Sunday, September 28, 2008

Manusia Berulah, Hewan Jadi Korban

Artikel ini saya dapat dari seorang teman, baik untuk menjadi renungan.

Pada November dan awal Desember 2005, di Bali berlangsung beberapa kali upacara pakelem di danau. Hebatnya lagi, ada pakelem mempergunakan kerbau bertanduk emas. Tujuan upacara ini konon untuk mohon supaya air danau normal kembali setelah terjadi penurunan debit. Dan hewan pun dijadikan kurban (untuk upacara caru maupun tawur).

Saya jadi bingung sendiri, kenapa hewan dijadikan kurban caru, apa dasarnya? Padahal air danau surut tentu disebabkan berbagai faktor. Satu di antaranya adalah ulah manusia yang merusak hutan di sekitar danau. Kesalahan manusia itu kemudian berimplikasi pada penurunan air danau.

Anehnya, kenapa justru manusia mengorbankan banteng bertanduk emas segala sebagai kurban?

Artinya, kesalahan manusia kenapa justru hewan atau binatang yang mesti menanggung akibat, dijadikan kurban?

Katanya hewan-hewan itu senang, tapi bukankah itu simpulan pikiran manusia sendiri tanpa bertanya langsung kepada binatang yang dikorbankan?

Apakah benar hewan-hewan itu senang?

Bukankah ini membikin manusia tidak jujur, tidak fair untuk bertanggung jawab atas segala perbuatannya?

La, salah manusia sendiri kok malah mahluk lain dikorbankan?

Kenapa bukan manusia sendiri memilih dirinya jadi korban?

Bagaimana dengan ajaran ahimsa sebagai basis ajaran Hindu, sebagaimana diajarkan lewat yama maupun niyama brata?

Mohon penjelasan.
Ananda Dwipa, Denpasar

Jawab:
Dalam ber-yajnya sebaiknya kita tidak asal-asalan, sehingga yajnya kita bisa sebagai yajnya yang satwika. Untuk itu setiap ber-yajnya kita harus berpedoman pada kitab-kitab Weda yang mengatur tentang yajnya. Begitu pula upacara di Bali, selalu berpedoman pada lontar-lontar dan pelutuk-pelutuk yang ada, yang disurat oleh para wiku di Bali yang disesuaikan dengan kondisi Bali.

Inilah dasar pelaksanaan yajnya tersebut (perihal ini bisa dilihat kembali SARAD edisi-edisi sebelumnya). Memang salah satu penyebab terjadinya bencana adalah karena ulah manusia. Jadi sangat bijaksanalah kita sebagai umat Hindu untuk tetap menjaga lingkungan (alam) kita agar terjadi keseimbangan sehingga dapat mengurangi dampak bencana alam yang mungkin terjadi. Tetapi selain manusia sebagai salah satu penyebab bencana, ada penyebab-penyebab lain di luar manusia dan di luar nalar manusia, yang sering disebut kekuatan alam. Kekuatan-kekuatan alam inilah dalam ajaran Hindu perlu diharmoniskan dengan yajnya.

Disebutkan dalam kitab-kitab Hindu bahwa makluk hidup karena tanaman; tanaman tumbuh karena hujan, dan hujan turun karena yajnya. Jadi, yajnya merupakan kewajiban setiap umat untuk melakukannya tentu disesuaikan dengan kemampuan. Kita bisa merujuk ke dalam Weda, dalam Raja Vidya Raja Guhyam Yoga. Atau kita merujuk ke dalam kitab Siwa Purana. Di sini diceritakan tentang yajnya Raja Suya yang dilakukan di Alam Surga yang dilaksanakan oleh para Dewa dan para Rsi Langit. Dalam purana ini diceritakan perdebatan yang sengit antara Dewa Indra dengan Rsi Narada tentang isi yajnya tersebut menggunakan korban (sacrifice), sedangkan para rsi hanya menginginkan persembahan (offering) saja tanpa korban.

Pada saat puncak perdebatan munculah Dewa Siwa sebagai Istadewa yang akan dipuja pada Dewa Suya itu. Dewa Siwa memberikan penjelasan sebagai berikut: bahwa para dewa benar, melakukan yajnya dengan melakukan korban karena mereka berjalan di jalan karma yoga. Namun para rsi pun benar melakukan yajnya tanpa korban karena para rsi melakukan kewajibannya/dharmanya dengan jnana yoga. Di sini sengaja saya tidak menyimpulkan isi cerita tersebut karena cerita itu sangat jelas memberikan gambaran vanasrama dan caturyoga dharma bagi kita masing-masing, sehingga kita tidak saling menyalahkan.

“Lakukan dharmamu sendiri walaupun tidak sempurna daripada melakukan dharma orang lain dengan sempurna; sangat berbahaya melakukan dharma orang lain,” begitu disuratkan dalam Bhagawadgita.

Taken from saradbali.com

No comments: