Wednesday, July 29, 2009

SIMBOL ILMU PENGETAHUAN = CECAK??

Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?

JIKA umat Hindu di Bali ketika sedang nobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, "Pukulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati". Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?

Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.

Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melakukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.


Aksara Bali

Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu aksara Bali. Aksara Bali terbagi atas aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa terdiri atas aksara wreastra -- aksara yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 aksara (lihat boks penjelasan aksara Bali), misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.

Aksara suci terbagi atas aksara wijaksara atau bijaksara (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau aksara lukisan magis. Aksara amsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti -- utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wisnu dengan simbol air dan Dewa Siwa atau Iswara dengan lambang udara. Aksara amsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.

Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah aksara) atau gempelan (digabungkan dengan aksara di depannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan aksara mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai aksara biasa atau ma dengan amsa sebagai aksara wijaksara/bijaksara.

Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan aksara amsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau aksara amsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau amsa, yang bunyinya ng.

Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecak yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.


PENJELASAN PERIHAL AKSARA BALI

* Aksara Wreastra: = a, = na, = ca, = ra, = ka, dstnya.

* Aksara Swalalita: = a, = i, = u, = e, = o.

* Aksara Suci terbagi atas aksara Wijaksara atau Bijaksara (aksara Swalalita + aksara Amsa, misalnya : = ong, = ang, = ung, = mang) dan Modre (aksara lukisan magis).

* Aksara Amsa ( Omkara ) terdiri atas: ( ں )Ardhacandra (bulan sabit), ( ๐) Windu (matahari, bulatan,) dan ( ٠ )Nadha (bintang, segi tiga).

* Dewa Brahma berlambang api ( A ), Dewa Wisnu berlambang air ( U ), dan Dewa Siwa atau Iswara berlambang udara ( M ).

* Contoh Pangangge Tengenan: cecek ( ) = ng, surang ( ) = r, bisah ( ) = h, dan adeg-adeg ( ) = tanda bunyi mati. Aksara "mang", dapat ditulis (ma dengan cecek, sebagai aksara biasa) atau (ma dengan Amsa, sebagai aksara Wijaksara/Bijaksara).

* Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan aksara Amsa yang berbunyi "ng". Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) -- umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan Pangangge Tengenan cecek atau Amsa, yang bunyinya "ng" (........).

source: an e-mail from I Wayan Sudarma (peradah-indonesia@yahoogroups.com)


Tuesday, July 14, 2009

Kebangkitan Gerakan Agama Hindu di Jawa, Indonesia

Mungkin berita ini sudah agak lama, tapi masih layak diperbincangkan

Kebangkitan Gerakan Agama Hindu di Jawa, Indonesia
Oleh Thomas Reuter


Selama 1000 tahun, kerajaan-kerajaan Hindu subur di Jawa, sampai datangnya Islam di abad ke 15. Tetapi, di tahun 1970-an, bangkit kembali sebuah gerakan Hindu yang menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia. Agama Hindu bahkan mendapat lebih banyak pengikut di saat negara sedang menghadapi berbagai krisis, terutama di Jawa, pusat politik di Indonesia.

Berdasarkan riset etnografis atas lima kelompok masyarakat pada candi-candi Hindu besar, tulisan ini menelaah sejarah politik dan dinamika sosial bangkitnya kembali agama Hindu di Jawa.

Saya tertarik pada Jawa setelah melakukan penelitian selama 10 tahun di Bali. Kebanyakan masyarakat Bali menganggap diri mereka sebagai keturunan kaum ningrat kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang menaklukkan Bali di abad ke 14. Jumlah orang Bali yang berziarah ke kuil-kuil Hindu di Jawa semakin bertambah. Malah mereka sering terlibat dalam pembangunan kuil-kuil dan pelaksanaan ibadah Hindu baru di Jawa. Mereka juga mendominasi perwakilan kaum Hindu di taraf nasional. Dan banyak pendeta-pendeta Hindu Jawa yang dilatih di Bali.

Hal yang paling mempengaruhi gerakan ini :

1. Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sejarah dan Politik

a. Banyak orang Jawa masih mempertahankan kepercayaan warisan tradisiHindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa (Islam abangan, nama yang dipakai Geertz 1960). Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger (Hefner 1985, 1990) di Jawa Timur. Orang-orang `Hindu' Jawa yang ditulisdi laporan ini adalah mereka yang tadinya Muslim dan kemudian murtad untuk memeluk agama Hindu.

Laporan tahun 1999 yang tidak pernah diumumkan oleh Kantor Statistik Nasional Indonesia memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau `kembali lagi' pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang
organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini tidak sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak dapat pula menggambarkan besarnya kebangkitan agama Hindu di Jawa karena ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Menurut pengamatan saya, banyak yang pindah agama tapi tidak melaporkan diri.

Meskipun demikian, perhitungan jumlah orang Hindu di Jawa ternyata lebih banyak daripada orang Hindu di Bali. Data yang dikumpulkan secara independen selama penelitian saya di Jawa Timur menunjukkan bahwa tingkat cepatnya proses pindah agama melesat secara dramatis selama dan setelah jatuhnya Pemerintahan Rezim Suharto di tahun 1998.

Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang-orang beragama Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi. [2] Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan di tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Ramstedt 1998).

Di awal tahun 70-an, orang-orang Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama (Bakker 1995).

b. Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-66 (Beatty 1999). Orang-orang yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena juga ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam.

Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu dan juga karena takut pembalasan organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdatul Ulama (NU). Anggota-anggota muda NU tidak hanya aktif membunuhi orang-orang komunis tapi juga unsur-unsur Jawa Kejawen atau anti Islam yang banyak dianut Partai Nasionalis Islam milik Sukarno selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu (Hefner 1987). Demi keslamatan nyawa, para pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan diri mereka sebagai Muslim.

Pada awal Orde Baru, Presiden Suharto tidak mengikuti paham agama apapun. Baru di tahun 1990-an, Suharto mulai mendekati organisasi-organisasi Islam. Awalnya Suharto adalah pembela aliran Kejawen yang gigih, tapi ia lalu mengajukan tawaran-tawaran kepada kelompok Islam di masa itu karena berkurangnya dukungan masyarakat dan militer terhadap rezimnya. Tindakannya yang paling jelas tampak pada dukungannya atas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang anggotanya secara terbuka menginginkan negara dan masyarakat Islam Indonesia (Hefner 1997).

Kekuatiran mulai tumbuh tatkala ICMI menjadi organisasi yang mendominasi birokrasi nasional dan melaksanakan program-program pendidikan Islam besar-besaran dan pembangunan mesjid-mesjid melalui Departemen Agama dan sekali lagi menyerang aliran dan penganut Kejawen. Pada waktu yang sama, terjadi pembunuhan-pembunuhan oleh ekstrimis Muslim atas orang-orang yang dituduh sebagai dukun yang melakukan pengobatan tradisional Kejawen. (Ingat serentetan kasus pembunuhan dukun santet oleh `ninja' yang terjadi di desa-desa terpencil di Jawa?)

Pengalaman-Pengalaman pahit dan penindasan-penindasan membuat para penganut Kejawen takut dan juga benci. Dalam wawancara yang dilakukan di tahun 1999, orang-orang yang baru saja murtad dan memeluk Hindu di Jawa Tengah dan Timur mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan dengan identitas Islam. Tapi mereka sakit hati saat harus meninggalkan tradisi Hindu Jawa dengan tidak lagi melakukan upacara-upacara tertentu yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Sumber-sumber keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri..


2. Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sosial dan Ekonomi

Ciri-ciri umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura-pura yang baru saja dibangun atau candi-candi kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari Pura-pura Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah

Contoh, Candi Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika candi ini selesai dibangun pada bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Penelitian di bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga.

Perpindahan agama besar-besaran yang sama juga terjadi di daerah sekitar Candi Agung Blambangan yang merupakan candi baru yang dibangun di daerah sisa-sisa kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politis Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa (kemerdekaan spiritual).

Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar Candi Pucak Raung (di Jawa Timur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana begawan Hindu, Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan
perjalanan ke Bali dan dengan itu membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.

Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindukuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.

Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah (Lyon 1980). Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.


Candi Prambanan

Selain itu candi-candi besar Hindu juga dapat mendatangkan kemakmuran baru bagi masyarakat setempat. Selain mengundang biaya bagi pekerja-pekerja, pelebaran dan perbaikan candi itu sendiri, mengalirnya peziarah Bali yang terus menerus ke candi-candi nasional itu menciptakan suatu industri baru bagi penduduk setempat. Di sepanjang jalan utama menuju Candi Semeru terdapat sederetan hotel dan toko-toko yang menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan makanan bagi para pendatang. Pada hari-hari raya besar, puluhan ribu peziarah akan datang setiap hari. Peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi besar itu juga ternyata menarik perhatian penduduk setempat. Kemakmuran ekonomi orang-orang Bali juga membuat penduduk setempat berpendapat bahwa `budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam'.


3. Kebangkitan Hindu sebagai Pemenuhan Ramalan Utopia (negara impian)

Pihak pendukung dan penentang agama Hindu biasanya menghubungkan bangkitnya agama Hindu secara tiba-tiba di Jawa dengan ramalan terkenal Sabdapalon dan Jayabaya. Dalam ramalan itu dinyatakan beberapa utopia dan bencana alam dahsyat, meskipun pengertian akan ramalan ini berbeda antara kedua pihak.

Harapan terpenuhinya ramalan itu merupakan cermin ketidakpuasan yang semakin membesar atas Pemerintahan Suharto yang korup dan tangan besi di tahun 1990-an sampai berakhir di tahun 1998, yang diikuti dengan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Jawa sejalan dengan
krisis ekonomi Asia. Krisis politik dan ekonomi yang lebih besar yang terus berlangsung di Indonesia saat ini juga semakin menumbuhkan harapan itu.

Presiden Abdurahman Wahid, presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis, ternyata mengundang banyak kritik karena pada masanya terjadi pertentangan agama, pemberontakan di Aceh dan Papua Barat dan skandal korupsi di Pemerintahan. [3] Masyarakat luas menduga ketidakstabilan politik di bawah Pemerintahan Megawati Sukarnoputri (sejak tanggal 23 Juli 2001) akan terus berlangsung. Selain itu dikhawatirkan penindasan seperti yang terjadi di jaman Suharto akan terulang lagi. Menurut penentang dan pendukung gerakan baru agama Hindu, keadaan politik yang tak menentu saat ini sesuai dengan ramalan Sabdapalon dan Jayabaya.

Menurut legenda, Sabdapalon adalah pendeta dan penasehat Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Hindu Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Sabdapalon mengutuk rajanya yang meninggalkan agama Hindu untuk memeluk agama Islam di tahun 1478. Sabdapalon lalu berjanji untuk kembali setelah waktu 500 tahun berlalu di masa merajalelanya korupsi politik dan bencana2-bencana alam besar, untuk mengenyahkan Islam dari pulau Jawa dan membangkitkan kembali agama dan masyarakat Hindu Jawa.

Beberapa candi Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang selesai dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Candi Blambangan di daerah Banyuwangi. Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di waktu itu pula. Semua ini dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan Sabdapalon. Pihak penentang Hindu dari agama Islam menerima prinsip ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara berbeda. Beberapa kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu disebabkan karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai-nilai Islami atau karena penerapan Islam yang tak murni melalui tatacara ibadat Kejawen (Soewarno 1981). Menurut pendapat mereka, `kembalinya Sabdapalon' berarti ujian bagi Islam dan perlunya memurnikan dan membangkitkan kembali iman Islam.

Ramalan yang lain yang juga terkenal di seluruh Jawa dan Indonesia adalah ramalan Jayabaya. Buku tentang ramalan ini yang ditulis oleh Soesetro & Arief (1999) telah jadi best seller nasional. Ramalan Jayabaya juga seringkali didiskusikan di koran-koran. Ramalan-ramalan kuno ini memang bagian dari percakapan dan diskusi sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.

Tokoh legendaris Sri Mapanji Jayabaya berkuasa di kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 M (Buchari 1968:19). Dia terkenal atas usahanya menyatukan kembali Jawa setelah pecah karena kematian raja sebelumnya, Airlangga. Jayabaya juga terkenal karena keadilan dan kemakmuran kerajaannya dan karena pengabdiannya bagi kesejahteraan rakyatnya. Jayabaya dikenal sebagai titisan dewa Wishnu dan dianggap sebagai `ratu adil' yakni raja yang bijaksana yang muncul di jaman edan di akhir putaran tata surya untuk menegakkan kembali keadilan sosial, keteraturan dan keseimbangan di dunia. Banyak yang percaya waktu datangnya sang ratu adil yang baru telah dekat (seperti yang disebutkan dalam ramalan itu, "jika kendaraan-kendaraan besi bergerak sendiri tanpa kuda-kuda dan kapal-kapal berlayar menembus langit"), dan ia akan datang untuk menyelamatkan dan menyatukan Indonesia kembali setelah krisis hebat yang mengantarkan kepada awal jaman keemasan yang baru.

Dugaan terjadinya bencana besar dan utopia ini mengingatkan akan berakhirnya putaran tatasurya di masa kejayaan yang lampau untuk masuk ke jaman sekarang yang penuh kebobrokan moral, dan perlu diperbaiki kembali di masa depan dengan mengulangi kembali kejayaan di masa lampau.

Orang-orang Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dengan penuh kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan Islam sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya adalah seorang Muslim dan Sabdapalon tidak mau masuk Islam karena saat itu dia berhadapan dengan bentuk Islam yang salah dan tidak murni lagi (Soewarno 1981). Meskipun begitu, para penelaah ramalan dari pihak Muslim dan Hindu setuju bahwa sekaranglah masa terjadinya bencana hebat. Mungkin dalam bentuk reformasi politik besar-besaran dan mungkin pula sebuah revolusi. Kedua belah pihak juga setuju bahwa sistem pemerintahan demokrasi yang murni hanya dapat terlaksana dengan adanya pemimpin yang bermoral sangat tinggi yang mencampurkan kesadaran demokrasi modern dengan karisma kepemimpinan tradisional.

Pengaruh ramalan Jayabaya tampak nyata pada diri masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan ini tampak pula dengan kunjungan-kunjungan rahasia yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (sekali sebelum dia dicalonkan untuk jadi presiden dan sekali lagi sebelum dia terpilih) sewaktu menjabat ketua NU ke candi keramat Raja Jayabaya di Bali, Pura Pucak Penulisan. [4] Setelah kunjungan pribadi malam hari di pura Hindu kuno ini, demikian menurut pengakuan pendeta-pendeta Hindu setempat, Gus Dur berbicara dengan mereka untuk waktu lama tentang ramalan-ramalan Jayabaya dan kedatangan kembali ratu adil.



Bukit Penulisan
---
- --


Footnotes

[1] Islam, for example, incorporated elements from the tribal traditions of Arab peoples and from Jewish and Christian texts such as the 'Old Testament'.

[2] The other four state-recognized religions (agama) are Islam, Catholicism, Protestantism, and Buddhism (mainly Indonesians of Chinese ethnicity). Unrecognized religions are categorized by the state as minor 'streams of belief' (aliran kepercayaan) or are simply treated as a part of different local 'customs and traditions' (adat).

[3] As I am writing this, parliamentary procedures have been set into motion so as to impeach President Abdurahman Wahid on allegations of his involvement in corruption scandals.

[4] Pura Pucak Penulisan is still an important regional temple, and was a state temple of Balinese kings from the eighth century AD (Reuter 1998). Many statues of Balinese kings are still found in its inner sanctum, including one depicting Airlangga's younger brother Anak Wungsu. Literary sources suggest that intimate ties of kinship connected the royal families of Bali with the dynasties of Eastern Javanese kingdoms, including Kediri. Jayabaya's predecessor Airlannga, for example, was a Balinese prince.

[5] Sometimes apocalyptic expectations can reach such a pitch that members of the movement concerned may feel a need to bring about the very cataclysm the have been predicting. The poison gas attack in Tokyo launched by Japan's AUM Shinokio sect is a recent example. It is still uncertain whether the recent bomb attacks on Javanese Christian churches over the christmas period of 2000 were the responsibility of radical religious groups, or were instigated by other political interest groups wishing to destabilize the country by inciting simmering inter-religious conflicts in Java to the same level of violence as in the troubled Molukka Province.


References

Adorno, T. W. 1978. 'Freudian Theory and the Pattern of Fascist Propaganda'. In A. Arato & E. Gebhardt (eds), The Essential Frankfurt School Reader. Oxford: Basil Blackwell.

Bakker, F. 1995. Bali in the Indonesian State in the 1990s: The religious aspect. Paper presented at the Third International Bali Studies Workshop, 3-7 July 1995.

Beatty, A. 1999. Varieties of Javanese Religion. Cambridge: Cambridge University Press.

Buchari 1968. 'Sri Maharaja Mapanji Garasakan'. Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, 1968(4):1-26.

Ellingsen, P. 1999. 'Silence on Campus: How academics are being gagged as universities toe the corporate line'. Melbourne: The Age Magazine, 11.12.1999:26-32.

Fox, J. & Sathers, C. (eds) 1996. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.

Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.

Hefner, R. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press.

Hefner, R. 1987. 'The Political Economy of Islamic Conversion in Modern East Java'. In W. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning. London: Croom Helm.

Hefner, R. 1990. The Political Economy of Mountain Java. Berkeley: University of California Press.

Hefner, R. 1997. 'Islamization and Democratization in Indonesia'. In R. Hefner & P. Horvatich (eds), Islam in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.

Kaplan, M. 1995. Neither Cargo nor Cult: Ritual Politics and the Colonial Imagination in Fiji. Durham (NC): Duke University Press.

Lee, K. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. River Edge (N.J.): World Scientific.

Lindstrom, L. 1993. Cargo Cult: Strange Stories of Desire from Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii Press.

Lyon, M. 1980. 'The Hindu Revival in Java". In J. Fox (ed.), Indonesia: The making of a Culture. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.

Ramstedt, M. 1998. 'Negotiating Identity: 'Hinduism' in Modern Indonesia'. Leiden: IIAS Newsletter, 17:50.

Reuter, T. 1998. 'The Banua of CandiPucak Penulisan: A Ritual Domain in the Highlands of Bali'. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 32 (1):55-109.

Schwartz, H. 1987. 'Millenarianism: An overview'. In M. Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9:521-532. New York: MacMillan.

Smelser, J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul.

Soesetro, D. & Arief, Z. 1999. Ramalan Jayabaya di Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Soewarna, M. 1981. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. Jakarta: P.T Yudha Gama.

Stewart, K. & Harding, S. 1999. 'Bad Endings: American Apocalypsis'. Annual Review of Anthropology 28:285-310.

Stewart, P.J. 2000. 'Introduction: Latencies and realizations in millennial practices'. Ethnohistory 47(1):3-27. [Special Issue on Millenarian Movements.]

Timmer, J. 2000. 'The return of the kingdom: Agama and the millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia'. . Ethnohistory 47(1):29-65.

Note: Dr Thomas Reuter is Queen Elizabeth II Research Fellow at the University of Melbourne's School of Anthropology, Geography & Environmental Studies. This paper was published in The Australian Journal of Anthropology and is being reproduced with their permission.



http://www.swaveda.com/articles.php?action=show&id=49
Note: Dr Thomas Reuter is Queen Elizabeth II Research Fellow at the University of Melbourne's School of Anthropology, Geography & Environmental Studies. This paper was published in The Australian Journal of Anthropology and is being reproduced with their permission.


Sumber: Apa Kabar


Monday, July 13, 2009

“KISAH SUNGAI GANGGA DAN KAJIAN FILOSOFIS TRI HITA KARANA”

Ide Cerita: I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)- Bekasi

Pernah dipentaskan dalam bentuk drama tari di Pura Agung Tirta Bhuana -Bekasi Th. 2007


PENDAHULUAN

Umat Hindu memercikkan, meminum dan mengusapkan AIR SUCI pada kepala dan mukanya sebagai pengakhir dari persembahyangan mereka. Untuk mengetahui apa yang dinamai AIR SUCI dalam Agama Hindu kami akan memulainya dengan menguraikan mengenai air Suci Sungai Gangga, yang ada di Bharata Warsa yaitu India.

Dunia Barat, yang kini terkenal menjadi tempat pusat kemajuan teknologi mutakhir itu, pada jaman turunnya wahyu Veda di Dunia Timur, masih merupakan hutan rimba yang dihuni oleh manusia-manusia primitive. Dengan turunnya wahyu Veda, berarti dimulainya peradaban manusia, dan itu dimulai dari Dunia Timur.

Wahyu Veda disabdakan Hyang Widhi ke dunia melalui para Maharsi Bangsa Arya, yang terkenal genius itu. Sabda Tuhan tersebut diterima oleh para Maharsi melalui pendengarannya, sehingga kemudian sabda tersebut dinamai Sruti. Para Maharsi mampu mengingat-ingat wahyu Veda tersebut sampai akhir hayatnya. Sebagai penerima wahyu, para Maharsi meiliki kewajiban untuk menyebarluaskan wahyu tersebut kepada masyarakat.

Dalam penyebarluasan Veda inilah para Maharsi mengalami kesulitan, karena kemampuan masyarakat berbeda-beda. Bagi mereka yang pikirannya mampu, diberikan pelajaran setara ilmiah. Tetapi bagi yang sangat awam, diajar Veda dengan penafsiran. Tafsir-tafsir Veda tersebut dinamai Smrti.

Salah satu macam tafsir Veda yang disebut kitab-kitab Purana, memuat dongeng-dongeng keagamaan. Kini, kitab-kitab Purana tersebut berjumlah 36 pustaka. Bagi yang terpelajar, mungkin akan tersenyum tidak percaya bila telah membaca kitab-kitab Purana tersebut. Bahkan menuduh, bahwa penulis kitab-kitab Purana itu pembohong, penipu masyarakat yang sangat awam. Akan tetapi, pendapat tersebut akan hilang, apabila ia tahu, bahwa penulisan dongeng-dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut hanya merupakan simbolik-simbolik, merupakan gambaran-gambaran yang mudah dimengerti oleh orang awam, yang mengandung makna dan kebenaran yang dapat diterima dengan wajar. Jadi penulisan dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut, hanya merupakan media atau alat pendidikan yang sederhana dan mudah bagi orang awam.


KISAH SUNGAI GANGGA DAN KAJIAN FILOSOFIS TRI
HITA KARANA

Tentang kesucian sungai Gangga juga dimuat dalam kitab Purana. Berbentuk cerita yang sangat menarik bila dibacakan.

PROLOG:

Dahulu, kerajaan Ayodhya pernah diperintah oleh seorang raja yang bernama SAGARA. Baginda mempunyai dua orang istri. Dari istrinya yang pertama, Sang Raja dianugerahi seorang Putra bernama ANSUMAN, dan setelah dewasa menjadi seorang pertapa. Dan istri kedua baginda mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang.

Diceritakanlah, pada suatu hari raja Sagara akan mengadakan Asvamedha Yajna atau Upacara Korban Kuda. Suatu upacara korban, harus didasari kesucian dan ketulusan hati. Nampaknya prinsip tersebut tidak dipegang oleh Sri Baginda. Ia mengadakan Asvamedha Yajna, hanya ingin mendapatkan kemasyuran dirinya belaka, dan hanya ingin menunjukkan kekuasaannya.

SITUASI & DIALOG I
Tempat: Kerajaan Ayodhya
Situasi: Paruman Kerajaan

Perdana Menteri: Om Swatyastu Paduka Raja, semoga atas anugerah Hyang Widhi, Paduka dilimpahkan kemuliaan. Mohon paduka menyampaikan amanat kepada hamba semua, ada tugas apa yang harus kami lakukan sehingga Paduka mengumpulkan kami semuanya?

Raja Sagara : Wahai Rakyatku yang setia……….setelah sekian lama Aku memerintah kerajaan ini, tak terasa kerajaanku telah tumbuh menjadi kerajaan yang besar. Untuk itu Aku berniat menyelenggarakan Karya Agung yaitu Asvamedha Yajna, bagaimana menurutmu Perdana Menteri?

Perdana Menteri: Ampun Paduka, niat Paduka itu sangat mulia, karena Asvamedha Yajna adalah upacara yang paling utama dari semua upacara korban, hamba sangat setuju dan akan mendukung niat paduka tersebut.

Raja Sagara: Perlu kalian ketahui maksudku melaksanakan upacara ini, Aku ingin menjadi raja termasyur dan paling disegani di muka bumi ini. Aku ingin agar semuanya tunduk dan bersujud di bawah kekuasaanku, Aku ingin menjadi penguasa atas dunia ini.

Perdana Menteri: Baik Baginda…….Semua titah paduka akan hamba laksanakan.

Kemudian raja meninggalkan tempat diikuti oleh kedua istri, anak-anaknya dan diiringi oleh punggawa kerajaan.


SITUASI II

Pada saat upacara dilangsungkan yang dipimpin oleh pendeta kerajaan, niat jahat dari Sang Raja telah diketahui oleh Dewa Indra, dan untuk menggagalkan maksud nakal Raja Sagara tersebut, dewa Indra menjelma sebagai ASURA (Orang Jahat). Ketika Kuda yang dijadikan korban telah dilepas, di tengah perjalanan Kuda tersebut dihalau oleh ASURA hingga masuk ke dalam tanah.


SITUASI & DIALOG III

Tempat: Kerajaan Ayodhya
Situasi: Tegang

Sri Baginda Raja Sagara sangat marah, setelah mengatahui kudanya hilang. Maka segeralah memerintahkan ke 60.000 putra-putranya untuk mencari kudanya yang telah menghilang itu.

Raja Sagara: Pengawal……. Pengawal……. Perdana menteri………. Senapati dimana kalian semua, mengapa kuda korbannya bisa hilang? Apa kerja kalian siang dan malam, Aku telah menyuruhmu untuk menjaga dan mengawasi kuda tersebut mengapa bisa hilang? Putra-putraku semuanya sekarang kalian cepat pergi…. cari ke seluruh penjuru dan jangan kembali sebelum kalian menemukan kudanya !

Putra Raja : Baik Ayahanda, semua perintah paduka akan hamba lakukan……..hamba mohon pamit! ( dengan sikap agak terpaksa dan ketakutan)

Demikianlah Sri Baginda Raja Sagara, yang sangat murka memerintahkan putra-putranya untuk mencari kuda korban itu tanpa ada yang berani membantah, walau dalam hati mereka sebenarnya enggan melaksanakan tugas tersebut.

SITUASI & DIALOG IV
Tempat: Pertapaan Rsi Kapila
Situasi: Tegang

Belum lama mengadakan perjalanan, putra-putra Raja Sagara telah dapat menemukan kuda yang hilang itu. Ternyata kuda itu, berada di pertapaan Rsi Kapila. Hal ini menyebabkan Putra-putra Raja sagara tersebut berburuk sangka terhadap Rsi Kapila. Mereka menuduh Sang Rsi telah mencuri kudanya.

Putra Raja 1: Wahai Sang Rsi ……Kami Putra Raja Sagara dari kerajaan Ayodhya, sedang mencari kuda yajna yang menghilang, dan kami menemukan kuda tersebut di sini, pastilah Sang
Rsi yang telah mencurinya?

Rsi Kapila: Om Swastyastu…..terimalah hormat hamba sebagai abdimu, maaf tuan …..semua yang tuan tuduhkan itu tidaklah benar, kuda itu datang sendiri ke pertapaan hamba!

Putra Raja 2: Aah…. Dasar pencuri! Mana ada pencuri yang mengaku? Kakanda pastilah Dia yang telah mencuri kuda ini, dan dia pantas dihukum atas kejahatannya ini.

Putra Raja 3: Siksa saja Dia, lalu kita hanyutkan ke sungai, biar tahu rasa…..apa akibatnya kalau mencuri dan berbohong!

Niat buruk para Ksatria tersebut diketahui oleh Rsi Kapila, maka ia mendahului menghukum para Ksatria congkak itu. Melalui pancaran sinar sakti matanya, Rsi Kapila membakar habis ke 60.000 pura Raja Sagara hingga menjadi abu.

SITUASI & DIALOG V
Tempat : Kerajaan Ayodhya
Situasi : Cemas

Prabhu Sagara sangat gelisah, karena sudah cukup lama putra-putranya tidak kembali. Oleh karena itu, Sang Ansuman, putra yang telah menjadi pertapa itu, diperintahkan agar segera menyusul saudara-saudaranya dalam mencari kuda.

Raja Sagara: Pengawal……….segera engkau panggilkan putraku Sang Ansuman, untuk menghadapku!

Pengawal: Baik Yang Mulia

Sang Ansuman: Om Swastyastu ……Ayahanda, terimalah sembah bhakti hamba, kalau boleh hamba tahu apa yang menyebabkan mengapa Ayahanda begitu gelisah ?

Raja Sagara: Bagaimana Ayah tidak cemas, sejak kepergian saudara-saudaramu mencari kuda yajna, hingga hari ini belum juga kembali, jangan-jangan mereka mendapat celaka! Itulah sebabnya Ayah memanggilmu untuk segera menyusul saudara-saudaramu mencari kuda terebut.

Sang Ansuman: Jika itu penyebab kegelisahan Ayahanda, saya siap melaksanakan tugas ini dan menemukan kembali kuda dan saudara-saudara saya. Ijinkalah saya menyusulnya sekarang juga!

Raja Sagara: Berangkatlah, doa dan restu ayah menyertaimu!

Sang Ansuman, setelah menghaturkan sembah, segera berangkat napak tilas perjalanan saudara-saudaranya.


SITUASI DAN DIALOG VI
Tempat: Pertapaan Rsi Kapila

Sampailah SangAnsuman di pertapaan Rsi Kapila. Ia melihat kuda yang dicarinya. Sang Ansuman, yang telah terbiasa bergaul dengan para pertapa, segera menghadap Sang Rsi. Ia duduk bersila di hadapan Rsi itu, kemudian menyembah kaki Rsi Kapila. Setelah mengahaturkan sembah, Sang Ansuman memulai pembicaraan

Sang Ansuman: Om swastyastu Wahai Rsi Agung, terimalah sembah sujud saya…… Hamba Sang Ansuman Putra Raja Sagara dari Ayodhya,…….maaf Rsi Agung, kedatangan saya ke sini untuk mencari kuda yang hilang. Mungkinkah kuda yang dipertapaan ini milik keluarga kami?

Rsi Kapila: Mungkin betul ananda. Kuda itu datang kemari sendiri dan aku hanya merawatnya. Periksalah terlebih dahulu, kalau memang kuda itu yang ananda cari, aku tidak keberatan untuk memberikan kuda itu kepadamu!

Belum sampai Sang Ansuman mengajukan permohonan, ternyata pertapa itu telah menyerahkan kuda itu kepadanya. Hal ini terjadi karena Rsi kapila sangat senang melihat Sang Ansuman yang gunawan.

Sang Ansuman: Terima kasih maha Rsi. Namun sebelum ananda mohon diri, perkenankanlah nanda mengajukan sebuah pertanyaan. Tidakkah Maha Rsi melihat ke 60.000 saudara saya, yang juga ditugaskan mencari kuda yang hilang?

Rsi Kapila: Memang anakku, saudara-saudaramu telah datang kemari!

Rsi Kapila menarik napas panjang, raut mukanya nampak serius, kemudian melanjutkan percakapannya.

Mereka datang kemari dengan tidak sopan, melanggar dharmaning ksatria, malah mereka telah berbuat Adipataka (dosa yang sangat besar dan berat). Mereka menuduhku mencuri kuda itu, dan mereka bermaksud akan mencelakakanku. Karena itulah, mereka terpaksa kumusnahkan, dengan menggunakan pancaran sakti mataku. Lihatlah sekeliling pertapaan ini, abu-abu yang berserakan itu adalah abu-abu saudaramu.

Sang Ansuman memandang sekeliling pertapaan. Ia terdiam seribu bahasa. Mukanya yang tadinya ceria, kini dengan cepatnya berubah menjadi sayu. Ia sangat sedih, walaupun mereka hanya saudara tiri, namun ia merasa turut kehilangan.

Rsi Kapila: Sudahlah Ansuman, Janganlah bersedih hati. Saudara-saudaramu itu masih bisa dihidupkan kembali. (kata Rsi Kapila menghibur).

Sang Ansuman: Betulkah itu Maha Rsi ?

Rsi Kapila: Ya, saudara-saudaramu itu akan hidup kembali bila Dewi Gangga berkenan turun dari Sorga ke Bumi. Lakukanlah tapa, untuk memohon agar Dewi Gangga turun ke dunia!

Ansuman tidak berkata apa-apa, tetapi menganggukkan kepalanya suatu tanda telah mengerti akan nasihat Sang Rsi. Setelah bersujud mohon pamit, Ansuman berdiri, kemudian berjalan menuju tempat kuda diikatkan. Ia menuntun kuda itu pulang dengan langkah yang lunglai.


SITUASI DAN DIALOG VII
Tempat: Istana Ayodhya
Situasi: Riang-sedih

Perjalanan yang dirasa dekat pada waktu berangkatnya, kini terasa jauh. Langkah demi langkah, akhirnya tiba pula di Ayodhya. Diikatkanlah kuda itu di kandangnya. Kemudian Sang Ansuman segera menghadap ayahanda raja, yang suatu kebetulan saat itu semua kerabat sedang berkumpul dalam persidangan. Sebagaimana biasanya, Sang Ansuman pun segera menghaturkan sembah ke hadapan ayahnya.

Sang Ansuman: Om Swastyastu …..sembah sujud hamba ayahanda.

Sang Raja yang menerima sembah itu tahu, bahwa putranya dalam keadaan murung. Sementara semua kerabat, yang turut hadir dalam persidangan itu diam. Tidak seorangpun yang berbicara. Semua memperhatikan Sang Ansuman dengan penuh tanda tanya. Sekali lagi Ansuman mencium kaki ayahandanya, namun sang raja, belum juga mengerti apa yang dirisaukan putranya.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi ananda?” Sang Prabu memulai pembicaraan.

Dengan kata-kata yang tersendat-sendat,

Sang Ansuman: “Ramanda, saudara-saudarakua telah kena kutuk pastu Bhagawan Kapila. Mereka dibakar habis menjadi abu.”

Suasana persidangan berubah seketika. Sekejap jerit tangis meledak memenuhi ruangan. Air mata bercucuran. Hanya Sri Bagindalah yang tidak meneteskan air mata. Beliau hanya menunduk sedih. Menyesali kejadian yang menimpa putra-putranya.

Sang Ansuman: “Ayahnda. Janganlah menyalahkan Rsi Kapila, apalagi menghukumnya. Beliau tidak bersalah justru saudara-saudarakulah yang telah berbuat Adipataka (dosa terbesar). Mereka telah merencanakan pembunuhan terhadap sang pertapa.”

Sang Raja: “Betul anakku merekalah yang bersalah. Terus apa yang dinasehatkan pertapa itu kepadamu?”

Sang Ansuman: “Saudara-saudaraku masih bisa dihidupkan kembali.”

Jawaban tersebut mengejutkan semua yang hadir, sehingga mengubah suasana persidangan. Suara tangispun mereda, walau isak-isak tangis masih terdengar di sana-sini. Mereka dengan tekun mengikuti pembicaraan, penuh harap, agar kejadian yang mustahil itu dapat terwujud.

Sang Raja: “Apa yang harus kita lakukan Ansuman?”

Sang Ansuman: “Rsi kapila menasehatkan, saudara-saudaraku bisa dihidupkan kembali, jika Dewi Gangga telah dapat diturunkan dari Surga ke bumi.”

Semua yang hadir dalam persidangan, penuh tanda tanya, tetapi tidak seorangpun yang berani bertanya. Namun bagi Sri baginda, hal itu sudah cukup dimengerti, sehingga beliau menganggukkan kepalanya.

Sang Raja: “Ansuman anakku, dalam sastra suci telah disebutkan, bahwa putra adalah pelanjut dharma orang tua. Bersiap-siaplah, sudah waktunya ananda menggantikan ayah, memimpin rakyat Ayodhya. Jadilah pemimpin yang bijaksana, agar rakyat hidup tentram, damai, dan, sejahtera.”

Kisah selanjutnya, Ansuman menjadi raja di Ayodhya, sedang Prabhu Sagara melakukan tapa guna memohon turunnya Dewi Gangga. Sampai akhir hayatnya, permohonan Prabhu Sagara belum terkabulkan. Sehingga Ansuman melanjutkan melakukan tapa. Tapi masih berbasib sama dengan ayahandanya. Permohonan belum juga terkabulkan. Dilipa, putra Ansuman, juga menyusul melanjutkan dharma kakeknya. Ia gagal pula. Dan akhirnya, sang Bagiratha, Putra Dilipa yang terkabulkan permohonannya.


SITUASI DAN DIALOG VIII
Tempat: di tengah hutan
Situasi: damai

Sang Bagiratha, buyut Prabhu Sagara itu, telah bertapa dengan hebatnya. Sorga tergoncang oleh tapanya sehingga Dewa Brahma berkenan turun ke bumi.

Dewa Brahma: “Ananda Bagiratha, tapamu begitu hebatnya, yang meresahkan para dewata. Apa yang kau kehendaki?”

Bagiratha: “Dewata yang selalu hamba puja, hamba memohon agar Dewi Gangga diturunkan ke bumi di sekitar pertapaan Rsi Kapila. Hanya dengan cara itulah leluhurku yang terkena kutuk Rsi Kapila akan hidup kembali dan dibersihkan dari dosa dan noda.”

Dewa Brahma : Permohonanmu terkabulkan Bhagiratha, tetapi ketahuilah, Dewi Gangga akan turun dengan derasnya. Bumi pasti tergoncang karenanya. Segala yang dilaluinya pasti hancur, basmi buta semuanya. Hanya Dewa Siwalah yang dapat menghambatnya.”


SITUASI DAN DIALOG IX
Tempat: Di tengah hutan
Situasi: Damai

Setelah menerima sembah dari Bagiratha, Dewa Brahma segera kembali ke Brahmaloka. Bhagiratha melanjutkan tapanya, guna memohon turunnya Dewa Siwa. Tak lama kemudian Siwa turun ke bumi mendatangi Bagiratha.

Dewa Siwa: “Hai, Bagiratha, tidakkah Brahma telah mengabulkan permohonanmu? Apalagi yang kau kehendaki dariKu?”

Bagiratha: “Betul, permohonan hamba telah dikabulkan. Namun apa artinya hamba dapat menolong leluhur, tetapi membencanai orang lain? Oleh karena itu, hamba mohon, sudilah kiranya Hyang Siwa menghambat turunnya Dewi Gangga ke bumi secara tidak dhasyat.”

Dewa Siwa: “Permohonanmu kukabulkan, Bagiratha.”

Tanpa menunggu sembah Bhagiratha, Dewa Siwa segera menuju ke puncak gunung Kailasha. Bhagirathapun segera menuju ke pertapaan Rsi Kapila. Untuk menyaksikan sendiri keajaiban dunia yang akan segera terjadi itu.


SITUASI X

Sementara itu dunia menjadi gelap gulita dengan cepatnya. Awan hitam tebal menyelimuti bumi, suara gemuruh teriring kilatan petir yang yang dibarengi dengan suara geledek yang mengerikan. Seolah maha pralaya telah tiba. Bersamaan dengan itu Dewi Gangga turun ke bumi dengan dahsyatnya.

Dewa Siwa yang menyaksikan peristiwa itu segera berdiri di puncak Gunung Kailasha, anak pegunungan Himalaya. Dewi Gangga dapat dihadang oleh Dewa Siwa, akan tetapi Dewi Gangga selalu berontak melepaskan diri. Dewa Siwa segera membelit Dewi Gangga dengan perutnya, sehingga Dewi Gangga kehabisan akal. Namun Dewi Gangga dapat pula melepaskan diri dari lilitan rambut Dewa Siwa. Kini, muncullah Ia sendiri dari kepala Siwa, hanya saja Ia tercerai berai menjadi bagaian-bagaian kecil dan besar, mengalir ke seluruh India sehingga tidak membahayakan daerah-daerah yang di lewatinya. Bagiannya yang terbesar mengaliri pertapaan Rsi Kapila yang kini disebut Sungai Gangga. Bagian-bagian lainnya menjadi Sungai Yamuna, Saraswati, dan sebagainya.

Berbahagialah Sang Bagiratha karena permohonannya telah terkabulkan. Leluhurnya telah dibersihkan dari dosa dan noda. Kini leluhurnya yang terkena kutukan Rsi Kapila, telah hidup kembali.

KAJIAN MAKNA FILOSOFIS

Berkat dongeng tersebut di atas, sampai kini umat Hindu di India bahkan dunia mengakui dan mempercayai bahwa Sungai Gangga adalah sungai yang paling suci di muka bumi ini. Umat Hindu memujanya bukan karena takut, tetapi mereka memuja karena tahu bahwa sungai Gangga memiliki keajaiban.

Sekali lagi yang terpelajar harus bisa mengupas simbol-simbol yang terkandung dalam dongeng tersebut, misalnya:

1. Nama Sagara, berasal dari perkataan sansekerta, yang berarti lautan atau samudra.

2. Prabhu Sagara memilikki dua istri. Hal ini merupakan simbol, bahwa lautan itu memilikki dua sifat yang berlawanan, yaitu pasang dan surut (rwa bhineda)

3. Dari istri pertama, Prabhu Sagara mendapatkan Putra satu orang, sedang dari istri yang kedua mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang Hal ini menjelaskan bahwa samudralah menadi asal mula beribu-ribu sungai di di dunia. Dan sekian banyak sungai tersebut hanya satu yang dianggap paling suci, yaitu Gangga.

4. ke 60.000 orang putra sagara mencari kuda ke dalam tanah dalam sekali. Itu melambangkan bahwa setiap sungai mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, yang akhirnya kembali ke samudera.

5. ke 60.000 orang putra sagara terbakar habis menjadi abu. Hal ini melambangkan bahwa sungau-sungai itu bila mati akan kering hanya kelihatan pasir-pasir atau menjadi padang pasir.

6. Sabda Rsi Kapila, yang menyatakan putra-putra Sagara itu akan hidup kembali setelah Dewi Gangga berkenan turun ke bumi, melambangkan sungai-sungai itu akan hidup kembali jika hujan telah turun ke bumi.

7. sabda Dewa Brahma, “Dewi Gangga akan turun ke bumi dengan dahsyatnya dan akan membawa bencana di bumi, meunjukkan bahwa hujan yang lebat akan membawa korban, membencanai makhluk hiudp dan korban harta benda.

8. Dewa Siwa menghadang turunnya Dewi Gangga di puncak gunung Kailasha serta membelit dengan rambutnya, mengandung simbol bahwa kepala Dewa Siwa sebagai simbol puncak gunung, sedang rambut Siwa sebagai simbol akar-akar pohon yang tumbuh di lereng-lereng gunung. Di daerah gununglah hujan yang lebat itu banyak terjadi. Air hujan itu meresap ke dalam tanah kemudian di tahan oleh akar pohon, maka air hujan tidak seluruhnya mengalir ke daerah lembah. Yang tertahan oleh akar-akar kemudian muncul sebagai mata air yang mengalir sepanjang masa, menyebabkan sungai-sungai hidup terus yang memberi kemakmuran.

Dari simbol-simbol itu dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tujuan cerita tersebut adalah menerangkan sirkulasi air. Dan juga bermaksud mengajarkan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, yaitu dengan cara menjaga hutan di lereng maupun di kaki gunung. Umat manusia tidak menebang pohon-pohon seenaknya.

Telah menjadi kenyataan, bahwa bencana banjir, tanah longsor yang kini sering terjadi di negara kita bahkan di dunia adalah suatu akibat penggundulan hutan oleh masyarakat, tentunya masyarakat yang sudah tidak mempercayai dongeng-dongeng yang sudah dianggap kuno itu.

Wednesday, July 8, 2009

PENGENDALIAN DIRI, ETIKA DAN TOLERANSI

Om Swastyastu

isa vasyam idam sarvam
yat kim ca jagatyam jagat
tena tyaktena bhunjita ma
grdhah kasya svid dhanam

Yajurveda XL.1

(Segala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak di alam semesta ini meliputi dan diresapi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hendaknya seseorang mampu mengendalaikan dirinya dan tidak menginginkan milik orang lain)

1. Pendahuluan

Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan pencerminan kehidupan beragama dengan kehidupan sesama baik manusia dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara bahkan pula dalam hubungan internasional antar bangsa-bangsa. Dengan pengendalian diri seseorang mampu hidup berdampingan secara rukun yang tercermin dalam etika atau tata laku sopan santun dalam pergaulan hidup.

Kerukunan hidup akan semakin mantap bila dilandasi dengan toleransi atau penghargaan terhadap perbedaan yang dihadapi, karena perbedaan itu seperti misalnya perbedaan agama yang dianut merupakan kenyataan yang diyakini dan ajaran yang dikandungnya diamalkan oleh pemeluknya. Dengan pengendalian diri yang mantap, seseorang yang tertib dalam berlalu lintas akan berhasil mencapai tujuan dengan selamat, demikian pula dengan etika dan toleransi, seseorang akan mudah bergaul dengan sesamanya walaupun berbeda agamanya. Pandangan hidup akan dapat diwujudkan dan dengan keharmonisan ini. Ketentraman dan kebahagiaan hidup, baik dalam keluarga maupun masyarakat dapat terealisasikan.

Agama Hindu dengan kandungan ajaran tentang pengendalian diri, etika toleransi yang sangat berguna sebagai pedoman dalam membina hubungan yang harmonis tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan Tuhan Yang Maha Esa dan semua Makhluk ciptaan-Nya..


2. Pengendalian diri

Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk tidak melakukan yang tidak baik dan tidak patut dilakukan. Untuk dapat mengendalikan diri, seseorang hendaknya mengenal ajaran tentang Viveka atau Vivekajnana. Yang dimaksud dengan Viveka adalah kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar. Yang baik belum tentu benar, sebaiknya yang benar belum tentu baik dan selanjutnya yang dengan pengetahuan Viveka ini seseorang akan dapat mengendalikan dirinya, sebab diantara berbagai makhluk hidup dengan tegas dinyatakan hanya manusialah yang memiliki pengetahuan itu. Oleh karena itu menjelma sebagai manusia disebut sebagai penjelmaan utama bila dibandingkan dengan makhluk lainya :

Manusah sarve bhutesu varttate
vai dubhasubhe asubhesu samavistam
subhesvevakarayet

Ri sakwehning sarva bhuta,

iking wwang juga wenangguma ikang sebha asubha karma,

kunang panentasekena ring asubhakarma juga ikang subha karma,

phala ning dadi wwang

Sarasamuccaya 2

(Di antara semua makhluk, yang hanya dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik itu menjelma sebagai manusia.)

Di dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan pula bahwa menjelma sebagai manusia adalah kesempatan yang utama dan sangat sulit untuk diperoleh (parama durlabha) dan hidup sebagai manusia dinyakan sangat singkat (ksanikasvabhava) bagaikan kerdipan kilat. Memang bila direnungkan, sesungguhnya manusia hampir sangat jarang untuk merenungkan kembali, untuk apa tujuan penjelmaan kita ini, bagaimana kita seharusnya berbuat di dunia ini, benarkah kita nanti, apakah yang akan kita bahwa dan bagaimanakah kita alam sana dan lain-lain pernyataan akan muncul bagi mereka yang memiliki kepekaan untuk merenungkan kehidupan kembali.

Untuk usaha, ajaran agama Hindu memberikan bimbingan dan tuntunan seseorang berhasil meniti kehidupan di dunia ini termasuk bagaimana dia berperilaku menyingkapi dan mensiasati kehidupan yang dewasa ini sangat dirasakan kecendrungan pada material atau pleasure oriented sebagai dinyatakan dalam kitab-kitab Purana, bahwa era jaman Kali (Kaliyuga) orientasi manusia hanyalah pada materi dan kesenangan, yang tidak akan memberikan kebahagiaan yang sejati. Bila kita hanya mengejar kepuasan materi atau kesenangan duniawi belaka (kepuasan kama), maka penderitaanlah yang akan kita jumpai. Memuaskan Kama semata diibaratkan menyiram api yang sedang berkobar tidak dengan air, melainkan dengan bensin dan akibatnya adalah api semakin membesar yang mengakibatkan kehancuran. Agama Hindu mengamanatkan untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan ini (peace oriented), karena di balik kedamaian yang sejati (true happines). Kebahagiaan yang sejati (Moksa) bukanlah khayalan, melainkan kenyataan yang dapat diwujudkan di dunia ini (melalui Samadhi) yang disebut dengan Jiwanmukti. Untuk merealisasikan hal ini banyak hal yang dilakukan, terutama dapat mentransformasikan diri kita, meninggalkan kualitas jasmani kita yang muaranya adalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia (menurut pandangan Hindu) tidak hanya menekankan pada kualitas jasmani dan keterampilan atau kecerdasan pikiran, melainkan adalah memupuk budi luhur sesuai dengan ajaran Dharma, yang nantinya akan mampu mengantisipasi berbagai tantangan hidup dan mencapai tujuan yang tertinggi yakni bersatunya Atman dengan Brahman yang disebut Moksa yang merupakan kebahagiaan sejati dan abadi (Sukha dan tanpawali sukha)

Sangat banyak kita jumpai dalam ajaran Agama Hindu petunjuk tentang pengendalian diri termasuk pula bagaimana menggunakan Viveka sehingga kita mampu menyikapi perkembangan dunia ini. Ajaran tentang pengendalian diri dan Viveka ini dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda, dalam berbagai kitab Upanisad, Ithiasa dan Purana termasuk pula dalam berbagai kitab Dharmasastra dan Tantra seperti Panca Tan Matra yang disusun oleh Visnu dan lain-lain.


3. Etika

Etika adalah bentuk pengendalian diri di dalam pergaulan hidup bersama. Manusia adalah homo sosius, makhluk berteman. Ia tidak dapat hidup sendirian, ia selalu bersama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama manusia yang lain di dalam masyarakat. Tidak bergaul dengan sesama manusia lainya. Hanya dalam hidup bersama manusia akan dapat berkembangan dengan wajar. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, bahwa sejak manusia dilahirkan sampai ia mati, selalu memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rohaninya.

Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan hidupnya yang sehat. Semua kebutuhannya itu merupakan kebutuhan rohani hanya dapat ia perolah dalam hubungannya dengan manusia dalam masyarakat. Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak ada seorangpun yang dapat mengingkari hal ini karena bahwa manusia baru dapat disebut manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan bukan dalam kesendiriannya.

Dalam kehidupan bersama ini orang dapat mengatur untuk bertingkah laku yang baik. Tidak seseorang yang boleh berbuat sekehendak hatinya. Ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya (dalam pengertian tidak boleh larut dalam lingkungannya itu) dan tunduk atau patuh terhadap peraturan atau aturan yang berlaku dalam lingkunyanya ini masih dalam frame-frame yang berlaku.

Aturan atau peraturan untuk bertingkah laku yang baik dalam agama Hindu disebut dengan "Sila" yang dalam bahasa Indonesia menjadi Tata Susila. Nama lainya untuk istilah ini adalah Etika. Kata etiket artinya sopan santun dalam pergaulan. Bila itikad beretika masih dalam angan-angan disebut dengan Budi Luhur (Budi baik) dan bila diwujudkan dalam tungkah laku disebut pekerti yang baik.

Bila kita mengamati dengan seksama tujuan dari atau tingkah laku yang baik adalah untuk membina hubungan yang harmonis antar sesama manusia dan dalam ajaran agama Hindu tidak hanya hubungan yang horisontal, tetapi juga hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dan alam pencipta-Nya. Tata susila dalam ajaran agama Hindu merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar agama Hindu disamping Sradha dan Acara yang bersumber pada kitab suci Veda, oleh karena itu tata Veda dengan susastra Hindu lainya.

Dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia, dapat dikaji dalam tiga tingkatan yaitu :

a. Tingkat pertama semasih dalam bentuk angan-angan niat atau idea
b. Tingkat kedua sesudah berbentuk pekerti, yakni perbuatan nya (telah dilaksankan)
c. Tingkat ketiga adalah akibat yang ditimbulkan oleh pekeri ini. Hasilnya dapat baik atau buruk.

Selanjutnya isi dari angan-angan, niat atau idea itu direalisasikan dalam 4 jenis perbuatan (varaible), yaitu :
a. Tujuannya baik, tetapi cara penyampaiannya tidak baik.
b. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampaiannya baik
c. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampaiannya tidak baik.
d. Tujuannya baik, tetapi cara penyampaiannya baik.

Semuanya yang disebut atau buruk kadang-kadang sulit untuk dirumuskan. Dalam kenyataannya ternyata manusia sesungguhnya mengerti atau memahami apa yang disebut baik dan buruk. Berbohong atau mencuri adalah buruk dan tidak benar. Menolong, penuh kasih dan jujur adalah baik. Kesadaran terhadap baik dan buruk, salah dan benar disebut Kesadaran Etis. Namun perlu dipahami apa yang disebut baik itu, tidak selalu benar dan apa yang disebut buruk itu tidaklah selalu salah.

Untuk menentukan mengukur atau membesakan baik, buruk salah dan benar, Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk berpedoman kepada beberapa pramana atau ukuran, antara lain :
a. Desa (tempat), Kala(waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam Manavadharmasastra dilengkapi dengan Iccha (tujuan) dan Sakti (Kemampuan untuk mencapai tujuan itu).
b. Pratyaksa (pengamatan), Anumana (analisa) dan Agama (pertimbangan / Informasi yang dapat dipercaya)
c. Sastratah (bersumber pada sastra/ajaran agama) Gurutah (bersumber pada ajaran guru) dan Svatah (bersumber pada analisa dan pengalaman sendiri)

Berdasarkan ukuran atau pertimbangan tersebut seseorang dapat menentukan perbuatan yang patut dan baik untuk dilaksanakan. Untuk dapat menentukan perbuatan itu, seseorang hendaknya mengetahui dan dapat memilih dan untuk itu berbagai pertimbangan sangat diperlukan. Kemampuan untuk mengetahui (Maknanya) dan memilih (yang patut dan baik dilakukan) merupakan pegangan moralitas.

Penilaian moralitas tidaklah dapat diukur dari penampilan luar seseorang demikian pula dalam kitan bertingkah laku yan baik dan benar. Untuk itu ajaranya agama Hindu menuntut kepada umatnya untuk memiliki kepekaan sehingga mampu mendengarkan bisikan Sang Hyang Widi Atma yang bersemayan pada hati setiap orang. Bisikan sang Hyang Atma adalah bisikan hati nurani yang selalu jujur. Nilai pribadi seseorang tidak dapat diukur dengan kekayaan yang dimiliki, kepandaian, kecerdasan atau kebangsawanan yang dimiliki. Perhatikanlah terjemahan sloka Sarasamuccaya berikut :

Meski ia Brahmana yang berusia lanjut, Jika perilakunya tidak susila, tidaklah patut disegani. Walaupun ia seorang Sudra, jika perilakunya berpegang pada Dharma dan kesucian patutlah ia dihormati dan disegani (161)

Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga Dharma dan satra suci. Pikiran yang teguh dan bulat merupakan upaya untuk menjunjungnya, adapaun keindahan paras adalah keberhasilan pemeliharaannya demikian pula kelahiran seseorang, semuanya budi pekerti susila yang menegakkannya (162).

Tingkah laku yang baik merupakan sebab dikenal sujana, demikian walaupun ia tidak memiliki silsilah dari orang-orang, asalkan ia berasusila, akan diketahui pula asal -usulnya (163)

Pengetahuan tenang kitab suci Veda (Catur Veda) dengan enam cabang dan anak cabangnya, kemahiran tentang ajaran filsafat (sastra suci) Samkhya, Purana dan Kelahiran. Yang mulia, semuanya itu tidak akan berpahala bagi orang yang berkelakuan jahat, Akhirnya semua pengetahuan dan kelahiran yang dimilikinya tidak ada artinya (164)

Lagi pula tidak kuasa kaum kerabat dan sanak keluraga memberikan pertolongan, membebaskan diri dari kesedihan hati, begitupun emas segala hak milik Kebangsawanan, sastra dan mantra-mantra serta kekuasaan tidak akan dapat memberi pertolongan, yang dapat menolong hanyalah tingkah laku, oleh karena itu ia sungguh yang dapat melenyapkan kedudukan hati didunia yang lain kelak dikemudian hari (167).

Didalam Agama Hindu kita jumpai banyak ajaran yang menuntun manusia untuk menjadi manusia yang sujana, berbudi luhur dan bertingkah laku yang bersusila, tidak bertentangan dengan moral dan ajaran Dharma.

4. Toleransi

Toleransi artinya penghargaan, yakni memberikan penghargaan terhadap orang lain dalam hal ini yang paling menonjol adalah penghargaan terhadap ajaran agama yang dianut oleh orang lain. Sesungguhnya toleransi tidak hanya berkaitan dengan penganut agama yang lain tetapi juga perlu ditumbuhkan dalam kaitannya dengan kehidupan intern umat beragama, maksudnya bila terdapat perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dalam intern umat seagama, maka penghargaan atau toleransi perlu ditumbuhkembangkan, demikian pula dengan umat yang lain (antar umat beragama) dan antara umat beragama dengan pemerintah.

Kitab suci Veda menegaskan perlunya toleransi itu sebagai perwujudan pengamalan ajaran agama :

a. Bumi ini tempat tinggal seluruh umat manusia, seperi keluarga, semuanya berbicara berbeda-beda dan menganut kepercayaan (agama) yang berbeda-beda, semuanya hendaknya seperti sapi-sapi yang bersatu salam satu kandang sapi kepadanya kesejahteraan akan berlimpah (Atharvaveda XII.I.45)


b. Bumi yang luas ini adalah ibu dan sahabat kita (Atharvaveda IX,10,12)


c. Marilah kita menghormati kemerdekaan (harkat dan martabat) seseorang (Rg veda I.80.1)


d. Wahai umat manusia, Aku memberikan kepadamu sifat-sifat yang ramah dan manis pupuklah keharmonisan dan persaudaraan tanpa permusuhan diantara kamu, seperti halnya seekor induk lembu terhadap anaknya yang baru lahir, demikianlah hendanya kamu menyayangi sesamamu (Atharvaveda III.83.8.)


e. Wahai orang-orang dermawan, marilah kita wujudkan persaudaraan yang sederajat di dalam kandungan ibu pertiwi (Rg Veda VIII.83.8).


f. Wahai umat manusia, maju teruslah kamu, jangan bertikai di antara kamu, engkau adalah pengikut untuk tujuan yang sama, hormatilah yang lebih tua, milikilah pikiran-pikiran luhur dan pusatkan perhatian pada kerja. Ucapkanlah kata-kata manis di antara kamu. Aku jadikan engkau semuanya bersatu dan Aku rakhmati engkau dengan pikiran-pikiran yang mulia (Atharvaveda III.10.5)


Lebih jauh dalam susatra Veda yang lain dinyatakan :

a. Hendaknya setiap orang tidak menyakiti makhluk lain, berpegang pada kebenaran (Dharma), tidak pemarah, melepaskan diri dari ikatan keduniawian, tentram dan tidak suka memfitnah, kasih sayang terhadap semua makhluk, tidak tamak, lemah lembut sopan santun dan teguh iman (Bhagawadgita, XVI.2.)


b. Persembahan kepada dewa-dewa, kepada pandita, kepada guru, kepada orang suci, jujur, kuat menahan hawa nafsu dan tidak menyakiti makhluk lain adalah pantangan diri sendiri di dunia (Bhagavadgita XVII.14.)


c. Seseorang yang tidak menjalankan Dharma atau yang mendapatkan kakayaan dengan jalan curang dan orang yang suka menyakiti hati makhluk lain tidak akan pernah bahagia di dunia ini (Manavadharmasstra IV.170.)


d. Masih banyak ajaran toleransi yang dapat kita jumpai dalam kitab Veda dan susastra Hindu lainya yang perlu kita gali dan diamalakan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat berbhineka ini.


5. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Mampukah ajaran agama, khususnya ajaran pengendalian, etika dan toleransi dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia? Untuk menjawab permasalahan ini kita hendaknya dapat memahami kembali fungsi dan peranan agama kehidupan umat manusia, yaitu sebagai :
a. Faktor motivatif yang mendorong manusia meningkatkan kualitas hidupnya .
b. Faktornya kreatif dan innovatif, yang mendorong untuk berkreasi dan mengadakan pembharuan dalam dirinya.
c. Faktor insfiritif yang memberikan inspirasi untuk mengabdi kemanusiaan.
d. Faktor edukatif yang mendidik diri manusia untuk mencapai kedewasaan.
e. Faktor transformatif dan sublimatif yang mampu mengubah dirinya yang tidak baik menjadi baik.

Bila fungsi agama dilaksanakan atau memancar diri manusia, maka dengan sendirinya seseorang akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia atau potensi-potensi yang dimilikinya. Agama tidak hanya mengajarkan manusia untuk mewujudkan kehidupan spiritual di alam baka saja, tatapi di tunut pula kepada umatnya untuk direalisasikan, diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.


Agama Hindu (Khususnya kitab suci Veda) sangat menekankan betapa pentingnya pemeliharaan badan jasmani ini seseorang sebab dengan jasmani sehat dan akan lebih baik melaksanakan Dharma atau Swadharma yang dibebankan kepadanya. Pemeliharaan jasmani dengan jalan berolah raga serta mengonsumsi makanan dan minuman yang menyehatkan, sedang pemeliharaan rohani dengan mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya.

Aritani me sarva atma anibhrstah
Atharvaveda XIX.60.2
(Hendaknya badan dan pikiran kami sehat, babas dari segala penyakit sehingga selalu bangkit untuk meningkatkan diri)

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapatkah kita pahami bahwa jasmani sehat dan pikiran yang sehat pula merupakanan modal dasar untuk meningkatkan kualitas pribadi kita. Meningkatkan kualitas pribadi hendaknya senantiasa diupayakan dan hal ini diamanatkan oleh kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Pengamalan ajaran agama bermuara pada pengendalian diri, etika dan toleransi yang pada akhirnya adalah meningkatkan mutu atau kualitas pribadi manusia.


6. Penutup

Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan cerminan atau pancaran dari pengamalan ajaran agam Hindu. Agama tidak akan ada artinya bila tidak diamalkan sebagai mana mestinya. Agama akan besifat verbal atau hanya berupa slogan saja. Bila agama dilaksanakan dengan mantap maka tujuan hidup berupa kesejahteraan dan kebahagiaan akan segera dapat diwujudkan.

Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat maka pengendalian diri, etika dan toleransi hendaknya senantiasan ditumbuh kembangkan, dengan demikian keharmonisan sebagai landasan kehidupan yang sejahtera, tentram dan bahagia menjadi kenyataan.


Om Santhi Santhi Santhi Om.


Shri Danu-Bekasi @9 Juli 2009