OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.
Kadang-kadang tidak sampai terpikirkan untuk menilai perbuatan kita sehari-hari, apakah yang telah kita lakukan itu sudah benar atau salah? Sangat jarang berpikir sampai kesana. Karena adanya anggapan bahwa, apa yang dilakukan dan menyenangkan diri sendiri atau dapat memenuhi kepentingan mereka, itu yang dianggap benar. Walaupun untuk menutupi kecurangan atau kesalahannya mereka bersusah payah mencarikan pembenaran, baik dengan cara menyitir bunyi-bunyi ayat-ayat suci, maupun mencarikan pasal-pasal yang diperkirakan mendukung, dipaksakan untuk digunakan sebagai penguat, agar pendapat itu menjadi kelihatan benar, untuk bisa mendapatkan kepercayaan publik. Kelihatannya hampir semua berbuat seperti itu. Membungkus kesalahan dan kecurangan dengan kemasan pembenaran.
Ada satu contoh yang layak ditampilkan untuk mengungkap peristiwa mencari pembenaran tadi. Di salah satu Desa Pakraman anggota masyarakat rutin mengadakan penjagaan di pura. Untuk menghindari pencurian benda-benda sakral (makemit). Penjaga atau ’pekemitan’ itu syaratnya harus begadang, baik dilakukan secara bergilir, maupun dilakukan secara bersama-sama dalam satu kelompok (regu) ”pekemitan” itu. Nah untuk menghilangkan rasa ngantuk, mereka sepakat bermain judi (maceki) di pura. Kalau ada yang menasihati, mereka akan mencari pembenaran atas tindakannya, dengan cara mengatakan untuk menghilangkan rasa ngantuk agar dapat begadang sampai pagi, jika ada maling bisa cepat kentara. Sepintas kelihatannya apa yang mereka lakukan itu sangat benar. Tetapi sangat jauh dari kebenaran sejati.
Kalau kebenaran yang dicari semestinya mereka tidak bermain judi di pura, karena judi jelas-jelas dilarang oleh agama, apalagi dilakukan di pura sangat menodai kesucian agama. Semestinya mereka melakukan kegiatan yang berbau Suci.
Nah terjadinya tindakan-tindakan yang bertolak belakang dengan ajaran agama bisa berjalan terus, sampai tidak ada yang berani melarang, aparat kemanapun kadang-kadang dibuat kurang tegas (seperti menindak tajen), karena kepintaran mereka mencari pembenaran. Dengan cara mengatakan tajen itu adalah tabuh rah, kalau tidak diadakan tajen akan terjadi peristiwa yang sangat mengerikan serta didukung oleh kerauhan. Terbungkuslah kesalahan itu oleh pembenaran dari mereka.
Ada lagi peristiwa yang paling memalukan, yaitu; seorang koruptor juga sering mencarikan pembenaran tindakan korupsinya dengan cara menyumbang ke pura, baik berupa pembangunan pelinggih maupun sumbangan (punia) lainnya, yang mana mereka mengharapkan agar kelihatan paling dermawan di mata masyarakat, atau tindakan jahatnya mendapat pengampunan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sumbangan merekapun tidak tanggung-tanggung nilainya sampai puluhan bahkan ratusan juta, masyarakat dibuat sangat gembira dan hormat kepada sang koruptor, karena mereka rasakan nilai sumbangannya sangat besar, tetapi mereka belum tahu bahwa uang yang dikorup nilainya milyaran rupiah. Dilihat dari nilai sumbangannya sama sekali tidak ada artinya.
Tindakan-tindakan seperti inilah yang paling banyak terjadi dewasa ini. Selain itu kerap terjadinya perselisihan dan pertengkaran di dalam keluarga maupun di masyarakat akibat munculnya saling mencari pembenaran demi kepentingan mereka masing-masing. Jika begini keadaannya terus apa lagi yang dapat diharapkan. Masihkah ”kata jujur” itu perlu didengungkan, kecuali digunakan sebagai kedok didalam melancarkan aksi jahat mereka. Jangan biarkan segumpal awan hitam menutupi matahari menghambat sinar menerpa bumi, kegelapan akan muncul menuntun kita kearah jurang neraka. Hentikan langkah mencari pembenaran, carilah kebenaran bagai menghapus awan hitam membuka celah sinar matahari menerpa bumi.
Sadarlah bahwa matahari jauh lebih besar dibanding awan yang menutupinya, hanya saja jarak awan lebih dekat ke kita dibandingkan jarak matahari ke kita. Taruhlah kesadaran di atas awan dengan cara meletakan kebenaran di atas pembenaran.
Semakin mendekat kesinar, akan semakin jelas pandangan kita, semakin mudah pula membedakan antara yang benar dengan yang salah. Jika semakin dekat ke gelap, akan semakin tidak mampu pikiran untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Kebodohan jangan diselimuti dengan pembenaran, hilangkan selimut pembenaran tuntunlah kebodohan itu melalui kebenaran agar semakin terang jalan yang dilalui dan semakin pasti pula tujuan yang akan dicapai.
Tujuan agama adalah kebenaran, karena Ida Sang Hyang Widhi maha benar. Beliau adalah tujuan hidup kita, mungkinkah kebenaran itu akan dicapai hidup melalui pembenaran? Jangan terlalu lama menghayal, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan yang sia-sia, lihat dirumu berapa harikah ijin hidupmu masih berlaku?
Matahari telah condong ke barat, sebentar lagi akan tenggelam, siang diganti malam. Mengapa kami tidur terus, bangunlah lepaskan selimut judi, selimut mabuk, selimut narkoba, selimut selingkuh dan selimut-selimut kotor lainnya. Demikian pula kacamata angkuh, kacamata sombong, kacamata egois, dan semua jenis kaca mata yang sejenis lepaskan.
Pakailah selimut kebenaran dan kaca mata hati nurani dengan lensa budhi suci, kamu akan dapat merasakan sejuknya udara Dharma, dan dapat menikmati indahnya pemandangan Niwana.
Jika tindakan mencari pembenaran tidak dapat dihentikan, akan bermunculan orang-orang munafik, alam ini akan menjadi kerajaan munafik, mereka akan menyembah kemunafikan dan mengagung-agungkan munafik sebagai penyelamat hidupnya. Untuk itu perlu juga kita merenung sejenak, apakah kita adalah keturunan munafik? Apakah leluhur kita adalah orang-orang munafik? Apakah kemunafikan ini akan kita wariskan kepada keturunan kita nanti?
Saya dapat menebak bahwa tidak ada di antara kita yang setuju menjawab pertanyaan tersebut dengan kata ya. Nah bila saudara setuju dengan pendapat tadi, marilah kita tulis lembaran hidup ini dengan tinta emas dan tulisan indah, mencatat kisah-kisah cinta terhadap Sang Pencipta, goresan kasih dan sayang sesama makhluk ciptaaNya. Baca dan pahami rambu-rambu jalan menuju Sang Pencipta, yang telah terpasang rapi dan jelas dapat di baca. Mohonlah tuntunan kepada beliau yang memiliki pemahaman dan pengalaman membaca rambu-rambu tersebut. Jangan kecewakan para leluhur terdahulu, jangan dibuat malu keturunan kita nanti.
Ada sebuah cerita pendek yang mengisahkan orang bodoh. Si bodoh memang sejak kecil mereka tidak mau belajar, tidak mau bertanya kepada siapapun, awalnya dia menganggap kepintaran dan kebijaksanaan itu akan datang sendiri, karena itu merupakan hak seseorang yang harus mereka dapati tanpa perlu berusaha. Mungkin karena karma wesananya diwaktu hidup jaman lampau bagus, maka dalam hidup dia sekarang dapat menikmatinya. Dia menjadi kaya raya, namun menghitung uang dia tidak tau. Oleh karena dia kaya maka di dalam lingkungannya dia sangat disegani dan dianggap seorang tokoh. Begitu besar kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, semakin angkulah mereka. Sampai masalah tatanan kehidupan beragama mereka tangani sendiri, dan tetap tidak mau belajar, sebab menganggap diri selalu benar. Kesenjangan yang terjadi dalam pikirannya seperti itu mereka tutupi dengan mencarikan pembenaran.
Saya masih ingat dengan bunyi sloka dalam buku NITI SATAKA, ada tertulis bahwa; Orang bodoh yang berpura-pura seperti orang pintar; Dewa Brahma pun tidak mampu mengajari mereka.
Kisah singkat ini dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa mereka yang selalu mencari pembenaran akan sulit diarahkan atau diajarkan untuk bisa merubah arah menuju kebenaran. Dewa Brahma sulit mengajar mereka apalagi kita sesama manusia.
Maka dari itu jangalah sampai terlanjur hidup ini hanya untuk mencari pembenaran, agar jangan kita menjadi orang yang sulit menerima ajaran.
OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM
Sumber: facebook