yang belum tau, atau ada pula yang ingin tau, tentang Bali. Maka dari itulah saya menulisnya sesuai dengan apa yang saya tau berdasarkan membaca dan mendengar tentang Bali itu sendiri.

Merasakan adanya situasi Bali seperti sekarang ini yang kelihatan banyak masalah yang menjadi polemik, maka semakin keras kemauan saya untuk menulis sebagai landasan berbagi pengalaman dengan saudara-saudara. Harapan saya agar kita semakin menyayangi Bali dalam artian yang luas. Bila tulisan ini saudara anggap ada manfaatnya, saya akan menulisnya secara bersambung. Sebagai sarana Bhakti kehadapan leluhur yang merancang dan menata Bali ini sehingga kita dapat merasakan manfaatnya.

1. BALI TAK UBAHNYA SEBUAH LUKISAN YANG AMAT INDAH.
Kalau saya umpamakan Bali ini dengan segala unsurnya yang ada di dalamnya sebagai sebuah lukisan yang tertuang diatas kanvas, dari pelukis kaliber luar angkasa, maka kelihatan indah garis-garisnya, penataan warnanya, pokoknya sangat indah. Maka bila ada sekarang pelukis amatiran datang, yang masih bau kencur, janganlah coba-coba corat-coret nambah ini, nambah itunya lagi. Sehingga lukisan yang amat agung akan rusak dan dirusak oleh si pelukis amatiran, saya sarankan kepada si pelukis yang bau kencur itu, bila mereka ingin melukis meniru lukisan itu, carilah kain kanvas lain, atau kertas koran bekas untuk mebikin lukisan baru bikinannya sendiri.

Lukisan yang telah ada ini mari kita lestarikan, kita nikmati keindahannya, boleh dipotret, boleh dilihat tapi jangan diraba-raba. Sebab satu-satunya lukisan yang amat indah warisan leluhur bisa bertahan sampai jaman globalisasi sekarang ini. Keadaan seperti itu pasti ada penyebabnya yang merupakan kekuatan yang mendukungnya, terutama kekuatan niskala. Kalau kita merasa sebagai orang Bali, yang nota bena keturunan dari sipelukis itu, maka tidak ada kata lain selain kita harus melindungi, mengayomi, dan melestarikan warisan dari leluhur kita. Perlu diketahui, siapapun dan dari manapun tidak dilarang untuk melihat, motret, bahkan meniru lukisan itu, tetapi jangan dong di corat-cotet sesuai keinginan sendiri, apa lagi ada keinginan untuk memiliki sendiri.

Demikianlah Bali bila diumpakan seperti sebuah lukisan yang amat indah dan dikagumi dunia. Mari saudara-saudaraku, kita jaga dan ayomi warisan nenek moyang kita agar dapat pula di nikmati oleh keturunan kita nanti. Jangan sampai lukisan itu rusak dan hancur ditangan kita sekarang ini, anak cucu kita akan menuntut kita nantinya, mungkin dia berkata begini; KEMANA KAU BAWA BALIKU.

2. BALI ADALAH PULAU BAWA MAURIP.
Yang dimaksudkan Bawa itu adalah sinar/energi/ aura. Maurip artinya hidup. Jadi Pulau Bali adalah pulau yang beraura dan hidup. Bila saya boleh mengandaikan Bali itu seperti diri manusia, maka; Pulau Bali adalah badan/jasadnya, manusianya adalah Tri Kayanya, dan Kahyangan (Pura sebagai stana dari manifestasi Tuhan) sebagai atmanya. Maka hiduplah Bali itu dan berkarisma.

Saya pernah keluar Bali, setelah saya balik pulang baru menginjakan kaki di pelabuhan di Bali, perasaan saya sangat berbeda, rasanya saya disambut oleh aora Bali yang amat kuat, seperti ada ucapan; "Om Swastiastu. Selamat datang kembali di Bali". Jadi Bali sangat bersahabat, selalu memberikan rasa aman damai ini ,menurut perasaan saya sendiri entahlah saudara yang lainnya.

Oleh karena Bali itu Bawa Maurip, maka segala sesuatu yang akan di buat di Bali harus berdasarkan musyawarah mufakat dan jangan lupa membuat suatu permakluman kepada Tuhan ( Ida Bhatara). Orang Bali bila ingin membangun apa saja, pasti melaui tatanan yang telah ditentukan oleh leluhurnya. Umpamannya membuat jalan baru dengan membongkar tanah, ini pasti ada tatanannya, sebab bali itu hidup seperti contoh di atas, sama saja kalau kita ingin mengoperasi badan kita, pasti dokter ngasi bius, kemudian ngasi obat antibiotik, agar tidak terjadi penderitaan dan tidak terjadi infeksi (pembusukan).

Bila kita sadar Bali itu diandaikan seperti manusia, maka baik buruknya manusia itu disebabkan oleh Tri Kayanya, nah Bali begitu pula, baik buruknya Bali nantinya disebabkan oleh orang yang tinggal di Bali.

S E K I A N D U L U. Bila perlu akan ada sambungannya lagi.

OM, SANTHI, SANTHI, SANTHI, OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 7 Nov 2013

Tri Kaya, Atman, dan Badan Kasar


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Rasanya tidak bisa ditahan keinginan saya untuk menulis pengalaman yang barusan terjadi. Sebab kejadian tersebut sangat menarik perhatian saya. CerItanya begini; Tadi siang saya melaksanakan tugas saya sebagai seorang Pedanda untuk muput upacara walaupun kapasitasnya sangat sederhana. Dijalan saat mau pulang dari muput saya melihat kejadian begini;

SEPASANG ANAK MUDA BERBONCENGAN SEPEDA MOTOR GEDE, MOTORNYA SANGAT BAGUS, DAN YANG DIBONCENGPUN ANAKNYA CUKUP CANTIK, NAMUN YANG MEMBONCENG KELIHATANNYA TIDAK PERNAH MANDI ATAU KURANG MEMPERHATIKAN DIRINYA, KELIHATAN DARI CARA BERPAKIANNYA, SERTA PENATAAN DIRINYA. MUNGKIN DIA MENGENDALIKAN MOTORNYA TIDAK TAU ATURAN LALU LINTAS DAN KURANG MEMPERHATIKAN SITUASI DI JALAN, SEHINGGA TERJADI KECELAKAAN.

Melihat peristiwa seperti itu entah apa yang menyebabkan pikiran saya mengkaitan dengan kehidupan manusia dewasa ini. Sepeda motor itu saya selaraskan dengan tubuh manusia, yang di bonceng adalah atman (percikan dari Tuhan), dan yang membonceng adalah Tri Kaya.

Bila si Tri kaya tidak mendapatkan pendidikan kerokhanian, maka sama dengan si pengemudi motor yang kelihatannya komal sekali, walaupun motornya tergolong motor mewah dan mahal, serta bersih, diumpamakan seperti pisiknya yang gagah, dan yang dibonceng seorang yang amat cantik, diumpamakan Sang Hyang Atma yang suci. Yang paling menentukan selamat atau tidak selamat mereka sampai ditujuan sangat ditentukan oleh si pengemudi/ sang Tri Kaya.

Bered dan penyoknya serta rusaknya motor itu berkat ulah sipengemudi, semuanya disebabkan oleh dia. Bila si pengemudi mau belajar aturan lalulintas dan mampu memahami kepentingan bersama dijalan, maka tercapainya tujuan perjalanannya mereka. Sama dengan kita, bila kita mampu sadar untuk belajar kerokhanian, maka Tri Kaya akan terparisudha, menjadi Tri Kaya Parisudha, maka tujuan hidup ini akan jelas bisa kita capai.

Kalau Tri Kaya sudah terparisudha, kerusakan fisik dan tergoyangnya sang Atma sudah dipastikan tidak akan terjadi. Demikianlah sekilas info, mudah-mudahan ada manfaatnya.
JANGAN BIARKAN TERUS BEGITU. S E K I A N.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

Sumber: https://www.facebook.com/Ida.Pedanda.Gede.Made.Gunung?fref=ts 1 Nov 2013

Tuesday, December 3, 2013

BUDAYA


Om Swastiastu. Om Awignamastu.

Saya teringat masa-masa saya masih duduk di bangku kuliah, sebelum mendapatkan dosen, saya biasa rembug berkelompok bersama teman-teman, ya ceritanya ngalor ngidul, ada yang guyonan dan ada yang macem-macem yang semuanya itu dapat mengundang gelak tawa diantara kami. Kemudian salah satu dari teman saya mengeluarkan tiori yang berkaitan dengan Budaya. Dia mengatakan, entah dimana dia dapat saya kurang tau, katanya seperti ini;

"BUDAYA ITU ADALAH SESUATU YANG MERUPAKAN PENGUAT DI DALAM HIDUP KITA, BILA BUDAYA ITU HILANG MAKA HIDUP KITA AKAN GOYAH BAHKAN BISA HANCUR. SEBALIKNYA BILA INGIN MENGHANCURKAN SEKELOMPOK ORANG/SUKU/BANGSA, MAKA YANG HARUS DILENYAPKAN TERLEBIH DAHULU ADALAH BUDAYANYA.

Waktu itu saya sangat tidak tertarik dengan omongan teman saya itu, namun sekarang setelah saya pikir bolak-balik sambil duduk sendiri mengingat-ngingat masa lalu bersama teman-teman, lalu saya teringat cerita itu. Jadi itu yang selanjutnya menjadi renungan saya sendiri, ternyata apa yang dia katakan itu menurut saya ada benarnya bila dilihat kenyataannya keseharian. Sehingga BUDAYA sangat penting artinya bagi hidup kita (budaya yang saya maksudkan disini adalah budaya yang dapat memberikan identitas baik kepada kita).

Seperti misalnya; budaya bertani, bila budaya ini sudah tidak mendapat perhatian maka tidak menunggu lama maka pertanian (agraris) akan hancur/lenyap. Demikian pula budaya-budaya yang lainnya. Sehingga bagi saya budaya leluhur kita yang adhiluhur mesti kita pertahankan untuk tidak kita mengalami kehancuran. Khususnya budaya Bali yang merupakan bagian dari budaya Nasional. Kokohnya budaya di masing-masing daerah dipertahankan oleh penganutnya, berarti semakin kokoh pula budaya Nasional kita. Walaupun demikian bukan berarti kita menolak budaya diluar itu, atau kita akan mengisolir diri, sama sekali tidak namun kita harus pinter-pinter memilah-milah dan memilihnya (memfilter), pilihlah yang dapat memperkuat budaya warisan kita, yang kiranya dapat menghilangkan budaya kita jangan dulu dibudayakan.

Salah satu contohnya; BUDAYA BHINEKA TUNGGAL IKA, Yang amat dibutuhkan dewasa ini dan dimasa selanjutnya dan mungkin hal ini sangat sulit didapati di tempat lain. Untuk itu saya mengajak saudara-saudara untuk merenungkan hal itu, dan mari kita tingkatkan lagi demi masa depan kita dan demi anak cucu kita dikemudian hari agar mereka tidak kehilangan identitis. Budaya leluhur kita telah terbukti keagungannya sehingga tidak sedikit orang yang mengaguminya. S E K I A N.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

MUNGKIN SEMUA PERNAH MENGALAMI


OM SWASTIASTU.

Suatu peristiwa yang sering terjadi pada diri kita, namun jarang yang mengungkapkannya, kenapa bisa begitu??? Pertanyaan seperti inilah yang sering muncul dihati saya, sehingga dengan perasaan yang tidak tau malu terpaksa saya tulis di media ini, dengan harapan dapat masukan dari saudara-saudara saya yang tercinta dan budiman. Sebenarnya persolan yang saya tulis ini merupakan soal yang sangat biasa, dan sudah pasti pernah dialami oleh siapa saja sehingga kelihatannya sangat sepele, namun bagi saya masalah ini sangat berarti. Sebab akibatnya sangat fatal bagi kehidupan kita baik secara rokhani maupun secara jasmani.

Permasalahannya adalah sebagai berikut;
Bila seseorang (mungkin siapa saja), yang sedang mendapat masalah atau sedang menghadapi masalah, perasaan yang paling pertama muncul dipikirannya adalah; MENOLAK, dengan bermacam-macam alasan, atau bermacam-macam tangkisan, bahkan sampai kepada tingkat marah, sedih, menyesal, menunda, atau melempar masalah tersebut kepada pihak lain dan sebagainya. Namun sebaliknya mereka yang sedang mendapatkan sesuatu yang mereka senangi, apakah itu berupa rejeki atau yang lainnya, sangat mengharapkan agar peristiwa itu datang secepatnya kalau toh harus menunggu beberapa hari, mereka ingin memutar matahari itu biar cepat terjadi pergantian hari, agar semuanya bisa cepat didapati, kegirangan dan kebahagiaannya tak dapat ditutupi, meluap-luap.

Mengamati hal seperti itu, maka muncul pertanyaan dihati saya;
APAKAH YANG MENYEBABKAN HAL SEPERTI ITU BISA BAHKAN SERING TERJADI DALAM PIKIRAN KITA???

Karena masalah seperti ini pernah terjadi pada diri saya, maka saya ingin sekali mencari jawabannya. Walaupun banyak orang atau banyak ditulis dalam buku nasehat seperti ini; BILA KITA SEDANG MENDAPATKAN KESUSAHAN JANGANLAH TERLALU SEDIH, DAN SEBALIKNYA BILA KITA MENDAPATKAN KEBAHAGIAAN JANGAN TERLALU GEMBIRA.

Namun setelah saya banyak merenung maka yang mungkin kekurangan saya adalah tidak mampu memahami ajaran Hulum Karma Phala. Sebab setelah kita dapat memahami dan meyakininya akan timbul pikiran mensyukuri apa yang kita dapati, karena semuanya itu adalah hasil dari karma kita sendiri.

Sehingga sekarang saya bertambah yakin dengan ucapan orang bijaksana bahwa; SEKECIL APAPUN KARMA KITA, PASTI AKAN MENDAPATKAN PAHALA. JANGAN DISESALI APA YANG KITA DAPATI, KARENA SEMUA YANG KITA DAPATI ITU ADALAH HASIL DARI KARMA KITA SENDIRI.

Untuk itu marilah kita mulai sekarang belajar berkarma yang nanti bisa mendapatkan hasil yang lebih baik untuk kehidupan dimasa datang dan terimalah semua hasiL karma kita dengan penuh rasa bersyukur. Terima Kasih atas perhatian anda.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

TANGKIL, NGAYAH, BERSEMBAHYANG KE PURA DAN YOGA (LANJUTAN)


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Kita akan kembali pada pokok bahasan tentang pembangunan pura yang berlandaskan konsep yoga. Seperti kita ketahui pura kuno dibangun di atas gunung, di tepi tebing, di dalam lautan, di dalam goa, pokoknya di tempat yang agak sulit dijangkau. Untuk dapat dipahami secara jelas pembangunan pura berdasarkan konsep yoga, harus juga dimulai dari menguraikan tahapan yoga, kemudian sesuaikan dengan konsep pembangunan pura tadi. Saya akan mencoba untuk menguraikan tahapan yoga secara umum saja yaitu;

• Panca Yama Brata
• Panca Niyama Brata
• Asana
• Pranayama
• Dyana (Semadi)

Mungkin tahapan yoga yang saya uraikan ini tidak lengkap sekali, karena saya ingin mencari yang paling menonjol kaitannya dengan pembangunan pura. Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata ditekankan agar dilakukan setiap hari, di dalam kehidupan sehari-hari. Lalu Asana, Pranayama dan Dyana agak jarang dilakukan, sebenarnya ini juga harus setiap hari dilakukan. Dikarenakan oleh adanya suatu sebab yang kurang jelas, maka tahapan yoga bagian Asana, Pranayama dan Dyana kurang tekun dilakukan.

Nah, sekarang kaitannya dengan pembangunan pura yang lokasinya seperti yang telah diuraikan tadi, itu akan memberikan peluang yang sangat besar untuk melakukan Asana, Pranayama dan Dyana dengan tidak kita sadari. Misalnya untuk bisa sembahyang atau ngayah ke pura yang sulit dijangkau, memerlukan persiapan fisik dan mental yang memadai serta melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah.

Sekarang kita ambil contoh mau sembahyang ke Pura Pucak Manik di wilayah Grokgak Singaraja. Sebelumnya orang yang mau sembahyang harus siap mental artinya, harus sehat, dan berkonsentrasi, tidak boleh ragu-ragu, pakaian sederhana, barang bawaan secukupnya dan sepantasnya, sebab perjalanan akan melalui medan yang cukup berat dan posisinya naik. Di dalam perjalanan melalui jalan setapak, tebing-tebing, hanya ada pohon dan akar yang dapat digapai sebagai pembantu. Nafas terengah-engah, CO2 keluar dengan derasnya demikian pula O2 akan masuk dengan deras pula melalui hidung kita, pertukaran udara akan terjadi antara orang yang tangkil dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar areal perjalanan. Rasanya paru-paru dicuci bersih, jantung terasa berat memompa darah, sehingga dada terasa berdebar.

