Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?
JIKA umat Hindu di Bali ketika sedang nobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, "Pukulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati". Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?
Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.
Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melakukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.
Aksara Bali
Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu aksara Bali. Aksara Bali terbagi atas aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa terdiri atas aksara wreastra -- aksara yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 aksara (lihat boks penjelasan aksara Bali), misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.
Aksara suci terbagi atas aksara wijaksara atau bijaksara (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau aksara lukisan magis. Aksara amsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti -- utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wisnu dengan simbol air dan Dewa Siwa atau Iswara dengan lambang udara. Aksara amsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.
Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah aksara) atau gempelan (digabungkan dengan aksara di depannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan aksara mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai aksara biasa atau ma dengan amsa sebagai aksara wijaksara/bijaksara.
Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan aksara amsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau aksara amsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau amsa, yang bunyinya ng.
Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecak yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.
PENJELASAN PERIHAL AKSARA BALI
* Aksara Wreastra: = a, = na, = ca, = ra, = ka, dstnya.
* Aksara Swalalita: = a, = i, = u, = e, = o.
* Aksara Suci terbagi atas aksara Wijaksara atau Bijaksara (aksara Swalalita + aksara Amsa, misalnya : = ong, = ang, = ung, = mang) dan Modre (aksara lukisan magis).
* Aksara Amsa ( Omkara ) terdiri atas: ( ں )Ardhacandra (bulan sabit), ( ๐) Windu (matahari, bulatan,) dan ( ٠ )Nadha (bintang, segi tiga).
* Dewa Brahma berlambang api ( A ), Dewa Wisnu berlambang air ( U ), dan Dewa Siwa atau Iswara berlambang udara ( M ).
* Contoh Pangangge Tengenan: cecek ( ) = ng, surang ( ) = r, bisah ( ) = h, dan adeg-adeg ( ) = tanda bunyi mati. Aksara "mang", dapat ditulis (ma dengan cecek, sebagai aksara biasa) atau (ma dengan Amsa, sebagai aksara Wijaksara/Bijaksara).
* Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan aksara Amsa yang berbunyi "ng". Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) -- umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan Pangangge Tengenan cecek atau Amsa, yang bunyinya "ng" (........).
source: an e-mail from I Wayan Sudarma (peradah-indonesia@yahoogroups.com)
JIKA umat Hindu di Bali ketika sedang nobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, "Pukulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati". Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?
Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.
Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melakukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.
Aksara Bali
Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu aksara Bali. Aksara Bali terbagi atas aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa terdiri atas aksara wreastra -- aksara yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 aksara (lihat boks penjelasan aksara Bali), misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.
Aksara suci terbagi atas aksara wijaksara atau bijaksara (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau aksara lukisan magis. Aksara amsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti -- utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wisnu dengan simbol air dan Dewa Siwa atau Iswara dengan lambang udara. Aksara amsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.
Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah aksara) atau gempelan (digabungkan dengan aksara di depannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan aksara mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai aksara biasa atau ma dengan amsa sebagai aksara wijaksara/bijaksara.
Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan aksara amsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau aksara amsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau amsa, yang bunyinya ng.
Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecak yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.
PENJELASAN PERIHAL AKSARA BALI
* Aksara Wreastra: = a, = na, = ca, = ra, = ka, dstnya.
* Aksara Swalalita: = a, = i, = u, = e, = o.
* Aksara Suci terbagi atas aksara Wijaksara atau Bijaksara (aksara Swalalita + aksara Amsa, misalnya : = ong, = ang, = ung, = mang) dan Modre (aksara lukisan magis).
* Aksara Amsa ( Omkara ) terdiri atas: ( ں )Ardhacandra (bulan sabit), ( ๐) Windu (matahari, bulatan,) dan ( ٠ )Nadha (bintang, segi tiga).
* Dewa Brahma berlambang api ( A ), Dewa Wisnu berlambang air ( U ), dan Dewa Siwa atau Iswara berlambang udara ( M ).
* Contoh Pangangge Tengenan: cecek ( ) = ng, surang ( ) = r, bisah ( ) = h, dan adeg-adeg ( ) = tanda bunyi mati. Aksara "mang", dapat ditulis (ma dengan cecek, sebagai aksara biasa) atau (ma dengan Amsa, sebagai aksara Wijaksara/Bijaksara).
* Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan aksara Amsa yang berbunyi "ng". Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) -- umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan Pangangge Tengenan cecek atau Amsa, yang bunyinya "ng" (........).
source: an e-mail from I Wayan Sudarma (peradah-indonesia@yahoogroups.com)
No comments:
Post a Comment