Saturday, May 14, 2011

Hari Raya Pagerwesi


Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.

Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.

Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:

"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.

Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:

Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).

Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga.

Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.


Makna Filosofi
Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati.

Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.

Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh." Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan. Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.

Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:
Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan.
Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki dharma.

Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa kesombongan.

Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata.

Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.

Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.

Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.

Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya "pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera.

Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.

Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.

Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta. Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.

Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Tumpek Landep

Oleh: Jero Mangku Sudiada

Om Swastyastu.


SAKING TUHU MANAH GURU
MITUTURIN CENING JANI
KEWRUHAN LWIR SANJATA
NE DADIPRABOTANG SAI
KE ANGGEN NGERURUH AMRETE
SE-ENUN CENINGE MAURIF

Dari hati seorang Guru yang paling dalam
Sekarang ini Guru Memberikan nasehat tuk mu
Pengetahuan adalah senjata yang paling ampuh
Yang bisa dipakai keseharianmu
Sebagai senjata tuk menjalankan profesimu
Engkau  gunakan selama hayat masih dikandung badan

Rasanya tembang sederhana dipedesaan seperti ini begitu menyentuh, ketika kakek kelawan I Nenek, mengusap-usap rambut cucunya dengan tangannya yang sudah penuh keriput, sambil membelitkan kain batik yang sudah lusuh untuk mengurangi berat beban cucunya karena tangannya sudah terlalu rapuh untuk menyangga beban yang berat.

Dari sudut matanya yang sudah keliatan lamur, namun masih tetap bergulir airmatanya memanjatkan doa kepada Hyang Moho Suci, diakhir dari tembangnya ditujukan kepada cucu kesayangannya agar kelak tumbuh menjadi anak yang berguna, sanggup untuk menyinari “KULAWANDU MANAWA” sambil berharap. “TEHERANG RAGAN I-DEWA SAMPUNANG OBAH” ajegkanlah Hindu, karena lewat engkaulah kakek dan Nenek untuk mewali punarbawa  nunas penglugrahan penebusan dosa, mewali manumadi untuk mempebaiki tugas kami yang belum tuntas dalam kehidupan sekarang. Sane mangkin minabang kakek lan dan nenkmu masih menempuh jalan Daksina yana kelahiran yang berulang, sampai akhirnya pencerahan itu datang pada Pekak & nenek mendapatkan pencerahan yang cuckup dumogi mresidayang menempuh jalan Utarayana mewali menunggal Kaula kelawan Igusti, ( Sang Sangkan Paraning Dumadi)

Agak aneh setelah usai gending gending itu dilantunkan mendadak senyum kedamaian menghias bibir Kakek, dan nenek, entah rasa kepuasan apa yang dirasakan setelah menciumi kening cucu cucu kesayanganya tertidur pulas……Hemm…sebening embun pagi, sebersih salju, bila kuusap rambutmu …permata hatiku.

Seni membuat hidup ini demikian indah sehingga bergairah, IPTEK membuat hidup kita semakin mudah dan… Agama menjadikan hidup kita lebih terarah.

Tumpek Landep Memuja Sang Hyang Pasupati, Pertajam Idep UMAT Hindu kembali merayakan rerahinan Tumpek Landep, Sabtu Kliwon Wuku Landep (7 Mei 2011) hari ini Sanicara Kliwon uku landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kecerdasan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan teknologi atau benda-benda yang dapat mempermudah dan memperlancar hidup, seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer (laptop) dan sebagainya. Tetapi dalam konteks itu umat bukanlah menyembah mobil, komputer, tetapi memohon kepada  Sang Hyang Pasupati agar benda-benda tersebut betul-betul dapat berguna bagi kehidupan manusia.

Landep dalam Tumpek Landep memiliki pengertian lancip. Secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Secara sekala, benda-benda tersebut diupacarai dalam Tumpek Landep.

Tumpek Landep dalam konsept kekinian, senjata lancip itu sudah meluas. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Namun harus disadari, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada  Sang Hyang Widdhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup. Dalam pengertian, bahwa umat patut bersyukur kepada Tuhan karena telah diberikan kemampuan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan aneka benda atau teknologi yang dapat mempermudah hidup.

Sementara dalam kaitan dengan buana alit (diri manusia), Tumpek Landep itu sesungguhnya momentum untuk selalu menajamkan pikiran (landeping idep), menajamkan perkataan (landeping wak) dan menajamkan perbuatan (landeping kaya). Ketiga unsur Tri Kaya Parisuda tersebut perlu lebih dipertajam agar berguna bagi 
diri sendiri dan orang lain. Buah pikiran perlu dipertajam untuk kepentingan umat manusia, demikian pula perbuatan dan perkataan yang dapat menenteramkan pikiran atau batin orang lain.

Pikiran kita mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran. Komputer yang diciptakan untuk mempertajam pikiran, hendaknya dimanfaatkan dengan baik. Internet mesti digunakan untuk mengakses informasi sehingga wawasan dan kecerdasan bertambah, bukan untuk mengunduh yang lain-lain.

Tumpek Landep memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih melakukan analisa, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya.

Namaste.

Sunday, January 2, 2011

Tenun Geringsing

Tenun Geringsing 
WHD No. 461 Juni 2005
Oleh : IG.B. Ngurah Ardjana, Denpasar 

Kerajinan menenun kain gringsing ini merupakan usaha satu-satunya di Bali sampai kini yang hanya terdapat atau dikenal dikalangan masyarakat Desa Tenganan saja. Dan hasil kerajinan menenun ini oleh masyarakat setempat dijadikan pakaian adat disamping mengandung juga nilai estetis, mode show, serta tata nilai yang dipancarkannya dapat menumbuhkan rasa bangga bagi warga masyarakat pendukungnya. 


Menenun kain geringsing dan dalam proses pembuatannya adalah merupakan proses yang sangat rumit dengan teknik double ikat yang memakan waktu cukup lama serta dengan bahan-bahan dasar dan bahan pewarnaannya berasal dan alamiah. Kain geringsing juga banyak diperlukan orang lain, karena dapat digunakan untuk keperluan. upacara adat dan agama, mode show dan sebagainya. Menurut pandangan orang Tenganan bahwa kain geringsing mengandung nilai magis. Hal ini dikatakan demikian karena kata geringsing berasal dan dua kata yaitu gering yang berarti “sakit” atau “penyakit” dan sing berarti “tidak” atau “menolong”. Dan kedua akar kata tersebut yaitu kata gering dan sing disatu padukan akan menjadi kata geringsing yang dapat berarti tidak sakit atau menolak penyakit yang dapat diperkirakan akan terhindar dan segala penyakit. Oleh karena demikian orang Tenganan mempunyai pandangan bahwa kain geringsing memiliki peranan/fungsi yang amat penting. 

Tata Upacara Pembuatan Tenun Geringsing 
Masyarakat Tenganan Pegeringsingan yang menganut agama Hindu sangat percaya bahwa segala sesuatu pekerjaan yang dimulai dengan diawali upacara keagamaan maka hasilnya akan balk dan menjumpai kesalamatan. Dalam memulai pekerjaan menenun Kain Geringsing yang sangat dikematkan inipun mereka sangat memperhatikan aturan yang sudah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Mereka mengikuti aturan tersebut meskipun secara teknik ilmiah mereka kurang bisa menjelaskan narnun mereka tetap berusaha menaruh perhatian yang besar terhadap pelestarian yang sangat erat kaitannya dengan upacara keagamaan yang harus dilaksanakan demi mempertahankan keaslian tata cara pembuatan kain tenun tradisional Geringsing, satu-satunya yang ada di Bali. 

Pantangan bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan untuk menenun kain Gringsing pada saat datang bulan (haid). Mengenai upacara keagamaan dilakukan secara bertahap selama proses pembuatan tenun tradisional Geringsing berlangsung. 

Rentetannya adalah sebagai berikut : setelah proses pembuatan dimulai, diawali dengan mencelupkan benang kedalam minyak lilin (minyak kemiri/malem) dan air serbuk kayu dalam wadah yang terbuat dan tanah hat (jeding) kemudian ditutup dengan kain putih hitam (gotia) guna menghindan adanya pengaruh roh jahat (leak).
Setelah ikatan pertama disimpulkan disertai dengan yadnya kecil yang terdiri dan : kembang sepatu, dauh sirih gulung, kapur sirih dan 2 set uang kepeng 11, pada lubangnya digantungkan benang katun yang diikat 2 kendi. Ikatan terakhir pada bahan hanya dapat diikat oleh wanita yang lewat masa menapouse.

Proses Pembuatan Kain Geringsing 
Proses pembuatan kain Tenun Geringsing diawali dengan penyiapan kapas untuk bahan benang. Kapas yang dipakai adalah kapas keling (bijinya hanya satu satu). Kapas semacam mi didatangkan dan pulau Nusa Penida Kabupaten Daerah Tk. II KlungkungBali.
Mula-mula kapas keling dipipis, kemudian ngantih bikin benang. Sesudah menjadi benang, benang itu dicelup kedalam minyak kemiri bercampur air abu/serbuk kayu dan direndam selama 42 han. Setiap tiga hari sekali, maka selajutnya benang tersebut dikeringkan tanpa menjemurnya di sinar matahari, diberi hiasan bunga pucuk (kembang sepatu). Kemudian benang yang sudah kering itu digulung kedalam bambu kecil yang disebut “Ulakan”. Untuk motif kain pendek benang yang sudah kering diproses dengan ngelimbengang, sedang untuk motif kain panjang benang diproses dengan ngerengang. Selanjutnya benang tersebut dibedbed (diikat) untuk dapat dicelup/diwarnai. Dan medbed (mengikat) sampai mendapat warna-warna yang sesuai dengan motif tenunan diperlukan waktu 2 sampai 3 minggu. 

Setelah merampungkan pewarnaan benang maka benang bahan kain tenun Geringsing itu sudah siap untuk ditenun. Satu ikatan benang yang sudah berwarna itu menghasilkan/menjadi 5 sampai 6 lembar kain tenun Geringsing, setelah menjalani proses pembuatannya selama kira-kira 4 tahun. Namun kini sudah bisa dipercepat hingga 2 tahun (karena faktor ekonomis).
Bahan Pewarna Benang Tenun Geringsing

Ada cerita yang menggambarkan bahwa warna merah dari tenun Geringsing bahannya adalah darah manusia. Ternyata cerita tersebut hanya merupakan cerita bohong belaka karena warna merah yang misterius itu tidak dibuat dari darah manusia.

Cerita itu sengaja dimunculkan mungkin merupakan usaha proteksi masyarakat Tenganan Pegeringsingan agar kain tenun Geringsing yang merupakan kebanggaan masyarakat Tenganan Pegeringsingan sukar ditiru atau tidak ditiru.

Adapun bahan-bahan warna alami dan tenun Geringsing itu adalah sebagai berikut:
1) Warna merah dibuat dari “babakan” (kelopak pohon) Kepundung putih dicampur dengan akar pohon Sunti.

2) Warna kuning dibuat dari minyak buah kemiri yang sudah berumur lama, kira-kira 1 tahun dicampur dengan air serbuk/abu kayu kemiri.

3) Warna hitam dibuat dari pohon Taum.
Ragam Jenis Tenun Gringsing

Konon dahulu, ragam jenis Tenun Geringsing ada 20 jenis. Namun kini yang masih dikerjakan hanya 14 jenis yaitu:

1) Geringsing Lubeng
yang terdiri dari: Gringsing Lubeng Luhur, Gringsing Lubeng Petang Dasa dan Gningsing Lubeng Pat Likur. Motifnya bernama Lubeng.  Kekhasannya adalah berisi kalajengking. Lubeng Luhur ukurannya paling panjang dengan 3 bunga berbentuk kalajengking yang masih utuh bentuknya. Sedangkan pada Lubeng Petang Dasa bunga kalajengkingnya utuh hanya satu di tengah sedang yang di pinggir hanya setengah-setengah. Sedang Lubeng Pat Likur adalah yang ukurannya terkecil. Fungsinya sebagai busana adat dan upacara agama.

2) Geringsing Sanan Empeg 
Geringsing Sanan Empeg fungsinya hanya sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Sedangkan bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan hanya dipergunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi. Ciri khas dan motif Sanan Empeg adalah adanya tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah dan hitam.

3) Geringsing Cecempakan 
Geringsing Cecempakan bermotif bunga cempaka. jenisnya: Gringsing Cecempakan Petang Dasa (ukuran empat puluh). Geringsing Cecempakan Putri, Geringsing Cecempakan Pat Likur (ukuran 24 benang). 
Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.

4) Geringsing Cemplong. 
Motif Geringsing Cemplong adalah karena ada bunga-bunga besar diantara bunga-bunga kecil seolah-olah ada kekosongan/lobang-lobang diantara bunga itu menjadi kelihatan cemplong. Jenisnya : ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), sedangkan yang ukuran Petang Dasa (40 benang) sudah hampir punah. Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.

5) Geringsing Isi. 
Pada Geringsing Isi ini sesuai namanya pada motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong, ukuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang) dan berfungsi hanya untuk sarana upacara, bukan untuk busana.

6) Geringsing Wayang. 
Motifnya ada dua yaitu Geringsing Wayang Kebo dan Geringsing Wayang Putri. 
Fungsi dan ukuran kedua kain ini sama yaitu untuk selendang, yang berbeda adalah motifnya. Pada Geringsing Wayang Kebo teledunya (Kalajengkingnya) bergandengan sedangkan pada Gringsing Wayang Putri lepas . Pada tenun Geringsing Wayang Kebo berisi motif wayang laki dan wanita. Sedangkan pada tenun Geringsing Wayang Putri hanya berisi motif Wayang Wanita.

7) Geringsing Batun Tuung. 
Batun Tuung artinya biji terong. Dengan demikian pada Geringsing Batun Tuung motifnya penuh dengan biji-biji terong. Ukurannya tidak besar, untuk senteng (selendang) pada wanita dan untuk sabuk (ikat pinggang) tubumuhan bagi pria. Jenis Geringsing ini sudah hampir punah.
Perlu diketahui bahwa pada semua kain Geringsing (double ikat) pasti ada “telupuhnya” (motif pinggirnya) dan juga “penekek” (bagian paling pinggir). Kadang-kadang diisi pula tambang, “tetubahan” semacam hiasan kreasi di pinggir kain sesuai selera pembuat.•