Thursday, November 7, 2013

Mencari Pembenaran Untuk Menutupi Kebodohan




OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Kadang-kadang tidak sampai terpikirkan untuk menilai perbuatan kita sehari-hari, apakah yang telah kita lakukan itu sudah benar atau salah? Sangat jarang berpikir sampai kesana. Karena adanya anggapan bahwa, apa yang dilakukan dan menyenangkan diri sendiri atau dapat memenuhi kepentingan mereka, itu yang dianggap benar. Walaupun untuk menutupi kecurangan atau kesalahannya mereka bersusah payah mencarikan pembenaran, baik dengan cara menyitir bunyi-bunyi ayat-ayat suci, maupun mencarikan pasal-pasal yang diperkirakan mendukung, dipaksakan untuk digunakan sebagai penguat, agar pendapat itu menjadi kelihatan benar, untuk bisa mendapatkan kepercayaan publik. Kelihatannya hampir semua berbuat seperti itu. Membungkus kesalahan dan kecurangan dengan kemasan pembenaran.

Ada satu contoh yang layak ditampilkan untuk mengungkap peristiwa mencari pembenaran tadi. Di salah satu Desa Pakraman anggota masyarakat rutin mengadakan penjagaan di pura. Untuk menghindari pencurian benda-benda sakral (makemit). Penjaga atau ’pekemitan’ itu syaratnya harus begadang, baik dilakukan secara bergilir, maupun dilakukan secara bersama-sama dalam satu kelompok (regu) ”pekemitan” itu. Nah untuk menghilangkan rasa ngantuk, mereka sepakat bermain judi (maceki) di pura. Kalau ada yang menasihati, mereka akan mencari pembenaran atas tindakannya, dengan cara mengatakan untuk menghilangkan rasa ngantuk agar dapat begadang sampai pagi, jika ada maling bisa cepat kentara. Sepintas kelihatannya apa yang mereka lakukan itu sangat benar. Tetapi sangat jauh dari kebenaran sejati.

Kalau kebenaran yang dicari semestinya mereka tidak bermain judi di pura, karena judi jelas-jelas dilarang oleh agama, apalagi dilakukan di pura sangat menodai kesucian agama. Semestinya mereka melakukan kegiatan yang berbau Suci.

Nah terjadinya tindakan-tindakan yang bertolak belakang dengan ajaran agama bisa berjalan terus, sampai tidak ada yang berani melarang, aparat kemanapun kadang-kadang dibuat kurang tegas (seperti menindak tajen), karena kepintaran mereka mencari pembenaran. Dengan cara mengatakan tajen itu adalah tabuh rah, kalau tidak diadakan tajen akan terjadi peristiwa yang sangat mengerikan serta didukung oleh kerauhan. Terbungkuslah kesalahan itu oleh pembenaran dari mereka.

Ada lagi peristiwa yang paling memalukan, yaitu; seorang koruptor juga sering mencarikan pembenaran tindakan korupsinya dengan cara menyumbang ke pura, baik berupa pembangunan pelinggih maupun sumbangan (punia) lainnya, yang mana mereka mengharapkan agar kelihatan paling dermawan di mata masyarakat, atau tindakan jahatnya mendapat pengampunan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sumbangan merekapun tidak tanggung-tanggung nilainya sampai puluhan bahkan ratusan juta, masyarakat dibuat sangat gembira dan hormat kepada sang koruptor, karena mereka rasakan nilai sumbangannya sangat besar, tetapi mereka belum tahu bahwa uang yang dikorup nilainya milyaran rupiah. Dilihat dari nilai sumbangannya sama sekali tidak ada artinya.

Tindakan-tindakan seperti inilah yang paling banyak terjadi dewasa ini. Selain itu kerap terjadinya perselisihan dan pertengkaran di dalam keluarga maupun di masyarakat akibat munculnya saling mencari pembenaran demi kepentingan mereka masing-masing. Jika begini keadaannya terus apa lagi yang dapat diharapkan. Masihkah ”kata jujur” itu perlu didengungkan, kecuali digunakan sebagai kedok didalam melancarkan aksi jahat mereka. Jangan biarkan segumpal awan hitam menutupi matahari menghambat sinar menerpa bumi, kegelapan akan muncul menuntun kita kearah jurang neraka. Hentikan langkah mencari pembenaran, carilah kebenaran bagai menghapus awan hitam membuka celah sinar matahari menerpa bumi.

Sadarlah bahwa matahari jauh lebih besar dibanding awan yang menutupinya, hanya saja jarak awan lebih dekat ke kita dibandingkan jarak matahari ke kita. Taruhlah kesadaran di atas awan dengan cara meletakan kebenaran di atas pembenaran.

Semakin mendekat kesinar, akan semakin jelas pandangan kita, semakin mudah pula membedakan antara yang benar dengan yang salah. Jika semakin dekat ke gelap, akan semakin tidak mampu pikiran untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Kebodohan jangan diselimuti dengan pembenaran, hilangkan selimut pembenaran tuntunlah kebodohan itu melalui kebenaran agar semakin terang jalan yang dilalui dan semakin pasti pula tujuan yang akan dicapai.

Tujuan agama adalah kebenaran, karena Ida Sang Hyang Widhi maha benar. Beliau adalah tujuan hidup kita, mungkinkah kebenaran itu akan dicapai hidup melalui pembenaran? Jangan terlalu lama menghayal, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan yang sia-sia, lihat dirumu berapa harikah ijin hidupmu masih berlaku?

Matahari telah condong ke barat, sebentar lagi akan tenggelam, siang diganti malam. Mengapa kami tidur terus, bangunlah lepaskan selimut judi, selimut mabuk, selimut narkoba, selimut selingkuh dan selimut-selimut kotor lainnya. Demikian pula kacamata angkuh, kacamata sombong, kacamata egois, dan semua jenis kaca mata yang sejenis lepaskan.

Pakailah selimut kebenaran dan kaca mata hati nurani dengan lensa budhi suci, kamu akan dapat merasakan sejuknya udara Dharma, dan dapat menikmati indahnya pemandangan Niwana.
Jika tindakan mencari pembenaran tidak dapat dihentikan, akan bermunculan orang-orang munafik, alam ini akan menjadi kerajaan munafik, mereka akan menyembah kemunafikan dan mengagung-agungkan munafik sebagai penyelamat hidupnya. Untuk itu perlu juga kita merenung sejenak, apakah kita adalah keturunan munafik? Apakah leluhur kita adalah orang-orang munafik? Apakah kemunafikan ini akan kita wariskan kepada keturunan kita nanti?

Saya dapat menebak bahwa tidak ada di antara kita yang setuju menjawab pertanyaan tersebut dengan kata ya. Nah bila saudara setuju dengan pendapat tadi, marilah kita tulis lembaran hidup ini dengan tinta emas dan tulisan indah, mencatat kisah-kisah cinta terhadap Sang Pencipta, goresan kasih dan sayang sesama makhluk ciptaaNya. Baca dan pahami rambu-rambu jalan menuju Sang Pencipta, yang telah terpasang rapi dan jelas dapat di baca. Mohonlah tuntunan kepada beliau yang memiliki pemahaman dan pengalaman membaca rambu-rambu tersebut. Jangan kecewakan para leluhur terdahulu, jangan dibuat malu keturunan kita nanti.

Ada sebuah cerita pendek yang mengisahkan orang bodoh. Si bodoh memang sejak kecil mereka tidak mau belajar, tidak mau bertanya kepada siapapun, awalnya dia menganggap kepintaran dan kebijaksanaan itu akan datang sendiri, karena itu merupakan hak seseorang yang harus mereka dapati tanpa perlu berusaha. Mungkin karena karma wesananya diwaktu hidup jaman lampau bagus, maka dalam hidup dia sekarang dapat menikmatinya. Dia menjadi kaya raya, namun menghitung uang dia tidak tau. Oleh karena dia kaya maka di dalam lingkungannya dia sangat disegani dan dianggap seorang tokoh. Begitu besar kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, semakin angkulah mereka. Sampai masalah tatanan kehidupan beragama mereka tangani sendiri, dan tetap tidak mau belajar, sebab menganggap diri selalu benar. Kesenjangan yang terjadi dalam pikirannya seperti itu mereka tutupi dengan mencarikan pembenaran.

Saya masih ingat dengan bunyi sloka dalam buku NITI SATAKA, ada tertulis bahwa; Orang bodoh yang berpura-pura seperti orang pintar; Dewa Brahma pun tidak mampu mengajari mereka.

Kisah singkat ini dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa mereka yang selalu mencari pembenaran akan sulit diarahkan atau diajarkan untuk bisa merubah arah menuju kebenaran. Dewa Brahma sulit mengajar mereka apalagi kita sesama manusia.

Maka dari itu jangalah sampai terlanjur hidup ini hanya untuk mencari pembenaran, agar jangan kita menjadi orang yang sulit menerima ajaran.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Sumber: facebook

Mensyukuri apa yang kita dapati sekarang



OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Kadang-kadang masih ada yang merasa bingung terhadap apa yang mereka dapati atau nikmati dimasa hidup sekarang ini. Mungkin mereka berpikir, kenapa saya sudah begini kok dapat begitu? Atau, kenapa mereka begitu kok dapat begini? Akhirnya penyesalan demi penyesalan akan muncul, untuk melemahkan semangat hidup, dan mengurangi keyakinan terhadap ajaran agama dan terhadap kebesaran Ida Hyang Widhi. Karena penyesalan itu sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali. Lebih baik waspada sebelum dan diwaktu beraktivitas, dibandingkan dengan menyesal setelah mendapat hasil dari aktivitas itu. Karena apa yang kita perbuat itu sekaligus merupakan kehendak kita dan juga merupakan pernyataan kita atau permohonan kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Oleh karena Beliau sangat adil dan bijaksana, apapun yang menjadi keinginan manusia pasti akan dipenuhi. Kalau mereka menginginkan hidup tenang dan bahagia, mereka harus menyampaikan keinginan melalui perbuatan kepada Beliau. Jadi Beliau akan menilai, jenis kebahagiaan yang bagaimana diinginkan, apakah kebahagiaan di atas penderitaan orang lain atau kebahagiaan bersama, setelah itu pasti kita terima hasil dari permohonan tersebut. Pokoknya apa yang kita mohon kepada Beliau pasti dipenuhi, lalu mengapa kita harus menyesali pemberian atau anugrah Beliau. Apakah penyesalan itu tidak boleh disebut salah satu bentuk sifat durhaka?

Ambil saja satu contoh, seorang anak meminta uang jajan 10 rupiah kepada orang tuanya, mereka berbicara dan bergerak untuk menyatakan permintaanya itu agar orang tuanya mengerti. Lalu orang tuanya memenuhi permintaan anaknya, dengan memberikan uang sesuai dengan permintaan. Mengapa si anak menyesal atas pemberian orang tuanya? Dengan mangatakan bahwa uang 10 rupiah mana cukup untuk membeli jajan? Percuma saya minta uang. Jajan saja harganya 100 rupiah, kok sampai hati orang tua saya memberi uang segini? Bentuk prilaku seperti inilah sebenarnya sangat tidak berguna. Apa bila mereka menyadari, semestinya sebelum meminta harus waspada dahulu, baik tentang harga maupun yang lainnya. Setelah itu baru meminta, pasti tidak akan terjadi penyesalan.

Demikian gambaran sebagai contoh untuk dapat menghayati tentang apa yang kita nikmati sekarang adalah merupakan hasil dari karma kita sendiri, sehingga setiap mau berbuat (berkarma), harus dilandasi oleh pikiran yang sejati, perkataan yang sejati dan pelaksanaan yang sejati. Untuk mendapatkan semua kesejatian tersebut, tiada jalan lain selain mengikuti petunjuk-petunjuk sastra Agama. Di dalam kitab Agastya Purana ada dimuat tentang penjelmaan kembali, apabila kita tersebut dibaca secara teliti, ada penjelasan tentang penjelmaan yang erat kaitannya dengan karma wasana.

Misalnya seseorang yang lahir menjadi manusia cacat (cacat fisik), itu diakibatkan oleh sewaktu mereka hidup sebelum kelahiran sekarang, sangat senang berbicara yang kurang sedap didengar, sehingga sering menimbulkan perasaan yang kurang enak bagi yang mendengarkannya, bahkan tidak jarang menyebabkan sakit hati. Prilaku mereka yang demikian itu, merupakan kesenangan sekaligus merupakan permohonan kehadapan Beliau agar dikemudian hari dapat pahala sesuai dengan kesenangannya. Makanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan sangat adil menganugrahi mereka untuk menjelma menjadi orang sumbing. Nah kenapa setelah diberikan anugrah sesuai dengan permohonan, kita jadi menyesal? Jika tidak senang menjadi manusia sumbing atau cacat fisik janganlah berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama. Kalau ingin menjadi orang kaya material dikemudian hari, mulai sekarang harus senang membantu (berderma) secara tulus dan ikhlas, pasti penjelmaan dikemudian hari menjadi orang kaya.

Pada dasarnya segala yang kita dapati dalam hidup sekarang, itu berdasarkan perbuatan kita terdahulu. Penyesalan demi penyesalan sebenarnya tidak bermanfaat. Untuk itu syukurilah apa yang kita dapati, dan selalu mengadakan evaluasi guna dapat meningkatkan atau menyempurnakan kehidupan dimasa datang. Masihkah saudara meyakini ajaran punarbawa? Atau, masihkah ada sisa-sisa keyakinan saudara tentang ajaran punarbawa, yang merupakan salah satu bagian dalam ajaran Panca Sradha? Yakin tidak yakin ajaran punarbawa akan terjadi di setiap manusia.

Maka dari itu, syukurilah apa yang kita terima sekarang merupakan hasil dari perbuatan kita. Tiada penyesalan yang mampu memberikan jawaban dan mengubahnya. Mengapa harus melakukan sesuatu yang tidak memberikan dampak positif terhadap diri kita?

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM


Sumber: facebook

Tindakan Brutal Menutup Kesucian


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Disiang hari panas matahari menyengat, sepertinya Dewa Matahari berkeinginan untuk membakar bumi secepat mungkin, entah dosa apa yang sedang dilakukan di atas bumi ini, sehingga Dewa Matahari berkeinginan seperti itu. Dalam keadaan yang serba panas pikiran manusiapun terpengaruh, bahkan lebih panas dari pancaran sinar Matahari. Jalan-jalan dipenuhi oleh antrian kendaraan dari berbagai jenis menunggu giliran lewat, asap mobil menyelimuti udara, manusiapun tidak henti-hentinya menghirup sisa pembakaran mesin mobil.

Namun kejadian seperti itu tidak menjadi perhatian, karena masing-masing dari mereka sangat sibuk mencari sesuatu untuk memenuhi tuntutan hidup. Mereka membayangkan tuntutan hidup itu datangnya seperti antrian mobil macet di jalan raya, sehingga tidak kurang dari mereka yang kehilangan kesabaran, sebab sang waktupun mengejar semakin dekat. Tidurpun tak nyenyak, pikiran jadi berputar seperti kincir angin diterpa badai, bergaul tidak sempat, mendidik anak tidak ada waktu, kerja jadi membosankan, kebohongan dan penipuan diri menjadi subur, sifat persaudaraan menjadi langka, kasih sayang semakin sirna mengikuti punahnya burung jalak Bali.

Sifat dan karakter sedikit demi sedikit bergeser dengan pasti, sifat egois menjajah sifat sosial, sombong mengganti posisi rendah hati, sifat emosi menjadi pemimpin dalam dunia kesabaran, tindakan brutal menggeser sifat persaudaraan. Sehingga ajaran agama menjadi topeng kepentingan, TriHitta Karana, Tatwamasi, ajeg Bali dipakai bumbu penyedap masakan untuk melemaskan lidah memainkan kata-kata demi tercapainya kepentingan, aktivitas agamapun tak luput dari ajang pamer kekayaan, pamer perhiasan, pamer kemolekan tubuh, sehingga bau busuk, bau amis tertutup oleh kain halus dan mahal, serta bau minyak wangi yang menyengat. Bhutakalapun tersenyum karena merasa bangga atas keberhasilannya mendidik. Para Dewa menangis karena ajarannya dinyanyikan lewat bibir bau busuk yang menyengat.
Semuanya telah menjadi kenyataan dalam hidup ini, dengan munculnya teroris yang bertarap internasional, perampokan, perampasan datang silih berganti. Perkelahian, bentrok antar kelompok juga ikut menyemarakkan, judi dan mabuk, narkoba menjadi pilihan utama, berselingkuhpun tidak mau ketinggalan. Kalau sudah begini lalu apa artinya hidup ini?

Dalam keadaan seperti itu, mungkin ada sisa-sisa kesadaran yang belum terjamah habis. Marilah secara bersama-sama memupuk dan menyiangi, agar terkuak awan hitam yang menyelimuti hati, dan menghalangi pancaran kesucian menerangi batin. Hanya batin yang jernih dapat menerangi pikiran, pikiran yang terang dapat mengatur panca indria untuk merekam semua aktifitas sekaligus dapat membedakan yang mana baik dan yang mana buruk, guna memancing kesadaran bisa muncul untuk mengikis kegelapan, bahwa kita adalah makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Beliau berdasarkan atas kesucian.

Ambil dan gunakanlah alat-alat penghapus kegelapan dan noda yang hampir kita lupakan, seperti; Telinga untuk mendengarkan nyanyian-nyanyian rohani, serta nasihat-nasihat Siwa Guru, mata melihat pemandangan yang mengarahkan bati menuju kesucian, hidung menghirup bau asap dupa cendana yang membuat pikiran melayang dan jatuh menerpa pangkuan Dewa Siwa, lidah mampu menikmati manisnya sorga Dewata, dan kulit dapat merasakan desiran angin kipas cendana dari para bidadari. Semuanya itu dapat menuntun kita menuju kebahagiaan sejati.

Beliau maha pengasih dan maha penyayang, kita yang terlalu manja. Bekal hidup telah diberikan, jalan dengan rambu-rambu yang jelas sudah disediakan, kenapa masih ingin mencari jalan pintas yang belum tentu arah yang akan dituju. Kita telah ditunggu dan disediakan tempat yang nyaman oleh Beliau, kenapa masih ragu-ragu?

Lepaskan selimut kotor yang penuh noda pakailah pakaian yang bersih, hapuslah noda-noda batin dan berjalan dengan langkah pasti menuju yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bukankah kita ingin mencapai kebahagiaan?

Jangan sampai salah pilih, sekarang musimnya perdagangan kebahagiaan semua atau kebahagiaan palsu, menjajakan dagangannya disertai janji-janji muluk yang menggiurkan yang satupun belum pernah terbukti bahkan sebaliknya akan bisa menjerumuskan kita kelembah neraka. Jangan dibiarkan terlalu lama tindakan brutal dan kebodohan memblenggu hidup kita.

Munculkan kesucian dalam diri untuk mencapai kesucian yang lebih besar. Mari kita bahagiakan leluhur kita di alam sana dan sejahtrakan keturunan kita di kemudian hari, serta damaikan hidup kita sekarang.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Sumber: facebook

Harapan bagi Umat Hindu dari Bali yang berada di luar Bali


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Setelah runtuhnya kerajaan Mojopahit, kita dapat lihat bahwa perkembangan umat Hindu di tanah air berasal dari Bali. Karena Bali sangat identik dengan Hindu, seperti istilah rakyat ada yang menyebutkan: ingat Bali ingat Hindu, ingat Hindu jadi ingat Bali. Dunia internasional pun mengakui seperti itu, bukan hanya istilah dari orang lokal saja. Dengan adanya program pemerintah tentang transmigrasi, yang bertujuan untuk pemerataan penduduk dari daerah yang berpenduduk padat (termasuk Bali), ke daerah yang masih jarang penduduknya. Walaupun kenyataan mengatakan lainyaitu Bali tetap padat penduduknya, dikarenakan oleh tidak terbendungnya urbanisasi membanjiri Bali, bahkan Bali sekarang bukannya jarang penduduknya melainkan lebih padat lagi. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya system kependudukan dipemerintahan dan pihak pemerintah. Pernahkah pemerintah mengevaluasi keberhasilah transmigrasi. Apakah sudah mencapai tujuan, apa belum?

Selain penyebaran Hindu melalui program transmigrasi, juga dengan adanya perpindahan pegawai dan tugas lainnya keluar Bali, sehingga umat Hindu yang berada di luar pulau Bali, lebih dominan berasal dari Bali. Pembangunan pura pun berdasarkan konsep Bali, tatanan kemasyarakatannya juga meniru Bali, walaupun tidak persis. Seperti adanya istilah banjar dan lain sebagainya. Walaupun demikian keadaannya, masih tidak banyak orang Bali yang pikirannya, atau yang lainnya untuk kemajuan dan tetap terjaganya Bali secara utuh sebagai daerah asal mereka. Bahkan masih ada orang Hindu yang berasal dari Bali mengkritik Bali secara pedas dan tidak mampu memberi jalan keluar yang baik.

Saya sering memberi Dharmawacana di luar Bali, sering saya mendapat pertanyaan yang sifatnya mengkritik. Seperti contoh; Kenapa sistem desa pakraman di Bali sangat mengikat warganya sehingga sulit warganya dapat mengikuti kemajuan zaman? Kenapa agama Hindu di Bali hanya menitikberatkan pada pelaksanaan upacara saja, dan tidak pernah menyentuh tattwa? Kenapa upacara agama Hindu di luar Bali selalu menggunakan (mendatangkan) banten yang sangat rumit dan mahal dari Bali? Ada juga yang menilai bahwa adanya keinginan orang Hindu di Bali, memBALIkan Umat Hindu yang berada di luar Bali (mengintervensi).

Semestinya hal-hal seperti itu tidak perlu terjadi, karena bisa memancing sesuatu yang sama sekali tidak kita inginkan bersama. Bukan berarti orang Hindu di Bali tidak boleh dikritik, bahkan sebaliknya kritik itu sangat diharapkan tetapi yang sifatnya membangun demi masa depan kita.

Seperti yang sering kita dengan bahwa agama Hindu sangat menghormati budaya lokal, dengan cara mengangkat, memelihara dan memberinya makna tattwa, sehingga tidak menjadi asing bagi umat Hindu sendiri. Jika kita berada di luar Bali bisa melaksanakan aktivitas agama yang disesuaikan dengan budaya lokal, namun tidak keluar dari tattwa dan tutjuan yang mau dicapai. Apabila kita belum mampu mengangkat budaya lokal dimana kita berada untuk pelaksanaan aktivitas agama, bisa mengadopsi budaya Bali (model Bali), tetapi sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Kiranya itu tidak salah. Tetapi tidak berarti Bali harus menyesuaikan dengan daerah lain, dan demikian sebaliknya.

Biarkanlah Bali berkembang sesuai dengan alamnya, karena telah terbukti bisa mendatangkan daya tarik tersendiri. Untuk itu marilah saudara-saudaraku jangan lupa pada asal mula kita, sumbangkanlah sesuatu demi terjaganya warisan leluhur kita. Bagi umat Hindu yang tetap berada di Bali semestinya sadar tentang tanggung jawab, sehingga secara bersama-sama kita menjaga ajegnya Bali dalam arti luas. Hentikan kebiasaan-kebiasaan jelek seperti main judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya yang senada dengan itu, mulailah menjadi atau menuju masyarakat produktif.

Satu lagi yang perlu diingat adalah bahwa pulai Bali tidak memiliki kekayaan alam yang dapat menghidupi Bali itu sendiri, seperti di daerah lain yang memiliki tambang, mengandalkan hasil hutan dan lain sebagainya. Bali hanya mengandalkan budaya dan seni yang bernafaskan Hindu. Jika budaya dan seni ini tidak terpelihara dengan baik, habislah sudah. Siapa lagi yang harus memeliharanya? Tidak ada lain adalah orang Bali, terutama yang masih tinggal di pulau Bali sebagai masyarakat pendukung budaya dan seni Bali, dan tidak ketinggalan juga masyarakat Hindu dari Bali yang tinggal diluar Bali.

Juga perlu diperhatikan pula oleh mereka yang non Hindu tinggal di Bali. Jangan seenaknya sampai kurang memperhatikan Bali. Kalau diumpamakan, mereka yang hidup di Bali memetik bunga dan buahnya, jangan lupa memelihara batangnya, memelihara akarnya. Jangan sampai sebaliknya menghancurkan melalui cara mencarikan bentuk baru Bali itu. Bali telah di buat seperti sebuah lukisan yang ditata apik oleh pelukis kawakan di zaman dahulu, janganlah mereka yang baru menjadi pelukis tingkat pemula coba-coba memoleskan warna, akan cacat jadinya. Nikmati saja keindahannya, jika kalian sangat berkeinginan untuk melukis baru, silahkan cari kertas lain untuk menuangkan lukisan anda, jangan di sini (Bali) dicoret-coret lagi, agar jangan karena anda cacat lukisan yang telah terkenal itu, apalagi karya anda belum pernah terbukti kehebatannya, dikagumi oleh dunia internasional.

Bagi siapapun juga baik di pihak pemerintah maupun pihak lain, perlu diingatkan bahwa hanya satu ada Bali di atas bumi ini, karena belum ada yang mampu memproduksi Bali yang ke dua.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Sumber: Facebook

Memahami Kewajiban Sebagai Pewaris



OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Debu-debu materi dan debu-debu kama beterbangan di mana-mana, seperti telah menutupi cerahnya angkasa, membendung sinar matahari menembus bumi. Keadaan semakin gelap, kesalahan, dan ketersinggungan semakin bermunculan tak ubahnya seperti tumbuhnya jamur dimusim hujan. Pertengkaran, perkelahian, dan konplik semakin subur bahkan sepertinya sudah menjadi budaya hidup. Hampir semua orang merasa benar, merasa paling kuat, paling berjasa, dan paling semuanya. Perselisihan secara pelan-pelan merambat dengan mantap kian mendekati hati. Seolah-olah tidak memberi peluang kepada Dharma untuk mengembangkan sayapnya di hati manusia. Terjadinya pelecehan-pelecehan pun semakin tak terbendung. Sangat sulit untuk menentukan yang mana benar dan yang mana salah, demikian gelapnya hati manusia yang ditutupi oleh debu-debu tadi.

Sadar atau tidak sadar masih sangat sedikit yang berkeinginan untuk mengusap debu yang menutupi hati nurani, untuk dapat memberikan kesempatan Dharma bisa bernafas dan bersinar, dapat memenuhi kewajibannya memberikan penerangan. Serentetan kalimat di atas ditulis hanya sedikit usaha untuk menguwak kegelapan sehingga bisa mendapatkan bayang-bayang, guna dapat meraba melalui rasa kewajiban sebagai pewaris yang dituntut bertanggungjawab terhadap leluhur dan generasi mendatang. Bila usaha ini tidak berhasil, berarti satu poin kita sudah melanggar amanat Veda. Sebab Veda mengamanatkan kepada kita: ”Keturunan adalah pewaris leluhur...”. Dalam kalimat tersebut terkandung makna si pewaris harus bertanggung jawab penuh atas apa yang diwarisinya. Namun dalam kenyataan sekarang kata waris, diterjemahkan sangat sempit sekali. Yaitu waris diartikan hanya berupa artha benda (kekayaan material) saja.

Justru yang dapat warisan menganggap diri mereka yang paling berhak dan tidak sampai memperhitungkan masa depan dan generasi penerus. Sehubungan dengan itu banyak dari mereka yang telah manganggap dirinya berhak atas warisan arta itu, menggunakan warisan itu semaunya sendiri dan untuk kepentingan sendiri yang sifatnya sesaat. Sehingga tidak kurang dari hal seperti itu memicu munculnya masalah-masalah, dan konplik, bahkan ada yang sampai memakan korban, karena berebut warisan. Ada pula yang sampai putus hubungan keluarga karena berebut warisan.

Kenapa tidak ada satupun dari mereka yang mau menyadari menghayati bahwa arta warisan itu tidak lebih hanya bermakna hak guna pakai semasih kita hidup? Setelah kita meninggal nanti, arta itu kita akan warisakan lagi kepada generasi penerus kita, demikian seterusnya secara turun temurun. Kesadaran seperti itu semestinya ada jika kita berbicara tentang warisan berupa arta benda. Kembali kita harus menyimak makna warisan secara luas. Sebenarnya warisan itu maknanya luas sekali, yaitu mengandung tanggung jawab sekala dan niskala.

Seperti contoh; Orang Bali mewarisi Bali yang lengkap dan rapi termasuk Agama Hindu, budaya Hindu, seni Hindu, tatakrama Hindu, adat istiadat Hindu. Begitu tingginya nilai warisan yang kita dapat, janganlah warisan itu hilang hanya karena kebodohan kita, ’kemomoan’ kita demi kepentingan sesaat, sehingga generasi kita tidak akan dapat menikmati Bali yang sesungguhnya, karena telah hancur di tangan kita. Kesadaran yang dapat mengarah kesana harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Hilangnya kesadaran kita seperti itu dimulai dari hilangnya kesadaran pribadi-pribadi kita. Sekali lagi jangan sampai dilupakan bahwa kita orang Hindu dapat warisan dari leluhur kita adalah untuk diwariskan lagi kepada generasi berikutnya secara estapet.

Selain warisan artha benda (material), sebenarnya warisan tanggung jawab moral yang paling penting. Misalnya saya berani mengaku sebagai orang Hindu, karena sejak saya berada di dalam kandungan si ibu saya telah diberikan pendidikan ke Hinduan, sampai lahir dan selanjutnya dewasa dan seterusnya hingga tua, bahkan sampai pada matipun saya diperlakukan sesuai dengan tatanan Hindu. Jadi sayapun memiliki tanggung jawab untuk meneruskan kehinduan itu sampai kepada anak cucu saya nanti. Pikiran seperti ini juga termasuk warisan, yaitu warisan moral. Jika ada siapapun dia, tahunya hanya mewarisi artha benda saja dan tidak pernah mau tahu tentang tanggung jawab moral berupa warisan juga, orang seperti ini termasuk si pewaris yang sangat tersesat. Apalagi sampai terjadinya perkara tuntut menuntut, bahkan merajan dan rumah tidak dapat perhatian, bahakan rumahnya dikapling-kapling sesuai dengan yang mereka anggap hak waris mereka, peristiwa seperti ini akan tidak pernah menemui kebahagiaan, hanya kehancuran yang menunggu mereka.

Di sini akan dicoba memberikan contoh, misalnya; Leluhur kita mewariskan tempat tinggal (rumah sikut satak, cara Bali) kepada kita sebagai anakanya. Lalu kita bersaudara 3 (tiga) orang, selanjutnya rumah itu kita bagi bertiga (dikapling) masing-masing mendapat satu bagian. Nanti dari tiga bersaudara ini akan memiliki anak laki-laki masing-masing 2 (dua) orang. Jadi tanah yang sebagian dari warisan tadi, lagi di bagi dua dengan cara mengkapling. Lama-lama 2 (dua) anak ini lagi beranak laki masing-masing 2 (dua) orang, tanah itu semestinya dibagi lagi begitu seterusnya. Akhir cerita tanah akan menjadi habis terkapling dan tidak dapat difungsikan karena sempit mendapat bagian. Jika diperhatikan keadaan seperti itu akan semakin parah, karena mereka harus membuat merajan lagi, membuat ”pemesu” lagi dan lain sebagainya sesuai dengan konsep perumahan orang Hindu, dan hal seperti ini tidak dibenarkan oleh sastra (lontar Astha Kosala Kosali dan lontar Ashta Bumi), karena disebutkan mereka yang mengkapling rumah ”sikut satak”, termasuk dalam kategori nyepih karang, hukumanya tidak akan bisa menemui kebahagiaan hidup.

Sebab karang perumahan dalam konsep Hindu memanusiakan alam dan lingkungan, pekarang rumah dibuat menyerupai diri manusia, yaitu; Merajan sebagai kepala dari pekarang rumah, halaman sebagai badan, dan pintu masuk sebagai kaki. Nah jika ini dikapling, berarti kita sama dengan memotong-motong tubuh sendiri, disamping terasa sangat sakit juga menjadi cacat seumur hidup.

Lalu bagaimana caranya jika tidak boleh mengkapling tanah perumahan? Jawabanya adalah; Kesadaran tentang warisan konsep perumahan yang kita terima, kemudian boleh membagi hak, tetapi jangan sampai memberi batas (tembok baru), jadi menggunakan hak gunapakai untuk membangun bale, dan merajan kita ayomi bersama dengan menitikberatkan pada persatuan dan kesatuan sesuai dengan makna pendirian tempat suci bila dilihat dari kontek sosial kemasyarakatan. Itu berarti kita menysyukuri karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, bahwa kita dilahirkan ke dunia ini dalam satu induk, satu keluarga, jadi dari alam sana kita sudah dipasangkan oleh Beliau, karena berdasarkan kecocokan.

Mengapa kita setelah di atas alam ini muncul ketidak-cocokan? Apakah kita tidak boleh disebut melanggar perintah Beliau? Maka dari itu untuk generasi penerus harus dimotifasi agar giat menimba ilmu demi masa depannya, rajin bekerja, kurangi kegiatan yang menyuramkan masa depan, usahakan agar bisa membeli tanah seluas-luasnya untuk perkembangan keluarga kemudian. Jangan ada keinginan untuk menjual tanah, karena tanah tidak akan bisa berkembangbiak menjadi luas. Kalau kita terus tidak mau mengerti, siap-siaplah akan menjadi suku yang terpinggirkan. Kesimpulanya, hayatilah swadharma para leluhur, dan dilaksanakan serta dikembangkan sesuai dengan kepentingan bersama.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM


Sumber: Facebook

Masikah Hukum Karma Phala berlaku di Jaman Globalisasi


OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Bila keyakinanmu hilang digerus oleh egoismu.
Bhaktimu kehadapan Tuhan dan terhadap leluhur akan sirna.
Cintamu sesama manusia akan semakin punah.
Kasihmu terhadap alam lingkungan semakin pudar.
Layar kesengsaraan dan layar neraka akan terpangpang lebar didepan matamu.

Setelah alam semesta ini tercipta lengkap dengan isinya, juga disertai dengan tatatertib dan peraturan bagi penghuninya guna tercapai keseimbangan hidup di alam ini, manusialah yang merupakan penerima mandat dari Sang Pencipta untuk mengolah, mengatur dan memanfaatkan alam ini demi tercapainya kedamaian dan kebahagiaan bersama termasuk kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia itu sendiri. Hal ini dapat kita rasakan dan buktikan dengan di anugrahinya manusia itu kelibihan memiliki pikiran di bandingkan dengan makhluk lain ciptaanNya.

Disamping itu manusia pula telah diberikan kitab petunjuk untuk mengatur, mengolah dan memanfaatkan alam ini, berupa kitab suci yang kata mereka bahwa kitab itu adalah wahyu dari Sang Pencipta sendiri. Sehingga isi dari kitab suci itu semestinya jangan sebatas dihafal, diomongkan, ditafsir untuk kepentingan sendiri atau untuk kepentingan sekelompok saja, dan tidak juga untuk dipertentangkan digunakan sebagai alat menjelekan pihak lain, mengintervensi, dan mengkonversi. Langkah terbaik adalah, mari kita praktikan berorientasi pada kepentingan bersama dalam mengolah, mengatur dan memanfaatkan alam ini. Kalau kita amati banyak sekali petunjuk-petunjuk yang perlu kita pahami, salah satunya yang akan di jelaskan disini adalah petunjuk yang berupa hukum yaitu ; Hukum Karma Phala.

Dengan judul pembahasannya adalah; Masihkah hukum karma phala itu berlaku di jaman globalisasi. Ajaran ini sangat perlu kita bahas dan kita pahami, sebab akhir-akhir ini telah terindikasi adanya penurunan keyakinan terhadap hukum tersebut, bahkan ada pula yang sama sekali tidak meyakini keberadaan hukum tersebut. Semuanya ini terjadi karena kekurangan dan kesalahan kita bersama menganggap hukum tersebut bukan untuk kelompoknya atau dengan alasan yang lainnya senada dengan hal tersebut. Sehingga kehidupan kita menjadi semakin semerawut, semakin tidak menentu, kekhawatiran dan kecemasan muncul setiap saat dibenak hati kita. Kalau kita amati peruntukan dari hukum Karma Phala tersebut adalah untuk alam dengan segala isinya, sebab hukum tersebut adalah hukum alam, kalau memang ada yang hidup diluar alam semesta ini baru mereka tidak terikat kepada hukum ini.

Hukum Karma Phala itu adalah hukum alam yang juga boleh disebut dengan Rta, atau diterjemahkan denga kalimat Hukum sebab dan akibat. Siapapun dia tidak akan bisa terlepas dari hukum ini. Memang kalau kita kaitkan dengan ajaran agama, hanya ajaran agama Hindu yang mengajarkan hukum ini. Walaupun demikian bukan berarti hanya orang yang beragama Hindu saja yang kena. Mungkin itu juga merupakan ciri khas kitab suci agama Hindu yang dikenal denga nama Veda, merupakan ajaran asli dari wahyu Tuhan sebab kalau diamati dari kelengkapannya. Jadi Hindu itu sama sekali bukan agama Budaya seperti yang ditulis atau diajarkan oleh orang-orang yang belum memahami isi Veda itu sendiri.

Semakin kita tidak meyakini hukum alam tersebut, hidup kita semakin tergilas oleh prilaku dan lengkah kita sendiri.

Selanjutnya akan diuraikan arti dari pada Hukum Karma Phala itu sendiri untuk menghindari kesalah pengertian. Hukum diartikan peraturan atau ketentuan, norma-norma, bila hal itu dilanggar maka akan mendapatkan akibat olehnya. Karma diartikan setiap perbuatan kita sekecil apapun, Atau sebab. Phahala (pala) diartikan hasil, atau akibat. Arti keseluruhannnya adalah Ketentuan yang pasti untuk akibat dari sebuah sebab sekecil apapun juga. Atau bahasa pendeknya adalah Hukum yang menentukan hasil dari karma. Dengan depfenisi tersebut maka akan mudah untuk memahaminya, jadi selama manusia itu masih bisa berbuat, baik masih dalam pikiran, perkataan, apalagi melalui tindakan, maka pasti akan mendapatkan hasil (phahala) dari perbuatan mereka sendiri. Hukum Karma Phala ini terbagi atas tiga;

1. Sancita Karma Phala; Perbuatan dimasa lapau(semasih hidup terdahulu sebelum hidup yang sekarang), oleh karena saat itu belum dapat dinikmati phahalanya maka semasa hidup sekarang pasti phahala dari perbuatan tersebut akan diterima.

2. Prarabda Karma Phala; Perbutan dimasa hidup sekarang, phahalanya akan diterima dimasa sekarang pula.

3. Wartamana Karma phala; Perbuatan dimasa hidup sekarang karena sesuatu ( kematian ), belum sempat menerima phahalanya, maka phahala dari karma tersebut akan diterima dimasa hidup dikemudian hari. Begitulah perputaran Hukum Karma Phala itu. Dan yang perlu diingat adalah phahala dari karma seseorang itu tidak akan bisa diwariskan atau dipindah tangankan kepada pihak lain. Siapa yang berbuat merekalah yang akan menerimanya. Hukum Karma Phahala ini berlaku untuk karma yang baik (subhakarma), dan untuk karma yang buruk (asubhakarma).

Sebagai contoh; seribu ekor induk sapi betina yang semuanya punya anak, dilepas disebuah lapangan yang luas, kemudian dilepas pula semua anak sapi tersebut, maka anak sapi akan mencari induknya sendiri, merka tidak akan mau menyusui pada sapi yang bukan induknya.

Demikianlah phala dari karma itu, yang dimaksudkan bahwa phala dari karma seseorang yang tidak bisa diwariskan dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihaklain. Bila demikian keberadaan hukum karma phala tersebut, maka sudah dapat dipastikan berlaku disegala jaman, tidak terbatas pada jaman A, atau jaman B atau jaman yang lainnya, sekalipun yang disebut jaman global. Diyakini atau tidak diyakini hukum karma phala itu tetap akan berlaku untk siapa saja. Sehingga jika kita meyakini hukum tersebut, akan sangat mudah sekali yaitu dengan cara berkarmalah yang baik (berbuat yang Baik), sudah pasti kita akan menerima hasil yang baik pula. Karma yang baik itu melingkupi perbuatan yang sesuai dengan petunjuk agama (Tuhan), sesuai dengan kaedah-kaedah dan norma-norma kesusilaan, yang berakibat kepada kedamaian dan kebahagiaan bersama. Apalagi dijaman global seperti sekarang ini dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dianggap maju, sangat gampang sekali berbuat baik, asalkan kita memiliki kesadaran tentang makna hidup ini.

Mari kita bandingkan jaman yang kita anggap maju seperti sekarang ini, dibandingkan di jaman dahulu semasa didirikannya candi Borobudur, candi Prambanan, kalau diBali didirikannya Pura Besakih, yang kita anggap jaman kuna, belum berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dihati kita akan berbicara bahwa jaman sekarang jauh lebih maju dibandingkan di jaman itu. Tetapi kalau kita amati dengan saksama akan kita dapat simak, berdirinya bangunan yang kapasitas sangat besar, sudah pasti dilandasi oleh persatuan dan kesatuan, keyakinan penuh kehadapan Tuhan, ketulusan, pelayanan dan pengabdian. Jika hal tersebut tidak dilandasi oleh pemikiran seperti itu, maka pembangunan seperti itu tidak akan bisa terwujud.

Sebab peralatan masih sangat sederhana, transportasi masih sangat kurang, Insinyur mungkin belum ada, nah dengan terbukti bangunan itu telah ada yang kita warisi sampai sekarang, berarti dijaman dahulu itu jauh lebih maju moralitasnya dibandingkan dengan jaman sekarang. Tidak itu saja membangun bangunan sebesar itu sangat memerlukan keamanan dan kenyamana, sebab waktu yang dibutuhkan menyelesaikan bangunan tersebut memerlukan waktu yang sangat panjang. Bisa ditebak waktu itu keadaannya sangat aman dan kondusip, kenapa bisa aman dan kondusip? Sebab masyarakat waktu itu sangat meyakini adanya hukum karma phala, yang merupakan salah satu dari sekian banyak keyakinan yang mereka yakini.

Jadi kesimpulannya adalah; Hukum Karma Phala diyakini maupun tidak akan tetap berlaku disepanjang jaman. Sebab hukum tersebut adalah hukum alam, artinya hukum yang bukan merupakan produk manusia. Sekian dan terima kasih.

OM, SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM


Sumber: facebook