OM SWASTIASTU
Masyarakat Hindu khususnya yang berada di Bali, hampir setiap hari disibukkan oleh kegiatan upacara agama, dengan kata lain bisa disebut; Tiada hari tanpa upacara. Makanya banyak mengundang pertanyaan dari berbagai pihak. Ada yang bertanya karena memang ingin tahu, ada yang bertanya bernada sinis, dan lain sebagainya. Terlepas dari semuanya itu, apakah ada manfaat upacara dilihat dari kehidupan bermasyarakat? Inilah yang perlu direnungkan. Saya sangat setuju bila kita dapat mengangkat pengaruh nilai-nilai positif dari aktivitas upacara dalam kehidupan kita, lebih-lebih di dalam kita memasuki zaman global yang tidak bisa dihindari. Saya kira itu pasti ada, hanya saja belum ada yang dapat mengangkat atau menggalinya, sehingga kegiatan upacara agama banyak mendapat kritik-kritik yang bisa berakibat melemahnya semangat untuk melaksanakan upacara agama.
Jika hal itu benar-benar terjadi, apa jadinya agama kita? Sebab agama Hindu terdiri dari tiga kerangka dasar yaitu;
• Tattwa (Filosofi)
• Susila (Etika)
• Upacara (Ritual)
Ketiga kerangka dasar ini harus dijalankan secara serasi seimbang dan harmonis. Kalau satu tidak ada berarti kesemuanya tidak jalan. Untuk selalu terjaga keseimbangan ketiga kerangka tersebut, kita harus memahami melalui tatacara seperti ini;
MELALUI PELAKSANAAN UPACARA KITA MENDALAMI TATTWA DAN MENERAPKAN SUSILA.
Nah sekarang saya akan kembali ke masalah pokok dari renungan saya tadi, mengenai dampak pelaksanaan upacara agama terhadap kehidupan bermasyarakat. Para perumus ajaran veda di jaman dahulu, pasti sudah berpikir agar pelaksanaan ajaran veda di manapun dan kapanpun itu dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Jika tidak seperti itu, tidak akan mungkin masih dianut oleh umat manusia sampai zaman sekarang dari zaman 5 ribu tahun sebelum masehi. Dan perlu juga diketahui bahwa agama Hindu yang kita anut sekarang (agama Hindu seperti di Bali), menurut cerita beberapa tokoh agama terkemuka, itu masih asli artinya belum pernah mengalami perubahan atau pergeseran. Pernah juga saya dengar kata-kata bahwa, untuk belajar agama Hindu yang utuh belajarlah di Bali. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi mengutak-atiknya, karena dampak positifnya telah kita rasakan bersama.
Melalui pelaksanaan upacara agama diterapkan pendidikan kepada masyarakat agar selalu berkreatvitas dan berproduktifitas secara berkesinambungan. Maka dari itulah, kita dapat melihat setiap acara upacara agama dilaksanakan, kreasi-kreasi baru berkembang dengan pesat, dan ikut memberikan rasa bangga dan rasa bahagia, karena kreasi yang dikembangkan tidak lepas dari lingkaran tattwa dan susila, bahkan sebaliknya dapat memantapkan rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi Beliaupun tidak merasa percuma memberikan umat manusia kelebihan berpikir dibandingkan makhluk lain ciptaanNya, karena kita mampu memanfaatkan pikiran secara positif.
Demikian pula halnya terhadap pelaksanaan upacara agama dapat memberikan pendidikan untuk menciptakan masyarakat produktif. Orang-orang Hindu di Bali terkenal dengan masyarakat yang sangat produktif. Pernah suatu ketika saya di mohon untuk muput yadnya di rumah asal ibu saya, yaitu di daerah Kendran masih wilayah kecamatan Tegalalang. Dalam perjalanan menuju Kendran lewat Desa Pliatan ke utara, dipinggir jalan raya banyak sekali toko-toko yang menjual hasil kerajinan tangan (barang seni). Di situ saya sempat kaget melihat ada patung itik (bebek) yang menurut saya teramat seni, dan bahannya adalah dari pangkal bambu yang masih ada akaranya. Pada hal kesehariannya pangkal bambu seperti itu luput dari perhatian, selain digunakan sebagai kayu bakar. Apalagi di zaman sekarang kayu bakar semakin kurang dapat pasaran yang disebabkan maraknya penggunaan kompor berbagai macam jenis yang dianggap lebih praktis.
Berdasarkan kreatif dan produktifnya orang Bali akhirnya benda yang biasanya di buang, menjadi barang yang sangat berharga. Banyak lagi barang-barang produksi seniman Bali semacam itu. Jadi dipikiran saya terlintas apa yang menyebabkan masyarakat Hindu di Bali menjadi seperti itu? Setelah beberapa kali berpikir bulak balik, akhirnya saya teringat bahwa ada kaitannya dengan kegiatan rutin umat Hindu di Bali, seperti saban hari melakukan upacara agama. Permasalahan inilah saya akan mencoba untuk menguraikan sesuai dengan suara hati saya.
Begini saudara-saudara pembaca; Sebelum upacara agama itu berlangsung, ada kegiatan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong dalam mempersiapkannya, seperti misalnya; ”majejaitan” (merajut), membuat jajan banten, menganyam, matanding (menyajikan), dan lain sebagainya. Kesemua kegiatan tersebut memerlukan perhatian yang cukup serius, diskusi, tanya jawab terus menerus. Karena di saat itu terjadi pula proses pendidikan dengan menggunakan metoda kejar, yaitu Kerja sambil Belajar. Peristiwa semacam itu menuntun mereka untuk berpikir kritis, rumit dan dinamis. Di dalam masyarakat yang berpikir rumit, kritis dan dinamis, akan terbentuk pula masyarakat yang produktif.
Masyarakat Hindu di Bali semasih mau membuat banten sendiri akan tetap berpikiran kritis, rumit dan dinamis, otomatis masyarakat produktif tetap bisa dipertahankan. Nah bukti-bukti di lapangan sudah terlihat bahwa masyarakat Hindu di Bali telah mulai berpikir; praktis, ekonomis, dan gelis (serba cepat), kalau diwaktu kita melakukan kegiatan agama berdasarkan pola pikir seperti itu, rasanya tidak tepat, dan mempercepat proses terbentuknya masyarakat konsumtif. Arah pola pikir masyarakat seperti yang telah saya sebutkan di atas muncul di Bali disertai bukti-bukti, hampir semua sarana upacara sekarang dari membeli. Bahkan banyak pula umat Hindu yang lebih senang membeli banten untuk upacara dibandingkan mereka membuat sendiri. Jangankan banten yang berskala besar, canang saripun yang begitu sederhananya mereka masih membeli.
Mereka tidak peduli entah bagaimana proses membuatnya, apakah sudah memenuhi standar kesucian, demikian pula kelengkapannya. Karena mereka sudah berada di dalam pola berpikir praktis, ekonomis dan gelis. Lucunya lagi banyaknya pedagang banten (canang) bukan dari orang Hindu, yang nota bene belum memahami proses pembuatan banten sesuai dengan ketentuan-ketentuan sastra agama. Menurut hemat saya upacara agama yang menggunakan sarana banten dari membeli dibandingkan dengan banten yang dari membikin secara gotong royong, bobotnya sangat berbeda. Banten yang dari membeli sudah jelas tatanan di waktu membuatnya sudah dibayangi oleh pemikiran untung dan rugi, juga pasti ada langkah-langkah yang semestinya harus ditempuh akan ditinggalkan, misalnya; upacara mepada, upacara panca kerta, upacara pengalang dan lain sebagainya.
Pernah saya dengar, ada upacara berskala besar di suatu tempat, bantennya keseluruhan dari membeli. Si pedagang banten semestinya memotong kerbau, tetapi mereka hanya membeli kulit (belulang) kerbau dan beberapa kilo dagingnya. Mereka yang membeli banten tidak peduli, mungkin lantaran tidak tahu atau lantaran berpikir, toh kita sudah membeli. Jika hal ini benar-benar terjadi, sangat disayangkan sekali, sebab prosesi upacara mapepada jelas tidak dilakukan, kita sudah mengetahui bahwa upacara mapepada itu sangat penting artinya. Demikianlah sedikit gambaran mengenai pelaksanaan upacara agama yang dilakukan berlandaskan pemikiran praktis, ekonomis dan gelis (cepat), sehingga latihan berpikir rumit, kritis dan dinamis semakin berkurang, karena aktivitas membuat banten sudah semakin dijauhi.
