Nachiketas seorang anak yang patuh terhadap orang tua. Dia mempunyai kemauan keras, memiliki pengetahuan dan melaksanakan semuanya dengan penuh kesungguhan. Sang Dewa Kematian menawari kekayaan seluas bumi, kekuasaan dalam masa yang panjang serta kenikmatan bidadari yang cantik dengan alunan musik surgawi, asalkan dia tidak mempertanyakan kematian. Dan, tawaran tersebut ditolaknya.
Antara kedewasaan fisik dan kedewasaan kesadaran
Usia kesadaran sering tidak seirama dengan usia fisik. Banyak orang tua yang bertingkah seperti remaja, bahkan masih dipenuhi hasrat keserakahan di kala senja kehidupan telah datang menyapanya. Di lain pihak ada pula anak-anak yang sudah bijak sejak usia dini. Bagi yang mempercayai adanya siklus kehidupan, mereka menganggap bahwa anak-anak yang sudah bijak sejak dini telah banyak belajar dari sekian banyak kehidupan sebelumnya. Bagi yang mempercayai hidup itu hanya sepenggal garis lurus, mereka menganggap bahwa anak-anak tersebut lahir dengan genetik bawaan dari leluhur yang waskita. Dan bagi yang tidak mau pusing-pusing, mereka menganggap itu adalah karunia, rahmat Gusti yang tak perlu diperdebatkan. Bagaimana pun kejadian tersebut nyata terjadi dan semua pihak dapat menarik pembelajaran menurut pola keyakinannya.
Dengan berbagai pola pikiran yang khas pada tiap manusia, maka sebuah cerita pun bisa merupakan cerita unik tersendiri bagi setiap manusia. Orang memandang dunia dengan kacamata referensinya. Oleh karena itu dalam dunia pewayangan selalu ada pakem cerita sebagai pedoman dan ada “kembangan” atau “carangan” yang sesuai imaginasi sang dalang.
Nachiketas menganggap orang tuanya sebagai Wujud Ilahi yang memandu kehidupannya. Orang tua yang “Mencipta”, mereka yang “Memelihara”nya, dan mereka “Mendaur-ulang” pemahaman lamanya dengan pemahaman baru, mereka menjadi “Katalisator “dan “Fasilitator” dengan menyekolahkan dan meningkatkan kesadarannya. Orang tua adalah “Guru Awal” sejak kelahirannya.
Apa pun yang ada di dalam diri akan terungkap di luar diri, dan saat kesadaran dalam diri meningkat, maka kualitas pemandu di luar diri pun akan menyesuaikan. Yang di dalam diri itu siapa? Yang di luar diri itu siapa pula? Dia ada di mana-mana. Pada hakikatnya Dia lah yang memandu manusia dengan penuh kasih untuk menemukan kembali jatidirinya.
Saat Nachiketas tahu bahwa Ayahnya kurang tulus dalam melakukan persembahan, dia mengingatkannya yang menyebabkan sang ayah tanpa sadar mengeluarkan “curse”, kutukan. Bagi Nachiketas dia tetap patuh dan sanggup dikorbankan kepada Dewa Yama, Dewa Kematian.
Bertemu Sang Kematian
Alkisah Nachiketas mendatangi sendiri kediaman Dewa Yama, dan karena sang dewa sedang pergi maka dia menunggu “kematian” selama tiga hari dengan berpuasa. Sang Dewa Yama pulang ke rumah dan merasa tersanjung, ada seorang remaja sederhana, berwibawa dan penuh cahaya di wajahnya yang sengaja mencarinya demi kepatuhannya terhadap orang tuanya. Nachiketas sudah biasa puasa, sudah biasa mengendalikan diri. Saat berpuasa sebetulnya dia ber-upavasa, berdekatan dengan ilahi. Dalam buku RAHASIA ALAM ALAM RAHASIA Seni Hidup Harmonis Alami, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2003 diuraikan tentang puasa.
Bukan sekedar makanan; Tapi apa saja yang masuk ke dalam badan; Juga apa saja yang dilakukan badan;Jaga selalu keseimbangannya.
Tontonan dan bacaan masuk lewat mata; Berita tak keruan lewat telinga; Mulut sibuk ngerumpi tak berguna; Kaki tangan entah berbuat apa.Pikiranmu melayang ke mana-mana; Gejolak emosi membuatmu merana; Kau pikir kau sudah berpuasa; Padahal belum apa-apa.
Sebagai layaknya tuan rumah kedatangan Dia Yang Mewujud dalam diri tamu anak remaja, Yama menawarkan tiga hal atas kedatangan-Nya. Dan, Nachiketas yang reseptif memanfaatkan kesempatan yang telah dibuka Sang Master.
Pertama kali Nachiketas berkata: “Wahai Kematian. Mohon ayahku dikaruniai kebijakan, welas asih dan tidak marah lagi terhadap diriku!” Yama paham, bahwa dompet Nachiketas hanya berisi lembaran-lembaran kasih dan kesabaran, maka apa pun yang “dijual” kepadanya baik pujian ataupun kutukan, cacian dan sejenisnya hanya dapat “dibayar” dengan isi dompet yaitu kasih dan sabar. Yama melihat adanya sifat Kasih dan Sabar dalam diri Nachiketas, dua butir sifat terdekat dengan Keilahian. Kasih adalah jalan raya menuju dunia, sedangkan Sabar adalah pintu untuk memasuki Tuhan. Dari Tuhan dengan penuh kasih dan kembali ke Tuhan dengan penuh kesabaran. Dan, Sang Kematian pun menyanggupi permintaanya.
Nachiketas melanjutkan: “Wahai Kematian, permintaanku yang kedua, tolong dijelaskan padaku unsur api yang biasanya digunakan mereka yang menginginkan surga melalui persembahan agni!”
Bila orang awam mohon masuk surga dengan melakukan ritual tertentu, maka Nachiketas ingin tahu hakikat persembahan itu bagaimana? Nachiketas adalah seorang murid yang jujur terhadap Gurunya tentang hal yang tidak diketahuinya. Pertanyaan yang polos tersebut bukan hanya bermanfaat bagi dirinya, akan tetapi juga bermafaat bagi seluruh umat manusia. Banyak murid yang bertanya kepada Guru di depan khalayak dengan pertanyaan yang cerdas yang menunjukkan kepiawaiannya, dalam hal ini dia ingin menunjukkan kehebatannya di depan murid lainnya, sesuatu yang tidak polos lagi. Sebuah pertanyaan yang mengandung keangkuhan.
Dewa Kematian mengungkapkan rahasia alam. Ada yang memuja api dan menginginkan pahala. Api adalah unsur penunjang alam, dan dia juga terletak di relung sanubari manusia sebagai buddhi. Bukan ritualnya yang penting, tetapi penghayatan akan makna dari sebuah persembahan.
Ribuan tahun setelah cerita tentang Nachiketas disampaikan dari mulut ke mulut, dan akhirnya ditulis dalam Kathopanishad, Kitab Bhagavad Gita menyampaikan bahwa dalam setiap tradisi, setiap agama, kita mengenal konsep pengorbanan atau sesajian. Apa yang terjadi? Sebenarnya yang kita persembahkan itu juga kita dapatkan dari alam dan kita mempersembahkan kembali ke alam. Kita mengorbankan sapi atau kambing dan dagingnya kita makan kembali. Kita mempersembahkan sesajian dan sesajiaan itu selanjutnya kita makan atau ceburkan dalam laut, dan menjadi makanan bagi ikan-ikan. Sisa-sisa makanan pun menjadi santapan bagi hewan-hewan kecil dalam tanah.
Dalam Narada Bhakti Sutra juga dijelaskan bahwa bukan hanya pemujaan dan ritual-ritual keagamaan, tetapi setiap kegiatan, adalah persembahan. Makan dan minum pun menjadi persembahan – yang dipersembahkan kepada badan, di mana Dia bersemayam. Profesi dan usaha apa saja bisa menjadi persembahan. Dengan membela pihak yang benar, seorang pengacara bisa mendekatkan diri dengan Kebenaran. Dan Kebenaran itulah Kasih. Kasih itulah Tuhan. Melayani sesama manusia tanpa pilih kasih, seorang dokter bisa menjadi seorang pengabdi–Nya, mengabdi demi kasih, karena kasih, untuk kasih. Menjalankan usaha dengan jujur, seorang pengusaha tak akan menjadi serakah, karena dia tak akan tega melihat kemiskinan dan kemelaratan di mana-mana, sementara tabungannya bertambah terus. Demikian dia akan belajar membagi. To care for others, to share with others..... Dan sharing serta caring itulah kasih.
Pertanyaan tentang hakikat kematian
Menanggapi permintaan ketiga Nachiketas tentang hakikat kematian, Dewa Yama berkata, “Ambillah olehmu, anak keturunan yang dapat berusia ratusan tahun, dan atau ternak, gajah, emas, dan kuda-kuda dalam jumlah yang tak terbatas. Ambillah harta benda seluas bumi ini, dan hiduplah sepanjang masa yang kau kehendaki, tetapi jangan menanyakan perihal kematian!” Dan, Nachiketas tetap diam tak terpengaruh.
Yama melanjutkan, “Adalagi yang dapat kau pilih yang tidak kalah dari anugerah sebelumnya, kiranya pantas dan layak untukmu kekayaan dan usia yang panjang ; sebagai raja diatas bumi yang luas ini, Nachiketas, aku akan membuatmu menikmati seluruh hasrat-hasratmu!” Dan, Nachiketas paham bahwa tawaran pertama tentang harta dan tawaran kedua tentang tahta tidak dapat membebaskan dirinya dari kematian.
Kembali Yama melanjutkan, “Apapun yang sulit dicapai didunia yang serba fana ini, dapat kau minta sesuai dengan kehendakmu. Bagaimana kalau kuberikan bidadari-bidadari nan cantik jelita lengkap dengan perangkat musik sorgawi dan kereta-kereta kencana yang tidak mungkin dapat dinikmati oleh manusia, ambillah mereka, wahai Nachiketas! Tetapi jangan kau bertanya tentang keadaan jiwa seseorang yang telah meninggal dunia!” Dan, Nachiketas dengan halus menolaknya.
Dan Sang Kematian menjelaskan hakikat kematian kepada Nachiketas........................
Antara kedewasaan fisik dan kedewasaan kesadaran
Usia kesadaran sering tidak seirama dengan usia fisik. Banyak orang tua yang bertingkah seperti remaja, bahkan masih dipenuhi hasrat keserakahan di kala senja kehidupan telah datang menyapanya. Di lain pihak ada pula anak-anak yang sudah bijak sejak usia dini. Bagi yang mempercayai adanya siklus kehidupan, mereka menganggap bahwa anak-anak yang sudah bijak sejak dini telah banyak belajar dari sekian banyak kehidupan sebelumnya. Bagi yang mempercayai hidup itu hanya sepenggal garis lurus, mereka menganggap bahwa anak-anak tersebut lahir dengan genetik bawaan dari leluhur yang waskita. Dan bagi yang tidak mau pusing-pusing, mereka menganggap itu adalah karunia, rahmat Gusti yang tak perlu diperdebatkan. Bagaimana pun kejadian tersebut nyata terjadi dan semua pihak dapat menarik pembelajaran menurut pola keyakinannya.
Dengan berbagai pola pikiran yang khas pada tiap manusia, maka sebuah cerita pun bisa merupakan cerita unik tersendiri bagi setiap manusia. Orang memandang dunia dengan kacamata referensinya. Oleh karena itu dalam dunia pewayangan selalu ada pakem cerita sebagai pedoman dan ada “kembangan” atau “carangan” yang sesuai imaginasi sang dalang.
Nachiketas menganggap orang tuanya sebagai Wujud Ilahi yang memandu kehidupannya. Orang tua yang “Mencipta”, mereka yang “Memelihara”nya, dan mereka “Mendaur-ulang” pemahaman lamanya dengan pemahaman baru, mereka menjadi “Katalisator “dan “Fasilitator” dengan menyekolahkan dan meningkatkan kesadarannya. Orang tua adalah “Guru Awal” sejak kelahirannya.
Apa pun yang ada di dalam diri akan terungkap di luar diri, dan saat kesadaran dalam diri meningkat, maka kualitas pemandu di luar diri pun akan menyesuaikan. Yang di dalam diri itu siapa? Yang di luar diri itu siapa pula? Dia ada di mana-mana. Pada hakikatnya Dia lah yang memandu manusia dengan penuh kasih untuk menemukan kembali jatidirinya.
Saat Nachiketas tahu bahwa Ayahnya kurang tulus dalam melakukan persembahan, dia mengingatkannya yang menyebabkan sang ayah tanpa sadar mengeluarkan “curse”, kutukan. Bagi Nachiketas dia tetap patuh dan sanggup dikorbankan kepada Dewa Yama, Dewa Kematian.
Bertemu Sang Kematian
Alkisah Nachiketas mendatangi sendiri kediaman Dewa Yama, dan karena sang dewa sedang pergi maka dia menunggu “kematian” selama tiga hari dengan berpuasa. Sang Dewa Yama pulang ke rumah dan merasa tersanjung, ada seorang remaja sederhana, berwibawa dan penuh cahaya di wajahnya yang sengaja mencarinya demi kepatuhannya terhadap orang tuanya. Nachiketas sudah biasa puasa, sudah biasa mengendalikan diri. Saat berpuasa sebetulnya dia ber-upavasa, berdekatan dengan ilahi. Dalam buku RAHASIA ALAM ALAM RAHASIA Seni Hidup Harmonis Alami, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2003 diuraikan tentang puasa.
Bukan sekedar makanan; Tapi apa saja yang masuk ke dalam badan; Juga apa saja yang dilakukan badan;Jaga selalu keseimbangannya.
Tontonan dan bacaan masuk lewat mata; Berita tak keruan lewat telinga; Mulut sibuk ngerumpi tak berguna; Kaki tangan entah berbuat apa.Pikiranmu melayang ke mana-mana; Gejolak emosi membuatmu merana; Kau pikir kau sudah berpuasa; Padahal belum apa-apa.
Sebagai layaknya tuan rumah kedatangan Dia Yang Mewujud dalam diri tamu anak remaja, Yama menawarkan tiga hal atas kedatangan-Nya. Dan, Nachiketas yang reseptif memanfaatkan kesempatan yang telah dibuka Sang Master.
Pertama kali Nachiketas berkata: “Wahai Kematian. Mohon ayahku dikaruniai kebijakan, welas asih dan tidak marah lagi terhadap diriku!” Yama paham, bahwa dompet Nachiketas hanya berisi lembaran-lembaran kasih dan kesabaran, maka apa pun yang “dijual” kepadanya baik pujian ataupun kutukan, cacian dan sejenisnya hanya dapat “dibayar” dengan isi dompet yaitu kasih dan sabar. Yama melihat adanya sifat Kasih dan Sabar dalam diri Nachiketas, dua butir sifat terdekat dengan Keilahian. Kasih adalah jalan raya menuju dunia, sedangkan Sabar adalah pintu untuk memasuki Tuhan. Dari Tuhan dengan penuh kasih dan kembali ke Tuhan dengan penuh kesabaran. Dan, Sang Kematian pun menyanggupi permintaanya.
Nachiketas melanjutkan: “Wahai Kematian, permintaanku yang kedua, tolong dijelaskan padaku unsur api yang biasanya digunakan mereka yang menginginkan surga melalui persembahan agni!”
Bila orang awam mohon masuk surga dengan melakukan ritual tertentu, maka Nachiketas ingin tahu hakikat persembahan itu bagaimana? Nachiketas adalah seorang murid yang jujur terhadap Gurunya tentang hal yang tidak diketahuinya. Pertanyaan yang polos tersebut bukan hanya bermanfaat bagi dirinya, akan tetapi juga bermafaat bagi seluruh umat manusia. Banyak murid yang bertanya kepada Guru di depan khalayak dengan pertanyaan yang cerdas yang menunjukkan kepiawaiannya, dalam hal ini dia ingin menunjukkan kehebatannya di depan murid lainnya, sesuatu yang tidak polos lagi. Sebuah pertanyaan yang mengandung keangkuhan.
Dewa Kematian mengungkapkan rahasia alam. Ada yang memuja api dan menginginkan pahala. Api adalah unsur penunjang alam, dan dia juga terletak di relung sanubari manusia sebagai buddhi. Bukan ritualnya yang penting, tetapi penghayatan akan makna dari sebuah persembahan.
Ribuan tahun setelah cerita tentang Nachiketas disampaikan dari mulut ke mulut, dan akhirnya ditulis dalam Kathopanishad, Kitab Bhagavad Gita menyampaikan bahwa dalam setiap tradisi, setiap agama, kita mengenal konsep pengorbanan atau sesajian. Apa yang terjadi? Sebenarnya yang kita persembahkan itu juga kita dapatkan dari alam dan kita mempersembahkan kembali ke alam. Kita mengorbankan sapi atau kambing dan dagingnya kita makan kembali. Kita mempersembahkan sesajian dan sesajiaan itu selanjutnya kita makan atau ceburkan dalam laut, dan menjadi makanan bagi ikan-ikan. Sisa-sisa makanan pun menjadi santapan bagi hewan-hewan kecil dalam tanah.
Dalam Narada Bhakti Sutra juga dijelaskan bahwa bukan hanya pemujaan dan ritual-ritual keagamaan, tetapi setiap kegiatan, adalah persembahan. Makan dan minum pun menjadi persembahan – yang dipersembahkan kepada badan, di mana Dia bersemayam. Profesi dan usaha apa saja bisa menjadi persembahan. Dengan membela pihak yang benar, seorang pengacara bisa mendekatkan diri dengan Kebenaran. Dan Kebenaran itulah Kasih. Kasih itulah Tuhan. Melayani sesama manusia tanpa pilih kasih, seorang dokter bisa menjadi seorang pengabdi–Nya, mengabdi demi kasih, karena kasih, untuk kasih. Menjalankan usaha dengan jujur, seorang pengusaha tak akan menjadi serakah, karena dia tak akan tega melihat kemiskinan dan kemelaratan di mana-mana, sementara tabungannya bertambah terus. Demikian dia akan belajar membagi. To care for others, to share with others..... Dan sharing serta caring itulah kasih.
Pertanyaan tentang hakikat kematian
Menanggapi permintaan ketiga Nachiketas tentang hakikat kematian, Dewa Yama berkata, “Ambillah olehmu, anak keturunan yang dapat berusia ratusan tahun, dan atau ternak, gajah, emas, dan kuda-kuda dalam jumlah yang tak terbatas. Ambillah harta benda seluas bumi ini, dan hiduplah sepanjang masa yang kau kehendaki, tetapi jangan menanyakan perihal kematian!” Dan, Nachiketas tetap diam tak terpengaruh.
Yama melanjutkan, “Adalagi yang dapat kau pilih yang tidak kalah dari anugerah sebelumnya, kiranya pantas dan layak untukmu kekayaan dan usia yang panjang ; sebagai raja diatas bumi yang luas ini, Nachiketas, aku akan membuatmu menikmati seluruh hasrat-hasratmu!” Dan, Nachiketas paham bahwa tawaran pertama tentang harta dan tawaran kedua tentang tahta tidak dapat membebaskan dirinya dari kematian.
Kembali Yama melanjutkan, “Apapun yang sulit dicapai didunia yang serba fana ini, dapat kau minta sesuai dengan kehendakmu. Bagaimana kalau kuberikan bidadari-bidadari nan cantik jelita lengkap dengan perangkat musik sorgawi dan kereta-kereta kencana yang tidak mungkin dapat dinikmati oleh manusia, ambillah mereka, wahai Nachiketas! Tetapi jangan kau bertanya tentang keadaan jiwa seseorang yang telah meninggal dunia!” Dan, Nachiketas dengan halus menolaknya.
Dan Sang Kematian menjelaskan hakikat kematian kepada Nachiketas........................
Kematian
Sejak Yama menjelaskan kematian kepada Nachiketas, sedikit sekali Guru yang dapat menjelaskan perihal kematian. Dalam buku KEMATIAN, Panduan untuk menghadapinya dengan senyuman, Anand Krishna, GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, 2002 diuraikan: "Kematian tidak bisa dihindari. Tidak seorangpun bisa menghindarinya. Oleh karena itu, proses kematian harus dipahami, sehingga kita bisa menghadapinya tanpa rasa takut."
Ketika masih memiliki badan, kau menyia-nyiakannya untuk mengejar hal-hal yang serba semu. Kau tidak pernah mempersiapkan dirimu untuk sesuatu yang pasti terjadi, yaitu maut. Apabila kau hidup dalam ketidaksadaran, kau akan mati dalam ketidaksadaran pula. Lalu sia-sialah satu masa kehidupan. Kau memasuki lingkaran kelahiran dan kematian lagi.
Diantara sekian banyak ketidakpastian dalam hidup ini, mungkin hanya kematian yang merupakan satu-satunya kepastian. Aneh selama ini kita sibuk mengejar ketidakpastian. Dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang sudah pasti. Sesungguhnya, mempersiapkan masyarakat untuk menerima kematian adalah tugas agama dan praktisi keagamaan. Tugas ini sudah lama terlupakan, karena para praktisi keagamaan tidak sepenuhnya memahami proses kematian. Lalu penjelasan apa yang dapat mereka berikan? Tidak ada yang memperhatikan perkembangan diri manusia. Perkembangan rasa dalam diri manusia tidak diperhatikan sama sekali. Itu sebabnya, hidup kita masih kering, keras dan kaku. Tidak ada kelembamannya, tidak ada kelembutannya.
Agama bagaikan jalan-jalan menuju spiritualitas. Jalan menuju perkembangan batin. Sekarang agama dijadikan tujuan. Lalu kita sibuk mencocok-cocokkan yang satu dengan yang lain. Tentu saja tidak akan ketemu. Setiap jalan mempunyai rute sendiri, kekhasan sendiri. Pengalaman yang diperoleh dalam perjalanan pun akan selalu berbeda. Bekal kita adalah pengalaman-pengalaman yang berbeda yang kita peroleh dalam perjalanan. Kalau mau dicocok-cocokkan , ya pasti ribut melulu. Pengalaman perjalanan Kanjeng Nabi Muhammad berbeda dengan pengalaman Gusti Yesus. Pengalaman perjalanan Yang Mulia Buddha berbeda dengan pengalaman perjalanan Sri Krishna. Yang tidak berbeda adalah hasil akhirnya, tujuannya. Pengalaman akhir mereka tidak berbeda.
Pengalaman akhir setiap Nabi, setiap Mesias, setiap Buddha dan setiap Avatar, adalah apa yang terjadi pada saat kematian mereka. Peradaban yang masih sibuk dengan urusan perut dan politik tidak pernah memperhatikan pengalaman akhir. Mereka masih sibuk mempelajari pengalaman perjalanan para Nabi mereka, para Mesias mereka, para Avatar mereka, para Buddha mereka. Mereka yang sudah selesai dengan urusan perut, yang sudah muak dengan dunia politik, mulai mendalami hal-hal yang lenih esensial.
Terima Kasih Guru. Semua berkat rahmat Guru.
Jay Gurudev!
Ketika masih memiliki badan, kau menyia-nyiakannya untuk mengejar hal-hal yang serba semu. Kau tidak pernah mempersiapkan dirimu untuk sesuatu yang pasti terjadi, yaitu maut. Apabila kau hidup dalam ketidaksadaran, kau akan mati dalam ketidaksadaran pula. Lalu sia-sialah satu masa kehidupan. Kau memasuki lingkaran kelahiran dan kematian lagi.
Diantara sekian banyak ketidakpastian dalam hidup ini, mungkin hanya kematian yang merupakan satu-satunya kepastian. Aneh selama ini kita sibuk mengejar ketidakpastian. Dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang sudah pasti. Sesungguhnya, mempersiapkan masyarakat untuk menerima kematian adalah tugas agama dan praktisi keagamaan. Tugas ini sudah lama terlupakan, karena para praktisi keagamaan tidak sepenuhnya memahami proses kematian. Lalu penjelasan apa yang dapat mereka berikan? Tidak ada yang memperhatikan perkembangan diri manusia. Perkembangan rasa dalam diri manusia tidak diperhatikan sama sekali. Itu sebabnya, hidup kita masih kering, keras dan kaku. Tidak ada kelembamannya, tidak ada kelembutannya.
Agama bagaikan jalan-jalan menuju spiritualitas. Jalan menuju perkembangan batin. Sekarang agama dijadikan tujuan. Lalu kita sibuk mencocok-cocokkan yang satu dengan yang lain. Tentu saja tidak akan ketemu. Setiap jalan mempunyai rute sendiri, kekhasan sendiri. Pengalaman yang diperoleh dalam perjalanan pun akan selalu berbeda. Bekal kita adalah pengalaman-pengalaman yang berbeda yang kita peroleh dalam perjalanan. Kalau mau dicocok-cocokkan , ya pasti ribut melulu. Pengalaman perjalanan Kanjeng Nabi Muhammad berbeda dengan pengalaman Gusti Yesus. Pengalaman perjalanan Yang Mulia Buddha berbeda dengan pengalaman perjalanan Sri Krishna. Yang tidak berbeda adalah hasil akhirnya, tujuannya. Pengalaman akhir mereka tidak berbeda.
Pengalaman akhir setiap Nabi, setiap Mesias, setiap Buddha dan setiap Avatar, adalah apa yang terjadi pada saat kematian mereka. Peradaban yang masih sibuk dengan urusan perut dan politik tidak pernah memperhatikan pengalaman akhir. Mereka masih sibuk mempelajari pengalaman perjalanan para Nabi mereka, para Mesias mereka, para Avatar mereka, para Buddha mereka. Mereka yang sudah selesai dengan urusan perut, yang sudah muak dengan dunia politik, mulai mendalami hal-hal yang lenih esensial.
Terima Kasih Guru. Semua berkat rahmat Guru.
Jay Gurudev!
No comments:
Post a Comment