Tuesday, May 3, 2016

SESUNGGUHNYA SEMUA INI ADALAH TITIPAN DARI HYANG KUASA

Om Swastiastu.

Jangan henti-hentinya memohon Petunjuk, Bimbingan dan Tuntunan ke hadapan Hyang Maha Kuasa, agar kita dapat mengarungi hidup ini di jalur yang benar, sehingga kita dapat berlabuh di pulau harapan kita sekaligus sebagai pulau asal kita.

Banyak sekali contoh yang dapat kita lihat dalam kehidupan ini di masyarakat, seperti; Dulunya dia seorang yang amat ditakuti di masyarakat karena badannya kekar, lengannya besar-besar dan sering bertindak arogansi. Namun tidak lebih dari 15 tahun berlalu, dia menjadi renta. Jangankan memukul orang lagi, jalan saja sudah pakai tongkat. Dulu dia sangat disegani karena kekayaannya berlimpah, namun pelitnya tak ketulungan. Namun tidak lebih dari 15 tahun berlalu dia menjadi orang sakit-sakitan dan tidak bisa makan nasi (makanan mewah), akhirnya dia hanya bisa makan sepotong kentang dan sayur rebus tanpa bumbu. Dulu dia adalah seorang penguasa hebat, maka banyak orang takut sama dia, karena tindakannya sewenang-wenang. Namun hal itu hanya berlangsung 10 tahun, setelah itu dia tidak bisa diterima di lingkungannya termasuk dalam lingkungan keluarganya.

Akhirnya saya pernah membaca di dalam kitab Sarasamuscaya Bab, MERTYU. Disitu tertera disalah satu pasal slokanya, sebagai berikut;
"WALAUPUN KAU DAPAT MENJADI PENGUASA DI BUMI YANG BULAT INI, DENGAN KEKAYAAN YANG BERLIMPAH, DAN DI DAMPINGI ISTRI CANTI-CANTIK SELUSIN, MAKA PADA SAATNYA NANTI DATANG KEMATIAN YANG MENJEMPUTMU, KEKUASAAN, HARTA BENDA, DAN ISTRI CANTIK TIDAK BISA MENUNDANYA/MENOLONG DIRIMU."

Menyimak isi dari bacaan tersebut di atas maka kita di suruh HARUS INGAT DENGAN KEMATIAN ITU ADALAH TEMAN SETIA DARI KEHIDUPAN KITA. Walaupun kedatangannya tidak kita ketahui secara pasti, namun yang pasti dia (kematian) itu pasti akan datang. Setelah dia datang semua yang kita agung-agungkan semasih hidup seperti kekayaan, kekuasaan, kemewahan, semuanya tidak ada artinya bagi kita. Semua akan ditinggal disini, termasuk badan yang kita manfaatkan setiap saat diwaktu masih hidup akan ditinggalkan disini.

Mereka yang bijaksana mengatakan bahwa; Yang kita bisa bawa pulang ke alam sana hanyalah Karma. Apa itu karma baik (subhakarma) atau karma buruk (asubhakarma). Lalu apa kaitannya dengan kekusaan, kekayaan, dan badan sehat kuat? Sesungguhnya itu adalah sebuah titipan dari Hyang Kuasa untuk kita sampaikan kepada saudara kita yang memerlukan dalam kehidupan disini.

Contoh; Bagi mereka yang dalam hidupnya di sini menjadi penguasa, itu titipan dari Tuhan agar mereka menjalankan swadharmanya sebagai pelayan rakyat dan dapat membahagiakan rakyat. Kalau mereka sadar dan melakukan hal seperti itu, maka mereka sudah berjalan di atas Subhakarma, andai kata mereka tidak menjalankan tugas seperti itu, mereka berjalan diatas jalan Asubhakarma. Inilah yang kan mereka bawa nantinya setelah kematian itu datang menjemputnya.

Demikian pula kekayaan, semuanya itu adalah titipan sekaligus kesempatan kita untuk meraih Subhakarma, kalau kekayaan itu dimanfaatkan untuk membantu saudara kita yang sangat memerlukan atau digunakan untuk kepentingan orang banyak. Dengan sendirinya semuanya itu didasari oleh logika pemanfaatan.

BILA ADA SEORANG REMAJA JIJIK MELIHAT ORANG TUA RENTA, MAKA ORANG TERSEBUT TIDAK SADAR BAHWA DIRINYA AKAN SEPERTI ITU NANTINYA, KARENA HIDUPNYA DITEMANI OLEH KESOMBONGAN.

Keremajaan itu sifatnya hanya sementara, maka gunakanlah keremajaan itu untuk meraih Subhakarma. Demikian pula mereka yang mendapat titipan kepintaran, bagilah kepintaran itu untuk mereka yang memerlukan, sehingga dari kepintaran kita dapat Subhakarma.

Jadi apa yang kita dapati dalam hidup ini adalah sarana untuk mendapatkan Subhakarma sebagai bekal mudik nanti. Demikian sebaliknya bila kita tidak merasakan itu sebuah titipan dan merasa itu milik kita maka semuanya itu merupakan sarana untuk mendapatkan Asubhakarma, juga sebagai bekal mudik nanti.

Demikianlah tulisan ini saya buat agar dapat digunakan sebagai bahan renungan, di dalam kita melakoni hidup ini. Terima kasih atas perhatian saudara-saudara.

Om Santih, Santih, Santih, Om

MARI MERENUNG SEJENAK.

Om Swastiastu

Setelah beberapa lama saya tidak pernah menulis di forum ini dikarenakan adanya tugas lain yang tidak bisa diwakilkan, maka pada kesempatan ini saya kembali ingin menulis disebabkan oleh rasa prihatin dan rasa kasihan mengamati situasi kehidupan kita seperti sekarang terutama di Bali. Sehingga tulisan saya ini semata-mata mengajak saudara-saudara yang memiliki pemikiran sejenis dengan saya, sehingga saya sama sekali tidak ada keinginan untuk berdebat atau saling adu argumentasi terkait dengan apa yang saya tulis di forum ini.

Akhir-akhir ini pikiran saya selaku seorang Wiku betul-betul merasakan sesuatu yang kurang bagus di dalam kehidupan kita, yang nota bene kita sedang berada di jaman modern, di jaman globalisasi dan jaman yang sedang masuknya kita ke dalam era globalisasi ekonomi. Yang mana menurut hemat saya kita semestinya berpacu di dalam meningkatkan kualitas diri, meningkatkan SDM, untuk dapat berkompetisi di jaman itu. 

Namun yang terjadi kenyataannya adalah "berbanding terbalik", semakin hari saya baca di media masa terjadi tindakan atau perilaku yang mencirikan terjadinya degradasi moral, antara lain; pencurian, penculikan, perampokan, pemerkosaan, pembuangan bayi dan yang terakhir saya baca di koran terjadinya bentrok sampai adanya korban jiwa. Kenapa sampai hal itu bisa terjadi di alam modern, dalam manusia meyakini kebesaran dan Meyakini kekuasaan Tuhan?

Untuk itulah yang merupakan awal keinginan saya menulis disini dengan judul "MARI MERENUNG SEJENAK". Saudara-saudara yang saya cintai, mungkin karena kita belum pernah merenung yang merupakan salah satu unsur terjadinya perilaku seperti itu. Maka dengan sangat rendah hati saya mengajak saudara-saudara tercinta untuk merenung sejenak sambil bertanya kepada diri kita, dan sambil pula mencari jawabannya sendiri.

Adapun hal yang dijadikan pettanyaan dan untuk kita terus mencari jawabannya adalah sebagai berikut:
1. SIAPAKAH DAN APAKAH DIRIKU INI?
2. UNTUK APAKAH AKU HIDUP DI ALAM INI?
3. SETELAH KU HIDUP DI SINI MAU KEMANA AKU?
4. BILA AKU KE SANA NANTI APA SAJA YANG BISA AKU BAWA KE SANA?

Empat pertanyaan ini pula yang saya jadikan dasar renungan saya setiap hari. Sehingga sejalan dengan mencari jawabannya sendiri maka yang saya rasakan adalah sedikit demi sedikit muncul kesadaran saya untuk memaknai hidup saya ini. Kadang-kadang setelah merenung saya mencari jawabannya di buku-buku, dan bertanya kepada sudara kita yang saya anggap mengetahui, serta tidak henti-hentinya saya berdiskusi dengan saudara saudara yang memiliki pikiran sejalan dengan saya.

Saya pernah dikasi tahu oleh orang tua saya bahwa kita manusia adalah satu-satunya makhluk yang amat disayang oleh Tuhan, sehingga hanya kita manusia dianugrahi kemampun untuk berpikir, dengan harapan kita manusia dapat menolong diri kita sendiri dari jeratan jurang neraka, dan hanya kita sendiri dapat menciptakan diri kita mau jadi apa nantinya. Jadi kemampuan berpikir itu bukan digunakan untuk menjadikan diri kita lebih jelek dari sekarang, semestinya kemampuan untuk berpikir itu untuk meningkatkan kehidupan kita di masa datang. Maka dari itulah kita seharusnya mencari jawaban dari bahan renungan diatas tadi. Sehingga mampu memunculkan dan menumbuh kembangkan kesadaran kita untuk mencapai kehidupan yang damai. Hanya kita manusia yang sadar akan mampu memunculkan kedamaian dalam hidup ini.

Tangga menuju hidup yang damai adalah;
1. Yakin dan Bhakti terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur. 
2. Cinta sesama manusia tidak pandang Ras, suku dan agama. 
3. Kasih kepada lingkungan dimana kita berada.

Mungkin dengan uraian saya diatas saudara-saudara akan bertanya: Apakah Pedanda sudah melaksanakan itu ? Jawabannya SUDAH, walaupaun belum seratus persen namun kehidupan saya sudah mengarah ke jalan itu. Kedamaian yang terjadi di suatu daerah atau di suatu Negara itu berasal dari kedamaian pribadi-pribadi orangnya. Kalau masing-masing orang sudah mendambakan kedamaian dan menciptakan kedamaian dalam hidupnya, maka apakah dia sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, bangsa di suatu negara, secara bersama-sama akan merasakan kedamaian itu. 

Adakah diantara kita yang tidak senang DAMAI ? Saya kira semua kita ingin hidup damai, maka dari itu marilah kita menciptakan kedamaian dalam hidup kita ini dengan syarat seperti yang saya tulis diatas. Bersamaan dengan itu saya menghimbau "SANG RUMAGA CATUR GURU, PATUT TALER MIKAYUNI INDIKE PUNIKI ".

Terakhir saya akan mengajak saudara untuk selalu memerangi sifat jahat yang ada pada diri kita. Demikianlah renungan yang saya tulis disini semoga ada gunanya, Mari kita resapi satu persatu lirik dari lagu kebangsaan kita Lagu Indonesia Raya.

Om Santih, Santih, Santih, Om.

TUKANG OJEK

OM SWASTIASTU

Selamat ketemu lagi teman-teman, sudah berapa lama kita tidak ketemu karena masing-masing punya kegiatan yang tidak bisa diwakilkan, terutama saya di dalam melayani umat. Pada kesempatan ini saya ingin memnyampaikan cerita singkat judulnya tentang TUKANG OJEK. Sebab saya sangat tertarik dengan pekerjaan seperti tukang ojek, sebab banyak sekali kita ditolong oleh tukang ojek, namun kali ini di dalam cerita saya ini mengenai tukang ojek yang beda dengan teman-teman se-profesinya. Saya punya harapan agar teman-teman yang mebaca cerita ini mau menelaah, dan mengambil maknanya dan selanjutnya dapat mempraktekan di dalam kehidupan sehari-hari.

Ceritanya begini; Pada satu Desa yang agak masuk ke pedalaman dari jalan protokol, kira-kira jaraknya 4 km, ada salah satu dari penduduk di sana mau mengambil pekerjaan jadi tukang ojek, kebetulan dia punya sepeda motor, dan dia juga melihat peluang bisnis dari pekerjaan itu cukup menjanjikan, sebab sangat banyak masyarakat disana yang mau bepergian keluar masih berjalan kaki sampai di jalan protokol untuk mencari angkutan umum. Lalu profesinya sebagai tukang ojek dijalankan, kelihatannya memang benar seperti yang dipikirkan oleh dia sebelumnya tentang keuntungan menjadi tukang ojek, dia sangat laris, ongkos satu kali rit sepuluh ribu rupiah.

Satu hari dia dapat berkali-kali rit membawa penumpang pulang pergi. Tidak sampai satu tahun dia ngojek, berdampak pada kemajuan ekonomi keluarganya sangat pesat kemajuannya. Sehingga pekerjaan ini semakin serius digeluti mungpung juga belum ada saingannya. Nah pada suatu hari dia sedang mengangkut penumpang tau-tau minyak motornya habis di jalan, sebab karena larisnya dia lupa melihat tanda minyak yang ada di speedometernya, lalu dia minta maaf pada si penumpang karena dia harus membeli minyak di pom bensin. Singkat cerita setelah dapat membeli minyak lalu penumpangnya diangkut lagi ketujuannya.

Waktu itu hari sudah siang si tukang ojek istirahat makan, di saat selesai makan lalu dia berpikir atas dasar pengalaman minyak motornya habis tadi, nah seketika itu dia punya akal agar minyak motornya tidak habis-habis, sehingga penumpang semakin banyak dapat diangkut dan uang semakin banyak pula didapatinya. 

Lalu dia membeli jerigen besar dua digantungkan dikiri kanan motornya, di masing-masing jerigen itu disambungkan slang dan diisi kran. Maksudnya bila minyak di tangkinya habis tinggal buka kran minyak di jerigen itu akan mengalir ke tangki, jadinya gampang. Setelah itu dia bekerja sebagaimana biasa, namun si penumpang sudah merasa kurang nyaman sebab adanya jerigen-jerigen menggantung di motornya membuat si penumpang kurang nyaman, tetapi masih bisa jalan bisnisnya. 

Namun di suatu ketika bannya pecah, lalu dia nyari tukang tambal ban. Lagi dia berpikir, agar pekerjaannya tidak terganggu oleh ban pecah maka dia beli ban serep lagi 4, digantungkan di motornya, bila nanti bannya pecah lagi lebih cepat bisa dia ganti. Semakin hari penumpangnya semakin tidak nyaman dibuatnya.

Nah pada suatu malam dia ngojek tiba-tiba lampunya mati, lalu dia beli serep lampu lagi 4, digantungkan di motornya. Oleh karena motor si tukang ojek itu sangat banyak muat serep-serep maka motornya menjadi sangat ramai dan sangat penuh, jangankan penumpangnya, dia sendiri tidak bisa duduk di sadelnya. Nah selanjutnya dia berjalan kaki sambil mendorong motor kesayanganya yang kepenuhan.

Selama mereka ngojek yang amat laris itu, dia tidak pernah bermasyarakat, sehingga hubungan kemasyarakatnya semakin tipis, hubungan persaudaraannya juga semakin tipis, diapun merasa tidak keberatan sebab dia punya pola berpikir begini; " DI JAMAN SEKARANG ASAL SUDAH PUNYA UANG APAPUN BISA DI BELI, MAKA YANG LAINNYA ITU TIDAK TERLALU PERLU, YANG PENTING UANG. Kalau toh saya mati nanti tidak ada banjar yang mau datang, itu gampang sekarang sudah ada tempat yang gampang untuk itu tinggal serahkan uang selesai sudah. Yang penting sekarang punya; UANG....UANG....UANG...!!!!!!! BEREEES SEMUANYA."

Oleh karena motor si Tukang ojek tadi penuh dengan barang-barang serep, dan dia sendiri menuntun motornya, maka masyarakat tidak lagi ada yang mau numpang. Pada akhir cerita ini, si Tukang ojek jadi gagal berbisnis dan di disegala bidang, dan dia menjadi perhatian negatif di desanya.

Sekian, Semoga ada manfaatnya. 
Terima kasih.
OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

KITAB SUCI VEDA ITU ASLI WAHYU TUHAN

OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Selamat bertemu lagi teman-teman, semoga semuanya dalam keadaan sehat-sehat. Saya punya cerita dari pengalaman sendiri di rumah. 

Kurang lebih seminggu yang lalu saya membaca buku 108 Mutiara Veda, yang ditulis oleh Dr.Somvir. Satu pasal saya baca saya lewati, satu pasal saya lewati, artinya sepintas - sepintas saja, namun disaat itu tertarik perhatian saya pada setiap terjemahannya dari setiap pasal, yaitu; tidak satupun terjemahannya berbunyi; " WAHAI KAU UMAT HINDU...." Yang ada adalah; " WAHAI KAU UMAT MANUSIA........" Jadi saya berpikir, kenapa tidak menunjuk WAHAI KAU UMAT HINDU YA.....????? Sedangkan kitab Suci Veda itu adalah kitab suci penganut agama Hindu, artinya Veda itu adalah hanya untuk umat Hindu saja demikian pikiran saya. Tetapi setelah lama saya berpikir seperti itu, lalu muncul dipikiran saya bahwa kalau demikian berarti Veda itu ajarannya untuk umat manusia, kalau kita melihat dari terjemahannya. Memang inilah salah satu ciri dari Veda itu adalah wahyu Tuhan, tidak membedakan siapa dia.

Dan adalagi saya ingat waktu masih kuliah dulu, dosen saya pernah saya dengar mengatakan bahwa Veda itu adalah sumber dari segala sumber ilmu. Kalau begitu berarti beliau-beliau atau mereka- mereka yang mempelajari ilmu itu berarti boleh dikatakan sudah mempelajari Veda, itu adalah anggapan saya.

Selain dari pada itu, saya juga merasakan bahwa, Veda memiliki sifat penyebaran yang amat istimewa, yaitu; MENGAYOMI, MENGANGKAT DAN MEMAKNAI BUDAYA LOKAL. Artinya, dimana ajaran Veda itu dianut, akan selalu mengayomi, mengangkat dan memaknai budaya lokal. Veda tidak merusak apa lagi menghancurkan budaya lokal, ini salah satu yang amat penting bagi saya memberikan petunjuk bahwa Veda itu asli wahyu dari Tuhan, sebab Tuhan menciptakan semuanya maka ajaran Tuhan itu mengayomi setiap ciptaannya.

Salah satu contoh; didalam salah satu pasal Yajur Veda ada menuliskan; ..."Vayur anilam amertam athedam basmantam sariram"......... terjemahannya saya baca; "Wahaikau manusia setelah rokhmu meninggalkan jasadmu yang terbentuk dari panca maha Bhuta, secepatnya jasadmu dijadikan abu, rokh akan mendapatkan moksa." Demikian kurang lebihnya. Maka dari itulah setiap umat Hindu yang meninggal harus diaben, jadi tidak dikubur. 

Namun di Bali ada penguburan sementara umat hindu yang telah meninggal. Sistem penguburan mayat di Bali telah ada sejak jaman batu yang disebut jaman neolitium, dengan peninggalannya kita kenal dengan nama sarkopagus, itu budaya lokal namun hal itu tidak dirusak bahkan diayomi dan dimaknai, makanya umat Hindu di Bali yang meninggal, ada yang di aben langsung, ada adapula yang di kubur dalam jangka waktu tertentu baru diaben. kesimpulannya; MENINGGAL ABEN, DAN MENINGGAL KUBUR KEMUDIAN DIABEN, akhirnya semua diaben. Dengan demikian di Bali setiap Desa Pekraman memiliki Setra, yang dari jaman kejaman tidak pernah diperluas, sebab tidak ada mayat yang dikubur terus.

Banyak lagi konsep-konsep kehidupan yang damai termuat di dalam ajaran Veda, namun pada kesempatan ini hanya itu yang tersirat dalam pikiran saya setelah membaca buku 108 Mutiara Veda dari Dr.Somvir.

Terima kasih atas perhatian teman-teman yang membaca tulisan ini. 
Sekian.
Om Santhi,Santhi, Santhi, Om.

TANPA SARANA YANG MEMADAI KOK BISA YA?

OM SWASTIASTU, OM AWIGNAMASTU NAMO SIDAM.

Setelah sembahyang, saya duduk memandang bulan terbit dari ufuk timur kebetulan pada waktu itu hari bulan Purnama. Secara pelan namun pasti bulan merangkak naik memantulkan sinarnya ke bumi, bintang-bintangpun ikut kelihatan jelas mengiringi pantulan sinar bulan purnama, langit biru menjadi latar belakangnya, semakin menambah keindahan alam sekitar kita, Apalagi waktu itu saya sedang berada di Pura Besakih yang amat megah dan amat berwibawa, amat suci. Pura yang menjadi jantung kehidupan rohani bagi umat Hindu. Meru-meru berjejer, Padma Tiga yang menjadi pusat atau central dari keseluruhan unsur Pura Besakih kelihatan semakin agung dan semakin berwibawa diterpa oleh pantulan sinar Bulan Purnama.

Pada waktu itu saya duduk disalah satu tempat yang kupilih sendiri agak jauh dari keramaian pemedek, sambil melamun tersirat di pikiran saya ; Kapan ya pastinya dibangun Pura Besakih ini? Siapakah arsiteknya waktu itu? Disaat sedang dibangun pura Besakih ini sudah kah ada fasilitas modern seperti sekarang? Misalnya; Jalan hotmix, Damtruk, gergaji batu, Semen dan berapa kira-kira ongkos tukangnya waktu itu? Berapa ongkos pembantu tukangnya waktu itu? Siapa yang memberikan biaya itu semua ya? Apa ada model BANSOS seperti sekarang waktu itu ya? Ya.. macem-macem yang muncul dalam pikiran saya disaat itu.

Kalau menurut pikiran saya sendiri pada waktu itu, belum ada fasilitas seperti apa yang menjadi pertanyaan di atas, namun kenapa Pura Besakih bisa dibangun begitu megahnya tanpa didukung oleh fasilitas seperti itu? Mungkin di jaman itu yang ada adalah rasa Bhakti yang amat kuat, rasa persaudaraan dan persatuan yang amat kuat, rasa gotong royong yang amat tebal, dijiwai oleh rasa ingin ngayah dan adanya keinginan untuk mewariskan hal-hal yang sangat positif bagi generasi muda yang akan datang.

Sehingga saat itu saya berpikir balik kepada diri saya sendiri, Kalau sekarang dengan fasilitas yang cukup lengkap dan amat modern telah ada, kalau sekarang kita disuruh membangun pura seperti pura Besakih yang lengkap dan yang amat mengagumkan itu, Bisakah....................???????

Kita bisa membangun Pura seperti Pura Besakih asal ada Rasa Bhakti terhadap Tuhan, ada rasa bangga terhadap agama warisan leluhur, ada rasa persatuan dan kesatuan yang kuat, dan tidak kalah pentingnya adanya rasa tulus dan rasa ikhlas rasa gotong royong dan ada keinginan yang kuat untuk ngayah. Kesemuanya itu dibalut oleh adanya keinginan mewariskan hal-hal yang positif kepada generasi kita, dan generasi penerus kita punya kesadaran dan kebanggaan atas warisan leluhur yang amat mengagumkan itu. Apa lagi didukung oleh sarana dan prasarana yang cukup lengkap dan cukup modern, pasti bisa. Atau kita tidak usah membangun pura seperti pura besakih lagi, karena lahan untuk itu sulit dicari sebab Bali sudah dikepung dengan pembangunan fasilitas wisata, sawah - sawah yang kita banggakan sudah dikapling-kapling, tebing dan pantai sudah hampir habis jadi milik pihak lain.

Namun masih ada jalan keluar kalau ingin membangun pura yang megah, lahannya ada dan masih luas sekali, mungkin sedang ditumbuhi semak-semak, yaitu mari kita bangun pura yang lebih megah lagi dengan persyaratan seperti diatas, yaitu di lahan pikiran kita, kita bangun pura yang megah dan pelihara pura di pikiran kita itu dengan baik dan sempurna, kemudian baru kita lebih mantap dan lebih khusuk memelihara pura Besakih yang kita Sucikan dan kita banggakan. Selanjutnya kita bisa mewariskan kepada generasi yang akan datang.

Setelah saya menghayal cukup lama lalu saya dipanggil oleh putra saya untuk makan bersama (nunas lungsuran Bhatara). Sehingga hayalan saya jadi putus sampai disini. Terimakasih atas lowongan waktu teman-teman membaca khayalan saya melalui tulisan ini, semoga khayalan saya ini bisa menjadi kenyataan, sebagai rasa bhakti terhadap leluhur dan rasa cinta terhadap generasi kita yang akan datang.

S E K I A N.

OM SANTHIH, SANTHIH, SANTHIH, OM.

Sumber

SORGA DAN NERAKA OLEH SIAPA?

OM Swastiastu
Om Awignamastu

AKU, Seperti apa yang kau lihat,
Seperti apa yang kau dengar,
Seperti apa yang kau rasakan, Itulah bentukKU.
AKU,ada dimana-mana, tak ada ruang yang tak terisi olehKU. 
Bila kau ingin mencariKU, carilah AKU lewat jalan Bhakti, Cinta dan Kasih.

Beberapa tahun yang lalu yang lalu sebelum saya mediksa, di Desa Saya ada upacara ngaben yang amat meriah. Upacara tersebut amat meriah dan megah kelihatannya, ada badenya (alat pengusung jasad) menjulang tinggi, Lembunya (alat pembakaran jasad) amat cantik dan besar, karangan bunganya memenuhi kiri - kanan jalan dengan bermacam - macam ucapan yang tertulis di karangan bunga itu, handai taulan dan sahabat serta massa banyak yang mengikuti upacara tersebut, pokoknya cukup meriah. Setelah jasadnya sampai di setra (kuburan) dilanjutkan dengan prosesi sebagaimana mestinya, sampai pada pembakaran jasad tersebut. Masa yang begitu banyaknya bertebaran mencari tempat yang teduh, kebetulan hari itu sinar matahari menyengat panasnya.

Ada sekelompok massa yang berteduh dibawah pohon beringin kurang lebih 5 orang termasuk saya. Entah apa yang mengawali sambil mereka meneguk air untuk menghilangkan dahaganya, terjadi rembug, kedengarannya yang menjadi bahan rembug tersebut sangat ringan, tetapi bila kita resapkan cukup mendalam maknanya.

Yang diperbincangkan mengenai SORGA DAN NERAKA, ada yang membilang sorga dan neraka itu adalah pemberian dari Tuhan. Ada pula yang membilang SORGA DAN NERAKA itu pemberian dari agama. Disitulah terjadi silang pendapat diantara mereka, saya hanya menjadi pendengar yang baik, sebab saya belum tau kemana arah rembug itu. Rembug tersebut berlanjut sampai acara pembakaran jasad hampir selesai. Kemudian sampailah gilirannya ke saya diberikan waktu menyampaikan pandangan tentang materi pembahasan mengenai SORGA DAN NERAKA. Lalu saya mencoba memberikan pandangan sesuai dengan keyakinan saya, pada saat mau menyampaikan pandangan, saya dahului dengan kata permakluman bahwa apa yang saya sampaikan ini merupakan pemahaman saya tentang ajaran agama Hindu yang saya anut, bila ada diantara kita beda pandangan jangan hal itu dijadikan pertengkaran sampai menjadi bermusuhan.

Begini saudara-saudaraku yang tercinta semuanya tanpa saya memandang siapa dan dari mana anda. Menurut pandangan saya tentang SORGA DAN NERAKA itu adalah begini; Tuhan hanya menyediakan yang namanya sorga dan neraka itu, dan Agama yang diwahyukan oleh Tuhan memberikan petunjuk dan persyaratan untuk mencapainya. Jadi menurut pandanganku Tuhan tidak memberikan, tetapi menyediakan. Memberikan dan menyediakan itu ada sedikit perbedaannya. Kalau memberikan tersirat akan adanya pilih kasih, nah jika menyediakan itu mengandung makna, siapapun mereka dan dari manapun mereka asal sudah mengikuti petunjuk yang diberikan oleh agamanya dan memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh agamanya, sudah pasti perjalanan mereka akan sampai di sorga. Demikian pula mereka yang sama sekali tidak pernah melakoni ajaran yang diberikan oleh agamanya dan tidak pula memenuhi syarat, tidak akan sampai di sorga. Maka mereka akan sampai di neraka. Jadi kitalah yang menentukan atau memilihnya, menentukan dan memilih pilihan itu bisa kita lakukan semasih kita hidup, dengan cara lakonilah ajaran Tuhan (agama), ajaran agama itu jangan sebatas dibecarakan (didebatkan), atau sebatas dipikirkan saja. Semestinya ajaran agama itu haruslah dipraktikan dalam hidup ini.

Menurut pandangan saya SORGA DAN NERAKA itu tidak merupakan lokasi dengan ada koordinatnya atau alamatnya, Sorga dan neraka itu adalah RASA DAN SITUASI. Lalu bagaimana kaitannya dengan upacara ngaben ini, demikian teman saya melanjutkan pertanyaannya. Mengenai upacara ngaben adalah pengorbanan dari kita yang masih hidup (perti sentana) kepada Tuhan memohon agar rokh leluhur kita lebih cepat mendapatkan tempat sesuai dengan karmanya. Makanya upacara ngaben sangat perlu dilakukan, namun sesuaikan dengan kriteria yaitu; Kemauan, kemampuan, situasi dan kondisi, serta dengan petunjuk sastra. Itulah pandangan saya tentang topik yang saudara rembugkan.

Setelah saya menyampaikan pandangan, rembugnya selesai seiring dengan selesainya acara pembakaran jasad tadi. Demikialah cerita saya mengingat masa lampau. Semoga ada manfaatnya, Terima kasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

DENPASAR DI TAHUN 60-AN

Om Swastiastu.
Om . Sang Hyang Widhi Yang Maha Agung,
Yang Maha Sempurna.
Yang Maha Suci.
Yang Maha Bijaksana.
Yang Maha Kasih.
Yang Maha Penyayang.
Apapun yang menjadi kehendakMu, tidak ada yang mampu menghalangi, yang kuyakini dan yang kusembah setiap hari.

Saya ingin berbagi pengalaman bersama saudara yang saya cintai. Adapun pengalaman saya di jaman yang cukup lama yaitu ditahun 1960-an. Di Jaman itu kehidupan di Bali sangat sederhana sekali, alamnya masih lestari, jalan-jalan utama masih di apit oleh sawah yang membentang, pohon kelapa yang berjajar dipinggirnya, masih ada daerah yang disebut bengang.

Saya ingat pada waktu itu saya diajak oleh orang tua saya ke Denpasar singgah di rumah saudara saya di Griya Sumerta, posisi Griyanya di pinggir jalan utama menuju Gianyar dari Denpasar. Untuk mendapatkan kendaraan angkutan umum saya harus menunggu cukup lama dipinggir jalan di depan pasar umum Blahbatuh yang dulu. Setelah dapat angkutan umum berupa mobil Bus berbadan kayu, saya naik bersama orang tua saya, singkat cerita di dalam perjalanan pemandangan sangat indah sekali, sawah-sawah menguning padinya, pohon kelapa dipinggr jalan melambai-lambaikan daunnya diterpa angin, selanjutnya sampailah saya di rumah saudara saya di Denpasar.