Setelah perjalanan berakhir di areal pura, nafas masih terengah-engah, sudah pasti memerlukan waktu istirahat barang 10 minit, kemudian baru berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan sembahyang. Setelah nafas agak sempurna, dada terasa ringan, beban pikiran menjadi ringan, perasaan jadi sangat tenang. Kita duduk dengan pikiran hening, lalu melakukan persembahyangan melalui urutan sebagaimana mestinya. Setelah bersembahyang ketenangan sangat terasa, perutpun mulai terasa lapar, mau tidak mau ”lungsuran banten” (banten yang telah dihanturkan) dimakan habis. Dalam keadaan seperti itu semua orang yang mengalami tangkil ke pura yang sejenis medannya dengan Pura Pucak Manik, akan tidak menyadari dirinya telah melakukan yoga dari tahap awal sampai tahap dyana.

Perjalanan mendaki yang diuraikan tadi, itu sama dengan asana yang sangat sempurna, keringat bercucuran. Nafas terengah-engah, itu sama dengan pranayama yang sempurna. Setelah tenang duduk lalu bersembahyang itu adalah dyana semadi/meditasi yang tidak kalah bobotnya. Demikian bijaknya para leluhur kita melatih generasi penerusnya untuk selalu dapat melaksanakan yoga, sehingga bisa terbentuknya moral yang luhur. Di samping itu adapula makna yang dapat dipetik, bahwa tidak sembarangan orang dapat sembahyang langsung di pura itu. Bagi mereka yang berpikir ragu-ragu pasti tidak bisa, mereka yang sakit-sakitan, ibu-ibu hamil, anak-anak yang belum cukup umur, cacat fisik, sangat sulit menempuh perjalanan seperti itu. Mereka akan sembahyang di pura yang mudah dijangkau oleh mereka.

Demikian pemahaman saya mengenai pembangunan pura yang letaknya sulit dijangkau oleh masyarakat umum, bila dikaitkan dengan penerapa yoga secara praktis, halus sehingga hampir tidak dapat dirasakan oleh si pelaku.

Permasalahannya sekarang adalah, sebagian besar pura seperti tadi sudah dibuatkan jalan untuk mudah dapat dijangkau oleh semua golongan, bahkan sampai pedagang kaki limapun ikut menyemarakkan, pura jadi ramai, dagang kaset itu memutar kasetnya agar laku dijual. Pemandangan yang muncul tak ubahnya semakin jauh. Bagi mereka yang bersembahyang pun tidak mengalami proses yoga yang benar dan mantap. Judi semarak, menurut pengamatan saya pura yang merupakan tempat mencari kesucian, berubah menjadi tempat mencari hiburan.

Saya rasa, menangis leluhur kita di alam sana, karena kita sebagai pewarisnya tidak mampu memanfaatkan pura seperti langkah dan tujuan leluhur kita terdahulu. Jika begini terus habislah segala warisan yang adhi luhung itu. Wahai generasi penerus, engkau tidak akan dapat menikmati Bali yang sempurna seperti dahulu.

Saya kira masih ada kesempatan untuk melestarikannya, kalau kita sama-sama menyadari demi keturunan kita nanti. Marilah berbuat bukan hanya untuk dinikmati sekarang saja, berbuatlah untuk generasi masa datang.

Mungkin ada di antara pembaca yang ingin bertanya. Jadi kalau begitu pemahamannya, rasanya ada unsur membedakan antara umat yang kuat dan umat yang lemah untuk dapat mengikuti yoga? Sebenarnya tidak ada yang membedakan. Kecuali mereka sendiri yang membedakan dirinya dengan yang lain. Maksudnya mereka yang sakit pasti berbeda dengan mereka yang sehat. Mereka yang sungguh-sungguh ingin menyembah Ida Sang Hyang Widhi akan berbeda dengan orang yang sekedar memamerkan pakaian, memamerkan kekayaan, memamerkan postur tubuh datang ke pura. Kalau memang mereka merasa sama tidak ada larangan untuk tangkil bersembahyang. Begitu mereka tangkil ke pura, otomatis mereka sudah melakukan yoga.

Kesimpulannya itu sangat tergantung pada kesungguhan dan ketekunan kita. Sebagai orang awam, begitulah pemahan saya tentang dibangunnya pura yang letaknya ditempat yang sulit dijangkau. Jangalah diutak-atik lagi, yang sifatnya memudahkan dan tidak mendidik. Mudah menjangkau beda bobotnya dengan yang sulit dijangkau.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

TANGKIL KE PURA UNTUK NGAYAH DAN BERSEMBAHYANG MERUPAKAN LANGKAH MEMPRAKTIKAN YOGA


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMO SIDAM.

Mengamati banyak pura kuno yang ada di Bali, sebagian besar letaknya di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Seperti misalnya: Pura Pasar Agung di wilayah Karangasem, Pura Lempuyang juga di wilayah Karangasem, Pura Pucak Manik di wilayah Singaraja dan banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan semuanya. Letak pura seperti ini yang sangat menggugah pikiran saya untuk mengetahui. Kenapa bisa seperti itu? Apakah leluhur kita dahulu tidak bisa mencari tempat strategis pada saat dibangunnya pura tersebut? Saya kira tidak sulit mencari lahan untuk membangun pura, mau mencari lahan di kota, di pedesaan itu sangat mudah. Kenapa beliau tidak mau lakukan itu?

Tetapi di zaman sekarang, konsepnya berbalik. Jika ada yang ingin membangun pura, mencari tempat yang strategis, supaya dapat dipinggir jalan besar biar mudah dijangkau. Lucunya lagi, pura yang dibangun oleh leluhur kita, seperti yang saya katakan tadi cukup sulit dijangkau, dibuatkan jalan agar mudah dijangkau oleh semua orang. Apakah pemikiran seperti itu sudah boleh dikatakan benar?

Sudahkah langkah yang diambil seperti itu sesuai dengan konsep dasar pemikiran leluhur kita sewaktu membangun pura tersebut? Inilah pokok permasalahan yang saya ingin tuangkan, dengan mencoba melihat dari sudut latihan yoga. Sekaligus saya menginginkan adanya pemahaman dan pengertian di antara kita. Yoga merupakan aktivitas yang mampu meningkatkan kerohanian, dan mampu menuntun umat manusia untuk menemukan jati dirinya (mewali ring sangkanin dumadi). Itulah pemahaman bebas dari saya tentang yoga untuk memberikan batasan agar dapat kita menguraikan selanjutnya.

Oleh karena, begitu luhurnya ajaran yoga, maka para pendahulu kita ingin keturunannya dapat melakukan yoga secara rutin, untuk dapat merasakan kebahagiaan hidup yang sejati. Namun beliau juga sudah memahami sifat-sifat dasar manusia salah satu diantaranya adalah malas (ngekoh dalam bahasa Bali), sifat ingin yang gampang-gampang saja dan sifat lainnya yang sejenis. Namun yoga akan merubah sifat-sifat semacam itu. Disinilah kelihatannya agak kontradiktif. Maka dari itu ajaran yoga dikemas secara halus sekali sehingga tidak nampak. Artinya mereka yang melakukan yoga tersebut tidak merasa apa yang mereka sedang lakukan adalah sesuatu yang sangat luhur dan bermanfaat bagi hidupnya (gerakan yoga).

Sebelum saya melanjutkan uraian tadi, kata yoga di dalam masyarakat umum (Hindu di Bali), sangat disucikan, bahkan kelewatan caranya menyucikan akhirnya muncul rasa ketakutan mendengar kata yoga (dianggap serem). Perkembangan pemikiran seperti itu sudah dibayangkan sebelumnya oleh leluhur kita, makanya saya katakan tadi yoga itu dikemas secara halus biar mudah dapat dilakukan, bahkan tidak terasa melakukan yoga. Namun pada intinya yoga itu dapat menyentuh lapisan masyarakat terbawah dengan tidak membedakan kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi dan kemampuan yang lainnya. Dasar pemikiran seperti itu dituwangkan di dalam konsep pendirian pura, konsep ngayah di pura pada waktu ada pujawali atau pada waktu ada kegiatan di pura, dan banyak lagi penjabaran yoga dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.

(Bersambung)

OM. SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.