Friday, October 24, 2008

Hindu Tidak Diajarkan Dengan Baik dan Benar

cerita ini saya dapat dari :
http://kmhsaraswati.org/forum/topic/hindu-tidak-diajarkan-dengan-baik-dan-benar

Siang itu cuaca di sebuah kota metropolis di pulau sumatera tidak mau kompromi. Hujan kecil terus saja mengguyur bumi hingga tengah hari. Padahal saya ada janji dengan seorang dosen untuk membantu sebuah acara kumpul ibu-ibu untuk melakukan kegiatan rutin mereka. Saya sebenarnya enggan meng-iya-kan ajakan itu, Bu Dosen merupakan salah seorang sosok yang cukup berpengaruh di kampus itu. Entah ada tujuan terselubung atau tidak dibalik ajakan untuk membantu kegiatan tersebut, saja juga tidak memperdulikannya. Dari kampus kami menggunakan mobil kijang yang penuh berisi peralatan seperti LCD Projector, Laptop, Layar, sound-system serta beberapa gulungan kabel. Setibanya di rumah yang cukup besar, saya dan beberapa teman mahasiswa langsung beraksi dengan memasang sound-system dan peralatan lainnya. Setelah menyelesaikan semua keperluan, kami pamit pulang. Namun di cegah oleh Bu Dosen seraya meminta saya untuk manjadi asisten klik alias jadi operator laptop.

Acara dimulai dengan doa dan pembacaan kalimat-kalimat dari sebuah buku tebal yang sedikitpun tidak saya mengerti. Selanjutnya tampil Bu Dosen memberikan sambutan kemudian memperkenalkan seorang pembicara wanita. Saya cukup terkejut tatkala Bu Dosen menyebutkan nama pembicara wanita yang merupakan istri dari seorang yang ahli agama di tanah jawa. Nama depannya tidak asing buat saya, namun jadi aneh di telinga saya. Kemudian saya melotot ke layar laptop karena penasaran, di layar laptop tertulis nama khas asal Bali, namun sudah ada tambahan didepannya. Belum lagi hilang rasa terkejut saya, sang pembicara sudah terdengar mulai memberikan wacana dengan dialek khas Bali. Keterkejutan saya terlebih karena beberapa saat sebelum acara dimulai, saya sempat duduk disebelahnya saat memasang microphone dan sedikitpun saya tidak menyangka bahwa kami berasal dari pulau yang sama, pulau dewata, karena sang pembicara mengenakan busana yang hanya memperlihatkan matanya.

Keterkejutan saya semakin bertambah ketika sang pembicara mengatakan "...Dulu saya hanya diajarkan A-B dan C, namun sekarang saya bisa belajar D-E hingga Z, sehingga sekarang saya merasa lebih baik dibanding sewaktu masih menganut agama terdahulu." Pembicaraan sekitar 2 jam memang tidak terasa, terlihat yang hadir masih memperhatikan dengan seksama. Hal ini bisa jadi karena kepiawaian sang pembicara dalam berbicara yang disertai contoh beberapa artis yang sekarang lebih baik setelah berapa di agama yang sama dengannya. Saya juga tidak menghitung berapa slide yang sudah saya klik, hingga di layar muncul kalimat "Terimakasih".Setelah acara selesai, kami merapihkan semua peralatan untuk di kembalikan ke kampus. Dan disela-sela "bersih-bersih" tersebut ada seorang teman berucap "Si ibu tadi hebat ya, kapan nih kamu akan menyusul jejaknya?" Setelah diam sejenak, kemudian saya menjawab "Ah mudah itu, nanti saya belajar deh..." Ternyata jawaban saya cukup mengundang perhatian beberapa mahasiswi yang juga mengenakan busana khas suatu agama, dan mereka mengatakan bersedia membimbing saya untuk belajar agamanya.

Entah kebetulan atau tidak, siang itu hujan rintik dari pagi hari. Saya bergegas menuju sebuah fakultas yang salah seorang dosennya merupakan dosen pembimbing saya. Namun karena hujan yang tidak kompromi saya putuskan untuk berteduh disebuah kantin. Tak disangka senyum manis seorang gadis menyambut saya dipojok kantin, "Bli mau kemana hujan-hujan begini?" tanya gadis itu. Perbincangan ringan pun mengalir cukup deras ditengah hujan rintik yang belum juga reda. Gadis ini tergolong cukup pandai, dari keluarga yang punya serta wajah yang cantik. Tak heran jika ia sering berganti-ganti pacar. Perbincangan mengalir terus hingga pada pertanyaannya, apakah salah kalau saya pindah dari agama Hindu? Karena saya tidak memiliki pemahaman agama yang baik dan tidak memiliki referensi agamanya yang cukup, saya hanya menyarankan untuk sebisa mungkin menghindarinya. Ia pun mempertanyakan sikap saya, dan mengutip salah satu sloka pustaka suci Hindu yang mengatakan apapun jalanmu menuju aku, kamu akan sampai kepadaku. "Itu artinya Hindu tidak keberatan penganutnya untuk pindah ke agama lain, dan bila cermati, Hindu menyarankan kita untuk memilih jalan yang kita sukai, jalan yang tidak rumit tentunya, seperti Hindu yang amat ribet pelaksanaannya," jelasnya. Lagi-lagi karena pemahaman Hindu saya yang kurang saya hanya berucap, "Kalau seperti itu pemahamanmu, mungkin benar seperti itu, silahkan saja," kemudian saja pamit pergi berhujan ria untuk menemui dosen karena hari menjelang sore.

Dua bulan kemudian saya mendapat kabar, bahwa si gadis manis cuti kuliah karena menikah. Kabar itu juga menceritakan bahwa keluarga si gadis kecewa karena si gadis pindah agama namun tidak bisa berbuat banyak karena si gadis telah mengandung beberapa bulan. "Sampaikan ucapan selamat menempuh hidup baru dari saya nanti kalau kamu ketemu dia," pinta saya kepada sang pemberi berita. Kami berdua pun menumpang sebuah bus kota menuju sebuah pura untuk persembahyangan rutin setiap hari minggu sore.

Setelah selesai persembahyangan, saya coba menghubungkan pembicara wanita, si gadis manis dan sloka suci yang dimaksud si gadis kepada seorang sarjana Agama Hindu yang berjenggot mirip pengebom Bali. Dan saya mendapatkan penjelasan bahwa, sloka yang dimaksud adalah:

Ye yatha mam prapadyante
Tams tathaiva bhjamy aham
Mama vartmanuvartante
Manusyah partha sarvasah
(Bgv.IV.11)
Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang disetiap sisi adalah jalanKu juga oh Arjuna.

Dijelaskan pula jalan yang dimaksud bukanlah agama melainkan cara umat Hindu untuk memuja Hyang Widhi. "Kalau kita mengartikan sloka tersebut dengan pindah agama, bukan sesuatu yang salah, namun kurang betul saja," gurau pria berjenggot tersebut sambil mengelus-elus jenggotnya. "Jalan yang dimaksud oleh sloka tadi ada dalam catur yoga, yaitu karma yoga, bhakti yoga, jnana yoga dan raja yoga. Masing-masing yoga pun dibagi tiga sub, yaitu nista, madya dan utama. Dan masing-masing sub dibagi lagi menjadi tiga sub lagi, yaitu nista ning nista, nista ning madya, nista ning utama dan seterusnya," jelasnya.

"Kalau langsung melihat rumitnya ya pasti rumit. Tetapi banyak cara yang mudah namun seringkali terlupakan. Misalnya, seseorang tidak bisa datang ke pura karena didaerahnya letak pura jauh, juga tidak bisa membuat banten atau sesaji, hafal Tri Sandya pun tidak. Orang tersebut masih bisa menempuh jalan Karma Yoga, dengan cara berprilaku yang baik, bertegur sapa dan tersenyum dengan orang lain. Hindu memiliki banyak cara, dari yang paling mudah hingga yang rumit untuk meningkatkan srada dan bhakti. Tapi tolong jangan diartikan bahwa saya mengatakan banten atau sesajen itu tidak perlu, datang ke pura tidak perlu, bahkan bangunan pura pun tidak perlu. Semua itu tetap perlu kok. Dan jangan bersikap bahwa sebenarnya mampu tetapi pura-pura tidak mampu, perilaku itu juga kurang baik," jelas pria berjenggot dengan tawa renyah.

Karena hari sudah menjelang malam, kami pun meninggalkan areal pura yang asri menuju rumah masing-masing. Namun didalam perjalanan saya masih terpikir akan obrolan ringan tadi. Mungkin jika Hindu Nusantara memiliki lebih banyak lagi sarjana Agama Hindu, memiliki lebih banyak lagi Guru Agama Hindu, memiliki lebih banyak lagi Pen-dharma wacana, memiliki sumber dana yang cukup untuk mendidik generasi muda Hindu, akan memberi pemahaman dan pencerahan sehingga tidak memandang Hindu dari kacamata negatif saja. Kemajuan Hindu nusantara bukan hanya tanggung jawab Parisada, namun tanggung jawab seluruh umat Hindu Nusantara. Untuk itu mari kita dukung penggalangan dana oleh Parisada melalui Badan Dharma Dana Nasional - BDDN (www.bddn.org), sehingga kita tidak kehilangan generasi penerus yang hanya bisa berkata, "Orang tua saya hanya bisa melahirkan, membesarkan dan memberi saya uang, namun tidak memberikan pendidikan agama dalam keluarga."

Friday, October 10, 2008

Premanisme - Noda pada Wajah Bali

Anand Krishna - Radar Bali, Senin 3 Maret 2008

"Rasa" dalam diri manusia adalah detektor kesehatan yang paling canggih. "Rasa Tidak Enak" atau "Tidak Nyaman" adalah indikator awal tentang terganggunya kesehatan. Namun, kita sering mengabaikannya. Kita tidak menggubrisnya.... Hingga suatu ketika "rasa tidak nyaman" atau "tidak enak" itu berkembang menjadi "Penyakit Ringan". Dan, sesungguhnya Penyakit Ringan itu pun masih bisa disembuhkan. Sekalipun tanpa bantuan dari seorang dokter, hanya dengan merubah pola makan dan sebagainya.

Namun, kita tetap juga mengabaikan Peringatan Alam.... Maka, penyakit ringan menjadi parah. Saat itu, kita baru mencari dokter. Kemudian, tergantung pada betapa parahnya penyakit kita - ada kalanya kita masih bisa sembuh, masih bisa ditolong. Ada kalanya kita sudah tidak tertolong lagi.

Premanisme adalah Penyakit yang sejak lama sudah merong-rong kesehatan Bali. Awalnya ia muncul sebagai setitik noda pada wajah Bali yang sangat cantik. Setitik noda itu tidak terlihat, tidak terdeteksi, bahkan tertutup oleh Kecantikan Bali.

Kemudian, titik itu mulai membesar. Seandainya saat itu pun kita mengurusi titik yang membesar itu, barangkali kondisi kita tidak separah hari ini. Sayangnya, saat itu kita malah memolesi titik noda itu dengan lapisan bedak yang tebal. Kita tidak mencari tahu bila titik noda itu hanyalah sekedar noda, atau indikasi awal bagi penyakit lain. Barangkali Kanker Kulit.

Maka, terjadilah reaksi kimiawi antara kimia di dalam bedak dan krem yang kita gunakan dengan kulit kita. Hasilnya sangat, sangat merugikan kita sendiri. Satu titik menjelma menjadi dua titik, dua menjadi dua puluh - hingga seluruh kulit wajah tertutup oleh noda. Kecantikan yang selama ini menjadi penawar bagi noda, bahkan mampu menutupinya - sekarang sirna. Tak tersisa lagi apa pun dari kecantikan awal itu.

Kecantikan Bali selama ini mampu menutupi noda premanisme pada wajahnya. Karena, selama ini baru setitik atau dua titik noda saja. Tetapi, sekarang sudah tidak seperti itu. Noda-noda premanisme kian hari bertambah. Wajah cantik Bali sudah hampir seluruhnya tertutup oleh noda-noda premanisme.

Apa yang mesti kita lakukan?

Memolesi wajah Bali dengan bedak yang mengandung bahan kimia dan hanya dapat membantu untuk sesaat saja - kemudian malah merusak wajah?

Menutup-nutupi berita tentang premanisme karena takut, atau karena para preman itu dilindungi oleh orang-orang penting, atau karena mereka berafiliasi dengan partai politik tertentu - adalah upaya-upaya untuk membedaki wajah Bali.

Sayangnya, selama ini upaya-upaya seperti inilah yang kita tempuh.... Berulang kali saya menggunakan media ini, juga media lain untuk membangkitkan "Kepedulian Bali" terhadap wajahnya - namun, tidak seorang pun menanggapinya.

Saya pernah bercerita tentang pemilik Kafe di daerah perumahan yang tidak peduli bila suara keras dan penuh kekerasan dari kafenya membuat orang lain susah tidur. Ketika ditegur secara sopan, dia malah naik pitam: "Tidak tahu kalian, saya ini siapa...." Kemudian ia menyebut nama besar sebuah gerombolan preman di Bali, "Tahu, saya dilindungi mereka...." bahkan, dengan lancang ia pun menegaskan bahwa dirinya tak tersentuh oleh pihak berwajib sekalipun. Mau bilang apa?

Orang-orang lain yang tinggal di daerah itu membisu, bungkam, tidak berani bersuara. Semuanya takut.

Padahal, si pemilik kafe itu hanya perlu "membangun" secara legal. Pembangunannya jelas tidak legal, saya tidak yakin bila dia mengantongi IMB. Tidak ada dinding yang cukup tinggi untuk meredam suara-suara gila yang berasal dari kafenya. Ketika diminta untuk meninggikan dindingnya, ia tambah berang, "Saya tidak mau mengeluarkan uang itu.... Ini tanah kontrakan..." Padahal, ia mengontraknya dari pamannya sendiri. Dan, sang paman yang punya nama pun sesungguhnya tahu persis bila keponakannya berbisnis apa.

Mau cari uang, mau beli mobil mewah yang harganya di atas satu milyard... Tapi tidak mau membiayai sedikit usahanya yang sudah jelas menguntungkan itu. Mau hidup senang sendiri - penderitaan warga sekampung tidak menjadi soal.

Kenapa mereka begitu arogan? Kenapa mereka masih bisa hidup tenang, seolah tanpa beban pada jiwa mereka? Karena, ada lembaga, ada institusi yang menjamin bahwa dosa-dosa mereka dapat dihapuskan dengan cara-cara tertentu.

Bila kita ingin menghapus Noda Premanisme dari wajah Bali, bila kita memang serius tentang hal ini - maka uapaya dari Pihak Kepolisian saja TIDAK CUKUP. Seluruh masyarakat Bali harus bersama-sama menolak Premanisme dengan satu suara yang bulat. Bukan saja preman-preman yang selama ini kita anggap adalah "pendatang" - tetapi juga preman-preman yang secara jelas menggunakan identitas Bali dan bersembunyi di balik jargon-jargon Bali - mesti ditindak secara tegas dan terbuka.

Pertama: Kita mesti tahu bahwa preman-preman ini ada karena ada yang membiayai mereka. Siapa yang membiayai mereka? Kafe-kafe liar... tempat-tempat perjudian.... warung-warung remang..... Mereka ini yang semestinya ditindak terlebih dahulu. Kucuran dana dari mereka harus berhenti dan segera.... sebelum terlambat, dan wajah Bali menjadi lebih rusak.

Kedua: Bisnis-bisnis legal yang juga selama ini tergantung pada keamanan oleh para preman - mesti memperoleh rasa aman yang sama dari pihak berwajib. Kepolisian semestinya bisa mengamankan mereka, supaya mereka tidak membutuhkan keamanan dari para preman.

Lalu, bagaimana dengan kafe-kafe liar yang mesti segera ditindak itu? Pemilik kafe yang saya kutip diatas pernah mengancam: "Kalau bubar, semuanya bubar.... Ayo bakar-bakaran sekaligus...." Inilah Bali..... INIKAH BALI?

Tegakah kita melihat Bunda Bali diculik oleh orang-orang seperti dia yang hanya dapat bicara dalam bahasa kekerasan?

Mereka selama ini telah mengambil keuntungan yang tidak wajar atas penderitaan orang lain. Berhakkah mereka mengendari mobil mewah yang mereka peroleh dari keuntungan yang tidak wajar? Berhakkah mereka hidup dalam rumah mewah yang mereka beli dari hasil kekerasan?
Di atas segalanya, berhakkah mereka memperoleh "blessing", restu atau apa pun sebutannya, dari institusi-institusi yang semestinya menegur mereka dan mengembalikan mereka pada jalur yang benar?

Para preman ini sudah saatnya mencari uang, mencari nafkah dengan mengucurkan keringat. Mereka tidak boleh tidur sepanjang hari dan mabuk-mabukkan sepanjang malam sambil mencaci-maki orang yang mau tidur di malam hari.

Ketiga: Para politisi yang menggunakan jasa para preman untuk kampanye - mesti dijatuhkan sanksi oleh Komisi Pemilihan Umum - sehingga tidak ada lagi bisnis sewa preman demi urusan politik.

Bila Bali tidak segera bertindak menyelesaikan perkara premanisme ini - maka akan datang satu masa dimana para turis pun akan merasa tidak aman tinggal di Bali. Kemudian, kita tinggal membayangkan keadaan Bali tanpa turis. Preman-preman yang telah kita biayai selama ini, telah kita besarkan selama ini, akan menjadi monster dan menelan kita sendiri.

* Aktivis Spiritual

Sunday, October 5, 2008

Sebuah Cerita Tentang Panca Maha Bhuta

Panca Maha Bhuta adalah lima unsur besar alam semesta yang merupakan ciptaan ketujuh dari proses penciptaan alam semesta (Tattwa Jnana :13). Di Bali Panca Maha Bhuta ini dijadikan "pengkayaan" praktek, pemakamah keagamaan yang unik. Ini bisa kita lihat sampai sekarang kita telah mewarisi "Agama Campuran" yang sangat khas di Bali. Sangatlah tepat apabila leluhur orang Bali menyatakan agama mereka Hindu-Bali.
Dahulu pada jaman kerajaan, kaum Brahmana dikukuhkan menjadi pendeta Siwa, ini adalah sintesa paham Sparta atau Brahmaisme ortodoks dengan sinkritisme-nya. Siwa dan Sora (Surya) melahirkan Siwa raditya, beberapa puja Sogara menyertakan Ganesa struktur Stawa, bahkan upacara Rsi Gana memegang peranan penting dalam struktur kepercayaan masyarakat sampai sekarang. Buddha Mahayana, Saktisme (Tantra) ditambah dengan dinamisme melahirkan Bhairawa kala cakra yang perwujudannya menjadi praktek mistik pengiwa dan penengen, kemudian bercampur dengan unsur-unsur kejawen atau Bali Mula dan juga dengan Siwa Budhha melahirkan praktek Kanda Pat yang unik.

Ajaran praktek Kanda Pat ini didalamnya terdapat pengimplementasian Panca Maha Bhuta. Ini dapat kita jumpai dalam Kanda Pat Bhuta pada khususnya. Kanda Pat ini merupakan naskah tutur yang sangat komprehensif, praktis merupakan resume ajaran Himdu, mulai dari aturan kesucian, ke-tata susilaan, kesehatan, kesejahteraan duniawi (Jagadhita) hingga ajaran kelepasan (moksa).

Implementasi Panca Maha Bhuta

a. Kanda Pat Bhuta
Kanda disebut juga "Shanda", tetapi lumrah disebut dengan Kanda yang berarti bagian-bagian. Pat berasal dari kata empat, bhuta berarti jagad dengan seisinya, juga dari asal kata bhu yang berarti tumbuh, lahir.

Di dalam Atarwa Weda disebutkan :

Paranaya namo yasya
sarwam Idem yase
yo bhutam sarwas yeswarah
yasmin sarwah pratistitam

Artinya ;

Tuhan Yang Maha Esa menguasai alam semesta serta menjaganya, laksana jagad raya yang disebut juga Bhur a (bhu), tumbuh sebagai dasar, ada tumbuh berkembang dan sirna silih berganti (utpeti, setiti, pralina)

Di dalam ajaran Kanda Pat Butha ini dijelaskan bahwa manusia lahir kedunia disertai dengan 4 kekuatan dari Panca Maha Bhuta, termasuk dalam wadag manusia (Sang catur sanak) yaitu disebut dengan :

1. Anggapati à pertiwi à padat / keras
2. Mrajapati à apah à cair
3. Banaspati à teja à terang
4. Banaspati Raja à bayu à tiupan
5. Wadag manusia à akasa à kosong / hampa

Proses terjadinya hal tersebut adalah : pada saat orang tua (ibu-bapak) manusia yang akan lahir bertemu dan timbul rasa cinta diantara mereka disebut dengan "Asmara pandeleng" (Ardanareswari) kemudian pada saat si bapak dan ibu mulai berbincang-bincang timbul kekuatan yang disebut dengan "penuntun Swara madu", pada saat si bapak mulai meraba susu dari si ibu disebut dengan "purusinampatang" yang menimbulkan kekuatan yang disebut "Sang Hyang Panguripaning Jiwa". Pada saat si ibu dan si bapak merasa satu hati dan satu jiwa di dalam menjalin cinta kasih timbul kekuatan yang disebut Sanghyang Maruta Tungga yang wujudnya disebut "Sanghyang Sambu". Pada saat si ibu dan si bapak melakukan hubungan intim (bersengama) itu disebut dengan "sarasaning istri kangkung (Sang Kama Lulut) yang menimbulkan kekuatan yang disebut "Sanghyang Semara Gimbal".

Pada saat melakukan hubungan intim si bapak mengeluarkan sperma yang disebut "kama putih" "kama bang" dari si ibu, setelah 1 bulan lamanya bertemu disebut dengan "sukla wanita surya candra yang menimbulkan kekuatan Sanghyang Maya siluman". Setelah cabang bayi berumur 2 bulan disebut "Semarabuncing" yang diikuti bayu dan idep. Setelah 3 bulan sicabang bayi disebut "Sanghyang Kamamola" yang ditimbulkan oleh kekuatan "Sanghyang Pancawara bhuwana". Setelah berumur 4 bulan muncul "Sanghyang Dewata Nawasangan" dan si cabang bayi disebut "Sanghyang kamamanik saprah". Berumur 5 bulan, 5 kekuatan alam bersatu yang disebut dengan "Mereka Janma" yang juga disebut dengan "Sanghyang Kamareka", umur 6 bulan si cabang bayi sudah lengkap berwujud manusia yang sudah lengkap, disebut dengan "I Karakuranta", umur 7 bulan disebut "Sanghyang Cilimareka. umur 8 bulan disebut "Sanghyang kamagere", setelah umur 9 bulan menjelang lahir disebut "Gajah Petak". Pada saat lahir s bayi lahir dengan diikuti 4 kekuatan alam lainnya yang berupa "Yeh Nyom, Ari-ari, Getih (darah), Lamas. Pada saat lahir disebut dengan "I Rengga Badai", setelah itu berganti nama yang disebut dengan " I Rare Kruncur".

Kemudian setelah semua proses pada saat baru lahir dilaksanakan, ke-4 kekuatan yang menyertai bayi lahir disebut dengan "I Jelakir", I Mekahir, I Selabir, I Mokahir yang kembali ke 4 arah penjuru mata angin. Setelah si bayi beumur 3 bulan, 4 kekuatan itu berwujud raksasa yang bernama : "Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspati raja dan di sibayi disebut dengan "I Tutur Menget". Begitulah proses evolusi dari Panca Maha Bhuta pada saat proses seseorang manusia dilahirkan. Bagi yang masuk ke dalam pencinta kediatmikan maka kekuatan ini akan diolah untuk mencapai tujuan yang dimaksud, dimana kalau kita memanfaatkan kekuatannya sangatlah bermanfaat kekuatannya sangatlah bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Seperti sifatnya (Raksasa/detya) maka ke – 4 kekuatan ini memiliki tempat dan cara hidup masing-masing diantaranya adalah :

Anggapati : menghuni badan manusia, sebagai makanannya adalah mengganggu manusia yang badannya sedang lemah dan yang sedang dipenuhi oleh nafsu angkara murkha.

Mrajapati : menghuni kuburan dan perempatan jalan (agung) sebagai makanannya adalah : mayat yang dikubur tidak sesuai dengan pedewasaan serta upacaranya.

Banaspati : menghuni sungai-sungai, batu-batu besar, sebagai makanannya adalah : orang yang keluar atau tidur pada saat yang tidak ditentukan misalnya pada penggantian hari (sandikala).

Banaspati raja : penghuni kayu-kayu besar (kepuh, rangdu) sebagai makanannya adalah orang yang menebang kayu / menaiki pohon pada waktu yang dilarang menurut padewasaan.
Ke-empat saudara yang diajak lahir ini dinamakan dengan "Catur Sanak" yang menjadi raja dari Jin, Setan, Tonya, Bhuta Kala dan Makhluk halus lainnya.

b. Barong dan Rangda]
Karena kekuatan Panca Maha Bhuta yang terimplementasikan pada Kanda Pat, yang disebutkan merupakan Raja dari semua makhluk halus, maka masyarakat Bali pada khususnya yang beragama Hindu memanfaatkan kekuatan tersebut untuk melindungi sekup yang lebih besar, yaitu skup dalam satu desa adat yang diwjudkan dalam Barong dan Rangda.
Barong adalah perwujudan dari Banaspati Raja,
Barong Landung perwujudan dari Banaspati
dan
Rangda adalah perwujudan dari Mrajapati