Wednesday, July 8, 2009

PENGENDALIAN DIRI, ETIKA DAN TOLERANSI

Om Swastyastu

isa vasyam idam sarvam
yat kim ca jagatyam jagat
tena tyaktena bhunjita ma
grdhah kasya svid dhanam

Yajurveda XL.1

(Segala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak di alam semesta ini meliputi dan diresapi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hendaknya seseorang mampu mengendalaikan dirinya dan tidak menginginkan milik orang lain)

1. Pendahuluan

Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan pencerminan kehidupan beragama dengan kehidupan sesama baik manusia dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara bahkan pula dalam hubungan internasional antar bangsa-bangsa. Dengan pengendalian diri seseorang mampu hidup berdampingan secara rukun yang tercermin dalam etika atau tata laku sopan santun dalam pergaulan hidup.

Kerukunan hidup akan semakin mantap bila dilandasi dengan toleransi atau penghargaan terhadap perbedaan yang dihadapi, karena perbedaan itu seperti misalnya perbedaan agama yang dianut merupakan kenyataan yang diyakini dan ajaran yang dikandungnya diamalkan oleh pemeluknya. Dengan pengendalian diri yang mantap, seseorang yang tertib dalam berlalu lintas akan berhasil mencapai tujuan dengan selamat, demikian pula dengan etika dan toleransi, seseorang akan mudah bergaul dengan sesamanya walaupun berbeda agamanya. Pandangan hidup akan dapat diwujudkan dan dengan keharmonisan ini. Ketentraman dan kebahagiaan hidup, baik dalam keluarga maupun masyarakat dapat terealisasikan.

Agama Hindu dengan kandungan ajaran tentang pengendalian diri, etika toleransi yang sangat berguna sebagai pedoman dalam membina hubungan yang harmonis tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan Tuhan Yang Maha Esa dan semua Makhluk ciptaan-Nya..


2. Pengendalian diri

Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk tidak melakukan yang tidak baik dan tidak patut dilakukan. Untuk dapat mengendalikan diri, seseorang hendaknya mengenal ajaran tentang Viveka atau Vivekajnana. Yang dimaksud dengan Viveka adalah kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar. Yang baik belum tentu benar, sebaiknya yang benar belum tentu baik dan selanjutnya yang dengan pengetahuan Viveka ini seseorang akan dapat mengendalikan dirinya, sebab diantara berbagai makhluk hidup dengan tegas dinyatakan hanya manusialah yang memiliki pengetahuan itu. Oleh karena itu menjelma sebagai manusia disebut sebagai penjelmaan utama bila dibandingkan dengan makhluk lainya :

Manusah sarve bhutesu varttate
vai dubhasubhe asubhesu samavistam
subhesvevakarayet

Ri sakwehning sarva bhuta,

iking wwang juga wenangguma ikang sebha asubha karma,

kunang panentasekena ring asubhakarma juga ikang subha karma,

phala ning dadi wwang

Sarasamuccaya 2

(Di antara semua makhluk, yang hanya dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik itu menjelma sebagai manusia.)

Di dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan pula bahwa menjelma sebagai manusia adalah kesempatan yang utama dan sangat sulit untuk diperoleh (parama durlabha) dan hidup sebagai manusia dinyakan sangat singkat (ksanikasvabhava) bagaikan kerdipan kilat. Memang bila direnungkan, sesungguhnya manusia hampir sangat jarang untuk merenungkan kembali, untuk apa tujuan penjelmaan kita ini, bagaimana kita seharusnya berbuat di dunia ini, benarkah kita nanti, apakah yang akan kita bahwa dan bagaimanakah kita alam sana dan lain-lain pernyataan akan muncul bagi mereka yang memiliki kepekaan untuk merenungkan kehidupan kembali.

Untuk usaha, ajaran agama Hindu memberikan bimbingan dan tuntunan seseorang berhasil meniti kehidupan di dunia ini termasuk bagaimana dia berperilaku menyingkapi dan mensiasati kehidupan yang dewasa ini sangat dirasakan kecendrungan pada material atau pleasure oriented sebagai dinyatakan dalam kitab-kitab Purana, bahwa era jaman Kali (Kaliyuga) orientasi manusia hanyalah pada materi dan kesenangan, yang tidak akan memberikan kebahagiaan yang sejati. Bila kita hanya mengejar kepuasan materi atau kesenangan duniawi belaka (kepuasan kama), maka penderitaanlah yang akan kita jumpai. Memuaskan Kama semata diibaratkan menyiram api yang sedang berkobar tidak dengan air, melainkan dengan bensin dan akibatnya adalah api semakin membesar yang mengakibatkan kehancuran. Agama Hindu mengamanatkan untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan ini (peace oriented), karena di balik kedamaian yang sejati (true happines). Kebahagiaan yang sejati (Moksa) bukanlah khayalan, melainkan kenyataan yang dapat diwujudkan di dunia ini (melalui Samadhi) yang disebut dengan Jiwanmukti. Untuk merealisasikan hal ini banyak hal yang dilakukan, terutama dapat mentransformasikan diri kita, meninggalkan kualitas jasmani kita yang muaranya adalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia (menurut pandangan Hindu) tidak hanya menekankan pada kualitas jasmani dan keterampilan atau kecerdasan pikiran, melainkan adalah memupuk budi luhur sesuai dengan ajaran Dharma, yang nantinya akan mampu mengantisipasi berbagai tantangan hidup dan mencapai tujuan yang tertinggi yakni bersatunya Atman dengan Brahman yang disebut Moksa yang merupakan kebahagiaan sejati dan abadi (Sukha dan tanpawali sukha)

Sangat banyak kita jumpai dalam ajaran Agama Hindu petunjuk tentang pengendalian diri termasuk pula bagaimana menggunakan Viveka sehingga kita mampu menyikapi perkembangan dunia ini. Ajaran tentang pengendalian diri dan Viveka ini dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda, dalam berbagai kitab Upanisad, Ithiasa dan Purana termasuk pula dalam berbagai kitab Dharmasastra dan Tantra seperti Panca Tan Matra yang disusun oleh Visnu dan lain-lain.


3. Etika

Etika adalah bentuk pengendalian diri di dalam pergaulan hidup bersama. Manusia adalah homo sosius, makhluk berteman. Ia tidak dapat hidup sendirian, ia selalu bersama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama manusia yang lain di dalam masyarakat. Tidak bergaul dengan sesama manusia lainya. Hanya dalam hidup bersama manusia akan dapat berkembangan dengan wajar. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, bahwa sejak manusia dilahirkan sampai ia mati, selalu memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rohaninya.

Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan hidupnya yang sehat. Semua kebutuhannya itu merupakan kebutuhan rohani hanya dapat ia perolah dalam hubungannya dengan manusia dalam masyarakat. Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak ada seorangpun yang dapat mengingkari hal ini karena bahwa manusia baru dapat disebut manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan bukan dalam kesendiriannya.

Dalam kehidupan bersama ini orang dapat mengatur untuk bertingkah laku yang baik. Tidak seseorang yang boleh berbuat sekehendak hatinya. Ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya (dalam pengertian tidak boleh larut dalam lingkungannya itu) dan tunduk atau patuh terhadap peraturan atau aturan yang berlaku dalam lingkunyanya ini masih dalam frame-frame yang berlaku.

Aturan atau peraturan untuk bertingkah laku yang baik dalam agama Hindu disebut dengan "Sila" yang dalam bahasa Indonesia menjadi Tata Susila. Nama lainya untuk istilah ini adalah Etika. Kata etiket artinya sopan santun dalam pergaulan. Bila itikad beretika masih dalam angan-angan disebut dengan Budi Luhur (Budi baik) dan bila diwujudkan dalam tungkah laku disebut pekerti yang baik.

Bila kita mengamati dengan seksama tujuan dari atau tingkah laku yang baik adalah untuk membina hubungan yang harmonis antar sesama manusia dan dalam ajaran agama Hindu tidak hanya hubungan yang horisontal, tetapi juga hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dan alam pencipta-Nya. Tata susila dalam ajaran agama Hindu merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar agama Hindu disamping Sradha dan Acara yang bersumber pada kitab suci Veda, oleh karena itu tata Veda dengan susastra Hindu lainya.

Dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia, dapat dikaji dalam tiga tingkatan yaitu :

a. Tingkat pertama semasih dalam bentuk angan-angan niat atau idea
b. Tingkat kedua sesudah berbentuk pekerti, yakni perbuatan nya (telah dilaksankan)
c. Tingkat ketiga adalah akibat yang ditimbulkan oleh pekeri ini. Hasilnya dapat baik atau buruk.

Selanjutnya isi dari angan-angan, niat atau idea itu direalisasikan dalam 4 jenis perbuatan (varaible), yaitu :
a. Tujuannya baik, tetapi cara penyampaiannya tidak baik.
b. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampaiannya baik
c. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampaiannya tidak baik.
d. Tujuannya baik, tetapi cara penyampaiannya baik.

Semuanya yang disebut atau buruk kadang-kadang sulit untuk dirumuskan. Dalam kenyataannya ternyata manusia sesungguhnya mengerti atau memahami apa yang disebut baik dan buruk. Berbohong atau mencuri adalah buruk dan tidak benar. Menolong, penuh kasih dan jujur adalah baik. Kesadaran terhadap baik dan buruk, salah dan benar disebut Kesadaran Etis. Namun perlu dipahami apa yang disebut baik itu, tidak selalu benar dan apa yang disebut buruk itu tidaklah selalu salah.

Untuk menentukan mengukur atau membesakan baik, buruk salah dan benar, Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk berpedoman kepada beberapa pramana atau ukuran, antara lain :
a. Desa (tempat), Kala(waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam Manavadharmasastra dilengkapi dengan Iccha (tujuan) dan Sakti (Kemampuan untuk mencapai tujuan itu).
b. Pratyaksa (pengamatan), Anumana (analisa) dan Agama (pertimbangan / Informasi yang dapat dipercaya)
c. Sastratah (bersumber pada sastra/ajaran agama) Gurutah (bersumber pada ajaran guru) dan Svatah (bersumber pada analisa dan pengalaman sendiri)

Berdasarkan ukuran atau pertimbangan tersebut seseorang dapat menentukan perbuatan yang patut dan baik untuk dilaksanakan. Untuk dapat menentukan perbuatan itu, seseorang hendaknya mengetahui dan dapat memilih dan untuk itu berbagai pertimbangan sangat diperlukan. Kemampuan untuk mengetahui (Maknanya) dan memilih (yang patut dan baik dilakukan) merupakan pegangan moralitas.

Penilaian moralitas tidaklah dapat diukur dari penampilan luar seseorang demikian pula dalam kitan bertingkah laku yan baik dan benar. Untuk itu ajaranya agama Hindu menuntut kepada umatnya untuk memiliki kepekaan sehingga mampu mendengarkan bisikan Sang Hyang Widi Atma yang bersemayan pada hati setiap orang. Bisikan sang Hyang Atma adalah bisikan hati nurani yang selalu jujur. Nilai pribadi seseorang tidak dapat diukur dengan kekayaan yang dimiliki, kepandaian, kecerdasan atau kebangsawanan yang dimiliki. Perhatikanlah terjemahan sloka Sarasamuccaya berikut :

Meski ia Brahmana yang berusia lanjut, Jika perilakunya tidak susila, tidaklah patut disegani. Walaupun ia seorang Sudra, jika perilakunya berpegang pada Dharma dan kesucian patutlah ia dihormati dan disegani (161)

Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga Dharma dan satra suci. Pikiran yang teguh dan bulat merupakan upaya untuk menjunjungnya, adapaun keindahan paras adalah keberhasilan pemeliharaannya demikian pula kelahiran seseorang, semuanya budi pekerti susila yang menegakkannya (162).

Tingkah laku yang baik merupakan sebab dikenal sujana, demikian walaupun ia tidak memiliki silsilah dari orang-orang, asalkan ia berasusila, akan diketahui pula asal -usulnya (163)

Pengetahuan tenang kitab suci Veda (Catur Veda) dengan enam cabang dan anak cabangnya, kemahiran tentang ajaran filsafat (sastra suci) Samkhya, Purana dan Kelahiran. Yang mulia, semuanya itu tidak akan berpahala bagi orang yang berkelakuan jahat, Akhirnya semua pengetahuan dan kelahiran yang dimilikinya tidak ada artinya (164)

Lagi pula tidak kuasa kaum kerabat dan sanak keluraga memberikan pertolongan, membebaskan diri dari kesedihan hati, begitupun emas segala hak milik Kebangsawanan, sastra dan mantra-mantra serta kekuasaan tidak akan dapat memberi pertolongan, yang dapat menolong hanyalah tingkah laku, oleh karena itu ia sungguh yang dapat melenyapkan kedudukan hati didunia yang lain kelak dikemudian hari (167).

Didalam Agama Hindu kita jumpai banyak ajaran yang menuntun manusia untuk menjadi manusia yang sujana, berbudi luhur dan bertingkah laku yang bersusila, tidak bertentangan dengan moral dan ajaran Dharma.

4. Toleransi

Toleransi artinya penghargaan, yakni memberikan penghargaan terhadap orang lain dalam hal ini yang paling menonjol adalah penghargaan terhadap ajaran agama yang dianut oleh orang lain. Sesungguhnya toleransi tidak hanya berkaitan dengan penganut agama yang lain tetapi juga perlu ditumbuhkan dalam kaitannya dengan kehidupan intern umat beragama, maksudnya bila terdapat perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dalam intern umat seagama, maka penghargaan atau toleransi perlu ditumbuhkembangkan, demikian pula dengan umat yang lain (antar umat beragama) dan antara umat beragama dengan pemerintah.

Kitab suci Veda menegaskan perlunya toleransi itu sebagai perwujudan pengamalan ajaran agama :

a. Bumi ini tempat tinggal seluruh umat manusia, seperi keluarga, semuanya berbicara berbeda-beda dan menganut kepercayaan (agama) yang berbeda-beda, semuanya hendaknya seperti sapi-sapi yang bersatu salam satu kandang sapi kepadanya kesejahteraan akan berlimpah (Atharvaveda XII.I.45)


b. Bumi yang luas ini adalah ibu dan sahabat kita (Atharvaveda IX,10,12)


c. Marilah kita menghormati kemerdekaan (harkat dan martabat) seseorang (Rg veda I.80.1)


d. Wahai umat manusia, Aku memberikan kepadamu sifat-sifat yang ramah dan manis pupuklah keharmonisan dan persaudaraan tanpa permusuhan diantara kamu, seperti halnya seekor induk lembu terhadap anaknya yang baru lahir, demikianlah hendanya kamu menyayangi sesamamu (Atharvaveda III.83.8.)


e. Wahai orang-orang dermawan, marilah kita wujudkan persaudaraan yang sederajat di dalam kandungan ibu pertiwi (Rg Veda VIII.83.8).


f. Wahai umat manusia, maju teruslah kamu, jangan bertikai di antara kamu, engkau adalah pengikut untuk tujuan yang sama, hormatilah yang lebih tua, milikilah pikiran-pikiran luhur dan pusatkan perhatian pada kerja. Ucapkanlah kata-kata manis di antara kamu. Aku jadikan engkau semuanya bersatu dan Aku rakhmati engkau dengan pikiran-pikiran yang mulia (Atharvaveda III.10.5)


Lebih jauh dalam susatra Veda yang lain dinyatakan :

a. Hendaknya setiap orang tidak menyakiti makhluk lain, berpegang pada kebenaran (Dharma), tidak pemarah, melepaskan diri dari ikatan keduniawian, tentram dan tidak suka memfitnah, kasih sayang terhadap semua makhluk, tidak tamak, lemah lembut sopan santun dan teguh iman (Bhagawadgita, XVI.2.)


b. Persembahan kepada dewa-dewa, kepada pandita, kepada guru, kepada orang suci, jujur, kuat menahan hawa nafsu dan tidak menyakiti makhluk lain adalah pantangan diri sendiri di dunia (Bhagavadgita XVII.14.)


c. Seseorang yang tidak menjalankan Dharma atau yang mendapatkan kakayaan dengan jalan curang dan orang yang suka menyakiti hati makhluk lain tidak akan pernah bahagia di dunia ini (Manavadharmasstra IV.170.)


d. Masih banyak ajaran toleransi yang dapat kita jumpai dalam kitab Veda dan susastra Hindu lainya yang perlu kita gali dan diamalakan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat berbhineka ini.


5. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Mampukah ajaran agama, khususnya ajaran pengendalian, etika dan toleransi dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia? Untuk menjawab permasalahan ini kita hendaknya dapat memahami kembali fungsi dan peranan agama kehidupan umat manusia, yaitu sebagai :
a. Faktor motivatif yang mendorong manusia meningkatkan kualitas hidupnya .
b. Faktornya kreatif dan innovatif, yang mendorong untuk berkreasi dan mengadakan pembharuan dalam dirinya.
c. Faktor insfiritif yang memberikan inspirasi untuk mengabdi kemanusiaan.
d. Faktor edukatif yang mendidik diri manusia untuk mencapai kedewasaan.
e. Faktor transformatif dan sublimatif yang mampu mengubah dirinya yang tidak baik menjadi baik.

Bila fungsi agama dilaksanakan atau memancar diri manusia, maka dengan sendirinya seseorang akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia atau potensi-potensi yang dimilikinya. Agama tidak hanya mengajarkan manusia untuk mewujudkan kehidupan spiritual di alam baka saja, tatapi di tunut pula kepada umatnya untuk direalisasikan, diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.


Agama Hindu (Khususnya kitab suci Veda) sangat menekankan betapa pentingnya pemeliharaan badan jasmani ini seseorang sebab dengan jasmani sehat dan akan lebih baik melaksanakan Dharma atau Swadharma yang dibebankan kepadanya. Pemeliharaan jasmani dengan jalan berolah raga serta mengonsumsi makanan dan minuman yang menyehatkan, sedang pemeliharaan rohani dengan mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya.

Aritani me sarva atma anibhrstah
Atharvaveda XIX.60.2
(Hendaknya badan dan pikiran kami sehat, babas dari segala penyakit sehingga selalu bangkit untuk meningkatkan diri)

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapatkah kita pahami bahwa jasmani sehat dan pikiran yang sehat pula merupakanan modal dasar untuk meningkatkan kualitas pribadi kita. Meningkatkan kualitas pribadi hendaknya senantiasa diupayakan dan hal ini diamanatkan oleh kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Pengamalan ajaran agama bermuara pada pengendalian diri, etika dan toleransi yang pada akhirnya adalah meningkatkan mutu atau kualitas pribadi manusia.


6. Penutup

Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan cerminan atau pancaran dari pengamalan ajaran agam Hindu. Agama tidak akan ada artinya bila tidak diamalkan sebagai mana mestinya. Agama akan besifat verbal atau hanya berupa slogan saja. Bila agama dilaksanakan dengan mantap maka tujuan hidup berupa kesejahteraan dan kebahagiaan akan segera dapat diwujudkan.

Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat maka pengendalian diri, etika dan toleransi hendaknya senantiasan ditumbuh kembangkan, dengan demikian keharmonisan sebagai landasan kehidupan yang sejahtera, tentram dan bahagia menjadi kenyataan.


Om Santhi Santhi Santhi Om.


Shri Danu-Bekasi @9 Juli 2009


No comments: