Friday, October 24, 2008

Hindu Tidak Diajarkan Dengan Baik dan Benar

cerita ini saya dapat dari :
http://kmhsaraswati.org/forum/topic/hindu-tidak-diajarkan-dengan-baik-dan-benar

Siang itu cuaca di sebuah kota metropolis di pulau sumatera tidak mau kompromi. Hujan kecil terus saja mengguyur bumi hingga tengah hari. Padahal saya ada janji dengan seorang dosen untuk membantu sebuah acara kumpul ibu-ibu untuk melakukan kegiatan rutin mereka. Saya sebenarnya enggan meng-iya-kan ajakan itu, Bu Dosen merupakan salah seorang sosok yang cukup berpengaruh di kampus itu. Entah ada tujuan terselubung atau tidak dibalik ajakan untuk membantu kegiatan tersebut, saja juga tidak memperdulikannya. Dari kampus kami menggunakan mobil kijang yang penuh berisi peralatan seperti LCD Projector, Laptop, Layar, sound-system serta beberapa gulungan kabel. Setibanya di rumah yang cukup besar, saya dan beberapa teman mahasiswa langsung beraksi dengan memasang sound-system dan peralatan lainnya. Setelah menyelesaikan semua keperluan, kami pamit pulang. Namun di cegah oleh Bu Dosen seraya meminta saya untuk manjadi asisten klik alias jadi operator laptop.

Acara dimulai dengan doa dan pembacaan kalimat-kalimat dari sebuah buku tebal yang sedikitpun tidak saya mengerti. Selanjutnya tampil Bu Dosen memberikan sambutan kemudian memperkenalkan seorang pembicara wanita. Saya cukup terkejut tatkala Bu Dosen menyebutkan nama pembicara wanita yang merupakan istri dari seorang yang ahli agama di tanah jawa. Nama depannya tidak asing buat saya, namun jadi aneh di telinga saya. Kemudian saya melotot ke layar laptop karena penasaran, di layar laptop tertulis nama khas asal Bali, namun sudah ada tambahan didepannya. Belum lagi hilang rasa terkejut saya, sang pembicara sudah terdengar mulai memberikan wacana dengan dialek khas Bali. Keterkejutan saya terlebih karena beberapa saat sebelum acara dimulai, saya sempat duduk disebelahnya saat memasang microphone dan sedikitpun saya tidak menyangka bahwa kami berasal dari pulau yang sama, pulau dewata, karena sang pembicara mengenakan busana yang hanya memperlihatkan matanya.

Keterkejutan saya semakin bertambah ketika sang pembicara mengatakan "...Dulu saya hanya diajarkan A-B dan C, namun sekarang saya bisa belajar D-E hingga Z, sehingga sekarang saya merasa lebih baik dibanding sewaktu masih menganut agama terdahulu." Pembicaraan sekitar 2 jam memang tidak terasa, terlihat yang hadir masih memperhatikan dengan seksama. Hal ini bisa jadi karena kepiawaian sang pembicara dalam berbicara yang disertai contoh beberapa artis yang sekarang lebih baik setelah berapa di agama yang sama dengannya. Saya juga tidak menghitung berapa slide yang sudah saya klik, hingga di layar muncul kalimat "Terimakasih".Setelah acara selesai, kami merapihkan semua peralatan untuk di kembalikan ke kampus. Dan disela-sela "bersih-bersih" tersebut ada seorang teman berucap "Si ibu tadi hebat ya, kapan nih kamu akan menyusul jejaknya?" Setelah diam sejenak, kemudian saya menjawab "Ah mudah itu, nanti saya belajar deh..." Ternyata jawaban saya cukup mengundang perhatian beberapa mahasiswi yang juga mengenakan busana khas suatu agama, dan mereka mengatakan bersedia membimbing saya untuk belajar agamanya.

Entah kebetulan atau tidak, siang itu hujan rintik dari pagi hari. Saya bergegas menuju sebuah fakultas yang salah seorang dosennya merupakan dosen pembimbing saya. Namun karena hujan yang tidak kompromi saya putuskan untuk berteduh disebuah kantin. Tak disangka senyum manis seorang gadis menyambut saya dipojok kantin, "Bli mau kemana hujan-hujan begini?" tanya gadis itu. Perbincangan ringan pun mengalir cukup deras ditengah hujan rintik yang belum juga reda. Gadis ini tergolong cukup pandai, dari keluarga yang punya serta wajah yang cantik. Tak heran jika ia sering berganti-ganti pacar. Perbincangan mengalir terus hingga pada pertanyaannya, apakah salah kalau saya pindah dari agama Hindu? Karena saya tidak memiliki pemahaman agama yang baik dan tidak memiliki referensi agamanya yang cukup, saya hanya menyarankan untuk sebisa mungkin menghindarinya. Ia pun mempertanyakan sikap saya, dan mengutip salah satu sloka pustaka suci Hindu yang mengatakan apapun jalanmu menuju aku, kamu akan sampai kepadaku. "Itu artinya Hindu tidak keberatan penganutnya untuk pindah ke agama lain, dan bila cermati, Hindu menyarankan kita untuk memilih jalan yang kita sukai, jalan yang tidak rumit tentunya, seperti Hindu yang amat ribet pelaksanaannya," jelasnya. Lagi-lagi karena pemahaman Hindu saya yang kurang saya hanya berucap, "Kalau seperti itu pemahamanmu, mungkin benar seperti itu, silahkan saja," kemudian saja pamit pergi berhujan ria untuk menemui dosen karena hari menjelang sore.

Dua bulan kemudian saya mendapat kabar, bahwa si gadis manis cuti kuliah karena menikah. Kabar itu juga menceritakan bahwa keluarga si gadis kecewa karena si gadis pindah agama namun tidak bisa berbuat banyak karena si gadis telah mengandung beberapa bulan. "Sampaikan ucapan selamat menempuh hidup baru dari saya nanti kalau kamu ketemu dia," pinta saya kepada sang pemberi berita. Kami berdua pun menumpang sebuah bus kota menuju sebuah pura untuk persembahyangan rutin setiap hari minggu sore.

Setelah selesai persembahyangan, saya coba menghubungkan pembicara wanita, si gadis manis dan sloka suci yang dimaksud si gadis kepada seorang sarjana Agama Hindu yang berjenggot mirip pengebom Bali. Dan saya mendapatkan penjelasan bahwa, sloka yang dimaksud adalah:

Ye yatha mam prapadyante
Tams tathaiva bhjamy aham
Mama vartmanuvartante
Manusyah partha sarvasah
(Bgv.IV.11)
Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang disetiap sisi adalah jalanKu juga oh Arjuna.

Dijelaskan pula jalan yang dimaksud bukanlah agama melainkan cara umat Hindu untuk memuja Hyang Widhi. "Kalau kita mengartikan sloka tersebut dengan pindah agama, bukan sesuatu yang salah, namun kurang betul saja," gurau pria berjenggot tersebut sambil mengelus-elus jenggotnya. "Jalan yang dimaksud oleh sloka tadi ada dalam catur yoga, yaitu karma yoga, bhakti yoga, jnana yoga dan raja yoga. Masing-masing yoga pun dibagi tiga sub, yaitu nista, madya dan utama. Dan masing-masing sub dibagi lagi menjadi tiga sub lagi, yaitu nista ning nista, nista ning madya, nista ning utama dan seterusnya," jelasnya.

"Kalau langsung melihat rumitnya ya pasti rumit. Tetapi banyak cara yang mudah namun seringkali terlupakan. Misalnya, seseorang tidak bisa datang ke pura karena didaerahnya letak pura jauh, juga tidak bisa membuat banten atau sesaji, hafal Tri Sandya pun tidak. Orang tersebut masih bisa menempuh jalan Karma Yoga, dengan cara berprilaku yang baik, bertegur sapa dan tersenyum dengan orang lain. Hindu memiliki banyak cara, dari yang paling mudah hingga yang rumit untuk meningkatkan srada dan bhakti. Tapi tolong jangan diartikan bahwa saya mengatakan banten atau sesajen itu tidak perlu, datang ke pura tidak perlu, bahkan bangunan pura pun tidak perlu. Semua itu tetap perlu kok. Dan jangan bersikap bahwa sebenarnya mampu tetapi pura-pura tidak mampu, perilaku itu juga kurang baik," jelas pria berjenggot dengan tawa renyah.

Karena hari sudah menjelang malam, kami pun meninggalkan areal pura yang asri menuju rumah masing-masing. Namun didalam perjalanan saya masih terpikir akan obrolan ringan tadi. Mungkin jika Hindu Nusantara memiliki lebih banyak lagi sarjana Agama Hindu, memiliki lebih banyak lagi Guru Agama Hindu, memiliki lebih banyak lagi Pen-dharma wacana, memiliki sumber dana yang cukup untuk mendidik generasi muda Hindu, akan memberi pemahaman dan pencerahan sehingga tidak memandang Hindu dari kacamata negatif saja. Kemajuan Hindu nusantara bukan hanya tanggung jawab Parisada, namun tanggung jawab seluruh umat Hindu Nusantara. Untuk itu mari kita dukung penggalangan dana oleh Parisada melalui Badan Dharma Dana Nasional - BDDN (www.bddn.org), sehingga kita tidak kehilangan generasi penerus yang hanya bisa berkata, "Orang tua saya hanya bisa melahirkan, membesarkan dan memberi saya uang, namun tidak memberikan pendidikan agama dalam keluarga."

Friday, October 10, 2008

Premanisme - Noda pada Wajah Bali

Anand Krishna - Radar Bali, Senin 3 Maret 2008

"Rasa" dalam diri manusia adalah detektor kesehatan yang paling canggih. "Rasa Tidak Enak" atau "Tidak Nyaman" adalah indikator awal tentang terganggunya kesehatan. Namun, kita sering mengabaikannya. Kita tidak menggubrisnya.... Hingga suatu ketika "rasa tidak nyaman" atau "tidak enak" itu berkembang menjadi "Penyakit Ringan". Dan, sesungguhnya Penyakit Ringan itu pun masih bisa disembuhkan. Sekalipun tanpa bantuan dari seorang dokter, hanya dengan merubah pola makan dan sebagainya.

Namun, kita tetap juga mengabaikan Peringatan Alam.... Maka, penyakit ringan menjadi parah. Saat itu, kita baru mencari dokter. Kemudian, tergantung pada betapa parahnya penyakit kita - ada kalanya kita masih bisa sembuh, masih bisa ditolong. Ada kalanya kita sudah tidak tertolong lagi.

Premanisme adalah Penyakit yang sejak lama sudah merong-rong kesehatan Bali. Awalnya ia muncul sebagai setitik noda pada wajah Bali yang sangat cantik. Setitik noda itu tidak terlihat, tidak terdeteksi, bahkan tertutup oleh Kecantikan Bali.

Kemudian, titik itu mulai membesar. Seandainya saat itu pun kita mengurusi titik yang membesar itu, barangkali kondisi kita tidak separah hari ini. Sayangnya, saat itu kita malah memolesi titik noda itu dengan lapisan bedak yang tebal. Kita tidak mencari tahu bila titik noda itu hanyalah sekedar noda, atau indikasi awal bagi penyakit lain. Barangkali Kanker Kulit.

Maka, terjadilah reaksi kimiawi antara kimia di dalam bedak dan krem yang kita gunakan dengan kulit kita. Hasilnya sangat, sangat merugikan kita sendiri. Satu titik menjelma menjadi dua titik, dua menjadi dua puluh - hingga seluruh kulit wajah tertutup oleh noda. Kecantikan yang selama ini menjadi penawar bagi noda, bahkan mampu menutupinya - sekarang sirna. Tak tersisa lagi apa pun dari kecantikan awal itu.

Kecantikan Bali selama ini mampu menutupi noda premanisme pada wajahnya. Karena, selama ini baru setitik atau dua titik noda saja. Tetapi, sekarang sudah tidak seperti itu. Noda-noda premanisme kian hari bertambah. Wajah cantik Bali sudah hampir seluruhnya tertutup oleh noda-noda premanisme.

Apa yang mesti kita lakukan?

Memolesi wajah Bali dengan bedak yang mengandung bahan kimia dan hanya dapat membantu untuk sesaat saja - kemudian malah merusak wajah?

Menutup-nutupi berita tentang premanisme karena takut, atau karena para preman itu dilindungi oleh orang-orang penting, atau karena mereka berafiliasi dengan partai politik tertentu - adalah upaya-upaya untuk membedaki wajah Bali.

Sayangnya, selama ini upaya-upaya seperti inilah yang kita tempuh.... Berulang kali saya menggunakan media ini, juga media lain untuk membangkitkan "Kepedulian Bali" terhadap wajahnya - namun, tidak seorang pun menanggapinya.

Saya pernah bercerita tentang pemilik Kafe di daerah perumahan yang tidak peduli bila suara keras dan penuh kekerasan dari kafenya membuat orang lain susah tidur. Ketika ditegur secara sopan, dia malah naik pitam: "Tidak tahu kalian, saya ini siapa...." Kemudian ia menyebut nama besar sebuah gerombolan preman di Bali, "Tahu, saya dilindungi mereka...." bahkan, dengan lancang ia pun menegaskan bahwa dirinya tak tersentuh oleh pihak berwajib sekalipun. Mau bilang apa?

Orang-orang lain yang tinggal di daerah itu membisu, bungkam, tidak berani bersuara. Semuanya takut.

Padahal, si pemilik kafe itu hanya perlu "membangun" secara legal. Pembangunannya jelas tidak legal, saya tidak yakin bila dia mengantongi IMB. Tidak ada dinding yang cukup tinggi untuk meredam suara-suara gila yang berasal dari kafenya. Ketika diminta untuk meninggikan dindingnya, ia tambah berang, "Saya tidak mau mengeluarkan uang itu.... Ini tanah kontrakan..." Padahal, ia mengontraknya dari pamannya sendiri. Dan, sang paman yang punya nama pun sesungguhnya tahu persis bila keponakannya berbisnis apa.

Mau cari uang, mau beli mobil mewah yang harganya di atas satu milyard... Tapi tidak mau membiayai sedikit usahanya yang sudah jelas menguntungkan itu. Mau hidup senang sendiri - penderitaan warga sekampung tidak menjadi soal.

Kenapa mereka begitu arogan? Kenapa mereka masih bisa hidup tenang, seolah tanpa beban pada jiwa mereka? Karena, ada lembaga, ada institusi yang menjamin bahwa dosa-dosa mereka dapat dihapuskan dengan cara-cara tertentu.

Bila kita ingin menghapus Noda Premanisme dari wajah Bali, bila kita memang serius tentang hal ini - maka uapaya dari Pihak Kepolisian saja TIDAK CUKUP. Seluruh masyarakat Bali harus bersama-sama menolak Premanisme dengan satu suara yang bulat. Bukan saja preman-preman yang selama ini kita anggap adalah "pendatang" - tetapi juga preman-preman yang secara jelas menggunakan identitas Bali dan bersembunyi di balik jargon-jargon Bali - mesti ditindak secara tegas dan terbuka.

Pertama: Kita mesti tahu bahwa preman-preman ini ada karena ada yang membiayai mereka. Siapa yang membiayai mereka? Kafe-kafe liar... tempat-tempat perjudian.... warung-warung remang..... Mereka ini yang semestinya ditindak terlebih dahulu. Kucuran dana dari mereka harus berhenti dan segera.... sebelum terlambat, dan wajah Bali menjadi lebih rusak.

Kedua: Bisnis-bisnis legal yang juga selama ini tergantung pada keamanan oleh para preman - mesti memperoleh rasa aman yang sama dari pihak berwajib. Kepolisian semestinya bisa mengamankan mereka, supaya mereka tidak membutuhkan keamanan dari para preman.

Lalu, bagaimana dengan kafe-kafe liar yang mesti segera ditindak itu? Pemilik kafe yang saya kutip diatas pernah mengancam: "Kalau bubar, semuanya bubar.... Ayo bakar-bakaran sekaligus...." Inilah Bali..... INIKAH BALI?

Tegakah kita melihat Bunda Bali diculik oleh orang-orang seperti dia yang hanya dapat bicara dalam bahasa kekerasan?

Mereka selama ini telah mengambil keuntungan yang tidak wajar atas penderitaan orang lain. Berhakkah mereka mengendari mobil mewah yang mereka peroleh dari keuntungan yang tidak wajar? Berhakkah mereka hidup dalam rumah mewah yang mereka beli dari hasil kekerasan?
Di atas segalanya, berhakkah mereka memperoleh "blessing", restu atau apa pun sebutannya, dari institusi-institusi yang semestinya menegur mereka dan mengembalikan mereka pada jalur yang benar?

Para preman ini sudah saatnya mencari uang, mencari nafkah dengan mengucurkan keringat. Mereka tidak boleh tidur sepanjang hari dan mabuk-mabukkan sepanjang malam sambil mencaci-maki orang yang mau tidur di malam hari.

Ketiga: Para politisi yang menggunakan jasa para preman untuk kampanye - mesti dijatuhkan sanksi oleh Komisi Pemilihan Umum - sehingga tidak ada lagi bisnis sewa preman demi urusan politik.

Bila Bali tidak segera bertindak menyelesaikan perkara premanisme ini - maka akan datang satu masa dimana para turis pun akan merasa tidak aman tinggal di Bali. Kemudian, kita tinggal membayangkan keadaan Bali tanpa turis. Preman-preman yang telah kita biayai selama ini, telah kita besarkan selama ini, akan menjadi monster dan menelan kita sendiri.

* Aktivis Spiritual

Sunday, October 5, 2008

Sebuah Cerita Tentang Panca Maha Bhuta

Panca Maha Bhuta adalah lima unsur besar alam semesta yang merupakan ciptaan ketujuh dari proses penciptaan alam semesta (Tattwa Jnana :13). Di Bali Panca Maha Bhuta ini dijadikan "pengkayaan" praktek, pemakamah keagamaan yang unik. Ini bisa kita lihat sampai sekarang kita telah mewarisi "Agama Campuran" yang sangat khas di Bali. Sangatlah tepat apabila leluhur orang Bali menyatakan agama mereka Hindu-Bali.
Dahulu pada jaman kerajaan, kaum Brahmana dikukuhkan menjadi pendeta Siwa, ini adalah sintesa paham Sparta atau Brahmaisme ortodoks dengan sinkritisme-nya. Siwa dan Sora (Surya) melahirkan Siwa raditya, beberapa puja Sogara menyertakan Ganesa struktur Stawa, bahkan upacara Rsi Gana memegang peranan penting dalam struktur kepercayaan masyarakat sampai sekarang. Buddha Mahayana, Saktisme (Tantra) ditambah dengan dinamisme melahirkan Bhairawa kala cakra yang perwujudannya menjadi praktek mistik pengiwa dan penengen, kemudian bercampur dengan unsur-unsur kejawen atau Bali Mula dan juga dengan Siwa Budhha melahirkan praktek Kanda Pat yang unik.

Ajaran praktek Kanda Pat ini didalamnya terdapat pengimplementasian Panca Maha Bhuta. Ini dapat kita jumpai dalam Kanda Pat Bhuta pada khususnya. Kanda Pat ini merupakan naskah tutur yang sangat komprehensif, praktis merupakan resume ajaran Himdu, mulai dari aturan kesucian, ke-tata susilaan, kesehatan, kesejahteraan duniawi (Jagadhita) hingga ajaran kelepasan (moksa).

Implementasi Panca Maha Bhuta

a. Kanda Pat Bhuta
Kanda disebut juga "Shanda", tetapi lumrah disebut dengan Kanda yang berarti bagian-bagian. Pat berasal dari kata empat, bhuta berarti jagad dengan seisinya, juga dari asal kata bhu yang berarti tumbuh, lahir.

Di dalam Atarwa Weda disebutkan :

Paranaya namo yasya
sarwam Idem yase
yo bhutam sarwas yeswarah
yasmin sarwah pratistitam

Artinya ;

Tuhan Yang Maha Esa menguasai alam semesta serta menjaganya, laksana jagad raya yang disebut juga Bhur a (bhu), tumbuh sebagai dasar, ada tumbuh berkembang dan sirna silih berganti (utpeti, setiti, pralina)

Di dalam ajaran Kanda Pat Butha ini dijelaskan bahwa manusia lahir kedunia disertai dengan 4 kekuatan dari Panca Maha Bhuta, termasuk dalam wadag manusia (Sang catur sanak) yaitu disebut dengan :

1. Anggapati à pertiwi à padat / keras
2. Mrajapati à apah à cair
3. Banaspati à teja à terang
4. Banaspati Raja à bayu à tiupan
5. Wadag manusia à akasa à kosong / hampa

Proses terjadinya hal tersebut adalah : pada saat orang tua (ibu-bapak) manusia yang akan lahir bertemu dan timbul rasa cinta diantara mereka disebut dengan "Asmara pandeleng" (Ardanareswari) kemudian pada saat si bapak dan ibu mulai berbincang-bincang timbul kekuatan yang disebut dengan "penuntun Swara madu", pada saat si bapak mulai meraba susu dari si ibu disebut dengan "purusinampatang" yang menimbulkan kekuatan yang disebut "Sang Hyang Panguripaning Jiwa". Pada saat si ibu dan si bapak merasa satu hati dan satu jiwa di dalam menjalin cinta kasih timbul kekuatan yang disebut Sanghyang Maruta Tungga yang wujudnya disebut "Sanghyang Sambu". Pada saat si ibu dan si bapak melakukan hubungan intim (bersengama) itu disebut dengan "sarasaning istri kangkung (Sang Kama Lulut) yang menimbulkan kekuatan yang disebut "Sanghyang Semara Gimbal".

Pada saat melakukan hubungan intim si bapak mengeluarkan sperma yang disebut "kama putih" "kama bang" dari si ibu, setelah 1 bulan lamanya bertemu disebut dengan "sukla wanita surya candra yang menimbulkan kekuatan Sanghyang Maya siluman". Setelah cabang bayi berumur 2 bulan disebut "Semarabuncing" yang diikuti bayu dan idep. Setelah 3 bulan sicabang bayi disebut "Sanghyang Kamamola" yang ditimbulkan oleh kekuatan "Sanghyang Pancawara bhuwana". Setelah berumur 4 bulan muncul "Sanghyang Dewata Nawasangan" dan si cabang bayi disebut "Sanghyang kamamanik saprah". Berumur 5 bulan, 5 kekuatan alam bersatu yang disebut dengan "Mereka Janma" yang juga disebut dengan "Sanghyang Kamareka", umur 6 bulan si cabang bayi sudah lengkap berwujud manusia yang sudah lengkap, disebut dengan "I Karakuranta", umur 7 bulan disebut "Sanghyang Cilimareka. umur 8 bulan disebut "Sanghyang kamagere", setelah umur 9 bulan menjelang lahir disebut "Gajah Petak". Pada saat lahir s bayi lahir dengan diikuti 4 kekuatan alam lainnya yang berupa "Yeh Nyom, Ari-ari, Getih (darah), Lamas. Pada saat lahir disebut dengan "I Rengga Badai", setelah itu berganti nama yang disebut dengan " I Rare Kruncur".

Kemudian setelah semua proses pada saat baru lahir dilaksanakan, ke-4 kekuatan yang menyertai bayi lahir disebut dengan "I Jelakir", I Mekahir, I Selabir, I Mokahir yang kembali ke 4 arah penjuru mata angin. Setelah si bayi beumur 3 bulan, 4 kekuatan itu berwujud raksasa yang bernama : "Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspati raja dan di sibayi disebut dengan "I Tutur Menget". Begitulah proses evolusi dari Panca Maha Bhuta pada saat proses seseorang manusia dilahirkan. Bagi yang masuk ke dalam pencinta kediatmikan maka kekuatan ini akan diolah untuk mencapai tujuan yang dimaksud, dimana kalau kita memanfaatkan kekuatannya sangatlah bermanfaat kekuatannya sangatlah bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Seperti sifatnya (Raksasa/detya) maka ke – 4 kekuatan ini memiliki tempat dan cara hidup masing-masing diantaranya adalah :

Anggapati : menghuni badan manusia, sebagai makanannya adalah mengganggu manusia yang badannya sedang lemah dan yang sedang dipenuhi oleh nafsu angkara murkha.

Mrajapati : menghuni kuburan dan perempatan jalan (agung) sebagai makanannya adalah : mayat yang dikubur tidak sesuai dengan pedewasaan serta upacaranya.

Banaspati : menghuni sungai-sungai, batu-batu besar, sebagai makanannya adalah : orang yang keluar atau tidur pada saat yang tidak ditentukan misalnya pada penggantian hari (sandikala).

Banaspati raja : penghuni kayu-kayu besar (kepuh, rangdu) sebagai makanannya adalah orang yang menebang kayu / menaiki pohon pada waktu yang dilarang menurut padewasaan.
Ke-empat saudara yang diajak lahir ini dinamakan dengan "Catur Sanak" yang menjadi raja dari Jin, Setan, Tonya, Bhuta Kala dan Makhluk halus lainnya.

b. Barong dan Rangda]
Karena kekuatan Panca Maha Bhuta yang terimplementasikan pada Kanda Pat, yang disebutkan merupakan Raja dari semua makhluk halus, maka masyarakat Bali pada khususnya yang beragama Hindu memanfaatkan kekuatan tersebut untuk melindungi sekup yang lebih besar, yaitu skup dalam satu desa adat yang diwjudkan dalam Barong dan Rangda.
Barong adalah perwujudan dari Banaspati Raja,
Barong Landung perwujudan dari Banaspati
dan
Rangda adalah perwujudan dari Mrajapati

Sunday, September 28, 2008

Manusia Berulah, Hewan Jadi Korban

Artikel ini saya dapat dari seorang teman, baik untuk menjadi renungan.

Pada November dan awal Desember 2005, di Bali berlangsung beberapa kali upacara pakelem di danau. Hebatnya lagi, ada pakelem mempergunakan kerbau bertanduk emas. Tujuan upacara ini konon untuk mohon supaya air danau normal kembali setelah terjadi penurunan debit. Dan hewan pun dijadikan kurban (untuk upacara caru maupun tawur).

Saya jadi bingung sendiri, kenapa hewan dijadikan kurban caru, apa dasarnya? Padahal air danau surut tentu disebabkan berbagai faktor. Satu di antaranya adalah ulah manusia yang merusak hutan di sekitar danau. Kesalahan manusia itu kemudian berimplikasi pada penurunan air danau.

Anehnya, kenapa justru manusia mengorbankan banteng bertanduk emas segala sebagai kurban?

Artinya, kesalahan manusia kenapa justru hewan atau binatang yang mesti menanggung akibat, dijadikan kurban?

Katanya hewan-hewan itu senang, tapi bukankah itu simpulan pikiran manusia sendiri tanpa bertanya langsung kepada binatang yang dikorbankan?

Apakah benar hewan-hewan itu senang?

Bukankah ini membikin manusia tidak jujur, tidak fair untuk bertanggung jawab atas segala perbuatannya?

La, salah manusia sendiri kok malah mahluk lain dikorbankan?

Kenapa bukan manusia sendiri memilih dirinya jadi korban?

Bagaimana dengan ajaran ahimsa sebagai basis ajaran Hindu, sebagaimana diajarkan lewat yama maupun niyama brata?

Mohon penjelasan.
Ananda Dwipa, Denpasar

Jawab:
Dalam ber-yajnya sebaiknya kita tidak asal-asalan, sehingga yajnya kita bisa sebagai yajnya yang satwika. Untuk itu setiap ber-yajnya kita harus berpedoman pada kitab-kitab Weda yang mengatur tentang yajnya. Begitu pula upacara di Bali, selalu berpedoman pada lontar-lontar dan pelutuk-pelutuk yang ada, yang disurat oleh para wiku di Bali yang disesuaikan dengan kondisi Bali.

Inilah dasar pelaksanaan yajnya tersebut (perihal ini bisa dilihat kembali SARAD edisi-edisi sebelumnya). Memang salah satu penyebab terjadinya bencana adalah karena ulah manusia. Jadi sangat bijaksanalah kita sebagai umat Hindu untuk tetap menjaga lingkungan (alam) kita agar terjadi keseimbangan sehingga dapat mengurangi dampak bencana alam yang mungkin terjadi. Tetapi selain manusia sebagai salah satu penyebab bencana, ada penyebab-penyebab lain di luar manusia dan di luar nalar manusia, yang sering disebut kekuatan alam. Kekuatan-kekuatan alam inilah dalam ajaran Hindu perlu diharmoniskan dengan yajnya.

Disebutkan dalam kitab-kitab Hindu bahwa makluk hidup karena tanaman; tanaman tumbuh karena hujan, dan hujan turun karena yajnya. Jadi, yajnya merupakan kewajiban setiap umat untuk melakukannya tentu disesuaikan dengan kemampuan. Kita bisa merujuk ke dalam Weda, dalam Raja Vidya Raja Guhyam Yoga. Atau kita merujuk ke dalam kitab Siwa Purana. Di sini diceritakan tentang yajnya Raja Suya yang dilakukan di Alam Surga yang dilaksanakan oleh para Dewa dan para Rsi Langit. Dalam purana ini diceritakan perdebatan yang sengit antara Dewa Indra dengan Rsi Narada tentang isi yajnya tersebut menggunakan korban (sacrifice), sedangkan para rsi hanya menginginkan persembahan (offering) saja tanpa korban.

Pada saat puncak perdebatan munculah Dewa Siwa sebagai Istadewa yang akan dipuja pada Dewa Suya itu. Dewa Siwa memberikan penjelasan sebagai berikut: bahwa para dewa benar, melakukan yajnya dengan melakukan korban karena mereka berjalan di jalan karma yoga. Namun para rsi pun benar melakukan yajnya tanpa korban karena para rsi melakukan kewajibannya/dharmanya dengan jnana yoga. Di sini sengaja saya tidak menyimpulkan isi cerita tersebut karena cerita itu sangat jelas memberikan gambaran vanasrama dan caturyoga dharma bagi kita masing-masing, sehingga kita tidak saling menyalahkan.

“Lakukan dharmamu sendiri walaupun tidak sempurna daripada melakukan dharma orang lain dengan sempurna; sangat berbahaya melakukan dharma orang lain,” begitu disuratkan dalam Bhagawadgita.

Taken from saradbali.com

Thursday, September 25, 2008

Hari Raya Pagerwesi

Kata "Pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini melambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.

Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.

Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.

Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah."
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).

Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga. Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.

Makna Filosofi

Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati.

Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.

Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati. Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pagar besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh." Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.

Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan. Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:
Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan.
Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki dharma.

Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa kesombongan.

Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata.

Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma dibersihkan dengan tapa, bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia), manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.

Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.

Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.

Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya "pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera.

Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan berencana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.

Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.

Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.

Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta. Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.

Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)


Thursday, September 18, 2008

Gede Prama: Bagi Umat Hindu di Bali, Buddha bukanlah Orang Lain

Singaraja, 3 Agustus 2007

PERAYAAN Asadha Puja 2551 di Vihara Giri Manggala Alasangker, Buleleng berlangsung 3 Agustus lalu. Perayaan hari perputaran roda Dhamma itu dipimpin oleh Upasaka Komang Kariasa. Kegiatan itu dihadiri Ketua Umum Walubi Bali I.B. Rahoela, Ketua Magabudhi Bali yang juga Ketua Dayaka Sabha Vihara Buddha Sakyamuni Denpasar, Pmd. Sudiarta Indrajaya, S.E., Forum Ibu-ibu Budhis, Patria, umat Buddha dari berbagai daerah serta simpatisan.

Perayaan Asadha Puja di Vihara Giri Manggala itu diisi dengan pembabaran Dhamma dengan menghadirkan penutur kejernihan Gede Prama dan prosesi tersebut berlangsung khidmat. Kedatangan Gede Prama disambut dengan gender dan angklung serta taburan bunga olah panitia, dayaka sabha, dan segenap umat.

Pada kesempatan tersebut Gede Prama Gede Prama membawakan ceramah Dhamma bertajuk "Genta-genta Siwa-Buddha" dengan pemaparan antara lain tentang darah spiritual orang Bali, cerita tentang genta Siwa-Buddha dan Hindu yang Indah. Lanjut Gede Prama, bagi umat Hindu, Buddha bukanlah orang lain. Guru agung Sidartha Gautama lahir di keluarga Hindu. Itu sebuah fakta sejarah. Bahkan, Mahatma Gandhi, kata Prama, pernah mengatakan Hindu India berutang banyak pada Sidartha Gautama. Atas kelahiran Sidartha, perjalanan Hindu keluar dari hal-hal yang berbau mistik, nujum dan sejenisnya. Andaikan tidak ada Sidartha Gautama, jangan-jangan Hindu sudah melenceng jauh dari Weda. Pun, Wiwekananda pernah bilang Sidartha Gautama cerdas sekali mengambil intisari Weda.

Sementara Siwa-Buddha adalah agama yang lebih awal masuk ke Nusantara. Sebagaimana tercatat di Museum Gajah atau Museum Nasional Jakarta, lanjut Prama, agama orang Nusantara pada kurun waktu tertentu adalah Siwa-Buddha. Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.

Tanda Kebuddhaan di Bali

Di lain sisi, Prama mengatakan, ada banyak tanda spiritual soal "'kebuddhaan" di Bali. Di Bali, umat menyebut Tuhan dengan nama Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Hari kemenangan Dharma melawan Adharma yaitu Galungan jatuh pada hari Rabu dalam bahasa Balinya Buda. Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama. ''Karena itu bagi umat Hindu di Bali, Buddha bukanlah orang lain,'' kata Prama.

Di samping itu ada dua titik sejarah di Bali yang memberikan pintu pemahaman bahwa orang Bali memiliki ''darah'' Buddha. Pada abad 10-11 ada banyak sekte di Bali yang dikhawatirkan menimbulkan gejolak. Kemudian raja di Bali mendatangkan seorang mahaguru dari Jawa, namanya Mpu Kuturan untuk menyatukan sekte-sekte tersebut. Mpu Kuturan pun melahirkan konsep Tri Kahyangan-Pura Puseh, Dalem dan Baleagung. Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha.

Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana. Jejak-jejak kebuddhaan yang lain berupa tempat pemujaan Buddha di sejumlah pura di Bali.Sebagai apresiasi atas terselenggaranya Perayaan Asadha Puja 2551/2007 ini ketua panitia, Komang Kanthi Kumara, Ketua Dayaka Sabha Vihara Giri Manggala Alas Sangker menyerahkan miniatur Rupam Boddhisatva Sidarta Gautama yang merupakan hasil karya Kerajinan umat Buddha setempat kepada Gede Prama, Ketua Yayasan Girirakkhito Mahathera, IB. Rahoela, Ketua Magabudhi Bali, Pmd. Sudiarta Indrajaya. Hadir pula pada kesempatan tersebut Dhamma Jiyoti, Candanarsa (ketua dayaka saba Vihara Amurva Bhumi), dan Andika Putra (ketua dayaka sabha Vihara Dharmacattra).