Tuesday, December 3, 2013

TANGKIL, NGAYAH, BERSEMBAHYANG KE PURA DAN YOGA (LANJUTAN)


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU NAMOSIDAM.

Kita akan kembali pada pokok bahasan tentang pembangunan pura yang berlandaskan konsep yoga. Seperti kita ketahui pura kuno dibangun di atas gunung, di tepi tebing, di dalam lautan, di dalam goa, pokoknya di tempat yang agak sulit dijangkau. Untuk dapat dipahami secara jelas pembangunan pura berdasarkan konsep yoga, harus juga dimulai dari menguraikan tahapan yoga, kemudian sesuaikan dengan konsep pembangunan pura tadi. Saya akan mencoba untuk menguraikan tahapan yoga secara umum saja yaitu;

• Panca Yama Brata
• Panca Niyama Brata
• Asana
• Pranayama
• Dyana (Semadi)

Mungkin tahapan yoga yang saya uraikan ini tidak lengkap sekali, karena saya ingin mencari yang paling menonjol kaitannya dengan pembangunan pura. Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata ditekankan agar dilakukan setiap hari, di dalam kehidupan sehari-hari. Lalu Asana, Pranayama dan Dyana agak jarang dilakukan, sebenarnya ini juga harus setiap hari dilakukan. Dikarenakan oleh adanya suatu sebab yang kurang jelas, maka tahapan yoga bagian Asana, Pranayama dan Dyana kurang tekun dilakukan.

Nah, sekarang kaitannya dengan pembangunan pura yang lokasinya seperti yang telah diuraikan tadi, itu akan memberikan peluang yang sangat besar untuk melakukan Asana, Pranayama dan Dyana dengan tidak kita sadari. Misalnya untuk bisa sembahyang atau ngayah ke pura yang sulit dijangkau, memerlukan persiapan fisik dan mental yang memadai serta melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah.

Sekarang kita ambil contoh mau sembahyang ke Pura Pucak Manik di wilayah Grokgak Singaraja. Sebelumnya orang yang mau sembahyang harus siap mental artinya, harus sehat, dan berkonsentrasi, tidak boleh ragu-ragu, pakaian sederhana, barang bawaan secukupnya dan sepantasnya, sebab perjalanan akan melalui medan yang cukup berat dan posisinya naik. Di dalam perjalanan melalui jalan setapak, tebing-tebing, hanya ada pohon dan akar yang dapat digapai sebagai pembantu. Nafas terengah-engah, CO2 keluar dengan derasnya demikian pula O2 akan masuk dengan deras pula melalui hidung kita, pertukaran udara akan terjadi antara orang yang tangkil dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar areal perjalanan. Rasanya paru-paru dicuci bersih, jantung terasa berat memompa darah, sehingga dada terasa berdebar.

Setelah perjalanan berakhir di areal pura, nafas masih terengah-engah, sudah pasti memerlukan waktu istirahat barang 10 minit, kemudian baru berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan sembahyang. Setelah nafas agak sempurna, dada terasa ringan, beban pikiran menjadi ringan, perasaan jadi sangat tenang. Kita duduk dengan pikiran hening, lalu melakukan persembahyangan melalui urutan sebagaimana mestinya. Setelah bersembahyang ketenangan sangat terasa, perutpun mulai terasa lapar, mau tidak mau ”lungsuran banten” (banten yang telah dihanturkan) dimakan habis. Dalam keadaan seperti itu semua orang yang mengalami tangkil ke pura yang sejenis medannya dengan Pura Pucak Manik, akan tidak menyadari dirinya telah melakukan yoga dari tahap awal sampai tahap dyana.

Perjalanan mendaki yang diuraikan tadi, itu sama dengan asana yang sangat sempurna, keringat bercucuran. Nafas terengah-engah, itu sama dengan pranayama yang sempurna. Setelah tenang duduk lalu bersembahyang itu adalah dyana semadi/meditasi yang tidak kalah bobotnya. Demikian bijaknya para leluhur kita melatih generasi penerusnya untuk selalu dapat melaksanakan yoga, sehingga bisa terbentuknya moral yang luhur. Di samping itu adapula makna yang dapat dipetik, bahwa tidak sembarangan orang dapat sembahyang langsung di pura itu. Bagi mereka yang berpikir ragu-ragu pasti tidak bisa, mereka yang sakit-sakitan, ibu-ibu hamil, anak-anak yang belum cukup umur, cacat fisik, sangat sulit menempuh perjalanan seperti itu. Mereka akan sembahyang di pura yang mudah dijangkau oleh mereka.

Demikian pemahaman saya mengenai pembangunan pura yang letaknya sulit dijangkau oleh masyarakat umum, bila dikaitkan dengan penerapa yoga secara praktis, halus sehingga hampir tidak dapat dirasakan oleh si pelaku.

Permasalahannya sekarang adalah, sebagian besar pura seperti tadi sudah dibuatkan jalan untuk mudah dapat dijangkau oleh semua golongan, bahkan sampai pedagang kaki limapun ikut menyemarakkan, pura jadi ramai, dagang kaset itu memutar kasetnya agar laku dijual. Pemandangan yang muncul tak ubahnya semakin jauh. Bagi mereka yang bersembahyang pun tidak mengalami proses yoga yang benar dan mantap. Judi semarak, menurut pengamatan saya pura yang merupakan tempat mencari kesucian, berubah menjadi tempat mencari hiburan.

Saya rasa, menangis leluhur kita di alam sana, karena kita sebagai pewarisnya tidak mampu memanfaatkan pura seperti langkah dan tujuan leluhur kita terdahulu. Jika begini terus habislah segala warisan yang adhi luhung itu. Wahai generasi penerus, engkau tidak akan dapat menikmati Bali yang sempurna seperti dahulu.

Saya kira masih ada kesempatan untuk melestarikannya, kalau kita sama-sama menyadari demi keturunan kita nanti. Marilah berbuat bukan hanya untuk dinikmati sekarang saja, berbuatlah untuk generasi masa datang.

Mungkin ada di antara pembaca yang ingin bertanya. Jadi kalau begitu pemahamannya, rasanya ada unsur membedakan antara umat yang kuat dan umat yang lemah untuk dapat mengikuti yoga? Sebenarnya tidak ada yang membedakan. Kecuali mereka sendiri yang membedakan dirinya dengan yang lain. Maksudnya mereka yang sakit pasti berbeda dengan mereka yang sehat. Mereka yang sungguh-sungguh ingin menyembah Ida Sang Hyang Widhi akan berbeda dengan orang yang sekedar memamerkan pakaian, memamerkan kekayaan, memamerkan postur tubuh datang ke pura. Kalau memang mereka merasa sama tidak ada larangan untuk tangkil bersembahyang. Begitu mereka tangkil ke pura, otomatis mereka sudah melakukan yoga.

Kesimpulannya itu sangat tergantung pada kesungguhan dan ketekunan kita. Sebagai orang awam, begitulah pemahan saya tentang dibangunnya pura yang letaknya ditempat yang sulit dijangkau. Jangalah diutak-atik lagi, yang sifatnya memudahkan dan tidak mendidik. Mudah menjangkau beda bobotnya dengan yang sulit dijangkau.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

No comments: