Friday, March 20, 2009

'Melasti', Menghanyutkan Kekotoran Alam Semesta

Serangkaian upacara Panca Bali Krama dan Betara Turun Kabeh di Pura Besakih digelar upacara melasti ke Segara Watu Klotok, Klungkung mulai Sabtu (21 Maret 2009) hari ini. Apa sesungguhnya makna melasti? Dosen IHDN Denpasar I Ketut Wiana mengatakan dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan 'Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata, anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana.' Maksudnya, melasti meningkatkan bakti kepada para dewata manifestasi Tuhan, agar diberi kekuatan untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau kekotoran diri dan kerusakan alam semesta.

Sedangkan tujuan melasti seperti yang tersurat dalam lontar Sundarigama adalah ngamet sarining amertha kamandalu ring telenging segara--mengambil sari-sari kehidupan yang disebut tirtha kamandalu (air sumber kehidupan) di tengah samudera.

Kata Wiana, 'Ngiring prawatek dewata' dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala itu mengandung makna bahwa ciri utama orang beragama adalah berbakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widi). Dalam konteks itu, umat diharapkan mampu menguatkan daya spiritual untuk menajamkan kecerdasan intelektual. Hal itu dijadikan dasar untuk menguatkan kepekaan emosional dan melahirkan kepedulian sosial. Anganyutaken laraning jagat artinya, dengan kuatnya srada dan bakti kepada Tuhan, kepedulian sosial umat bisa meningkat. Anganyutaken papa klesa maksudnya agar umat termotivasi untuk mengatasi lima kekotoran individu yang disebut panca klesa--awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa.

Sedangkan anganyutaken letuhing bhuwana maksudnya melalui ritual melasti umat diharapkan termotivasi untuk menghilangkan kebisaan buruk merusak sumber daya alam. Jika kebiasaan buruk ini terus dibiarkan, alam akan rusak (letuhing bhuwana) yang pada gilirannya manusia akan menderita.

Ketua Parisada Bali Dr. IGN Sudiana mengatakan melasti berasal dari kata lasti yang artinya menuju air. Dalam konteks prosesi melasti, umat bisa mendatangi segara (laut), danau dan campuan (pertemuan dua buah sungai).

Tujuannya, nunas tirta amertha dan menghanyutkan kekotoran dunia. Kata Sudiana yang dosen IHDN Denpasar, melasti ngarania ngiring prewatekan pralingga Ida Batara ke telengin samudera angamet tirta amerta (tirta sanjiwani), anganyutaken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.' Artinya, umat ngiring Ida Batara ke segara mengambil Tirta Amerta dan menghanyutkan segala penderitaan umat, segala sesuatu yang menyebabkan dunia atau alam semesta ini kotor. Tirtha yang telah diambil itu kemudian digunakan dalam upacara Panca Bali Krama.

Lanjut Sudiana, secara simbolik sesungguhnya umat diingatkan untuk selalu membenahi diri supaya menjadi lebih baik, dengan menghilangkan atau menghanyutkan perilaku atau sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri. Jadi, dalam konteks Panca Bali Krama, umat diingatkan melakukan introspeksi diri--misalnya, selama kurun waktu 10 tahun ke belakang, sudahkah ada perbaikan-perbaikan dalam diri? Demikian pula selama kurun waktu itu, sudahkan umat menjaga atau memperlakukan alam semesta ini dengan baik? Melalui introspeksi seperti itu diharapkan ke depan muncul perbaikan-perbaikan perilaku, sehingga terjadi keharmonisan. Pun, melalui upacara pemahayu jagat ini diharapkan keharmonisan alam beserta isinya tetap terjaga.

Dikutip dari:
http://balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=31&id=12377