Akibatnya proses terbentuknya masyarakat konsumtif semakin cepat meninggalkan masyarakat produktif. Kalau hal ini sudah membudaya, masyarakat pada umumnya tidak lagi memiliki kesabaran, tidak memiliki kesadaran, dan rasa kasih, rasa sayang, serta sifat pemaaf akan sirna. Sifat individu semakin menonjol, sifat egois tumbuh subur, yang tidak kalah pentingnya adalah penyakit masyarakat semakin dipelihara dengan subur.
Adapun penyakit masyarakat yang saya maksudkan yaitu PANCA MA. Saya merasa sangat ngeri sekali karena, apabila itu betul-betul memasyarakat, sorga akan berbalik menjadi neraka, sudah barang tentu predikat pulau Bali sebagai pulau sorga akan berbalik menjadi Bali sebabai Pulau Neraka. Perlu saya jelaskan di sini mengenai apa yang dimaksudkan dengan Panca Ma tadi, yaitu;
1. Ma, artinya mamotoh (berjudi), prosentasa penjudi semakin hari semakin tinggi di masyarakat. Seperti telah diketahui bersama, bahwa penjudi itu kebanyakan malas bekerja, dan kurang memperhatikan keluarga, dan sering melanggar aturan yang telah ditetapkan. Mereka hanya berpikir asal punya uang untuk keperluan main judi itu paling penting.
2. Ma, artinya mamunyah (mabuk), di sini saya lebih menekankan pada mengkonsumsi minuman keras. Apabila memunyah ini sudah memasyarakat, pertengkaran, konflik yang memakan korban jiwa maupun arta benda sulit dihindari, kesadaran manusia semakin menurun.
3. Ma, artinya mamadat (pecandu), antara lain merokok, narkoba, yang semuanya itu dapat merusak kesehatan, dan merusak masa depan. Jika hal ini tidak dapat ditanggulangi, berarti kehancuran generasi penerus sudah berada di ambang pintu.
4. Ma, artinya mamadon (berselingkuh), dalam bahasa kawi disebut anyolong semara, perbuatan seperti ini akan merusak kebahagiaan hidup, meracuni generasi penurus.
5. Ma, artinya mamaling (mencuri), mencuri adalah perbuatan yang paling meresahkan masyarakat, dapat menghilangkan ketentraman masyarakat. Bila penyakit ini telah muncul dimasyarakat, bisa dipastikan kehancuran sudah dekat. Baik kehancuran moral maupun kehancuran dibidang spiritual.
Inilah penyakti masyarakat yang bisa terjadi di dalam masyarakat berpola konsumtif. Makanya para pendahulu kita telah berpikir jauh ke depan untuk membentuk masyarakat produktif, melatih masyarakat melalui kegiatan spiritual, salah satu di antaranya adalah upacara agama. Di jaman masyarakat produktif, jarang kita temui perselisihan-perselisihan, konflik-konflik. Mereka hidup bersaudara sesama manusia, berteman akrab dengan lingkungan, dan memperlakukan alam seperti menyayangi dirinya sendiri. Hidup menjadi rukun, damai dan sejahtera, tak ubahnya seperti hidup di sorga, gelak tawa kedengaran seperti kidung rohani menuntun kedamaian turun ke bumi, senyum menghiasi setiap bibir manusia. Jeritan tangis dan rintihan ditelan oleh gelombang kedamaian. Kapan kondisi seperti itu bisa kita nikmati.
Jangan biarkan leluhur kita sedih di alam sana, melihat konsep-konsep kehidupan ”adhi luhung” telah kita hancurkan. Jangan pula dibiarkan generasi penerus kita kehilangan pegangan dan kehilangan arah dikemudian hari. Kalau itu tidak kita pikirkan, generasi penerus kita tak ubahnya seperti ”tokek hanyut” dalam arus yang sangat deras (tuke anyud, bahasa bali. Pati grape), begitu jadinya mereka nanti.
Suara hati saya memanggil saudara-saudara untuk bisa diajak bersama mewujudkan hidup bahagia melalui penerapan konsep kedamaian dari leluhur kita.
OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM