Monday, June 29, 2009

Pura Penataran Sasih

http://blog.baliwww.com/wp-content/photos/penataran_sasih_01.jpg

Pura Penataran Sasih merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat atau pura utama penting di Bali. Pura ini memiliki jejak sejarah yang sangat panjang. Beberapa ahli menyebutkan Pura Penataran Sasih adalah pura tertua di Bali yang merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Dari hasil penelitian terhadap peninggalan benda-benda kuno di areal pura, diduga Pura Penataran Sasih telah ada sebelum pengaruh Hindu masuk ke Bali, satu era dan zaman Dongson di China, sekitar 300 tahun Sebelum Masehi. Jauh sebelum Hindu masuk ke Bali sekitar abad ke-8 Masehi.

Di pura yang terletak di Desa Pejeng ini terdapat nekara perunggu berukuran 186,5 cm. Nekara ini mengandung nilai simbolis yang sangat tinggi. Pada nekara tersebut terdapat hiasan kodok muka sebagai sarana penghormatan pada leluhur. Konon, nekara ini juga dijadikan media untuk memohon hujan oleh masyarakat pada masa itu.

Di samping nekara perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa pecahan prasasti yang ditulis pada batu padas. Hanya saja, tulisan berbahasa Kawi dan Sansekerta itu tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari hasil penelitian, ada kemungkinan pecahan prasasti tersebut berasal dari abad ke-9 atau permulaan abad ke-10. Di pura ini juga tersimpan beberapa peninggalan masa Hindu seperti prasasti batu yang berlokasi di jeroan bagian selatan. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad ke-10. Di bagian jaba pura, di sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan memuat prasasti beraksara kediri kwadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci.

Di samping, sebagai pura yang menyimpan benda-benda purbakala, Pura Penataran Sasih juga terkenal dengan tarian sakralnya yakni tarian Sang Hyang Jaran. Tapi tarian tersebut hanya dipentaskan jika ada upacara besar di pura tersebut. Tarian ini biasanya dibawakan oleh empat penari yang ditunjuk seketika di sekitar arena. Kalau misalnya kamu yang ditunjuk, tanpa kamu sadari tubuhmu akan bergerak sendiri di luar kesadaranmu. Tapi, biasanya yang terkena tunjuk adalah warga setempat arau orang luar yang memang berniat bersembahyang.

Akses
Sangat mudah untuk mencari Pura Penataran Sasih. Pura ini berada di pinggir jalan utama menuju Tampaksiring.

Sumber: jalan-jalan-bali


Pura Jagatnatha Padang

http://hindu-sumbar.org/bigimages/pura_05.jpg

Mungkin ini merupakan salah satu warta bagus bagi warga Hindu penggemar masakan Padang. Makanan padang yang nyaris ada disetiap sudut jalan dan berasa pedas, merupakan daya tarik tersendiri, apalagi untuk warga uang indekos. Lalu bagi yang menyukai masakan tersebut tentu sedikit memiliki keinginan untuk berkunjung ke kota dimana masakan itu berasal. Sebelum berkunjung, banyak hal yang perlu diketahui, salah satunya tempat ibadah. Hal demikian juga sangat penting bagi warga yang kebetulan mendapat tugas daerah, meskipun kesibukan bertugas sering kali mengambil sebagian besar bahkan seluruh waktu kegiatan lain, bahkan tap sempat beribahah. Nah, jika berkunjung ke Padang tidak perlu khawatir dengan urusan ibadah, dikota padang telah berdiri megah sebuah Pura yang siap digunakan oleh Umat Hindu.

Berikut petikan tentang Pura di Padang yang diambil dari http://hindu-sumbar.org

Pada tahun 1990, Umat Hindu di Sumatera Barat yang jumlah warganya masih terbatas didalam melakukan ritual keagamaan selalu dilaksanakan dengan cara berpindah-pindah dari satu rumah kerumah lainnya. Pelaksanaan ritual tersebut tidak selalu dapat berjalan dengan baik mengingat situasi dan kondisi rumah yang yang kadang-kadang tidak memadai, seperti terlalu sempit, terlalu jauh lokasinya sehingga tidak dapat terjangkau dan hal ini dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi dalam bersembahyang. Pemikiran dan gagasan akan terwujudnya suatu tempat persembahyangan (Pura) terus dilakukan dan diupayakan oleh Umat Hindu dibawah koordinasi Parisada yang diprakarsai oleh Bapak Letkol Ketut Keslin, Bapak Ir Made Sebet, Bapak Nyoman Dibya, Bapak Putu Dirga dan Bapak Mayor Pol I Gusti Jateng serta dukungan penuh dari seluruh Umat Hindu yang ada di Sumatera Barat.