Orang tua saya langsung masuk ke rumah disitu saya ikut, disambut dengan penuh perasaan bersaudara. Disitulah beliau-beliau bercerita entah apa ceritanya saya kurang tau, saya lalu keluar rumah duduk di bawah pohon mangga (poh golek), sambil melihat-lihat orang lalu lalang di jalan. Disitu saya dengar suara aneh menurut saya, sebab saya belum pernah dengar sebelumnya suara seperti itu. Suaranya begini; Sreeeng...!! Sreeng....!!! Sreeeng...!!!. Lalu saya tanya saudara saya yang sebaya dengan saya yang ikut duduk disamping saya; Suara apa itu? Saudara saya menjawab : Itu suara gongseng kuda. Akhirnya benar suara gongseng kuda, yang sedang menarik kereta (Dokar), sebagai angkutan kota, suara gongsengnya indah kedengaran, langkah kaki kudanya juga berirama mengikuti suara gongsengnya, penumpang dan sais (kusir) duduk dengan tenang sambil tersenyum.

Entah apa yang menyebabkan setelah saya tua seperti sekarang ingat dengan peristiwa itu, lalu saya merenung; Berarti saisnya pinter mengendalikan kudanya, dan saisnya tahu jalan dan taat terhadap rambu-rambu jalan, serta tahu tujuan penumpangnya. Demikian pula kudanya tunduk kepada segala perintah saisnya, serta keretanya (dokar) kelihatan indah dan kuat. Oleh karena itu sudah pasti penumpangnya akan sampai pada tujuannya.

Kalau hidup ini kita sejajarkan dengan sebuah perjalanan, maka bisa kita bandingkan dengan kereta (dokar) yang mengangkut penumpang dan mengantarkan sampai ke tempat tujuan. Lalu saya coba membandingkan; Keretanya adalah tubuh kita, Sais (supir) adalah pikiran kita, kuda adalah panca indra kita, penumpangnya adalah Sang Hyang Atma, jalan adalah hasil dari pengindraan kita. Bila semua unsur itu tidak terpelihara dan tidak terlatih, maka sepanjang jaman penumpangnya tidak akan sampai pada tujuannya, keretanya jadi bolak-balik, mondar-mandir tanpa tau tujuan, demikian pula hidup kita.

Maka dari itu; Pertama-tama keretanya harus di pelihara (servis) secara rutin, demikian tubuh kita harus dipelihara secara rutin baik dari sisi makannya, minumnya, kebersihannya dan kesehatannya dengan berolah raga secara rutin (yoga dan meditasi), maka tubuh akan sehat (kereta sehat dan indah), Kusirnya belajar nyetir, tahu rambu-rambu, dapat menguwasai kuda, tahu jalan dan tahu tujuan. Demikian pikiran kita harus dilatih dengan belajar kerokhanian, mengikuti olah raga yang bernuansa spiritual seperti yoga dan meditasi. Kudanyapun dilatih untuk tunduk kepada saisnya, dipelihara, jaga kesehatannya, demikian panca indra kita, juga perlu dilatih, perlu dipelihara kesehatannya, untuk dapat meyakini Tuhan dengan segala manifestasinya, mengikuti ajarannya serta mempraktekkan setiap hari dan meyakini adanya hukum karma phala, dan sebagainya

Maka fungsi panca indera di saat mengindera akan relevan dengan perintah pikiran dan dapat berjalan secara bersama di jalan yang benar menuju tujuan. Sehingga perjalanan keretanya berirama, suara gongsengnya sangat menyenangkan hati (ngulangunin), perjalanan akan lancar tujuan pasti tercapai. Demikian pula kita, badan sehat, pikiran sehat, panca indra terkendali, maka perjalanan hidup ini akan lancar menuju tujuannya. Demikian renungan saya untuk menasehati diri saya sendiri, mungkin hal ini ada gunanya bagi saudara tolong direnungkan pula.

Sampai disini dulu cerita di jaman kuno dari saya, semoga ada manfaatnya, terima kasih.

Om Santhih, Santhih, Santhih, Om.

DISKUSI ANAK SD

OM SWASTIASTU.

Sebelum saya lanjut menulis cerita pendek ini saya minta maaf kepada teman-teman karena saya kurang sering buka web, disebabkan oleh sesuatu yang tidak saya bisa wakilkan. Namun saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang selalu mengikutinya. Pada kesempatan ini saya akan mencoba bercerita tentang pengalaman saya di rumah mungkin ada manfaatnya bagi teman-teman. Bila hal ini dianggap tidak berguna saya akan minta maaf. Sebab tulisan ini saya gunakan sebagai penyambung tali pertemanan saja. Semoga Tuhan merestui apa yang saya tulis ini. Demikian pula saya merasa sangat terhormat bila saudara-saudara mau membaca tulisan ini apalagi mau meberikan saran untuk itu.

DISKUSI ANAK SD.

Hari Minggu yang baru lalu, semua cucu saya baik yang SD, TK, maupun yang SMP, kumpul di rumah. Entah apa yang mengawalinya, saya dengar mereka berdiskusi ala mereka tentang Perhiasan terbuat dari Emas. Mungkin pengalamannya di waktu hari Suci Galungan yang baru lalu. Sedang asyiknya mereka saling sahut menyahut dikalangan mereka, entah apa pemicunya saya kurang memperhatikan. Sehingga diantara mereka ada yang menangis.

LENGKAPNYA BEGINI;

Mereka membahas perbedaan antara perhiasan itu baik yang disebut kalung, cincin, gelang, bunga dan sebagainya, ada yang ingin menjadi bunga karena letaknya di kepala, ada yang ingin menjadi cincin yang letaknya di jari. Jadi mereka memilih atas dasar letak dan bentuk, maka sampai ada yang mengatakan ; "Silahkan kamu jadi kepala, kalau tidak ada leher mau apa kepala?" Yang senang gelang mengatakan; "Silahkan ada leher dan ada kepala, namun tidak ada tangan dan kaki mau bilang apa kamu?". Demikian selanjutnya. Mungkin perbedaan pendapat itu yang memicu jadi pertengkaran, dan selanjutnya ada yang sampai menangis.

Nah datanglah salah satu dari Bapak mereka yang kebetulan menjadi Pemangku, menjelaskan dengan nada dan intonasi bahasa yang lembut, dan memberikan contoh sesuai dengan porsi kemampuan mereka, antara lain begini kata pemangku itu; " Aduuuh anak-anakku yang cakep-cakep, kenapa ada yang menangis sayang? Setelah itu si anak-anak semua mengajukan pendapat berdasarkan argumentasi dari mereka masing-masing mempertahankan kebenaran mereka masing-masing.

Lagi si Pemangku mejelaskan dengan pelan-pelan; "Anak-anak, memang diantara perhiasan itu semua berbeda, sebab makna, fungsi dan posisi dari masing-masing perhiasan itu yang menyebabkan adanya perbedaan tersebut karena ada perbedaan bentuk dan tempatnya. Bila kamu memperdebatkan tentang perbedaan bentuk - bentuk dan perbedaan posisinya, selama matahari terbit dari ufuk timur tidak akan ketemu persamaannya. Walaupun sebenarnya dari semua perhiasan itu ada persamaannya, kalau sudut pandang kamu hanya dari sisi bentuk dan posisinya itu tetap berbeda, namun mari kita cari persamaannya!!! Persamaannya adalah perhiasan itu sama-sama berbahan Emas, Sayang. Coba kamu lihat, kalung itu terbuat dari emas bukan? Gelang juga terbuat dari emas bukan? Demikian juga yang lainnya."

Pada akhir kata Pemangku itu mengatakan marilah kita mencari kesamaan diatas semua perbedaan agar kita dapat merasakan kedamaian di dalam hidup ini. "Untuk apa kita selalu mempertengkarkan perbedaan seperti itu, selain menguras tenaga, energi dan menguras pikiran. Saya tahu kamu baru setingkat SD. dan TK. Tetapi janganlah bertengkar karena perbedaan ya sayang?" Demikianlah nasehat si Pemangku, yang saya dengar. Mengakhiri nasehatnya Pemangku juga berkata begini; "ANAK-ANAKKU JANGANLAH KAMU BERKEINGINAN ORANG LAIN AGAR SEPERTI DIRIMU YA. Andai kata ada orang lain mengikuti jejakmu jangan dilarang, sebaliknya bila orang lain tidak mau bahkan bertentangan dengan pendapatmu jangan marah, apa lagi sampai bertengkar, sebab manusia semua memiliki hak asasi, mereka menentukan nasib mereka ke depan, dan mereka juga yang paling berhak menasehati diri mereka sendiri. Akhirnya semua anak terdiam, mungkin walaupun mereka setingkat TK dan setingkat SD. namun memiliki daya tangkap yang cemerlang, lalu yang menangis jadi tertawa, dan mereka saling berpelukan. Sambil mengucapkan Santhi, Santhi, Santhi.

Setelah Pemangku itu meninggalkan tempat diskusi anak-anak tadi, saya berpikir; benar juga nasehat dari Pemangku itu, walaupun si Pemangku tidak menasehati saya secara langsung namun saya merasakan mendapat sesuatu yang amat berguna. Terima kasih atas perhatiannya, kurang lebih mohon maaf.

Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om.

RENUNGAN DISAAT NAIK PESAWAT TERBANG

OM SWASTIASTU

Setiap saya mempunyai waktu senggang di rumah, tidak ada diajak bicara "sepi", hanya suara burung perkutut yang kedengaran bersaut sautan, mungkin mereka sedang diskusi dengan sesamanya, entahlah.......!!! Tangan saya seolah - olah ditarik entah oleh siapa, mungkin oleh keinginan untuk menulis. Mau menulis apa? Saya kurang tahu. Pada waktu itulah muncul keinginan saya menulis pengalaman terbang dengan pesawat, terutama diwaktu saya terbang dari Bandara I Gusti Ngurah Rai menuju Ujung Pandang. Kebetulan di dalam pesawat saya dapat tempat duduk di pinggir di samping jendela. Sewaktu pesawat melintasi diatas laut, saya iseng melihat keluar dari jendela melihat kebawah, aduuh indahnya kelihatan pemandangannya, air laut kelihatan biru, awan tipis berlomba berlari-lari kebelakang. Apa awannya yang lari kebelakang, apa pesawatnya lari kedepan sehingga kelihatannya begitu? Hal itu tidak terpikirkan apalagi didiskusikan.

Namun yang penting menurut saya pada waktu itu kelihatan pulau - pulau berjejer banyak sekali entah pulau apa itu saya tidak tau. Antara pulau yang satu dengan yang lain disela oleh air laut, semuanya begitu. Lalu muncul pikiran saya; APAKAH AIR LAUT ITU DISEBUT MEMBATASI ANTARA PULAU YANG SATU DENGAN PULAU YANG LAIN? Kalau jawabannya ya, pantas budaya, adat kita berbeda-beda, karena dibatasi. Kalau perbedaan ini kita saling mempertahankan satu dengan yang lainnya maka kapan kita akan bisa bersatu? Kenyataannya begitu. Ini Baru penilaian dari sisi pandang ditataran permukaannya saja. Kalau kita ingin tau apa ada hubungannya pulau yang satu dengan pulau yang lain? Apa memang pisah - pisah?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus bisa dan dapat menyelam kedasar laut, menurut perkiraan saya dan ini benar, setelah kita dapat menyelam ke paling dasar laut maka kita tau bahwa didasar laut pulau yang satu tidak terpisah dengan pulau yang lainnya, atau menyatu, mungkin hal ini berlaku pada pulau - pulau yang lain diseluruh bola bumi ini.

Bila hal ini kita kaitkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama di Negri yang kita cintai ini, rasanya sangat pas, sebab negri kita terdiri dari beribu-ribu pulau, beribu-ribu adat budaya, bila kita melihat dari tataran atasnya saja atau tataran yang dangkal maka kita pasti berbeda, namun pendahulu kita sudah memberikan kita alat selam yang lengkap untuk menyelaminya yaitu: " PANCASILA" DAN "BHINEKA TUNGGAL IKA". Selamilah lautan Nusantara ini, agar kita dapatkan dasarnya atau benang merahnya, sehingga kita akan dapatkan kehidupan yang damai dan bahagia bersama. Hal ini juga berlaku untuk semua aspek kehidupan kita menuju kedamaian baik budaya maupun keyakinan kita. Hal inipun ada hubungannya dengan kemenangan Dharma atas Adharma sebagai esinsi dari hari suci Galungan.

Dengan merenung yang cukup lama lalu saya dengar peringatan di dalam pesawat, mungkin dari pramugarainya, antara lain: " Para penumpang sebentar lagi kita akan mendarat....." Lalu saya dengan sedikit kaget, beralihlah pikiran saya kepada suara itu sehingga secara otomatis renungan tadi juga berhenti. Demikianlah tulisan ini saya ajukan sebagai rasa rindu akan kedamaian bersama. Sehingga saya tidak merasa malu menulis, walaupun tulisan ini sangat tidak bermutu. Terima kasih.

OM SANTHI, SANTHI, SANTHI, OM.

SEMOGA TUHAN SELALU MENGANUGRAHKAN PIKIRAN YANG BENAR

Monday, May 2, 2016

DISKUSI KECIL TENTANG MEMAKNAI GALUNGAN

Om Swastiastu.

Telah banyak para tokoh agama Hindu yang memberikan makna Hari suci Galungan itu, dengan segala argumentasinya dan semuanya kelihatan benar. Namun pada kesempatan ini saya ingin menuliskan pengalaman yang saya pernah rasakan tentang Galungan.

Pada suatu ketika saya berjalan melintasi tepian sungai, nah disitu ada anak-anak muda berkumpul kurang lebih 5 orang, rasanya mereka sedang memancing ikan di sungai (penghobi mancing). Sedang asiknya mereka mancing, lalu ada temannya melintas di kejauhan kurang lebih 5 meter dari tempat mereka mancing, temannya itu menyapa kelompok pemancing ini dengan kata-kata guyon dan nyindir, antara lain:

"JANGAN DIHABISIN IKANNYA DIPANCING BIAR ADA DIPAKAI GALUNGAN.....!!!!!! "

antara lain itu yang dikatakan, lalu si kelompok pemancing menjawab begini:

"YA KALAU HABIS IKANNYA DISINI, NANTI UNTUK GALUNGAN BELI SAJA DAGING BABI DI PASAR......!!!!!"

Begitulah guyonan mereka. Selanjutnya diantara si pemancing terjadi diskusi kecil tentang pemaknaan Galungan atas kata guyonan temannya tadi, antara lain; Satu orang bertanya "Apa sih sebenarnya makna Galungan itu? Teman-temannya menjawab sesuai dengan apa yang mereka tau, diantara jawaban yang ada, terdengar salah satu mengatakan; Galungan adalah Hari Suci untuk merayakan kemenangan Dharma melawan Adharma. Kemudian ditanyakan lagi oleh yang satu lagi; Jadi Dharma dengan Adharma itu berperang? Dimana medannya? Kalau Adharma kalah, apa kekalahannya itu menyerah apa kalah mati? kalau kalah menyerah, dimana wilayah kekalahan adharma yang menjadi kekuasaan dharma atas kemenangannya? Kalau adharma itu kalah mati, dimana mayat adharma itu dikubur? Berdasarkan pertanyaan inilah para pemancing itu menjadikan tempat mancingnya sebagai arena diskusi.

Pada waktu itu kebetulan saya lewat disampingnya, disitulah saya mendengar diskusi mereka, dan saya sangat terketuk hati saya ingin menjawab, namun mereka tidak bertanya ke saya, makanya saya diam saja membiarkan mereka diskusi sepuasnya demi meresapnya inti pemaknaan Galungan yang sebenarnya, dan saya melanjutkan perjalanan pulang. Nah sesampainya saya di rumah, tidak berselang beberapa menit, ternyata mereka si pemancing itu semua datang ke rumah saya. Setelah saya persilahkan duduk, lalu mereka mengulangi pertanyaan yang menjadi perdebatan kusir tadinya. Meraka sebenarnya tidak salah memaknai sesuai dengan apa yang mereka tau, sebab memaknai atau mempelajari ajaran agama Hindu di Bali itu secara berjenjang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Seperti contoh: Ada anak 3 orang, satu orang baru SD, yang satu sudah SMA dan yang satu lagi sudah sarjana Ilmu Matematika. Lalu ada pertanyaan pada mereka; Coba kalian jawab: 3 X 3 =....? Anak SD menjawab dengan mengambil batu dan menghitungnya, lalu dia dapat jawaban 9. Kemuadian yang SMA. menghitung dengan mengambil kertas orak-orek, jawabannya juga 9. Dia yang sarjana matematika langsung menjawab 9. Pertanyaannya adalah; apakan sembilan dari masing-masing mereka itu berbeda nilainya? Saya kira tidak beda, hanya prosesnya yang berbeda. Demikian pula tentang defenisi Galungan.

Namun atas pertanyaan si pemancing perlu di berikan jawaban yang benar, antara lain. Dharma dan adharma itu tidak berperang kayak bertempur, namun keduanya itu saling mempengaruhi, yang mana kuat pengaruhnya diantara keduanya itu, kalau Dharma yang lebih kuat maka dharma dikatakan menang dalam kontek mempengaruhi adharma menjadi dharma, ini yang disebut Galungan. Sehingga tidak ada mayat si adharma dalam hal saling mempengaruhi, sebab itu merupakan sifat, karakter manusia. Lalu dimana arenanya? Arenanya ada di dalam diri manusia, jadi sifat saling mempengaruhi dari dharma dengan adharma itu hanya ada di dalam diri manusia. Bila manusia itu tahu dan sadar akan memaknai hidup ini maka mereka berusaha memenangkan dharma didalam dirinya. Jadi Galungan itu didefinisikan sebagai kemenangan Dharma di dalam diri manusia sendiri, maka mereka akan mewujud nyatakan kegembiraan mereka atas kemenangan itu dengan cara membuat sesaji, membuat penjor, bersembahyang ke pura, dan lain sebagainya sebagai gambaran kegembiraan mereka.

Jadi kemeriahan perayaan galungan dengan penjor yang mahal-mahal, semestinya didasari oleh kemampuan kita mempengaruhi sifat adharma dengan sifat dharma di dalam kehidupan ini, dengan cara belajar agama memahami ajaran agama dan yang terpenting mempraktikan ajaran agama tersebut, nah itu baru lengkap. Akhirnya dengan argumentasi saya seperti itu para pemancing sedikit menyadari apa yang mereka harus lakukan untuk memaknai hidup ini.

Demikian cerita pendek ini saya tulis disini sebagai sebuah yadnya bagi saudara kita yang mau dan memerlukannya. Cerita ini tidak saya gunakan sebagai bahan diskusi, sekali lagi sebagai ungkapan rasa cinta kepada semua teman-teman.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM.