Thursday, December 9, 2010

Hari Raya Hindu di Indonesia dan India : Sebuah perbandingan Pintas

Pattram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchata
tad aham bhakty upahrtam
Bhagawadita IX.26.
(Siapa saja yang sujud kepada Aku dengan
persembahan sehelai daun, sekuntum bunga,
sebiji buah-buahan dan seteguk air,
Aku terima sebagai bhakti persembahan
dari orang yang berhati suci)

Image Ajaran agama Hindu yang bersumber pada kitab suci Veda dimanapun sama, namun pelaksanaannya berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya lingkungan alam, sosial budaya dan lain sebagainya. Demikian pula hari-hari raya Hindu baik di India maupun di Indonesia, ada yang sama-sama dirayakan dan ada yang tidak. Persamaan dan perbedaan pelaksanaan kehidupan beragama ini merupakan ciri yang memberi kuasa dan mewarnai pelaksanaan agama Hindu.

=== I Made Titib ===

Di India seperti halnya umat Hindu di Indonesia mengenal banyak hari-hari besar keagamaan atau hari raya yang seluruhnya dapat dibedakan menjadi tiga 3 kelompok , yaitu : Pertama, hari-hari pesta keagamaan (festivals) yang dilakukan dengan meriah, seperti Chitrra Purinima, Durgapuja atau Navaratri, Dipavali, Gayatri Japa, Guru Purnima. Holi , Makara Sankranti, Raksabandha, Vasanta Panchami dan lain-lain. Kedua, adalah hari peringatan kelahiran tokoh-tokoh suci yang disebut Jayanti atau Janmasthani seperti Ganesa Caturti, Gita Jayanti, Valmiki Jayanti, Hanuman Jayanti, Krisna Janmasthani, Sankara Jayanti, Ramanavami dan lain-lain dan ketiga adalah hari untuk melaksanakan Brata(Vrata) atau Upavasa(Puasa) misalnya Sivaratri, Satyanarayana Vrata, Vara Laksmi Vrata, Ekadasi dan lain-lain.

Citra Purnima jatuh pada hari purnama bulan Chaitra, yakni bulan pertama dari penanggalan Saka, pemujaan ditujukan kepada dewa Yama, dewa maut dengan mempersembahkan sesajen berupa nasi berisi bumbu (sejenis "bubur pitara" di Bali) yang kemudian setelah dipersembahkan makanan atau prasadam (di Bali disebut "lungsuran") dibagikan kepada mereka yang mengikuti upacara.

Durgapuja atau Navaratri disebut juga Dussera atau Dasahara jatuh pada tanggal 1 sampai dengan 10 paro terang bulan Aswasuja atau Asuji (September-Oktober) untuk memperingati kemenangan Dharma terhadap Adharma, Upacara ini adalah untuk menghormati kemengangan Sri Rama melawan Rawana yang disebut juga Dasamukha (berkepala sepuluh). Konon Sri Rama berhasil jaya oleh karena anugerah Dewi Durga, karena itu sebagian umat Hindu memuja -Nya pada hari ini sebagai Durgapuja. Versi lain menyebnutkan sebagai kemenangan Sri Kresna melawan raksasa Narakasura, Upacara yang berlangsung 10 hari, sembilan hari pertama disebut Vijaya Dasani. Hari raya yang disebut juga Dussera ini mirip dengan Galungan dan Kuningan di Indonesia.

Dipavali, artinya persembahan lampu, disebut juga Divali, jatuh dua hari sebelum Tilem ( bulam mati) kartika ( Oktober-November), beliau disambut dengan penyalaan lampu-lampu, kembang api dan mercon semalam suntuk. Pagi hingga siang hari dilakukan persembahyangan keluarga di pura-pura terdekat di samping kunjungan keluarga, suasananya seperti Ngembak Agni di Bali.

Gayatri Japa, jatuh sehari setelah purnama Sravana (Kasa) bulan Juli atau agustus, sebagai peringatan turunya mantram Gayatri yang kini populer menjadi mantra Japa yang sangat penting dan sangat dikeramatkan oleh umat Hindu.

Guru Purnima jatuh pada hari purnama Asadha (bulan Juli-Agustus), hari ini disebut juga Vyasa Jayanti, hari lahirnya maharesi Vyasa. Makna hari raya ini mirip dengan Pagerwesi. Sejak purnama ini selama 4 bulan ( Caturmasa) para Sanyasin tidak lagi mengembara (karena musim hujan), mereka tinggal di asram-asram mendiskusikan Brahmasutra dan melakukan meditasi.

Holi, hari ini jatuh pada purnama Phalguna ( Kawulu), bulan Februari-Maret, dirayakan diseluruh India sangat meriah , maknanya untuk menyambut musim panas dikaitkan dengan raksasa perampuan bernama Holika yang akhirnya mati terbakar dikalahkan oleh kenbenaran yang dimanifestasikan oleh Prahlada. Upacaranya mirp dengan mecaru di perempatan-perempatan desa di Bali dan membuat api unggun yang dinyalakan pada saat menjelang malam.

Makara Sankranti jatuh pada pertengahan januari, pada saat itu matahari mulai bergerak ke arah utara Katulistiwa, sebagian besar umat Hindu menyucikan diri di sungai Gangga atau sungai sungai suci lainya di India, pemujaan ditujukan kepada dewa Surya.

Raksabandha jatuh pada hari purnama Sravana(Kasa), Juli- Agustus hari untuk menguatkan tali kasih sayang antara suami-istri, anak orang tua, kemenakan dengan paman/bibi, murid dengan guru dan sebaliknya, mengingatkan cintanya dewi Sachi kepada Indra. Pada hari ini pagi-pagi benar umat Hindu menyucikan diri ke sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan pengikatan benang pada pergelangan tangan masing-masing, tanda memperteguh ikatan kasih sayang.

Vasanta Panchami jatuh pada hari kelima paro terang ( Suklapaksa Magha masa), yakni bulan Januari-Februari dalam menyambut musim semi (Vasanta), seperti halnya hari-hari suci lainya, pada hari ini juga umat hindu mandi suci di sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya di India, disamping melakukan meditasi atau yoga Sadhana.

Hari-hari lainya yang berkaitan dengan peringatan kelahiran tokoh seperti Ganesa Caturti jatuh pada tanggal 4 paro terang Badrapada ( Agustus - september ) memperingati kelahiran Ganesa putra Siva. Para pemuja Ganesa melakukan japa, bermeditasi mengingat nama-Nya.

Gita Jayatri adalah memperingati turunya sabda suci Bhagawandgita, jatuh pada Ekadasi Suklapaksa Margasirsa yakni hari ke sebelas paro terang bulan margasirsa (Desember-Januari), seperti dimaklumi Bhagawadgita disampaikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna di padang Kurusetra, tepat terjadinya peristiwa rohani ini kini disebut Jyotisara, sekitar 3 kilometer dari tempatnya rsi Bhisma terbaring menunggu matahari bergerak keutara.

Valmiki Jayanti jatuh beberapa hari menjelang Dipavali adalah untuk memperingati tokoh hindu, penyusun Ramayana sedang Hanuman Jayanti jatuh pada purnama Chaitra ( Bulan Maret-April) bersamaan dengan hari Chaitra Purnama, untuk memuja Yama, Kresna Janasthami jatuh pada hari ke 8 paro petang bulan Bhadrapada ( Agustus-September) untuk memperingati kelahiran Sri Kresna di kota Mathura, sebuah kota suci ditepi sungai Yamuna.

Sankara Jayanti jatuh pada tanggal 5 paro terang bulan Vaisaka ( Mei-Juni) untuk menghormati tokoh spiritual India peletak dasar ajaran Advaita Vedanta. Sri Sankara dikenal sebagai gurudeva dari para Sanyasin di seluruh India.

Ramanavani Jayanti adalah peringatan hari kelaiharan Sri Rama yang jatuh pada tanggal 9 paro terang bulan Chaitra ( Maret-April) . Sri Rama lahir di kota suci Ayodya, di Uttar Pradesh, India Utara.

Hari yang berkaitan dengan Brata atau Upavasa adalah Sivaratri hari ini jatuh pada tanggal 14 paro gelap bulan Maghadan Phalguna ( yakni bulan januari dan Februari ). Umat Hindu di Indonesia melaksanakannya pada bulan Magha ( sasih Kapitu), sedang umat Hindu di India melakukan pada bulan Phalguna ( Kawulu). Hal ini mungkin disebabkan saat itu merupakan bulan mati paling gelap di India.

Satya Narayana Vrata umunya dilakukan pada hari-hari purnama seperti Kartika ( Kapat), Vaisaka ( Kadasa), Sravana(Kasa), dan Chaitra ( Kasanga) dapat juga dilakukan pada saat bulan terbit ( tanggal 1 paro terang/penanggal). Bentuknya sangat sederhana yakni berupa persembahan dana punia kepada para pandita dan pemberian / pembagian makanan kepada orang-orang miskin.

Ekadasi atau Vaikunta Ekadasi Vrata jatuh pada tanggal dab panglong dan penanggal 11 bulan Margasisra ( Desember-Januari), 2 kali sebulan berupa puasa tidak makan nasi pada hari itu. meraka yang melakukan Ekadasi Vrata terbebas dari segala dosa.

Vara Laksmi Vrata , dilakukan pada hari Jumat bulan Sravana ( kasa) bulan Juli - Agustus untuk memohon kesejahteraan lahir dan bathin. Masih banyak kita jumpai informasi tentang Brata atau Upavasa di dalam kitab-kitab Ithiasa dan Puranba yang rupanya beberapa diantaranya dipetik dan diabadikan dalam lontar lontar tentang Bratha di Bali.

Telah dijelaskan di depan bahwa hari raya keagamaan yang mirip dengan galuingan dan kuningan adalah hari Durgapuja atau Navaratri yang diakhiri dengan Vijaya Dasani dirayakan hampir diseluruh India.
menurut Svami Sivananda dalam bukunya Fasts & Festivals of India (1991) India bahwa permulaan musim panas dan permulaan musim dingin, dua hal yang sangat penting adalah pengaruh matahari dan Iklim. Pda kedua perioda ini adalah kesempatan yang baik memuja iklim. Durga ( manifestasi Tuhan Yang Maha Esa segabai seorang Ibu) yakni dilakukan bertepatan dengan Ramanavani pada bulan Chaitra ( April-Mei) dan pada Durga Navarartri atau VijayaDasami pada bulan Asuji (September - Oktober) . Sri Rama dipuja pada saat Ramanavami sedang dewi dewi Durga di puja pada Navaratri. Durgapuja ini dirayakan secara besar-besaran dengan menghias altar ( tempat pemujaan keluarga, biasanya dalam kamar suci, tidak mempunyai pemerajan seperti kita di Indonesia). Tiga hari pertama pemujaan ditujukan kepada dewi Durga, tiga hari selanjutnya kepada dewi Laksmi dan tiga hari berikutnya kepada dewi Sarasvati.

Pada Pucak perayaan, hari ke sepuluh ( Vijaya Dasami) sejak pagi hari umat telah melakukan sembahyang dirumah ditujukan kepada ketiga dewi tadi, didahului dengan pemnujaan kepada Ganesa dan diakhiri denan pemujaan kepada dewa Siva atau Istadevata lainya. Selesai pemujaan dilanjutkan denan Dhyana atai meditasi dan pembacaan kitab-kitab suci khusunnya Dewi Sukta dari Rgveda, Dewi Mahatya, Bhagavadgita, Upanisad, Brahmasutra atau kitab Ramayana. Umat pada umumnya sejak pagi sudah mengucapkan Bhajan atau kidung-kidung memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa . Berbagai jenus makanan dipersembahkan dan akhir dari persembahyangan bersama dalam keluarga atau di pura ( Mandir ) selalu dibagikan Pradasam atau lungsuran untuk dinikmati bersama. Dewasa ini resepsi perayaan Durgapuja atau Wijaya Dasami dilakukan puladi kantor-kantor pemerintah dan swasta, juga disekolah-sekolah , selesai persembahyangan pada umumnya umat melakukan Dharmasanti, yakni kunjungan kepada keluarga terdekat, para guru pandita maupun sahabat atau tetangga. Saat ini semua keluarga berkumpul, karena itu beberapa hari kota-kota besar seperti mati, karena suasananya sepi, Ketika malam tiba, mulailah dilaksanakan pembakaran patung patung rawana yang digambarkan berkepala sepuluh, juga adiknya kumbakarna dan putranya meghananda, di India Timur dan selatan dilanjutkan dengan mengarak arca atau patung Durga, seorang dewi yang amat cantik bertangan sepuluh. Pembakaran atau terbunuhnya Rawana dan pengikutnya selalu dudahului dengan drama tari Ramayana dan keesokan harinya umat datang ke sungai-sungai suci untuk mandi menyucikan diri. Demikianlah pelaksanaan Vijaya Dasami, sedang peringatan tahun Baru Saka yang kita kenal dengan hari raya Nyepi tidak dikenal/dirayakan oagi di India, walaupun pada jaman dahulu hampir seluruh India mengenal dan menggunakan tahun Saka. Kini di India hanya pemerintah yang menetapkan tahun baru Saka setiap tanggal 22 Maret bila tahun biasa dan 21 maret bila Tahun Kabisat dan masyarakat umum kurang memperhatikan hal itu. Di India selain tahun Saka, dikenal juga tahun Harsa ( Harsa Sampat), tahun Vikrama ( Vikrama Sampat) dan lain-lain. Informasi yang saya terima tahun yang lalau di Nepal umat Hindu juga merayakan tahun baru Saka bersamaan denan hari raya Nyepi kita di Indonesia. Untuk dimaklumi Nepal adalah satu-satunya kerajaan hindu di dunia yang tempatnya di pegunungan Himalaya. Arsitektur pura di Neval bentukya sama denan Meru di Bali ( Indonesia), manunjukkan hubungan yang erat pengaruh Hindu ( India) terhadap Indonesia. Rupanya karena perbedaan musim dan tidak ada raja yang menjadikan Sri Rama sebagai Istadevata maupun karena sistem kalender yang digunakan di Indonesia, kita hanya mengenal Galungan dua kali dalam setahun, seperti halnya juga Sarasvati puja.

Selanjutnya bila kita memperhatikan persembahyangan yang dilakukan sehari menjelang hari raya Holi, yakni berupa persembahan biji bijian dan bunga serta pada air pada perempatan-perampatan desa yang telah menyiapkan kayu api untuik apiu unggun mengingat kita pada upacara Catur Tawur Kasanga, sehari menjelang Nyepi, sedang pelaksanaan Sivaratri hampir sama dengan di Indonesia.


Permulaan Perayaan Galungan di Bali (Indonesia)

Sungguh amat sulit memastikan hal ini, bila kita menegok kembali pada sumber tradisi di Bali di antaranya kitab Usana bali dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bapak K.Ginarsa terhadap prasasti-prasasti jaman bali Kuna maka dapat disimpulkan baha Galungan telah dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarunajaya yang didalam lontar Usana Bali disebut Jayakusuma putra dari raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka 1246 -1250 . Didalam lontar Usana Bali dinyatakan bahwa para raja pendek usianya disebabkan melupakan tradisi untuk merayakan Galungan ( yakni upacara pabhyakalan pada Kala Tiga ning Dungulan )

Bila kita melihat upacara Sradha, yakni upacara penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapathi, permaisuri raja Dharma udayana Varmadewa yang memerintah Saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Istadevata-Nya sebagai Durgamahisa sura mardini, yaitu Dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau ( kini arcanya tersimpan di pura kedarman burwan kutri, Gianyar), maka upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada waktu itu. Upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadevata) disebut mencapai tingkatan Atmasiddhadevata dan hal ini dapat kita lihat dari Informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu gayatri di Pura penataran yang dalam kitab Nagarakrtagama, Pura ini disebut Hyang I Palah.

Upacara Durgapuja pada waktu itu belum disebut galungan, melainkan disebut " atawuri umah anucyaken pitara" yang artinya upacara selamatan rumah dan penyucian roh ( leluhur), sebagaimana bunyi prasasti Suradhipa tahun Saka 1037.

Istilah Galungan rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055, disamping juga sesajen yang bernama Tahapan-stri, persembahan yang ditujukan kepada dewi Durga Sakti Siva, karena dewi Durga- lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa.. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupanya penggunaan daging babi ( yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.

Selanjnya bila kita melihat penaggalan bali, dalam hitungan hari yang disebut Astawara, maka sejak Radite sampai dengan Anggara Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang Kala Tiga, sedang pada hari galungan ( Buda Kliwon Dungulan) adalah Uma, nama lain dari Durga dalam aspek Santa ( damai) pada saat ini umat memohon anugerahnya. Hari Galungan di samping memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspek beliau sebagai Uma, Durga atau Siva Mahdeva, bagi umat Hindu di Bali adalah juga merupakan hari pemujaan kepada leluhur. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian dari dan upacara Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan Sabtu Umanis Wuku Kuningan , akhir dari rangkaian perayaan Galungan.

Berdasarkan penjelasan tadi, Galungan telah dimulai sejak jaman Bali Kuna dan hingga kini tetap dirayakan. Jelaslah bagi kita upacara Galungan memiliki kesamaan makna dengan upacara Durgapuja atau Sradha Vijaya Dasani di India. Tentang filsafat Galungan ini kiranya dapat dilihat dari keputusan Seminar Kesatuan Tafsir kiranya dapat aspek-aspek agama hindu I di Amlapura, 1975 yang telah pula ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai hari kemenangan Dharma melawan a Dharma, kebenaran melawan kejahatan.

Hal yang tergantung adalah adanya transformasi diri bahwa dengan persembahyangan yang mantap pada hari-hari besar keagamaan diharapkan kita lebbih maju dalam bidang spiritual. Transformasi yang dimaksud adalah perubahan diri dari tadinya yang masih dibelenggu oleh sifat loba atau tamak, angkuh, suka menipu orang dan perbuatan sejenisnya berubah menjadi dermawan, suka menolong hidup lainyua. Transformasi diri akan terjadi dengan sendirinya bila mampu mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Apakah artinya berbagai bentuk perayaan dan persembahyangan yang kita lakukan bila tidak terjadi perubahan diri, sipat-sifat Adharma senantiasa menguasai kita. Tentunya hal itu akan sia-sia.

Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari raya keagamaan ini dan sesuai pula dengan pengertian agama yakni mewujudkan "kerahayuan jagat", disamping kegiatan ritual, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan kemanusiaan sangat mutlak dilakukan. Disinilah pentingnya aktualisasi dan reaktualisasi agama dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Panitia-panitia perayaan yang ada pada lingkungan desa atau kantor instansi pemerintah atau swasta dapat melakukan berbagai kegitan, misalnya dengan donor darah, mengunjungi panti asuhan dan rumah jompo, memberikan pelayanan kesehatan, penghijaun dan lain-lain. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui Pesamuhan Agung 1989 yang lalu menetapkan 6 meteda pembinaan umat, yakni: Dharma Vacana (yakni kotbah/ceramah agama), Dharma Tula (diskusi/sarasehan agama), Dharma Gita (menyayikan lagu-lagukeagamaan), Dharma Santi (Silaturahmi/resepsi ), Dharma Sadhana (merealisasikan ajaran agama melalui yogasamadi ) dan Dharma atau Tirthayatra mengunjungi tempat-tempat suci untuk mendapatkan kesucian diri ). Bila 6 kegiatan ini dapat dilakukan maka transformasi diri denngan sendirinya terjadi. Semogalah *

Om Dirghayur astu tat astu svaha
Om Santih Santih Santih

Sumber: Web PHDI

Wednesday, May 5, 2010

Memandang Sudut Pandang

Om Swastyastu

Saudara-saudaraku terkasih, berikut ada posting menarik, saya ambil dari facebook:
(http://www.facebook.com/reqs.php#!/notes.php?subj=100000869764112)

Matahari semakin tenggelam di ujung barat. Langit menjadi kemerah-merahan. Dua lelaki masih duduk bersila asyik dengan ceritanya.

“Pemandangannya semakin luar biasa guru. Sore ini tidak ada kabut menghalangi mata, sehingga kita bisa bebas melihat pemandangan gunung yang kuning kemerah-merahan disapu lembut sinar matahari terbenam.” kata Pawana.
“Hmm.. Menurut kamu, setelah kabut tidak ada, apakah yang menghalangi mata kita untuk melihat pemandangan sore ini?” tanya Sang Guru pada Pawana. 
“Pohon-pohon yang tumbuh didepan mata kita. “ kata Pawana. 
“Nah..Jika pohon-pohon itu hilang?” tanya sang guru lagi. 
“Pohon-pohon yang tumbuh di gunung itu” jawab Pawana. 
“Bagamana jika pohon-pohon yang tumbuh di gunung itu juga hilang?” tanya sang guru kembali. 
“Saya tidak tahu harus menjawabnya bagaimana, karena sudah tidak ada yang layak saya lihat sebagai pemandangan.” kata Pawana. 
“Mengapa?” tanya sang guru. 
“Jika gunung tanpa pohon, tampaklah sebuah bongkahan batu gersang dan kering, tanah terjal yang mengerikan jika longsor, saya tidak suka memandang hal seperti itu.” jawab Pawana dengan lugu.

Pawana balik bertanya pada gurunya, “Menurut guru, jika semua penghalang mata sudah tidak ada, termasuk tumbuhan yang menutupi gunung, apakah yang menjadi penghalang mata kita untuk melihat pemandangan?” 
Sambil mengelus-elus jenggotnya sang guru menjawab, “Gunung itu sendiri.. he..he..he.” 

Pawana kebingungan mendengar jawaban gurunya. Apalagi sambil tertawa terkekeh-kekeh seperti mengejek. Ia hanya ngedumel dalam hatinya, gurunya sedang sinting kerasupan siluman dedemit hutan gunung. “Biasanya dedemit suka keluar menjelang "sandikala" seperti ini, pastilah guru sedang tidak sadar." katanya dalam hati.

“Guru.. Jika gunung itu bisa dianggap sebagai penghalang mata kita melihat pemandangan, lalu pemandangan apa yang kita cari di balik gunung itu? Sangatlah sia-sia kita duduk di sini. Sebaiknya kita duduk di balik gunung itu saja, sehingga tidak menemui penghalang lagi.” kata Pawana dengan penasaran.

“Pawana.. Semua yang kamu anggap penghalang mata untuk melihat keindahan pemandangan adalah kekuatan dan vitamin keindahan itu sendiri. Menghilangkan semua yang kamu anggap sebagai penghalang mata untuk keindahan yang memuaskan diri sebenarnya dirimu sudah terjebak dalam ketidaksadaran. Jika kamu orang yang "sakti mandra guna" mungkin semuanya tersebut akan kamu korbankan untuk disingkirkan. Setelah gunung, maka bumipun akan kamu singkirkan, kemudian planet-planet, bintang, bahkan bila perlu matahari, bahkan mahluk lainnya dan sesamamu. Tetapi kamu tidak akan pernah menemukannya. Akhirnya kamu hanya akan bertemu dengan dirimu sendiri. Tibalah dirimu pada diri sendiri sebagai penghalang pemandangan yang sesungguhnya yaitu pikiran dan hatimu sendiri. Ternyata keindahan pemandangan yang kamu lihat adalah sudut pandang kamu sendiri yang lahir dari pikiran dan hatimu. Keindahan tidak terasa indah jika pikiran dan hatimu tidak tenang. Kedamaian tidak terasa damai karena hati dan pikiranmu bergolak, begitu pula cinta dan kasih karena hatimu penuh dengan lapisan kebencian. Ambisi karena keserakahan, membuat dirimu tidak memandang sesuatu dari sudut sederhana. Pemandangan dalam diri yang sesungguhnya sangatlah bening. Tetapi karena dilapisi "kotoran berdebu" yang pekat, mempengaruhi sudut pandangmu. Bahkan sangatlah sulit melihat diri sendiri jika debu-debu melapisi cermin cukup tebal.”

Pawana terdiam untuk menangkap makna kata-kata Gurunya. Dalam hatinya, ternyata gurunya tidak sinting. Kemudian ia bertanya, “Apa yang membuat pikiran dan hati bisa melihat tanpa penghalang?” Sang guru mulai menatap wajah Pawana. “Kesadaran yang mampu melahirkan pikiran harmonis. Kesadaran yang mampu melahirkan kebijaksanaan. Semua itu memerlukan latihan. Hidup ini penuh dengan cobaan dan latihan. Diperlukan ketenangan seperti mengupas lapisan kulit bawang agar jangan intinya rusak. Sangatlah sia-sia singkirkan kabut, pohon-pohon dan gunung, jika ingin melihat keindahan. Tetapi singkirkan, kabut-kabut, pohon-pohon, dan gunung penghalang dalam pikiran dan hatimu, dengan cara itu kamu akan melihat kabut, pohon dan gunung sebagai keindahan. Kamu akan melihat hal-hal yang sedehana pada sekitarmu sebagai keindahan. Tanah yang terasa di telapak kakimu, air yang engkau minum, sapaan ibumu, dan masih banyak lagi menjadi indah adanya. Mengapa? karena hatimu sedang bersinar cahaya kesadaran ”

Sang Guru kembali berkata, "Pawana..Sebelum kamu mengkambing hitamkan yang di luar dirimu, alangkah baiknya kamu mencari di dalam dirimu. Jika kamu ingin merasakan keindahan, maka ubahlah suasana hatimu".

Om Shanti Shanti Shanti Om
 

sebuah e-mail dari: I Made Sugi Ardana

Thursday, April 29, 2010

AJARKAN KAMI BERDOA

Salam Kasih

Suatu malam seorang pria  yang sudah kelelahan dan hendak tidur teringat kalau dirinya belum berdoa. Ia segera bangun dan berdoa, “ Tuhan saya lelah, tetapi saya ingin berdoa secara benar, ingin tahu aturan-aturannya. Saya mohon Tuhan, ajari saya bagaimana seharusnya berdoa???



Apakah saya menundukkan kepala, berlutut ataukah saya berdiri? Apakah saya harus memejamkan mata, mengangkat tangan atau haruskah saya mengatupkan jari-jari tangan saya rapat-rapat? Atau bolehkah saya berdoa sambil duduk? Cara mana yang Kausukai? Selama berdoa, lampunya harus menyala atau padam? Atau haruskah saya menyalakan lilin?



Bolehkah  saya pakai kaca mata? Atau apakah kaca mata saya harus dilepas? Selama berdoa, apakah saya harus duduk di kursi, di meja atau di lantai?  Haruskah saya berbisik atau malah harus berbicara dengan suara keras?  Bagaimana soal waktunya? Apakah Engkau menyukai waktu fajar?  Haruskah saya berdoa cepat atau malah harus lambat?  Apakah lebih  berdoa secara singkat atau panjang?



Tuhan, apakah Engkau mendengarkan saya saat ini?”



Setelah itu dia terdiam dalam keheningan namun antara sadar dan tidak dia mendengar suara halus berkata…..



“Oh , anak-Ku tersayang, apakah engkau pikir Aku menuntutmu soal waktu untuk berdoa, atau kamu harus mengucapkan doamu sambil berdiri atau  sambil berlutut? Ketahuilah! Aku tidak peduli bagaimana cara atau sikap tubuhmu saat berdoa atau tempat berdoa yang engkau pilih.



Jika ingin menghormati Aku sambil berlutut…..itu baik, tetapi yang terpenting bukalah hatimu, bukalah jiwamu kepada-Ku. Aku tidak punya aturan-aturan lain….. ! Katakan apa yang ada di dalam hatimu, ceritakan apa yang kamu cari, kemukakan kesedihanmu dan semua hal yang membuatmu lemah dan tidak berdaya. Bicaralah kepada-Ku secara pribadi apa yang menjadi hal terpenting bagimu. …..!



Aku tahu perbuatan-perbuatan baikmu, jadi tidak perlu menyombongkan diri. Anak-Ku…., kamu tidak perlu pelajaran khusus….! Biacara saja kepada-Ku tiap hari.  Ceritakan apa saja yang kamu inginkan.



Anak-Ku sayang……, setiap orang mampu berdoa.



Tuhan…..Terima Kasih atas Pelajaran-Mu Hari ini. Semoga Aku Dapat Memuja-Mu Dalam Setiap  Nama, Rupa, dan Warna-Mu. Dimana & Kapanpun……..





Serve by: Shri Danu D.P

(disarikan dari: ketika burung berhenti berdoa)

"Silence can be Good & Bad"
=======

Wednesday, April 21, 2010

Bhisma dan Dewi Amba

--Dari milis suara utara--

Bhisma, adalah tokoh besar dalam kisah Mahabharata. Ia adalah Putra Mahkota, buah perkawinan Prabu Santanu, Raja Hastina dengan Dewi Gangga. Bhisma Menjadi icon penting, bahkan mungkin yang utama, dari kisah kepahlawanan dalam Mahabharata. Ia menjadi termasyur bukan karena tahta, karena justru Bhismalah yang mengajarkan bahwa Kepahlawanan bukan sesuatu yang ditakdirkan, bukan sesuatu yang ada karena keterkondisian, bukan karena sesorang adalah Raja, Puta Mahkota, Parjurit dsb. Kepahlawanan adalah sebuah pilihan.

Bhisma yang putra mahkota itu mengucapkan sumpah Brahmacari dan tak hendak menduduki tahta Hastina demi meyakinkan Dewi Satyawati, seorang Janda Jelita yang menjadi pujaan hati Santanu, sepeninggal Dewi Gangga yang kembali ke Kahyangan.

Demi menjaga Hidup Prabu Santanu, ia menjemput Dewi Satyawati ke tengah hutan, dan meyakinkannya bahwa hasil pernikahannya dengan Prabhu Santanu kelak adalah pewaris tahta Hastina. Agar sengketa tahta tak berlanjut ke generasi berikutnya, Bhisma memutuskan untuk menempuh Hidup Brahmacari. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Bhsima meyakinkan Satyawati dan juga Prabu Santanu bahwa tanpa tahtapun dia tidak akan pernah meninggalkan Hastina dan segala hal yang menjadi kewajibannya seorang Ksatria di tanah Hastina.

Waktu segera berlalu, Santanu dan Satyawati hanya mampu melahirkan dua orang anak laki-laki Wicitrawirya dan Wicitranggada yang kesehatannya tidak normal, yang mana para tabib memperkirakan dua putra mahkota itu akan mati muda. Tentu saja Satyawati risau akan haknya. Di sisi lain, Bhisma juga merisaukan keberlangsungan Hastina. Maka ia menyepakati tugas yang dititahkan Dewi Satyawati untuk segera mencarikan jodoh bagi dua putra mahkota itu agar segera menghasilkan keturunan sebelum maut merampas kesempatan itu. Kebetulan di Negara tetangga ada raja yang hendak mencarikan jodoh bagi tiga orang putrinya lewat sayembara. Ketiga orang putri itu adalah Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Sebenarnya Dewi Amba enggan diikutkan dalam sayembara itu karena Ia terlanjur jatuh hati pada seorang pangeran dari negeri tetangga.

Singkat cerita, Bhisma yang tak diundang karena status-nya yang brahmacari hadir ke tengah sayembara. Tanpa diminta, ia menyampaikan pada hadirin bahwa kehadirannya dalam sayembara bukan untuk dirinya, tetapi untuk dua orang adiknya. Tentu saja banyak pihak yang tak sepakat. Bhisma tak gentar, dan dia hanya memberikan dua pilihan pada Raja dan semua pangeran di sana : Mengijinkannya ikut sayembara atau dia akan merampas semua putri yang disayembarakan.

Bhisma tetap tak diijinkan mengikuti sayembara, sehingga ia memilih cara kedua. Dengan Keretanya yang putih berkilau, Ia menyeruak ke tengah arena. Ketiga putri ditariknya ke atas kereta lalu dengan senjata yg siaga, mata yang awas ia bergegas meninggalkan arena. Tak satupun pangeran yang kuasa menghalanginya. Bhisma hanya sedikit repot ketika Pacar Dewi Amba menghadang dan Dewi Amba sendiri berupaya melarikan diri dari kereta Bhisma. Tapi itupun tidak berlangsung lama karena hanya dengan tiga desingan anak panah sang pacar menyerah. Sang pacar merasa dipermalukan. Dewi Amba …? ia hanya bisa mengiba, menggapai angin dari kereta yang terus semakin laju meningalkan asanya di balik kepulan debu.
Bhisma kembali ke Hastina dengan tiga orang gadis.
Sampai di sini, perlulah kita membahas kepahlawanan Bhisma lebih jauh lagi.  Untuk hal Kepahlawanan, sepertinya terasa cukup. Namun demikian, mungkin ada baiknya kita menyimak sedikit lagi tentangnya.

Bhisma telah menjadi insprirasi bagi ungakapan “Right Or Wrong Is My Country” karena sikapnya yang tetap kukuh menjaga Kehormatan Negara Hastina, meskipun Hastina diperintah oleh raja yang lalim seperti Duryudana dan para Korawa. Kecintaannya pada Hastina tak dibutakan oleh kasih sayang kepada Para Pandawa yang saat itu telah mendirikan Kerajaan Indraprastha.

Baginya, sekuat dan sebenar apapun alasan bagi Pandawa dan Indrapasta untuk berperang, itu adalah dalam urusannya dengan para Korawa. Dan ketika berbagai alasan itu bersinggungan dengan kehormatan Hastina, Bhisma harus tetap berdiri di garis depan, menjadi panglima perang bagi Hastina.

Bhisma tak akan pernah tertandingi dalam sejarah Kepahlawan. Ia adalah yang pertama dalam urusan menjaga kehormatan Negara.

Namun demikian, adakah ia juga piawai dalam menjaga kehormatan Wanita?

Cerita di atas baru sepenggal berkisah tentang itu.

Tiga orang gadis dirampasnya, dan kemudia semua dari kita tahu apa yang kemudian terjadi pada Dewi Amba. Tidak Wicitrawirya, tidak juga Wicitranggada yang memilihnya sebagai Istri. Bahkan Ketika Bhisma hendak mengembalikannya pada sang pacar, ia pun ditolak. Dewi Amba akhirnya mengembalikan semua kepada Bhisma sehingga Bhisma terjebak dalam kisah simalakamanya sendiri. Terlepas dari persoalan suka ataupun tidak, Ia yang telah mengangkat sumpah Brahmacari tak mungkin menikahi Amba, dan di sisi lain ia juga tak mampu mengupayakan hal yang lebih baik baginya.

Ia yang mulai galau dan berusaha menenggang waktu, tak kuasa menolak karmanya sendiri. Anak panah yang ia selipkan pada rentangan gandewa tiba-tiba lepas dan menghujam deras, tepat di ulu hati Dewi Amba.

Bisakah karma memberikan toleransinya pada bhisma yang sama sekali tak bermaksud membunuh? Pada Bhisma yang hanya ingin menunda waktu?

Tidak.

Sang karma harus adil dan memberikan kesempatan pada Dewi Amba untuk selalu menuntut Kebenaran. Maka, atas restu sang Karma, Dewi Amba mengutuk Bhisma, menuntut balas kematian, kelak di medan Kuruksetra.

Dan … ketika waktunya tiba, Amba dalam wujud Srikandi mendapatkan haknya itu.

Sehari sebelum waktu pembalasan, Bhisma sudah mengetahui kehadiran Amba pada diri Srikandi. Ia yang tak takut pada kematian, ia yang tunduk pada garis kehidupan, nampak ceria melewatkan setiap tanda pergantian waktu dengan bahagia. Ia tak memerintahkan dipersiapkannya pasukan khusus untuk menghalangi pertemuannya dengan Srikandi. Sebaliknya, justru ia sungguh-sungguh mengharapkan segeranya pertemuan itu.

Keesokan harinya, di medan Kuru Ksetra, Bhisma tetap berusaha menunaikan tugas ke-Ksatriaannya. Semua yang menghadang harus bersusah payah menghindar dari hujan panah Bhisma. Pun ketika ia melihat Arjuna.

Sesaat setelah menerima penghormatan Arjuna, Bhisma kembali merentangkan anak panah membidik Arjuna. Entah dari mana datangnya, secepat kilat, Srikandi hadir diantara mereka. Bhisma terkesiap dan segera mengarahkan mata panahnya ke tubuh srikandi. Namun, kala itu ia tak punya kesempatan. Tak satupun anak panah yang terlepas menjadi utuh menyentuh tubuh Srikandi karena anak panah Bhisma di tebas panah-panah Arjuna. Sebaliknya Srikandi dapat melepaskan setaip anak panahnya dengan leluasa. Tak satupun panah Srikandi luput menghujam Bhisma. Panah Srikandi, menghujam tepat di setiap simpul cakra Bhisma. 

Adakah Bhisma panik dan menyimpan amarah karenanya? Tidak …. Bhisma menyambut semua anak panah Srikandi dengan bahagia. Semakin berlaksa, semakin jelas dilihatnya sosok Amba pada diri Srikandi. Bhisma terhuyung, namun ia berusaha tetap berdiri. Tanggannya mengembang, badannya condong … seolah ingin mendekat … ingin menyambutnya … memeluknya.

Akhirnya Srikandi menyadari isyarat itu. Perlahan, ia menurunkan anak panahnya. Dengan seksama ia menangkap makna dari tatapan Bhisma yang syahdu. Saat itulah, Dewi Amba dalam wujud Srikandi menemukan jawaban yang jujur dari seorang Bhisma. Lewat matanya, lewat senyumnya, Bhisma menyampaikan pada Amba bahwa sesungguhnya ia sangat menunggu-nunggu kesempatan itu, saat dimana ia dapat melepaskan semua sumpah dan atribut yang duniawinya selama ini yang tak memberinya ruang untuk mengungkapan Cinta. Amba akhirnya tahu, dirinya bukanlah seorang yang ter-sia-sia ….

Bhisma ….
Ia memang Pahlawan Besar, tak pernah lelah menjaga Kehormatan Hastina.
Sementara Dewi Amba …
Perjalan kisahnya juga membawa pesan tersendiri yang tak kalah mulianya.
Ia telah mengajarkan bahwa Kepahlawan, Kegigihan dalam menjaga Kehormatan Negara tak boleh menjadi alasan pembenar untuk mengabaikan Kehormatan Wanita.

Bhagavad Gita Mengajarkan :
“Dimana Kaum Perempuan Di hormati, di sana Rejeki akan berlimpah, Kesejahteraan Masyarakat meningkat, serta Kehormatan bangsa dan Negara terjaga. Sebaliknya, Dimana Kaum Perempuan direndahkan dan diperlakukan sebagai kaum marginal, maka dengan segera Bangsa dan Negara itu akan menjelang Kehancuran”.

Semoga kita dapat belajar dari kisah ini.
Selamat Hari Kartini, 21 April 2010.

-- Tut Widi--

Wednesday, March 10, 2010

Hari Raya Nyepi (Kajian Upācāra & Implementasi Pada Kehidupan)

 
Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma P)
 
Oṁ Swastyastu
 
Pendahuluan 
 
”Pada awalnya adalah kegelapan yang sangat pekat. Semua yang ada ini tidak terbatas dan
tidak dapat dibedakan. Yang ada saat itu adalah kekosongan dan tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang sangat dahsyat,terciptalah kesatuan yang kosong”
 (Ṛgveda X.129.3).
 
Kapanpun dan di manapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan Dharma merajalela, pada waktu itulah Aku Sendiri menjelma,  wahai putra keluarga Bhārata                                                                                             (Bhagavadgītā 4.7).
 
Hari suci keagamaan selalu menempati posisi tersendiri dalam kehidupan manusia dan memiliki makna kesucian yang diorientasikan pada kesempurnaan dengan ajaran-ajaran kerohanian yang berasal dari wahyu Tuhan. Karena orientasi tersebut dimensi hari raya agama tersebut bersifat vertikal. Agama apapun mengajarkan satu kesunyataan yakni Kebenaran. Demikian halnya dengan agama Hindu yang memiliki hari raya keagamaan yang dikelompokkan berdasarkan sasih/bulan dan pawukon/wuku ke dalam dua kelompok besar, diantaranya adalah Nyepi, Galungan dan Kuningan, dan yang lainnya.
 
Hari Suci Nyepi
 
Hari Nyepi merupakan tonggak kebangkitan kerohanian Hindu yang ditandai dengan Toleransi dan Kerukunan. Bermula dari persaingan dan pertikaian  bangsa-bangsa di kawasan Asia (sekarang antara: Tibet, Asia Tengah, Persia, Sungai Sindhu, Afganistan, Pakistan, Kashmir, Iran dan India Barat laut) antara bangsa Saka (Scythia) – Pahlava (Parthia)– Yueh-ci (Cina) – Yavana (Yunani) – Malava (India). Mereka sangat berambisi salin menaklukkan satu sama lain sebagai musuh-musuhnya. Selama berabad-abad bangsa-bangsa tadi silih berganti saling menguasai wilayah lawan-lawannya (semacam penguasaan/ penjajahan) memperebutkan daerah yang sangat subur. Akhirnya pada awal tahun 248 SM di India bangsa Pahlava unggul dalam peperangan melawan bangsa Yavana dan Saka serta menguasai wilayah yang sangat luas.
 
Bangsa Saka yang kalah perang mengembara dan mampu secara cepat menyesuaikan diri dan tersebar di seluruh kawasan, namun membawa satu misi kooperatif perdamaian dengan mengedepankan aspek budaya dan humanisme. Bangsa Saka dengan seni budaya dan kombinasi ketata negaraan yang terbuka (ala demokrasi sekarang) mampu menyentuh penguasa yakni Bangsa Pahlava. Artinya bangsa Pahlava mengakui keunggulan bangsa Saka yang mengalihkan perjuangan politiknya dari mengangkat senjata (peperangan) menjadi arah politik : ideology, social-budaya yang bercirikan keharmonisan – perdamaian dengan mengangkat kesejahteraan sebagai issue global. Pergerakan humanisme sejak tahun 138 – 12 SM terjadi akulturasi dan sinkretisme antara bangsa-bangsa yang tadinya bermusuhan dan berakhir pada peperangan menuju perdamaian.
 
Akibat gerakan kemanusiaan membuat sikap politik bangsa-bangsa tadi berubah menjadi gerakan Lokasamgraha (dunia ini rumah kita, persaudaraan semesta, Torang samua basudara). Terdapat tokoh raja Kaniska I, II dan III (tidak semuanya berasal dari bangsa Saka tapi mereka mengadopsi perjuangan bangsa Saka) dalam percaturan politik yang meraih simpati rakyat dengan gerakan kesejahteraan dan kemanusiaan tadi. Salah satu yang terkenal kemudian adalah raja Kaniska II yang pada tahun 78 Masehi menetapkan tahun baru sebagai pencerahan bangsa-bangsa yang berdamai dengan memberikan penghargaan kepada bangsa Saka yang memelopori pergerakan tadi menjadi Tahun Baru Saka yang diperingati secara serentak oleh seluruh negeri. Tahun itu dikemudian hari menjadi tahun pencerahan dan dirayakan dengan khidmat melalui tapa – brata – samadhi.
 
Rangkaian Hari Raya Nyepi.
 
Perayaan Hari suci Nyepi dan Tahun Baru Saka 1932 tahun 2010 di daerah secara otonom dilaksanakan dari tingkat Provinsi sampai tingkat Desa dan perorangan di rumah masing-masing dengan rangkaian sebagai berikut :
1.     Melasti/Makiyis : adalah prosesi spiritual keagamaan sebagai upaya penyucian alam semesta dari segala kekotoran dan kejahatan akibat dari perputaran karma selama 1 tahun yang penuh dengan intrik, gejolak, nafsu, dan berbagai sisi negative terhadap kemanusiaan. Penyucian ini tidak berhenti pada tataran alam semesta, tetapi juga pada diri setiap manusia Hindu, harus menyucikan diri dan lingkungannya. Arah prosesi penyucian itu ditujukan kea rah laut/segara, karena diyakini air bersumber di laut dan air merupakan sumber dari kehidupan. 80 % tubuh kita ini terdiri dari air. Pelaksanaan prosesi ini dilaksanakan sejak seminggu sebelum hari raya nyepi atau maksimal 2 hari sebelum Nyepi. Di dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan: angayutaken laraning jagat, paklesa letuhing bhuvana, yang terjemahannya: untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dan kotoran dunia ( alam ), sedangkan di dalam lontar Sundarigama dinyataan : amet sarining amrtha kamandalu ritelenging samudra, yang terjemahannya : Untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah – tengah lautan. Laut sebagai sumber amerta karena laut/segara dipercaya dan diyakini mampu melebur segala kekotoran yang diakibatkan oleh api nafsu manusia yang berupa tindakan kotor/jahat dll.
 
2.     Tawur Kesanga : adalah upacara Bhuta Yajna, artinya korban suci yang ditujukan kepada penguasa kekuatan yang memberi kemanfaatan bagi seisi alam raya ini berupa Caru. Caru adalah kata bahasa Sanskerta yang berarti mempercantik, menetralisir, memiliki makna spiritual somya yakni membuat semuanya menjadi harmonis. Caru ini berupa sesajen yang dibuat sedemikian rupa dalam rangkaian yang memiliki perhitungan magis, oleh Pendeta dijadikan sebagai sarana untuk menjadikan situasi krodit/disharmoni menjadi normal/harmonis kembali. Tawur kesanga dilaksanakan sehari sebelum Nyepi tepatnya pada bulan Mati/Tilem sasih Kesanga yang jatuh pada tanggal 15 Maret 2010.
 
3.     Nyepi – Brata Penyepian : pada tanggal 16 Maret 2010  adalah hari raya Nyepi yang dilaksanakan perayaannya dengan berpuasa dan berpantang/brata. Dimulai pagi hari jam 06.00. Di antara berbagai bentuk Tapa, Brata, Yoga, Samadi itu, Maunabrata (Monabrata) adalah yang tertinggi, tujuannya adalah amatitis kasunyatan, menuju keheningan sejatai seperti pula disebutkan di dalam lontar Sundarigama (salah satu lontar yang menjelaskan tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia) secara tegas menyatakan: "..................Nyepi amatigni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, agnigni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang weruh ring tattwa angelaraken samadhi. tapa, yoga amatitis kasunyatan" - Hari Nyepi, tidak benar semua orang melakukan pekerjaan, berapi - api, karena mereka yang tahu hakekat agama melaksanakan samadhi,tapa,yoga memusatkan pikiran menuju kesunyataan/keheningan sejati". Brata Penyepian, dengan amati : gni, karya, lelungan, lelangunan, membuat hidup ini terintrospeksi secara sadar atas apa dan siapa diri ini untuk menuju arah yang ditentukan oleh ajaran agama. Selama 1 hari penuh (24 jam) aktivitas direorientasi guna memberikan pembaharuan (Reneweble) alam semesta sehingga segenap potensinya kembali berfungsi secara maksimal. Bayangkan kota Jakarta jika selama 1 hari tidak ditebari polutan asap kendaraan (polusi udara) dan listrik dipadamkan, aktivitas diliburkan sehari itu saja dalam setahun, berapa besar penghematan yang telah dilakukan oleh Negara, betapa bersihnya udara Jakarta dan kelesuan dapat dipulihkan.
 
4.     Ngembak Gni : melakukan aktivitas kembali seperti semula atau membuka api kehidupan normal. Pada hari ini tgl 17 Maret 2010 menjadi lembaran baru bagi kehidupan yang cerah penuh pencerahan rohani. Ngembak Gni mengisyaratkan kepada manusia yang  "Multikultural" untuk bersatu padu, menghargai perbedaan sebagai  kebenaran illahi, memaafkan adalah perbuatan mulia yang akan membuat hidup kita terasa lebih damai. Melayani mereka yang lemah, membantu mereka yang menderita adalah karma utama saat ini, karena sesungguhnya melayani semua mahluk dengan cinta kasih, dan kasih sayang adalah bentuk pemujaan kepada Tuhan (serve to all man kind is serve to the God).
 
 
Makna Penjelmaan
 
Menjelma sebagai manusia menurut ajaran Hindu adalah kesempatan yang paling dan sangat baik, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan berbuat baik. Untuk berbuat baik dan benar nampaknya sangat sulit dilakukan oleh karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh setiap orang. Tantangan mulai ketika bayi lahir dari kandungan ibunya. Demikian lahir langsung menangis karena ia berhadapan dengan kejamnya alam, udara yang dingin atau kilauannya sinar matahari dan lain-lain. Bayi akan tumbuh menjadi manusia dewasa bila ia mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
 
Tantangan yang paling berat yang dihadapi oleh umat manusia adalah tantangan yang datang dalam dirinya sendiri, yakni sifat-sifat atau kecenderungan jahat yang merupakan sifat-sifat keraksasaan, kebalikan dari Daivisampad yang disebut Asurisampad (sifat-sifat Asura atau raksasa). Pertarungan antara sifat-sifat kedewataan dengan keraksasaaan inilah yang terus berlangsung dalam diri umat manusia yang sering mengejawantah dalam sikap dan prilaku sehari-hari. Pertarungan ini berlangsung terus tiada hentinya. Siapa yang berhasil memenangkan pertarungan dengan berpihak pada kebajikan atau (Dharma) ialah yang sesungguhnya berhasil menegakkan Dharma. Hanya dengan berpihak kepada Dharma seseorang akan memperoleh keselamatan, kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Sebagai diamanatkan dalam terjemahan sloka Māhanārayana Upaniad XXII.1, berikut:
“Dharmo viśvasya jagataḥ pratiṣṭhā, loke dharmiṣṭhaṁ prajā upasarpanti,Dharmeṇa pāpam apanudanti dharme sarvaṁ,  pratiṣṭhaṁ tasmad dharmaṁ paramaṁ vadanti” - “Dharma adalah prinsip dasar dari segala sesuatu yang bergerak dan  yang  tidak  bergerak di alam semesta ini. Seluruh dunia dan segenap  umat  manusia  hendaknya  selalu  bergairah mengikuti ajaran Dharma.  Yang  mengikuti  ajaran  Dharma  terbebas dari  segala  dosa.    Segala  sesuatunya  akan berjalan mantap bila di jalan Dharma.  Untuk  itu   patutlah  Dharma  itu disebut ajaran yang tertinggi”
 
Dharma eva hato hanti  dharmo rakṣati rakṣitaḥ, tasmād dharmo na hantavyo mābo dharmo hato’vadhīt” - “Dharma yang dilanggar menghancurkan pelanggarnya. Dharma yang dilaksanakan melindungi  pelaksananya, oleh karena itu janganlah melanggar Dharma, sebab bagi  yang melanggar  Dharma  akan menghancurkan dirinya sendiri” (Manavadharmaśāstra VIII.15).
 
         
Implementasi  Dalam Kehidupan
 
Bagaimana kita dapat memenangkan Dharma dalam era globalisasi? Globalisasi adalah proses atau trend kemajuan dunia melalui Ilmu Pengetatuhan dan Teknologi dengan ditandai oleh derasnya arus informasi, terutama dari masyarakat maju menuju masyarakat yang sedang berkembang. Dalam era globalisasi ini seakan-akan tidak ada batas-batas antar negara atau bangsa-bangsa (Boderless nations and states) di dunia ini. Kita maklumi bersama bahwa Globalisasi tidaklah selalu berpangaruh dan berdampak negatif, banyak hal-hal positif yang dapat dipetik dalam era globalisasi ini, namun demikian pengaruh dan dampak negatifnya nampaknya cenderung lebih deras terutama menyangkut segi-segi moral, etika dan spiritual yang bersumber pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
 
Dalam Hindu, dinyatakan bahwa bila orientasi manusia hanya material dan kesenangan belaka, maka orang itu dinyatakan hanya memuaskan Kama (nafsu duniawi). Kama manusia tidak akan pernah merasa puas, walaupun usaha memuaskan itu dilakukan terus-menerus dengan berbagai pengorbanan. Memuaskan Kama dinyatakan sebagai menyiram api yang berkobar besar, tidak dengan air, melainkan dengan minyak tanah, maka api tersebut akan menghancurkan hidup manusia.Di dalam kitab suci Bhagavadgītā dinyatakan bahwa Kama, di samping juga Lobha dan Krodha adalah tiga pintu gerbang yang mengantarkan Ātma (roh) menuju jurang neraka dan kehancuran. Untuk itu, Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan agar umat manusia memilki kesadaran yang tinggi untuk menghindarkan diri dari ketiga belenggu tersebut.
 
Bagaimana caranya kita dapat menghindarkan diri tiga pintu gerbang neraf berupa Kama, Lobha dan Krodha yang merupakan perwujudan dari perbuatan atau perilaku Adharma ? Jawabannya adalah sederhana, yaitu kita mesti kembali kepada ajaran agama. Peganglah ajaran agama sebaik-baiknya. Biasakanlah berbuat baik dan benar atau berdasarkan Dharma, yang di dalam kitab Taittiriya Upaniṣad I.1.11: Satyaṁ vada Dharmācara svadhyaya mā pramadaḥ - Berbicaralah jujur/benar, ikutilah ajaran Dharma, kembangkan keingan belajar  dan  memuja Tuhan Yang Maha Esa dan  janganlah lalai/sampai lupa.
 
Memang bila kita berbicara atau hanya membaca ajaran agama, nampaknya segala sesuatunya gampang dilaksanakan, namun dalam prakteknya sungguh berat. Untuk itu hendaknya ada tekad atau pemaksanaan untuk berbuat baik. Pemaksaan diri untuk selalu berbuat baik disebut Pratipaksa. Untuk kebaikan, paksakanlah, lakukankan, korbankanlah, tekunilah dan doronglah supaya perbuatan benar dan baik itu menjadi identitas kehidupan ini. Identitas atau integritas seseorang dapat dilihat dari kualitas pikiran, ucapan dan tingkah laku seseorang. Untuk selalu dapat berbuat baik, maka diajarkan bahwa setiap orang hendaknya melakukan 4 hal, yaitu:
1)    Abhyasa yang artinya untuk perbuatan baik lakukanlah dan biasakanlah hal itu.
2)    Tyāga atau Vairagya yang artinya kendalikanlah atau tinggalkanlah perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan hidup kita.
3)    Santosa yang artinya beryukurlah terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa, memberikan kita kesempatan menjelma sebagai manusia untuk biasa memperbaiki diri dan kesadaran untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan kita untuk mencapai  Jagadhita  (kesejahtraan jasmaniah) dan Moksa (kebahagiaan sejati).
4)    Sthitaprajña yang artinya hidup berkeseimbangan lahir dan batin, tidak terlalu  bergembira bila memperoleh keberuntungan dan tidak putus asa bila menghadapi kemalangan atau kedukaan.
 
Hari-hari raya keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu. Selanjutnya dengan pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu, seseorang hendaknya dapat mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Nyepi adalah hari perjuangan menuju kesadaran terhadap ajaran Dharma. Hanya dengan Dharma umat manusia akan selamat di dunia ini. Bagaimana mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara sederhana adalah dengan merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut Dharma seperti disebutkan dalam kitab Vṛhaspatitattva, yaitu:
1)    Sila, yakni senantiasa berbuat baik dan benar.
2)    Yajña, yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada pengertian upakara dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih sayang dan keikhlasan.
3)    Tapa, pengekangan dan pengendalian diri.
4)    Dana, memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang memerlukan bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong orang-orang miskin disebutkan sebagai menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang ber-abhiseka (disebut dengan nama) Daridra Nārayana.
5)    Pravrijya, berusaha menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).
6)    Dikṣa, penyucian diri dan
7)    Yoga, senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
 
Penutup
 
Dengan melaksanakan butir-butir perbuatan tersebut di atas sesungguhnya kita sudah dapat mengamalkan ajaran agama. Aktualisasi dari ajaran ini dikaitkan dengan masalah-masalah kekinian, misalnya dengan meningkatkan solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan, mengembangkan moralitas dan mentalitas yang baik dan positif serta senantiasa aktif membangun masyarakat lingkungan di sekitar kita.
 
Berterima kasihlah kepada orang yang telah memberikan kesempatan berbuat baik, berbuat lebih baik dari tidak berbuat apa lagi berbuat yang tidak baik pasti menghasilkan ke-tidak-baik-an, sementara kita ingin mendapat perlakuan yang baik dari orang lain tetapi kita melupakan harus berbuat baik kepada orang lain. Kebaikan tidak pernah datang dengan sendirinya.
 
Lakukan kebenaran dengan cara menyenangkan, tapi jangan melakukan ketidakbenaran walau itu menyenangkanmu
 
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ

Tumpek Landep: Tirtha Pasupati & Usaha Menajamkan Pikiran


I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)-Bekasi

Oṁ Swastyastu

srayan dravyamayad yajnaj
 
jnanayajnah paramtapa
 
sarvam karma 'khilam partha
 
jnane perimsamapyate” (Bhagavadgītā IV.33)


Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa lebih bermutu daripada persembahan materi dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu-pengetahuan, Oh Parta

Salah satu hari suci agama Hindu yang cukup istimewa adalah Tumpek Landep yang jatuh setiap 210 hari sekali tepatnya pada setiap hari Saniscara Kliwon wuku Landep. Secara umum untuk merayakannya, masyarakat Hindu menggelar kegiatan ritual yang khusus dipersembahkan untuk benda-benda dan teknologi, yang berkat jasanya telah mampu memberikan kemudahan bagi umat dalam mencapai tujuan hidup. Utamanya adalah benda-benda pusaka, semisal keris, tombak, sampai kepada kendaraan bermotor, komputer, dan sebagainya.

Disamping hal tersebut, sesungguhnya hari suci Tumpek Landep merupakan hari Rerahinan gumi dimana umat Hindu bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi  yang telah memberikan kecerdasan, pikiran tajam serta kemampuan yang tinggi kepada umat manusia (Viveka dan Vinaya), sehingga mampu menciptakan berbagai benda yang dapat memudahkan hidup termasuk teknologi. Mesti disadari, dalam konteks itu umat bukanlah memuja benda-benda tersebut, tetapi memuja kebesaran Tuhan. 


Sarana Upacara
Dalam setiap upacara; maka keberadaan upakara tentu tidak dapat dikesampingkan, demikian pula halnya ketika umat Hindu melaksanakan upacara Tumpek Landep ini. Adapun sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana adalah canang sari, dupa, dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat menggunakan upakara Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati.

Dari berbagai jenis upakara tersebut yang terpenting barangkali adalah Tirtha Pasupati; karena umat Hindu masih meyakini betapa pentingnya keberadaan tirtha ini. Tirtha Pasupati biasanya didapat melalui Pandita atau Pinandita melalui tatacara pemujaan tertentu. Tapi bagaimana halnya dengan individu-individu umat Hindu, apa yang mesti dilakukan jika ingin mendapatkan Tirtha Pasupati? Bisakah memohonnya seorang diri tanpa perantara Pinandita dan atau Pandita? Jawabannya tentu saja boleh...!

Cukup menyiapkan sarana seperti di atas (seuaikan dengan desa-kala-patra). Misalnya dengan sarana canang sari, dupa dan air (toya anyar), setelah melakukan pembersihan badan (mandi dsb). Letakkan sarana/ upakara tersebut di pelinggih/ altar/ pelangkiran. Kemudian melaksanakan asuci laksana (asana, pranayama, karasudhana) dan matur piuning (permakluman) sedapatnya baik kepada leluhur, para dewa dan Hyang Widhi, ucapkan mantra berikut ini dengan sikap Deva Pratista atau Amusti Karana sambil memegang dupa dan bunga.


Mantra Pasupati:

Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha

Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati, Siva astra pasupati, Om ya namah svaha

Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti, angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci, angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi, angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.

Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip........

Om eka vastu avighnam svaha

Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang-Ang-Ung-Mang

Om Brahma pasupati

Om Visnu Pasupati

Om Siva sampurna ya namah svaha 

Kemudian masukkan bunga ke dalam air yang telah disiapkan. Dengan demikian maka air tadi sudah menjadi Tirtha Pasupati, dan siap digunakan untuk mempasupati diri sendiri dan benda-benda  lainnya.

Catatan:  
·           Titik-titik pada mantra di atas adalah sesuatu yang mau dipasupati)-dalam hal ini adalah air untuk tirtha pasupati. Dalam hal tertentu dapat dipakai mempasupati  yang lainnya..tergantung kebutuhan (tapi tetap saya sarankan hanya untuk Dharma, karena jika akan dipakai untuk hal-hal negatif maka mantra tersebut tidak akan berguna bahkan akan mencederai yang mengucapkannya)!!
·           Mantra di atas bersumber dari lontar Sulayang Gni Pura Luhur Lempuyang, koleksi pribadi.


Hakikat Tumpek Landep

api ched asi papebhyah
 
sarvebhyah papakrittamah
 
sarvam jnanaplavenai 'va
 
vrijinam samtarishyasi” (Bhagavadgītā IV.36)

Walau seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa dengan perahu ilmu-pengetahuan ini lautan dosa engkau akan seberangi. 

Setiap hari suci agama umat Hindu sesungguhnya tak hanya sekadar rerahinan rutin yang mesti dirayakan. Namun, didalamnya ada nilai filosofis yang penting dimaknai dalam kehidupan sehari-hari. Tumpek Landep, misalnya, memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan untuk melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan (disucikan) atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang jernih dan  tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih ketika harus melakukan analisis, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya.

Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas nafsu serakah, gengsi, apalagi sampai menggunakan cara-cara yang tidak benar. Semua benda tersebut mestinya hanya difungsikan untuk menguatkan hidup, bukan sebaliknya, justru memberatkan hidup. Dulu, keris dan tombak serta senjata tajam lainnyalah yang digunakan sebagai sarana atau senjata untuk menegakkan kebenaran, kini sarana untuk memudahkan hidup dan menemukan kebenaran  itu sudah beragam, seperti kendaraan, mesin dan sebagainya.

Sehingga pada saat Tumpek Landep diupacarai dengan berbagai upakara seperti: sesayut jayeng perang dan sesayut pasupati, dengan maksud untuk memuja Tuhan, dan lebih mendekatkan konsep atau nilai filosofi yang terkandung dalam Tumpek Landep.


Landep = Lancip/ Tajam
Kata Landep dalam Tumpek Landep memiliki makna lancip atau tajam. Sehingga secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Dalam Tumpek Landep benda-benda tersebut diupacarai. Kini, pengertian landep sudah mengalami pelebaran makna. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda yang terbuat dari besi atau baja yang dapat mempermudah hidup manusia, di antaranya sepeda motor, mobil, mesin, komputer, radio dan sebagainya.

Sementara secara konotatif, landep itu memiliki pengertian ketajaman pikiran. Pikiran manusia mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran, sehingga umat mengalami kecerdasan dan mampu menciptakan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan pulalah umat menjadi manusia yang lebih bijaksana dan mampu memanfaatkan teknologi itu secara benar atau tepat guna, demi kesejahteraan umat manusia. Bukan digunakan untuk mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

tad viddhi pranipatena
 
paripprasnena sevaya
 
upadekshyanti te jnanam
 
jnaninas tattvadarsina” (Bhagavadgītā IV.34)

Belajarlah dengan wujud displin, dengan bertanya dan dengan kerja berbakti, guru budiman yang melihat kebenaran akan mengajarkan padamu ilmu budi-pekerti

Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ
Materi: Naskah Penyuluhan Hari Suci Tumpek Landep, Sabtu Kliwon 13 Maret 2010
"Om Namame smaranam Om Padame sharanam"
=======

Sunday, January 24, 2010

MANUSIA DALAM KESADARAN TUHAN


“ Kewajiban tanpa aksih, patut disesalkan. Kewajiban dengan kasih, patut dipuji. Kasih tanpa kewajiban, bersifat Ilahi”. ( Baba)

Om Swastyastu-Salam Kasih

Hormat yang diberikan kepada Tuhan di dalam diri manusia, pada Ātma adalah kebenaran; Ātma adalah kasih murni; Ātma adalah Tuhan; Ātma adalah pengabdian tanpa pamrih. Hormat kepada semua ini adalah harga diri atau hormat pada diri sejati, dan hanya hormat semacam inilah yang dapat mendatangkan kedamaian dan bukan hormat jenis lainnya. Selalu mengingat Tuhan yang penuh belas kasihan, perwujudan kebenaran, Tuhan yang sifatnya kasih, itulah harga diri yang sesungguhnya.

Untuk memperoleh itu kita harus mengesampingkan kehormatan yang diberikan oleh dunia pada kekayaan dan kedudukan, sebagai hal yang tidak berharga, kita harus mengabaikan pujian dan celaan, cemohan dan sanjungan yang menjilat. Kita harus melakukan latihan rohani dengan kepercayaan penuh pada kebenaran dan pada Tuhan. Itulah kedamaian sejati, kedamaian murni dan kedamaian yang abadi.

Hanya manusialah yang memiliki kemampuan dan hak untuk mewujudkan kekuasaan itu, untuk memperoleh kekuasaan Tuhan. Tragisnya setelah mencapai kelahiran sebagai manusia pun sebagian besar orang tidak menyadari kenyataan diri yang abadi itu. Kita bahkan tidak berusaha memahaminya. Jika kesempatan ini disia-siakan, kapan kita dapat mengusahakannya lagi?

Bahkan tujuan kedatangannya ke dunia tidak dihindahkannya, apakah kita hidup seperti margasatwa, atau seperti burung atau serangga….? Hanya makan, berkelana, tidur, dan mencari kenikmatan? Jika jawabannya tidak, lalu untuk apa? Manusia mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki binatang yaitu; daya penalaran, kemampuan meninggalkan (segala  keinginan dan ketagihan), serta kemampuan menentukan yang benar dan yang salah. Ini adalah kemampuan khusus dalam diri manusia, tetapi apa gunanya semua itu jika tidak diterapkan dalam perbuatan yang nyata? Jika kemampuan itu digunakan maka sebutan manusia tepat baginya.

Ketiga kemampuan di atas tidak hanya dalam masalah duniawi, tetapi yang terpenting juga adalah dalam mencari kebenaran terakhir. Sesungguhnya jika Viveka, penyangkalan diri dan penyelidikan batin diterapkan pada waktu mengarungi suka-duka kehidupan, pada suatu saat akan timbullah keyakinan bahwa semua ini tidak nyata, bahwa semua ini tidak mempunyai landasan kebenaran. Bila kesadaran ini timbul dan bertumbuh pastilah manusia menempuh jalan spiritual dan melakukan latihan rohani. Kemudian ia akan melaksanakan penyelidikan bathin yang membawanya menuju kebenaran. Inilah tugas yang harus dilaksanakan manusia.. (sumber: Prasanthi Vahini)


Rahayu
Shri Danu

Wednesday, January 20, 2010

Kedamaian bukanlah keyakinan yang disimpulkan melalui penalaran

Om Swastyastu-Salam Kasih

Disiplin diri (Sadhana) merupakan landasan utama bagi kehidupan yang sukses. Hanya melalui disiplin dirilah manusia dapat memperoleh kedamaian yang nyata dan langgeng. Tanpa kedamaian tidak mungkin ada kebahagiaan. Kedamaian merupakan sifat Atma. Ia hanya dapat berada dalam hati yang murni; kedamaian tidak pernah berhubungan dengan hati yang serakah, penuh keinginan dan nafsu. Kedamaian merupakan cirri khas yang membedakan para yogi, resi dan orang-orang yang telah mencapai penerangan bhatin. Ia tidak tergantung pada keadaan luar. Kedamaian akan menjauhkan diri dari orang-orang yang penuh hawa nafsu. Orang-orang semacam itu tidak disukainya. Kedamaian merupakan ciri khas Atma yang berada dalam bhatin kita, mengagumkan, tidak tergoyahkan, dan permanen.

Kedamaian mengangkat hidup rohani kita, menganugrahkan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan secara wajar mendatangkan kebahagiaan. Meskipun demikian hanya ada satu cara untuk mencapai kedamaian sejati; dengan mengendalikan indera. Hanya setelah itu kedamaian dapat disebut Prasantih. Pada tahap kedamaian dihayati sebagai aliran ketenangan. Dengan menenangkan keresahan mental yang menggelora seperti gelombang, dengan meratakan pusaran serta pergolakan rasa suka, tidak suka, cinta, benci, sedih, gembira, harapan, dan keputusasaan, maka kita akan dapat memperoleh kedamaian dan mempertahankannya tanpa gangguan.

Kedamaian mempunyai sifat yang sama dengan Atma. Atma tidak dapat binasa. Ia tidak mati seperti halnya tubuh dan pikiran. Atma itu universal, halus, dan sifat sesungguhnya adalah pengetahuan, maka kedamaian juga memiliki sifat-sifat khas ini. Pengetahuan Atma melenyapkan ilusi, kesangsian, dan kesedihan. Karena itu penghayatan Atma memberikan kedamaian yang paling mantap, kesucian, dan kebahagiaan.

Atma bukanlah objek pengetahuan, melainkan asal dari sumber pengetahuan. Jnana menujukkan jalan menuju kematangan, keberhasilan, kebebasan, keabadian, kebahagiaan kekal, dan kedamaian yang langgeng. Orang yang dihanyutkan oleh tarikan atau desakan indera tidak akan mencapai Atma. Brahman adalah Yang Maha Esa, tidak berubah di dunia yang selalu berubah ini. Atma tidak terpengaruh oleh perubahan lahiriah, transformasi, maupun modifikasi. Kesemarakan tubuh bukanlah Atma, karena sesungguhnya Atma tidak dapat didefinisikan, tidak dapat dilukiskan. Atma bukanlah ini atau itu. Atma hanya dapat dikatakan sebagai dirinya sendiri, Sang Brahman ‘Tuhan Yang Maha Mutlak’. Brahman mewujudkan diri sebagai kebenaran (sathya), kasih sayang (prema), cahaya (paramajyotir), kedamaian (santih), pengetahuan kesunyataan (jnana), dan kebahagiaan tertinggi (parama-ananda). Melalui salah satu jalan inilah kita dapat mencapai Tuhan; hal ini tidak perlu kita sangsikan, karena ini adalah kebenaran.

Atma bukan panca indera, budhi, prana, ataupun daya hidup, ia hanya dapat digambarkan sebagai apa yang bukan dia, bukannya sebagai apa yang sesungguhnya. Tidak seorang pun dapat menyatakan bahwa Atma itu demikian dan sebagainya. Jika ada seseorang yang menyatakan bahwa Atma itu demikian, atau Atma itu begini atau begitu, kita dapat beranggapan bahwa ia tidak tahu sedikit pun mengenai Atma. Kita dapat berbicara banyak mengenai sesuatu yang tidak kita ketahui, kita dapat menganggapnya apa saja atau memberinya nama apa saja. Singkatnya, Atma tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, mustahillah menggambarkannya, siapa pun juga yang mungkin mencoba.

Kebahagiaan merupakan sifat pembawaan manusia. Namun sayangnya manusia mencarinya di tempat lain, dan justru bukan di tempat yang sebenarnya. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mati atau non aktif. Ia merupakan nama lain dari kehidupan yang pebuh makna. Kebahagiaan hanya ada bila kedamaian berkuasa dan menetapkan aturan serta pembatasan untuk segala kegiatan. Kedamaian harus dibuat demikian stabil sehingga tidak terpengaruh oleh pikiran yang senantiasa ngelantur ataupun indera yang cenderung mengarah ke dunia luar. Kedamaian hanya dapat dihayati secara pribadi, melalui (kesadaran) yang telah mencapai jnana. Manusia yang memahami Atma yang abadi, tidak dapat binasa, dan tidak berubah, akan menikmati kedamaian, harta yang paling bernilai. Ia pun (kesadaran dirinya yang sejati) tidak akan mati.

Kedamaian adalah samudera tanpa tepi, cahaya yang menerangi dunia. Kedamaian memberikan pengetahuan dunia akhirat. Kedamaian membawa manusia pada penghayatan Brahman (Tuhan Yang Maha Mutlak). Inilah penyempurnaan kehidupan manusia yang diajarkan oleh Vedanta (Saripati dari Veda).

Kasih murni hanya dapat memancar dari hati yang diliputi kedamaian karena hal ini merupakan suasana yang meresapi (segalanya) dan memurnikan. Kedamaian bukanlah keyakinan yang disimpulkan melalui penalaran. Ia merupakan disiplin dari semua kehidupan yang disiplin. Pada waktu lahir pikiran manusia dapat dimisalkan dengan sehelai kertas putih yang kosong. Segera setelah ia mulai berpikir, merasa, dan melakukan kegiatan, proses pencemaran pikiran pun dimulai. Tubuh tergantung pada prana; ia tergantung pada pikiran, perasaan, serta berbagai keinginan yang meresahkan hati. Kebajikan dan kebenaran dipudarkan oleh tuntutan tata karma, mode, adat, kebiasaan, dan sebagainya, dan individu dicampakkan ke dalam kelompok manusia. Kesendiriannya dilanggar dan direnggut.

Karena itu pertama-tama pikiran harus ditenangkan dan diheningkan. Hanya dengan demikianlah tubuh dapat menjadi sehat dan akal menjadi tajam. Pada suatu saat pikiran hanya dapat dipusatkan pada satu sasaran, tidak pada berbagai hal. Meskipun demikian pikiran atau ingatan merupakan kumpulan gagasan, keinginan, angan-angan, khayalan, dan sebagainya. Sesungguhnya dalam pikiran atau ingatan manusia terdapat sejarah seluruh ciptaan dalam bentuk singkat. Itulah cetakan yang membentuk khayalan manusia. Pikiran dan perasaan manusia merupakan medan pertempuran Kuruksetra (dalam kisah Mahabharata), tempat baik dan buruk, benar serta salah bertanding meraih keunggulan. Besi hanya dapat dijadikan lempengan bila ditempa dengan besi lain. Demikian juga pikiran yang keji dan rendah harus dibentuk menjadi lebih baik oleh pikiran kita sendiri yang lebih luhur. Kita harus membuat pikiran menjadi unggul, luhur, dan kuat bagi tugas perbaikan diri.

Teguklah dalam-dalam air dari alairan kedamaian tersebut, yaitu air disiplin yang ditunjukkan didalamnya; benamkan diri kita didalamnya hingga bersih…semoga kesejukannya menyegarkan kesedihan serta penderitaan dan memadamkan kobaran api dosa…..Om Namo Narayanaya.

(disarikan dari wejangan Bhagavan Sri Sathya Sai Baba; Prasanti Vahini)

Rahayu

Shri Danu