Wednesday, May 5, 2010

Memandang Sudut Pandang

Om Swastyastu

Saudara-saudaraku terkasih, berikut ada posting menarik, saya ambil dari facebook:
(http://www.facebook.com/reqs.php#!/notes.php?subj=100000869764112)

Matahari semakin tenggelam di ujung barat. Langit menjadi kemerah-merahan. Dua lelaki masih duduk bersila asyik dengan ceritanya.

“Pemandangannya semakin luar biasa guru. Sore ini tidak ada kabut menghalangi mata, sehingga kita bisa bebas melihat pemandangan gunung yang kuning kemerah-merahan disapu lembut sinar matahari terbenam.” kata Pawana.
“Hmm.. Menurut kamu, setelah kabut tidak ada, apakah yang menghalangi mata kita untuk melihat pemandangan sore ini?” tanya Sang Guru pada Pawana. 
“Pohon-pohon yang tumbuh didepan mata kita. “ kata Pawana. 
“Nah..Jika pohon-pohon itu hilang?” tanya sang guru lagi. 
“Pohon-pohon yang tumbuh di gunung itu” jawab Pawana. 
“Bagamana jika pohon-pohon yang tumbuh di gunung itu juga hilang?” tanya sang guru kembali. 
“Saya tidak tahu harus menjawabnya bagaimana, karena sudah tidak ada yang layak saya lihat sebagai pemandangan.” kata Pawana. 
“Mengapa?” tanya sang guru. 
“Jika gunung tanpa pohon, tampaklah sebuah bongkahan batu gersang dan kering, tanah terjal yang mengerikan jika longsor, saya tidak suka memandang hal seperti itu.” jawab Pawana dengan lugu.

Pawana balik bertanya pada gurunya, “Menurut guru, jika semua penghalang mata sudah tidak ada, termasuk tumbuhan yang menutupi gunung, apakah yang menjadi penghalang mata kita untuk melihat pemandangan?” 
Sambil mengelus-elus jenggotnya sang guru menjawab, “Gunung itu sendiri.. he..he..he.” 

Pawana kebingungan mendengar jawaban gurunya. Apalagi sambil tertawa terkekeh-kekeh seperti mengejek. Ia hanya ngedumel dalam hatinya, gurunya sedang sinting kerasupan siluman dedemit hutan gunung. “Biasanya dedemit suka keluar menjelang "sandikala" seperti ini, pastilah guru sedang tidak sadar." katanya dalam hati.

“Guru.. Jika gunung itu bisa dianggap sebagai penghalang mata kita melihat pemandangan, lalu pemandangan apa yang kita cari di balik gunung itu? Sangatlah sia-sia kita duduk di sini. Sebaiknya kita duduk di balik gunung itu saja, sehingga tidak menemui penghalang lagi.” kata Pawana dengan penasaran.

“Pawana.. Semua yang kamu anggap penghalang mata untuk melihat keindahan pemandangan adalah kekuatan dan vitamin keindahan itu sendiri. Menghilangkan semua yang kamu anggap sebagai penghalang mata untuk keindahan yang memuaskan diri sebenarnya dirimu sudah terjebak dalam ketidaksadaran. Jika kamu orang yang "sakti mandra guna" mungkin semuanya tersebut akan kamu korbankan untuk disingkirkan. Setelah gunung, maka bumipun akan kamu singkirkan, kemudian planet-planet, bintang, bahkan bila perlu matahari, bahkan mahluk lainnya dan sesamamu. Tetapi kamu tidak akan pernah menemukannya. Akhirnya kamu hanya akan bertemu dengan dirimu sendiri. Tibalah dirimu pada diri sendiri sebagai penghalang pemandangan yang sesungguhnya yaitu pikiran dan hatimu sendiri. Ternyata keindahan pemandangan yang kamu lihat adalah sudut pandang kamu sendiri yang lahir dari pikiran dan hatimu. Keindahan tidak terasa indah jika pikiran dan hatimu tidak tenang. Kedamaian tidak terasa damai karena hati dan pikiranmu bergolak, begitu pula cinta dan kasih karena hatimu penuh dengan lapisan kebencian. Ambisi karena keserakahan, membuat dirimu tidak memandang sesuatu dari sudut sederhana. Pemandangan dalam diri yang sesungguhnya sangatlah bening. Tetapi karena dilapisi "kotoran berdebu" yang pekat, mempengaruhi sudut pandangmu. Bahkan sangatlah sulit melihat diri sendiri jika debu-debu melapisi cermin cukup tebal.”

Pawana terdiam untuk menangkap makna kata-kata Gurunya. Dalam hatinya, ternyata gurunya tidak sinting. Kemudian ia bertanya, “Apa yang membuat pikiran dan hati bisa melihat tanpa penghalang?” Sang guru mulai menatap wajah Pawana. “Kesadaran yang mampu melahirkan pikiran harmonis. Kesadaran yang mampu melahirkan kebijaksanaan. Semua itu memerlukan latihan. Hidup ini penuh dengan cobaan dan latihan. Diperlukan ketenangan seperti mengupas lapisan kulit bawang agar jangan intinya rusak. Sangatlah sia-sia singkirkan kabut, pohon-pohon dan gunung, jika ingin melihat keindahan. Tetapi singkirkan, kabut-kabut, pohon-pohon, dan gunung penghalang dalam pikiran dan hatimu, dengan cara itu kamu akan melihat kabut, pohon dan gunung sebagai keindahan. Kamu akan melihat hal-hal yang sedehana pada sekitarmu sebagai keindahan. Tanah yang terasa di telapak kakimu, air yang engkau minum, sapaan ibumu, dan masih banyak lagi menjadi indah adanya. Mengapa? karena hatimu sedang bersinar cahaya kesadaran ”

Sang Guru kembali berkata, "Pawana..Sebelum kamu mengkambing hitamkan yang di luar dirimu, alangkah baiknya kamu mencari di dalam dirimu. Jika kamu ingin merasakan keindahan, maka ubahlah suasana hatimu".

Om Shanti Shanti Shanti Om
 

sebuah e-mail dari: I Made Sugi Ardana