Anand Krishna - Radar Bali, Senin 3 Maret 2008
"Rasa" dalam diri manusia adalah detektor kesehatan yang paling canggih. "Rasa Tidak Enak" atau "Tidak Nyaman" adalah indikator awal tentang terganggunya kesehatan. Namun, kita sering mengabaikannya. Kita tidak menggubrisnya.... Hingga suatu ketika "rasa tidak nyaman" atau "tidak enak" itu berkembang menjadi "Penyakit Ringan". Dan, sesungguhnya Penyakit Ringan itu pun masih bisa disembuhkan. Sekalipun tanpa bantuan dari seorang dokter, hanya dengan merubah pola makan dan sebagainya.
Namun, kita tetap juga mengabaikan Peringatan Alam.... Maka, penyakit ringan menjadi parah. Saat itu, kita baru mencari dokter. Kemudian, tergantung pada betapa parahnya penyakit kita - ada kalanya kita masih bisa sembuh, masih bisa ditolong. Ada kalanya kita sudah tidak tertolong lagi.
Premanisme adalah Penyakit yang sejak lama sudah merong-rong kesehatan Bali. Awalnya ia muncul sebagai setitik noda pada wajah Bali yang sangat cantik. Setitik noda itu tidak terlihat, tidak terdeteksi, bahkan tertutup oleh Kecantikan Bali.
Kemudian, titik itu mulai membesar. Seandainya saat itu pun kita mengurusi titik yang membesar itu, barangkali kondisi kita tidak separah hari ini. Sayangnya, saat itu kita malah memolesi titik noda itu dengan lapisan bedak yang tebal. Kita tidak mencari tahu bila titik noda itu hanyalah sekedar noda, atau indikasi awal bagi penyakit lain. Barangkali Kanker Kulit.
Maka, terjadilah reaksi kimiawi antara kimia di dalam bedak dan krem yang kita gunakan dengan kulit kita. Hasilnya sangat, sangat merugikan kita sendiri. Satu titik menjelma menjadi dua titik, dua menjadi dua puluh - hingga seluruh kulit wajah tertutup oleh noda. Kecantikan yang selama ini menjadi penawar bagi noda, bahkan mampu menutupinya - sekarang sirna. Tak tersisa lagi apa pun dari kecantikan awal itu.
Kecantikan Bali selama ini mampu menutupi noda premanisme pada wajahnya. Karena, selama ini baru setitik atau dua titik noda saja. Tetapi, sekarang sudah tidak seperti itu. Noda-noda premanisme kian hari bertambah. Wajah cantik Bali sudah hampir seluruhnya tertutup oleh noda-noda premanisme.
Apa yang mesti kita lakukan?
Memolesi wajah Bali dengan bedak yang mengandung bahan kimia dan hanya dapat membantu untuk sesaat saja - kemudian malah merusak wajah?
Menutup-nutupi berita tentang premanisme karena takut, atau karena para preman itu dilindungi oleh orang-orang penting, atau karena mereka berafiliasi dengan partai politik tertentu - adalah upaya-upaya untuk membedaki wajah Bali.
Sayangnya, selama ini upaya-upaya seperti inilah yang kita tempuh.... Berulang kali saya menggunakan media ini, juga media lain untuk membangkitkan "Kepedulian Bali" terhadap wajahnya - namun, tidak seorang pun menanggapinya.
Saya pernah bercerita tentang pemilik Kafe di daerah perumahan yang tidak peduli bila suara keras dan penuh kekerasan dari kafenya membuat orang lain susah tidur. Ketika ditegur secara sopan, dia malah naik pitam: "Tidak tahu kalian, saya ini siapa...." Kemudian ia menyebut nama besar sebuah gerombolan preman di Bali, "Tahu, saya dilindungi mereka...." bahkan, dengan lancang ia pun menegaskan bahwa dirinya tak tersentuh oleh pihak berwajib sekalipun. Mau bilang apa?
Orang-orang lain yang tinggal di daerah itu membisu, bungkam, tidak berani bersuara. Semuanya takut.
Padahal, si pemilik kafe itu hanya perlu "membangun" secara legal. Pembangunannya jelas tidak legal, saya tidak yakin bila dia mengantongi IMB. Tidak ada dinding yang cukup tinggi untuk meredam suara-suara gila yang berasal dari kafenya. Ketika diminta untuk meninggikan dindingnya, ia tambah berang, "Saya tidak mau mengeluarkan uang itu.... Ini tanah kontrakan..." Padahal, ia mengontraknya dari pamannya sendiri. Dan, sang paman yang punya nama pun sesungguhnya tahu persis bila keponakannya berbisnis apa.
Mau cari uang, mau beli mobil mewah yang harganya di atas satu milyard... Tapi tidak mau membiayai sedikit usahanya yang sudah jelas menguntungkan itu. Mau hidup senang sendiri - penderitaan warga sekampung tidak menjadi soal.
Kenapa mereka begitu arogan? Kenapa mereka masih bisa hidup tenang, seolah tanpa beban pada jiwa mereka? Karena, ada lembaga, ada institusi yang menjamin bahwa dosa-dosa mereka dapat dihapuskan dengan cara-cara tertentu.
Bila kita ingin menghapus Noda Premanisme dari wajah Bali, bila kita memang serius tentang hal ini - maka uapaya dari Pihak Kepolisian saja TIDAK CUKUP. Seluruh masyarakat Bali harus bersama-sama menolak Premanisme dengan satu suara yang bulat. Bukan saja preman-preman yang selama ini kita anggap adalah "pendatang" - tetapi juga preman-preman yang secara jelas menggunakan identitas Bali dan bersembunyi di balik jargon-jargon Bali - mesti ditindak secara tegas dan terbuka.
Pertama: Kita mesti tahu bahwa preman-preman ini ada karena ada yang membiayai mereka. Siapa yang membiayai mereka? Kafe-kafe liar... tempat-tempat perjudian.... warung-warung remang..... Mereka ini yang semestinya ditindak terlebih dahulu. Kucuran dana dari mereka harus berhenti dan segera.... sebelum terlambat, dan wajah Bali menjadi lebih rusak.
Kedua: Bisnis-bisnis legal yang juga selama ini tergantung pada keamanan oleh para preman - mesti memperoleh rasa aman yang sama dari pihak berwajib. Kepolisian semestinya bisa mengamankan mereka, supaya mereka tidak membutuhkan keamanan dari para preman.
Lalu, bagaimana dengan kafe-kafe liar yang mesti segera ditindak itu? Pemilik kafe yang saya kutip diatas pernah mengancam: "Kalau bubar, semuanya bubar.... Ayo bakar-bakaran sekaligus...." Inilah Bali..... INIKAH BALI?
Tegakah kita melihat Bunda Bali diculik oleh orang-orang seperti dia yang hanya dapat bicara dalam bahasa kekerasan?
Mereka selama ini telah mengambil keuntungan yang tidak wajar atas penderitaan orang lain. Berhakkah mereka mengendari mobil mewah yang mereka peroleh dari keuntungan yang tidak wajar? Berhakkah mereka hidup dalam rumah mewah yang mereka beli dari hasil kekerasan?
Di atas segalanya, berhakkah mereka memperoleh "blessing", restu atau apa pun sebutannya, dari institusi-institusi yang semestinya menegur mereka dan mengembalikan mereka pada jalur yang benar?
Para preman ini sudah saatnya mencari uang, mencari nafkah dengan mengucurkan keringat. Mereka tidak boleh tidur sepanjang hari dan mabuk-mabukkan sepanjang malam sambil mencaci-maki orang yang mau tidur di malam hari.
Ketiga: Para politisi yang menggunakan jasa para preman untuk kampanye - mesti dijatuhkan sanksi oleh Komisi Pemilihan Umum - sehingga tidak ada lagi bisnis sewa preman demi urusan politik.
Bila Bali tidak segera bertindak menyelesaikan perkara premanisme ini - maka akan datang satu masa dimana para turis pun akan merasa tidak aman tinggal di Bali. Kemudian, kita tinggal membayangkan keadaan Bali tanpa turis. Preman-preman yang telah kita biayai selama ini, telah kita besarkan selama ini, akan menjadi monster dan menelan kita sendiri.
* Aktivis Spiritual
No comments:
Post a Comment