OM SWASTIASTU.
Para pembaca dan saudara-saudaraku yang tercinta, masihkah saudara ingat pada rubrik ini saya pernah menulis cerita ; SI BURUNG NURI yang menukar bulu sayapnya dengan cacing yang di bawa oleh si Tikus? Mudah-mudahan masih ingat.
Berkat mimpi saya yang sangat mengerikan, maka saya ingin mengulasnya lagi cerita tersebut. Sebab cerita teresebut sangat mirip dengan mimpi saya. Seiring dengan cerita tersebut saya semakin jelas rasanya menjadi kenyataan, Khususnya di di Bali yang kita sangat cintai ini. Pada suatu hari saya dimohon untuk memberi Dharma Wacana di sebuah Desa di pegunungan, umat disana akan mengadakan upacara memungkah. Desa tersebut walaupun berposisi di pegunungan namun keindahan alamnya rasanya tidak ada duanya di dunia menurut saya, maka tamu manca negara silih berganti mengunjunginya, demikian pula tamu domestik. Mereka ke sana sudah pasti menikmati keindahan alam, yang mana sawahnya berundak-undak menambah asrinya lingkungan disana. Saya sebagai orang Bali sangat kagum dan bahagia diwarisi alam yang indah seperti itu.
Namun disaat saya melintas di tempat yang indah itu, hati saya tersentak dan langsung sedih. Sebab saya ingat memberikan tugas kepada pengiring saya mencatat kalau disepanjang jalan dari Blahbatuh menuju ke Desa itu, bila ada umat yang keluar dari rumahnya berjalan di tepi jalan yang saya lalui apakah mereka sedang ke pasar atau kemana, memakai kain (mekamen, bahasa Bali). Disitulah pengiring saya menyampaikan hasil catatannya, ternyata yang keluar rumah memakai kain hanya 4 orang, yang lainnya memakai celana pendek, apakah itu anak muda, orang tua nenek-nenek, kakek-kakek semuanya bercelana pendek. Dan tidak terhitung anak gadis kita yang cantik-cantik naik motor sekarang sudah memakai celana pendek (sependek pendeknya). Perjalanan saya dari Blahbatuh kesana memakan waktu 1,5 jam pakai mobil berkecepatan rata-rata 60 km per jam.
Pada saat itulah saya ingat kembali kepada cerita saya yang pernah dimuat di media ini berjudul SI BURUNG NURI. Saya tidak menghindar apa lagi menolak kemajuan jaman dan teknologi, namun yang saya inginkan mengikuti kemajuan jaman dan kemajuan teknologi jangan sampai menghilangkan budaya sebagai identitas dan warisan leluhur yang di kagumi oleh orang-orang diseluruh dunia. Bali ini sangat terkenal dan dikenal berkat; Budaya, seni, adat istiadatnya yang dijiwai oleh tattwa agama Hindu. Dari situlah gemercingnya dolar, euro dan yen di Bali. Apa artinya Bali tanpa itu tidak ada keunikan yang bisa diandalkan.
Sawah yang menunjang kehidupan kita, kehidupan beragama Hindu (agraris), sudah hampir habis dijual di kapling-kapling, Budaya berbahasa Bali sudah hampir sirna, menurut saya bahasa Bali itu adalah bahasa yang mengadung makna yang amat dalam perlu diteliti untuk mengetahuinya. Budaya menulis Bali sudah amat langka, sedangkan tulisan Bali sarat dengan ajaran kerokhanian, Budaya sanggul (pusung) bagi Ibu-ibu sudah semakin langka, budaya berpakaian adat semakin dijauhi, budaya nonton arja, nonton wayang, nonton joged, nonton Sang Hyang dan tarian yang lainnya yang diwarisi oleh leluhur kita semakin langka. Apa lagi sekarang saya lihat adanya baju kebaya bertangan seperempat (tuklung bahasa Balinya), rasanya kurang pas di bawa ke pura, itu yang sedang digemari dan ditonjolkan. Inilah yang saya kaitkan dengan cerita burung nuri terdahulu.
Lalu siapa yang harus melestarikannya? Dari mana kita harus mulai? Kalau hal ini tidak cepat di tanggulangi, maka kehilangan budaya selain sulit untuk mengembalikan juga kehancuran kita semakin mendekat. Bila ada yang bertanya; Mengapa Pedanda berbicara soal budaya, adat dsb? Jawabannya adalah; karena agama Hindu yang kita anut dalam pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari budaya, adat dan seni sebagai medianya.
Sekian dulu tulisan ini, nanti bila diperlukan saya akan lanjutkan dengan tulisan; MENGEMBALIKAN EXISTENSI KEHIDUPAN BURUNG NURI.
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM. SUKSMA.
No comments:
Post a Comment