Sumber : cyberdharma.net

Otonan dan Jati Diri

http://www.geocities.com/melajah_agama/otonan01.jpg

Otonan bagi sebagian umat Hindu adalah hal yang biasa-biasa saja karena merupakan kegiatan upacara rutin yang datang setiap enam bulan sekali (210 hari sekali) sesuai dengan sistem penanggalan Hindu. Namun bagi sebagian lagi mungkin merupakan sebuah pertanyaan besar, apa sih otonan itu?, apa sama dengan hari ulang tahun?, sampai kapan upacara otonan ini harus dilaksanakan, dan upakaranya seperti apa? Itu adalah sebagian dari begitu banyak pertanyaan yang mesti kita jawab dengan akal sehat dan kejernihan hati nurani, sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa agama Hindu adalah agama yang primitive, animisme bahkan sadisme. Secara harfiah otonan dapat diartikan sebagai hari peringatan kelahiran, dimana Hindu memiliki sistem tersendiri dalam menentukan jatuhnya perayaan otonan ini yaitu gabungan antara eka wara sampai dasa wara dan pawukon, yang jika dikalkulasi akan datang setiap enam bulan sekali, berbeda dengan tahun Masehi yang datang setiap setahun sekali. Tujuan dari upacara otonan ini adalah untuk check list (evaluasi) sampai sejauh mana kita telah dapat melaksanakan dharma kita baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial, sejauh mana kita telah mengembangkan kerohanian kita, seberapa besar kesalahan yang kita telah perbuat, ini semua tercermin dalam sebuah renungan mendalam yang bernama OTONAN.

Sehingga dapat dikatakan otonan adalah sebuah usaha manusia dalam rangka memperbaiki kesalahan dan keburukan prilaku terdahulu dengan melaksanakan sadhana spiritual sehingga dalam kehidupan sekarang jauh lebih baik dan lebih sempurna.

Manusia Mahluk Kombinasi

Pada saat otonan Dewa dan Bhuta yang menyertai kita reinkarnasi turun dan menghampiri kita memberikan karunia bagi yang dapat menjaga kemurnian hatinya dan digoda oleh maya bagi yang menyimpang dari dharma, karena sesungguhnya manusia adalah mahluk kombinasi antara Dewa dan Bhuta ( Manava Madava - Manava Danava). Tujuan hidup sebagai manusia adalah dapat menjadikan diri kita sebagi Manava Madava (manusia dengan sifat kedewataan) bukan Manava Danava (manusia dengan sifat raksasa). Dengan eling dan waspada pada saat otonan sebuah jalan tol untuk pembebasan telah menanti kita, sehingga kita tidak kehilangan jati diri dan harga diri. Banyak orang berkomentar otonan tidak modis bahkan cenderung bersifat klenik, apa ya? Otonan tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melaksanakan otonan. Tidak ada gunanya otonan yang besar namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang yang lebih tua, akan sia-sia upacara otonan itu jika hanya untuk pamer kepada tetangga.

Otonan harus dapat merubah prilaku yang tidak benar menjadi tindakan yang santun, hormat, bijaksana dan welas asih baik kepada orang tua, saudara, dan masyarakat. Otonan yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada realisasi diri yang tertinggi. Karena dalam upacara otonan terkandung makna bahwa kita berasal dari Brahman dan harus kembali kepadaNya.

by: Shri danu.D.P-Bekasi

Sumber: cyberdharma.net

Dibangun, Candi Empu Baradah di Puncak Srawet

Banyuwangi (Bali Post) -
Satu lagi tempat ibadah dibangun oleh umat Hindu Banyuwangi, Jawa Timur. Pura Kahyangan Jagat Suniya Loka Gunung Srawet dibangun di puncak Gunung Srawet, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo, sekitar 45 kilometer arah selatan Kota Banyuwangi. Selain pura, umat setempat membangun Candi Empu Baradah. Pendirian tempat suci itu dilatarbelakangi wangsit yang diterima sesepuh umat Hindu Bangorejo, Ki Sarjono.

Pendirian candi diawali dengan prosesi pacaruan di lokasi pembangunan, Jumat (26/6) kemarin. Upacara di-puput Ida Pandita Empu Nabe Jaya Dangka Suta Reka dari Griya Giri Kusuma, Sesetan. Puluhan umat Hindu Bangorejo dan sekitarnya tangkil mengkuti prosesi itu. Tak hanya umat dari Jawa, sejumlah umat dari Bali ikut mengikuti prosesi ritual. Di sela pacaruan, dipentaskan wayang kulit Bali yang didatangkan dari Gianyar.

Pacaruan kemarin mengawali pembangunan candi dan panyengker pura di atas gunung itu. Meski sederhana, pacaruan berlangsung khidmat. Usai Ida Pandita mempersembahkan sesaji, seluruh umat menggelar persembahyangan bersama. Rencananya, pembangunan akan mulai digelar hari ini.

Lokasi Pura Gunung Srawet terasa cukup indah. Di sekelilingnya kita bisa melihat hamparan lahan persawahan yang menghijau. Untuk mencapainya, para pemedek bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke depan pura. Setelah itu, berjalan menaiki tangga menuju puncak pura. Selain pura, umat berencana membangun pasraman di sekitar pura.

Lokasi Pura Srawet ditemukan tahun 1968. Namun, karena terjadi pro-kontra, areal tersebut baru bisa dimiliki umat Hindu tahun 2003 lalu. Tanah seluas dua hektar di lereng gunung dihibahkan oleh pemerintah desa setempat kepada umat Hindu. Tahun 2005, umat Hindu membanguan sebuah Padmasana di puncak Gunung Pegat, salah satu puncak di samping Gunung Srawet.

Untuk memperluas bangunan pura, umat tahun ini mendirikan Candi Baradah. Letaknya ditempatkan di sisi kanan Padmasana. Diharapkan, candi dan Pura Srawet ini bisa menjadi salah satu tujuan wisata spiritual. "Lokasinya sangat bagus untuk meditasi dan mencari kedamaian. Selain di puncak gunung, tempat ini juga menyimpan sejarah kuno," kata Ketua PHDI Kecamatan Bangorejo Ki Sardjono.

Konon, nama Gunung Srawet berkaitan dengan epos besar Ramayana. Kala itu, Hanoman mencabut puncak Gunung Raung, Banyuwangi dan dilemparkannya ke Rahwana. Puncak yang dilempar itulah diberi nama Srawet. Dalam bahasa Jawa, Srawet atau Srawat artinya melempar. Puncak yang dilempar pecah menjadi lima gunung, masing-masing Puncak Srawet, Puncak Pegat, Puncak Srandil, Puncak Gentong dan Puncak Sendang. Kelima puncak ini letaknya berderet di sekitar Puncak Srawet.

Wangsit lain yang diterima adalah di lokasi pura sempat terlihat sesosok empu dan dua ekor sapi. Dipercaya, sosok empu itu adalah Empu Baradah, sedangkan sapi diyakini sebagai manifestasi Siwa. "Ini memang kenyataan, karena itu umat sepakat membangun pura dan candi di tempat ini," kata Ki Sardjono. (udi)


sumber: Balipost

Wednesday, June 24, 2009

Hidup Yang Serba Instan

Om Swastyastu
Salam Kasih

Di koran koran, di TV, di radio-radio, sungguh mudah sekali untuk menemukan berita-berita tentang bagaimana ketidaksabaran manusia-manusia modern telah membuat persoalan sepele menjadi berat.

Ada kejadian tentang bagaimana seorang pengendara motor menjadi begitu tidak sabar terhadap pengemudi mobil didepannya dan kemudian mengumpat dan menganiaya pengemudi tersebut hanya karena sang pengemudi agak terlambat bereaksi ketika lampu hijau menyala. Ada cerita tentang seseorang yang menjadi korban penipuan dukun pengganda uang hanya karena orang itu tidak sabar untuk segera menjadi kaya. Ada banyak cerita tentang ketidaksabaran yang membawa sengsara.

Bila kita coba menelusuri dimanakah hulu dari segala ketidaksabaran itu berasal, mungkin salah satunya adalah kecenderungan serba instan yang melanda kehidupan kita selama ini.

kecenderungan serba instan yang memangkas habis kemampuan untuk bersabar ini tampak jelas melalui iklan-iklan di TV, di koran-koran, di radio, dan juga melalui kemajuan teknologi yang semua itu berlomba-lomba menawarkan solusi serba instan kepada kita.

Para produsen minuman menawarkan minuman serba instan dan tidak lupa-tentu saja-diklaim tetap alami, dan kualitas no.1. Para produsen obat-obatan menawarkan obat flu, obat sakit kepala, obat batuk yang katanya mampu menyembuhkan penyakit seketika diminum, langusng bles ewes.....ewes....ilang penyakitnya.

Para paranormal di koran-koran dan tabloid kuning, dengan penuh percaya diri menawarkan solusi serba instan terhadap semua masalah dunia, seakan-akan tiada masalah yang tidak dapat mereka tangani: mengatasi lemah syahwat, cinta ditolak dukun bicara, memisahkan suami/istri dari WIL/PIL, jimat kekebalan, jimat pengelaris, jimat keperkasaan, pelet, susuk bertuah, bahkan sampai belajar kerohanian instan pun saat ini sudah ada dagangnya,.....untuk mengatasi segala masalah keluarga Anda..........

begitu merasuknya kecenderungan serba instan ini ke dalam setiap sel-sel otak kita, ke dalam setiap pori-pori kesadarn kita, hingga membuat kita tanpa sadar mulai menyepelekan proses. Memandang remeh tahapan-tahapan yang harus kita lalui dalam kehidupan ini. Kita mulai terbiasa untuk menjadi tidak sabar, sebab kesabaran yang kita miliki tak pernah terarah dalm kondisi serba instan ini.

Jadi bukan hanya ada mie instan
Dan jangan-jangan kita adalah termasuk orang yang sudah tidak sabar lagi manata hidup dan meniti kehidupan ini dengan bijak....?


Damai selalu

Shri Danu

Resep Kebahagian

Om Swastyastu, Salam Kasih

Adalah seorang cendekiawan datang berkunjung ke sebuah ashram tempat dimana seorang Pandita bijak tinggal bersama murid-muridnya, dia sungguh terkesan akan suasana kehidupan para siswa kerohanian yang dilihatnya. Dan kekaguman itu dia ungkapkan kepada Pandita sederhana ini dengan kata-kata seperti ini: “Guru, saya sungguh kagum melihat pancaran ketenangan dan kebahagiaan dari murid-muridmu, yang mana tidak pernah saya saksikan terpancar dari wajah-wajah para pertapa lain. Apakah yang menyebabkan murid-muridmu bisa sedemikian tenang dan bahagia?”

Pandita bijak ini menjawab,”Mereka tidak MENYESALI MASA LALU, tidak MENCEMASKAN MASA DEPAN, dan senantiasa HIDUP DALAM DAMAI PADA MASA KINI. Itulah sebabnya mereka memancarkan ketenangan dan kebahagiaan.”

Tidak ada sesuatu pun yang rumit di situ, hanyalah tiga buah formula yang diucapkan dengan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti bagi setiap orang yang cukup cerdas, tetapi sekaligus juga langsung mengena kepada inti dari seluruh persoalan ketidakbahagiaan kita: kita tidak bahagia karena kita sering MENYESALI MASA LALU, sibuk MENCEMASKAN MASA DEPAN, dan gagal UNTUK HIDUP DALAM KEDAMAIAN DI MASA KINI.

Merenungkan kembali kata-kata itu, membuat hati saya dan Anda bahkan kita semua terasa ringan, berdesir sejuk bagai bara panas yang tersiram air dingin. Ada begitu banyak impian yang tak terwujudkan dan menjadikan kita menyesali masa lalu. Ada setumpuk harapan yang membuat kita mencemaskan masa depan. Dan ada tak terbilang banyaknya tetek bengek sehari-hari yang tanpa sadar menyeret kita kian kemari, tiada tenang-tiada damai.

Kini saatnya untuk menyadari bahwa semua itu tak berguna. Bahwa kebahagiaan itu ada di sini dan saat ini juga, ketika kita mampu menyadari kesia-siaan mencemasi dan menyesali, dan saat kita tahu bagaimana membiarkan berlalu, segalanya.

Sarve bhavantu sukhinah-semoga semua mahluk berbahagia

Sarve santu niramayah-semoga semua mahluk mendapat kedamain sejati

Sarve badrani pasyantu-semoga semua mahluk sejahtera dan bergembira

Ma kascid duhkha bhag bhavet-semoga tiada mahluk yang menderita




Shri Danu

Monday, June 22, 2009

YAJNA YANG PRAKTIS DAN SATTVIKA

Sebuah idaman

SHRI DANU DHARMA P.

“ Kramanya sang kuningkin akarya sanista, madya, uttama. Manah lega dadi ayu, aywa ngalem druwenya. Mwang kemagutan kaliliraning wwang atuha, away mengambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga kawedar denira. Mangkana kramaning sang ngarepang karya away simpanging budhi mwang krodha”

artinya:

Tata cara bagi mereka yang bersiap-siap akan melaksanakan upacara kanista, madya atau uttama. Pikiran yang tenang dan ikhlaslah yang menjadikanya baik. Janganlah tidak ikhlas atau terlalu menyayangi harta benda yang diperlukan untuk yajna. Janganlah menentang petunjuk orang tua (orang yang dituakan), janganlah berprilaku marah dan mengeluarkan kata-kata yang sumbang dan kasar. Kata-kata yang baik dan enak didengar itu juga hendaknya diucapkan. Demikianlah tata-caranya orang yang akan melaksanakan yajna. Jangan menyimpang dari budhi baik dan jangan menampilkan kemarahan.

(Sumber: Lontar Dewa Tattwa)

Yajna dalam bahasa Sanskerta adalah suatu bentuk persembahan yang didasarkan atas keikhlasan dan kesucian hati. Persembahan tersebut dapat berupa material dan non-material. Ketika manusia mempersembahkan sesuatu tentunya membutuhkan pengorbanan, seperti waktu, finansial, pemikiran,dan benda atau harta yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa Yajna sering dikatakan sebgai pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Persembahan yang berwujud dapat berupa benda-benda material dan kegiatan, sedangkan persembahan yang tidak berwujud dapat berupa doa, tapa, dhyana, atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tetap berada pada jalur Dharma. Persembahan dikatakan suci karena mengandung pengertian dan keterkaitan dengan Brahman. Dalam Rgveda disebutkan bahwa “Sang Maha Purusa (Brahman) menciptakan semesta ini dengan mengorbankan diriNya sendiri. Inilah yang merupakan permulaan tumbuhnya pengertian bahwa Yajna yang dilakukan oleh manusia adalah dengan mengorbankan dirinya sendiri”. Sehingga setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan semestinya ditujukan semata-mata hanya untuk Brahman, karena sesungguhnya apa yang ada ini adalah milikNya.

Dalam Bhagavadgita XVII.11-13, disebutkan bahwa untuk dapat mewujudkan sebuah Yajna yang memiliki kwalitas yang sattvika, maka perlu diperhatikan bererepa hal yaitu:

1. Sraddha: yajna harus dilakukan dengan penuh keyakinan

2. Aphala: Tanpa ada motif untuk mengharapakan hasil dari pelaksanaan yajna yang dilakukan karena tugas manusia hanya mempersembahkan dan dalam setiap yajna yang dilakukan sesungguhnya sudah terkandung hasilnya.

3. Gita: ada lagu-lagu kerohanian yang dilantunkan dalam kegiatan yajna tersebut.

4. Mantra: pengucapan doa-doa pujian kepada Brahman.

5. Daksina: penghormatan kepada pemimpin upacara berupa Rsi yajna

6. Lascarya: yajna yang dilakukan harus bersifat tulus ikhlas

7. Nasmita: tidak ada unsure pamer atau jor-joran dalam yajna tersebut.

8. Annaseva : ada jamuan makan – minum kepada tamu yang datang pada saat yajna dilangsungkan, berupa Prasadam/lungsuran, karena tamu adalah perwujudan Brahman itu sendiri ) “Matr deva bhava Pitr deva bhava, athiti deva bhava daridra deva bhava artinya; Ibu adalah perwujudan Tuhan, Ayah adalah perwujudan Tuhan, Tamu adalah perwujudan tuhan dan orang miskin adalah perwujudan Tuhan.

9. Sastra: setiap yajna yang dilakukan harus berdasarkan kepada sastra atau sumber sumber yang jelas, baik yang terdapat dalam Sruti maupun Smrti.

Disamping sumber di atas, dalam Manavadharmasatra VII.10 juga disebutkan bahwa setiap aktivitas spiritual termasuk yajna hendaknya dilakukan dengan mengikuti;

* Iksa: yajna yang dilakukan dipahami maksud dan tujuannya

* Sakti: disesuaikan dengan tingkat kemampuan baik dana maupun tingkat pemahaman kita terhadap yajna yang dilakukan sehingga tidak ada kesan pemborosan dalam yajna tersebut

* Desa: memperhatikan situasi dimana yajna tersebut dilakukan termasuk sumber daya alam atau potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut.

* Kala: kondisi suatu tempat juga harus dipertimbangkan baik kondisi alam, maupun umat bersangkutan.

* Tattva: dasar sastra yang dipakai sebagai acuan untuk melaksanakan yajna tersebut, dalam Manavadharmasastra II.6 ada lima sumber hukum hindu yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan yajna, yaitu: Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastusti.

Jadi beryajna tidak mesti besar dan megah, apalah artinya kemegahan dengan menghabiskan banyak dhana tapi tidak dilandasi oleh prinsip yajna yang telah tetuang pada susastra Veda. Kecil, sederhana dan segar, bila dilandasi oleh kemurnian; yajna seperti inilah yang harus dilakukan dan disosialisasikan terus. Beryajna tidak mesti membuat upakara / sesajen, sesuai dengan pesan Shri Krshna dalam Bhagavadgita IV.28 ditegaskan bahwa beryajna dapat dilakukan dengan: Beryajna harta milik/kekayaan (drveya), dengan mengendalikan seluruh indria (tapa), dengan pengetahuan (brahma/jnana), dengan doa-doa dan bimbingan kerohanian (yoga), dan dengan menggunakan tubuh ini sebagai arena pemujaan dan pelayanan (svadhyaya) serta memeberikan perlindungan kepada mahluk yang lebih lemah (abhaya).

Jika prinsip-prinsip yajna ini dapat dilakukan tentunya yajna tersebut akan mendatangkan manfaat yang besar bagi manusia dan mahluk yang lainnya, baik kaitannya dengan kehidupan jasmani maupun peningkatan kwalitas rohani umat yang Dharmika.

Avighnamastu !!!

Thursday, June 4, 2009

Dan, kita pun dipermalukan Nachiketas yang berusia sembilan tahun........


Oleh: Triwidodo Djokorahardjo

Nachiketas seorang anak yang patuh terhadap orang tua. Dia mempunyai kemauan keras, memiliki pengetahuan dan melaksanakan semuanya dengan penuh kesungguhan. Sang Dewa Kematian menawari kekayaan seluas bumi, kekuasaan dalam masa yang panjang serta kenikmatan bidadari yang cantik dengan alunan musik surgawi, asalkan dia tidak mempertanyakan kematian. Dan, tawaran tersebut ditolaknya.

Antara kedewasaan fisik dan kedewasaan kesadaran

Usia kesadaran sering tidak seirama dengan usia fisik. Banyak orang tua yang bertingkah seperti remaja, bahkan masih dipenuhi hasrat keserakahan di kala senja kehidupan telah datang menyapanya. Di lain pihak ada pula anak-anak yang sudah bijak sejak usia dini. Bagi yang mempercayai adanya siklus kehidupan, mereka menganggap bahwa anak-anak yang sudah bijak sejak dini telah banyak belajar dari sekian banyak kehidupan sebelumnya. Bagi yang mempercayai hidup itu hanya sepenggal garis lurus, mereka menganggap bahwa anak-anak tersebut lahir dengan genetik bawaan dari leluhur yang waskita. Dan bagi yang tidak mau pusing-pusing, mereka menganggap itu adalah karunia, rahmat Gusti yang tak perlu diperdebatkan. Bagaimana pun kejadian tersebut nyata terjadi dan semua pihak dapat menarik pembelajaran menurut pola keyakinannya.

Dengan berbagai pola pikiran yang khas pada tiap manusia, maka sebuah cerita pun bisa merupakan cerita unik tersendiri bagi setiap manusia. Orang memandang dunia dengan kacamata referensinya. Oleh karena itu dalam dunia pewayangan selalu ada pakem cerita sebagai pedoman dan ada “kembangan” atau “carangan” yang sesuai imaginasi sang dalang.

Nachiketas menganggap orang tuanya sebagai Wujud Ilahi yang memandu kehidupannya. Orang tua yang “Mencipta”, mereka yang “Memelihara”nya, dan mereka “Mendaur-ulang” pemahaman lamanya dengan pemahaman baru, mereka menjadi “Katalisator “dan “Fasilitator” dengan menyekolahkan dan meningkatkan kesadarannya. Orang tua adalah “Guru Awal” sejak kelahirannya.

Apa pun yang ada di dalam diri akan terungkap di luar diri, dan saat kesadaran dalam diri meningkat, maka kualitas pemandu di luar diri pun akan menyesuaikan. Yang di dalam diri itu siapa? Yang di luar diri itu siapa pula? Dia ada di mana-mana. Pada hakikatnya Dia lah yang memandu manusia dengan penuh kasih untuk menemukan kembali jatidirinya.

Saat Nachiketas tahu bahwa Ayahnya kurang tulus dalam melakukan persembahan, dia mengingatkannya yang menyebabkan sang ayah tanpa sadar mengeluarkan “curse”, kutukan. Bagi Nachiketas dia tetap patuh dan sanggup dikorbankan kepada Dewa Yama, Dewa Kematian.

Bertemu Sang Kematian

Alkisah Nachiketas mendatangi sendiri kediaman Dewa Yama, dan karena sang dewa sedang pergi maka dia menunggu “kematian” selama tiga hari dengan berpuasa. Sang Dewa Yama pulang ke rumah dan merasa tersanjung, ada seorang remaja sederhana, berwibawa dan penuh cahaya di wajahnya yang sengaja mencarinya demi kepatuhannya terhadap orang tuanya. Nachiketas sudah biasa puasa, sudah biasa mengendalikan diri. Saat berpuasa sebetulnya dia ber-upavasa, berdekatan dengan ilahi. Dalam buku RAHASIA ALAM ALAM RAHASIA Seni Hidup Harmonis Alami, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2003 diuraikan tentang puasa.
Bukan sekedar makanan; Tapi apa saja yang masuk ke dalam badan; Juga apa saja yang dilakukan badan;Jaga selalu keseimbangannya.

Tontonan dan bacaan masuk lewat mata; Berita tak keruan lewat telinga; Mulut sibuk ngerumpi tak berguna; Kaki tangan entah berbuat apa.Pikiranmu melayang ke mana-mana; Gejolak emosi membuatmu merana; Kau pikir kau sudah berpuasa; Padahal belum apa-apa.

Sebagai layaknya tuan rumah kedatangan Dia Yang Mewujud dalam diri tamu anak remaja, Yama menawarkan tiga hal atas kedatangan-Nya. Dan, Nachiketas yang reseptif memanfaatkan kesempatan yang telah dibuka Sang Master.

Pertama kali Nachiketas berkata: “Wahai Kematian. Mohon ayahku dikaruniai kebijakan, welas asih dan tidak marah lagi terhadap diriku!” Yama paham, bahwa dompet Nachiketas hanya berisi lembaran-lembaran kasih dan kesabaran, maka apa pun yang “dijual” kepadanya baik pujian ataupun kutukan, cacian dan sejenisnya hanya dapat “dibayar” dengan isi dompet yaitu kasih dan sabar. Yama melihat adanya sifat Kasih dan Sabar dalam diri Nachiketas, dua butir sifat terdekat dengan Keilahian. Kasih adalah jalan raya menuju dunia, sedangkan Sabar adalah pintu untuk memasuki Tuhan. Dari Tuhan dengan penuh kasih dan kembali ke Tuhan dengan penuh kesabaran. Dan, Sang Kematian pun menyanggupi permintaanya.

Nachiketas melanjutkan: “Wahai Kematian, permintaanku yang kedua, tolong dijelaskan padaku unsur api yang biasanya digunakan mereka yang menginginkan surga melalui persembahan agni!”
Bila orang awam mohon masuk surga dengan melakukan ritual tertentu, maka Nachiketas ingin tahu hakikat persembahan itu bagaimana? Nachiketas adalah seorang murid yang jujur terhadap Gurunya tentang hal yang tidak diketahuinya. Pertanyaan yang polos tersebut bukan hanya bermanfaat bagi dirinya, akan tetapi juga bermafaat bagi seluruh umat manusia. Banyak murid yang bertanya kepada Guru di depan khalayak dengan pertanyaan yang cerdas yang menunjukkan kepiawaiannya, dalam hal ini dia ingin menunjukkan kehebatannya di depan murid lainnya, sesuatu yang tidak polos lagi. Sebuah pertanyaan yang mengandung keangkuhan.
Dewa Kematian mengungkapkan rahasia alam. Ada yang memuja api dan menginginkan pahala. Api adalah unsur penunjang alam, dan dia juga terletak di relung sanubari manusia sebagai buddhi. Bukan ritualnya yang penting, tetapi penghayatan akan makna dari sebuah persembahan.

Ribuan tahun setelah cerita tentang Nachiketas disampaikan dari mulut ke mulut, dan akhirnya ditulis dalam Kathopanishad, Kitab Bhagavad Gita menyampaikan bahwa dalam setiap tradisi, setiap agama, kita mengenal konsep pengorbanan atau sesajian. Apa yang terjadi? Sebenarnya yang kita persembahkan itu juga kita dapatkan dari alam dan kita mempersembahkan kembali ke alam. Kita mengorbankan sapi atau kambing dan dagingnya kita makan kembali. Kita mempersembahkan sesajian dan sesajiaan itu selanjutnya kita makan atau ceburkan dalam laut, dan menjadi makanan bagi ikan-ikan. Sisa-sisa makanan pun menjadi santapan bagi hewan-hewan kecil dalam tanah.

Dalam Narada Bhakti Sutra juga dijelaskan bahwa bukan hanya pemujaan dan ritual-ritual keagamaan, tetapi setiap kegiatan, adalah persembahan. Makan dan minum pun menjadi persembahan – yang dipersembahkan kepada badan, di mana Dia bersemayam. Profesi dan usaha apa saja bisa menjadi persembahan. Dengan membela pihak yang benar, seorang pengacara bisa mendekatkan diri dengan Kebenaran. Dan Kebenaran itulah Kasih. Kasih itulah Tuhan. Melayani sesama manusia tanpa pilih kasih, seorang dokter bisa menjadi seorang pengabdi–Nya, mengabdi demi kasih, karena kasih, untuk kasih. Menjalankan usaha dengan jujur, seorang pengusaha tak akan menjadi serakah, karena dia tak akan tega melihat kemiskinan dan kemelaratan di mana-mana, sementara tabungannya bertambah terus. Demikian dia akan belajar membagi. To care for others, to share with others..... Dan sharing serta caring itulah kasih.

Pertanyaan tentang hakikat kematian

Menanggapi permintaan ketiga Nachiketas tentang hakikat kematian, Dewa Yama berkata, “Ambillah olehmu, anak keturunan yang dapat berusia ratusan tahun, dan atau ternak, gajah, emas, dan kuda-kuda dalam jumlah yang tak terbatas. Ambillah harta benda seluas bumi ini, dan hiduplah sepanjang masa yang kau kehendaki, tetapi jangan menanyakan perihal kematian!” Dan, Nachiketas tetap diam tak terpengaruh.

Yama melanjutkan, “Adalagi yang dapat kau pilih yang tidak kalah dari anugerah sebelumnya, kiranya pantas dan layak untukmu kekayaan dan usia yang panjang ; sebagai raja diatas bumi yang luas ini, Nachiketas, aku akan membuatmu menikmati seluruh hasrat-hasratmu!” Dan, Nachiketas paham bahwa tawaran pertama tentang harta dan tawaran kedua tentang tahta tidak dapat membebaskan dirinya dari kematian.

Kembali Yama melanjutkan, “Apapun yang sulit dicapai didunia yang serba fana ini, dapat kau minta sesuai dengan kehendakmu. Bagaimana kalau kuberikan bidadari-bidadari nan cantik jelita lengkap dengan perangkat musik sorgawi dan kereta-kereta kencana yang tidak mungkin dapat dinikmati oleh manusia, ambillah mereka, wahai Nachiketas! Tetapi jangan kau bertanya tentang keadaan jiwa seseorang yang telah meninggal dunia!” Dan, Nachiketas dengan halus menolaknya.

Dan Sang Kematian menjelaskan hakikat kematian kepada Nachiketas........................

Kematian

Sejak Yama menjelaskan kematian kepada Nachiketas, sedikit sekali Guru yang dapat menjelaskan perihal kematian. Dalam buku KEMATIAN, Panduan untuk menghadapinya dengan senyuman, Anand Krishna, GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, 2002 diuraikan: "Kematian tidak bisa dihindari. Tidak seorangpun bisa menghindarinya. Oleh karena itu, proses kematian harus dipahami, sehingga kita bisa menghadapinya tanpa rasa takut."

Ketika masih memiliki badan, kau menyia-nyiakannya untuk mengejar hal-hal yang serba semu. Kau tidak pernah mempersiapkan dirimu untuk sesuatu yang pasti terjadi, yaitu maut. Apabila kau hidup dalam ketidaksadaran, kau akan mati dalam ketidaksadaran pula. Lalu sia-sialah satu masa kehidupan. Kau memasuki lingkaran kelahiran dan kematian lagi.

Diantara sekian banyak ketidakpastian dalam hidup ini, mungkin hanya kematian yang merupakan satu-satunya kepastian. Aneh selama ini kita sibuk mengejar ketidakpastian. Dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang sudah pasti. Sesungguhnya, mempersiapkan masyarakat untuk menerima kematian adalah tugas agama dan praktisi keagamaan. Tugas ini sudah lama terlupakan, karena para praktisi keagamaan tidak sepenuhnya memahami proses kematian. Lalu penjelasan apa yang dapat mereka berikan? Tidak ada yang memperhatikan perkembangan diri manusia. Perkembangan rasa dalam diri manusia tidak diperhatikan sama sekali. Itu sebabnya, hidup kita masih kering, keras dan kaku. Tidak ada kelembamannya, tidak ada kelembutannya.

Agama bagaikan jalan-jalan menuju spiritualitas. Jalan menuju perkembangan batin. Sekarang agama dijadikan tujuan. Lalu kita sibuk mencocok-cocokkan yang satu dengan yang lain. Tentu saja tidak akan ketemu. Setiap jalan mempunyai rute sendiri, kekhasan sendiri. Pengalaman yang diperoleh dalam perjalanan pun akan selalu berbeda. Bekal kita adalah pengalaman-pengalaman yang berbeda yang kita peroleh dalam perjalanan. Kalau mau dicocok-cocokkan , ya pasti ribut melulu. Pengalaman perjalanan Kanjeng Nabi Muhammad berbeda dengan pengalaman Gusti Yesus. Pengalaman perjalanan Yang Mulia Buddha berbeda dengan pengalaman perjalanan Sri Krishna. Yang tidak berbeda adalah hasil akhirnya, tujuannya. Pengalaman akhir mereka tidak berbeda.

Pengalaman akhir setiap Nabi, setiap Mesias, setiap Buddha dan setiap Avatar, adalah apa yang terjadi pada saat kematian mereka. Peradaban yang masih sibuk dengan urusan perut dan politik tidak pernah memperhatikan pengalaman akhir. Mereka masih sibuk mempelajari pengalaman perjalanan para Nabi mereka, para Mesias mereka, para Avatar mereka, para Buddha mereka. Mereka yang sudah selesai dengan urusan perut, yang sudah muak dengan dunia politik, mulai mendalami hal-hal yang lenih esensial.

Terima Kasih Guru. Semua berkat rahmat Guru.
Jay Gurudev!