Tuesday, May 3, 2016

DENPASAR DI TAHUN 60-AN

Om Swastiastu.
Om . Sang Hyang Widhi Yang Maha Agung,
Yang Maha Sempurna.
Yang Maha Suci.
Yang Maha Bijaksana.
Yang Maha Kasih.
Yang Maha Penyayang.
Apapun yang menjadi kehendakMu, tidak ada yang mampu menghalangi, yang kuyakini dan yang kusembah setiap hari.

Saya ingin berbagi pengalaman bersama saudara yang saya cintai. Adapun pengalaman saya di jaman yang cukup lama yaitu ditahun 1960-an. Di Jaman itu kehidupan di Bali sangat sederhana sekali, alamnya masih lestari, jalan-jalan utama masih di apit oleh sawah yang membentang, pohon kelapa yang berjajar dipinggirnya, masih ada daerah yang disebut bengang.

Saya ingat pada waktu itu saya diajak oleh orang tua saya ke Denpasar singgah di rumah saudara saya di Griya Sumerta, posisi Griyanya di pinggir jalan utama menuju Gianyar dari Denpasar. Untuk mendapatkan kendaraan angkutan umum saya harus menunggu cukup lama dipinggir jalan di depan pasar umum Blahbatuh yang dulu. Setelah dapat angkutan umum berupa mobil Bus berbadan kayu, saya naik bersama orang tua saya, singkat cerita di dalam perjalanan pemandangan sangat indah sekali, sawah-sawah menguning padinya, pohon kelapa dipinggr jalan melambai-lambaikan daunnya diterpa angin, selanjutnya sampailah saya di rumah saudara saya di Denpasar.

Orang tua saya langsung masuk ke rumah disitu saya ikut, disambut dengan penuh perasaan bersaudara. Disitulah beliau-beliau bercerita entah apa ceritanya saya kurang tau, saya lalu keluar rumah duduk di bawah pohon mangga (poh golek), sambil melihat-lihat orang lalu lalang di jalan. Disitu saya dengar suara aneh menurut saya, sebab saya belum pernah dengar sebelumnya suara seperti itu. Suaranya begini; Sreeeng...!! Sreeng....!!! Sreeeng...!!!. Lalu saya tanya saudara saya yang sebaya dengan saya yang ikut duduk disamping saya; Suara apa itu? Saudara saya menjawab : Itu suara gongseng kuda. Akhirnya benar suara gongseng kuda, yang sedang menarik kereta (Dokar), sebagai angkutan kota, suara gongsengnya indah kedengaran, langkah kaki kudanya juga berirama mengikuti suara gongsengnya, penumpang dan sais (kusir) duduk dengan tenang sambil tersenyum.

Entah apa yang menyebabkan setelah saya tua seperti sekarang ingat dengan peristiwa itu, lalu saya merenung; Berarti saisnya pinter mengendalikan kudanya, dan saisnya tahu jalan dan taat terhadap rambu-rambu jalan, serta tahu tujuan penumpangnya. Demikian pula kudanya tunduk kepada segala perintah saisnya, serta keretanya (dokar) kelihatan indah dan kuat. Oleh karena itu sudah pasti penumpangnya akan sampai pada tujuannya.

Kalau hidup ini kita sejajarkan dengan sebuah perjalanan, maka bisa kita bandingkan dengan kereta (dokar) yang mengangkut penumpang dan mengantarkan sampai ke tempat tujuan. Lalu saya coba membandingkan; Keretanya adalah tubuh kita, Sais (supir) adalah pikiran kita, kuda adalah panca indra kita, penumpangnya adalah Sang Hyang Atma, jalan adalah hasil dari pengindraan kita. Bila semua unsur itu tidak terpelihara dan tidak terlatih, maka sepanjang jaman penumpangnya tidak akan sampai pada tujuannya, keretanya jadi bolak-balik, mondar-mandir tanpa tau tujuan, demikian pula hidup kita.

Maka dari itu; Pertama-tama keretanya harus di pelihara (servis) secara rutin, demikian tubuh kita harus dipelihara secara rutin baik dari sisi makannya, minumnya, kebersihannya dan kesehatannya dengan berolah raga secara rutin (yoga dan meditasi), maka tubuh akan sehat (kereta sehat dan indah), Kusirnya belajar nyetir, tahu rambu-rambu, dapat menguwasai kuda, tahu jalan dan tahu tujuan. Demikian pikiran kita harus dilatih dengan belajar kerokhanian, mengikuti olah raga yang bernuansa spiritual seperti yoga dan meditasi. Kudanyapun dilatih untuk tunduk kepada saisnya, dipelihara, jaga kesehatannya, demikian panca indra kita, juga perlu dilatih, perlu dipelihara kesehatannya, untuk dapat meyakini Tuhan dengan segala manifestasinya, mengikuti ajarannya serta mempraktekkan setiap hari dan meyakini adanya hukum karma phala, dan sebagainya

Maka fungsi panca indera di saat mengindera akan relevan dengan perintah pikiran dan dapat berjalan secara bersama di jalan yang benar menuju tujuan. Sehingga perjalanan keretanya berirama, suara gongsengnya sangat menyenangkan hati (ngulangunin), perjalanan akan lancar tujuan pasti tercapai. Demikian pula kita, badan sehat, pikiran sehat, panca indra terkendali, maka perjalanan hidup ini akan lancar menuju tujuannya. Demikian renungan saya untuk menasehati diri saya sendiri, mungkin hal ini ada gunanya bagi saudara tolong direnungkan pula.

Sampai disini dulu cerita di jaman kuno dari saya, semoga ada manfaatnya, terima kasih.

Om Santhih, Santhih, Santhih, Om.

No comments: