Thursday, April 29, 2010

AJARKAN KAMI BERDOA

Salam Kasih

Suatu malam seorang pria  yang sudah kelelahan dan hendak tidur teringat kalau dirinya belum berdoa. Ia segera bangun dan berdoa, “ Tuhan saya lelah, tetapi saya ingin berdoa secara benar, ingin tahu aturan-aturannya. Saya mohon Tuhan, ajari saya bagaimana seharusnya berdoa???



Apakah saya menundukkan kepala, berlutut ataukah saya berdiri? Apakah saya harus memejamkan mata, mengangkat tangan atau haruskah saya mengatupkan jari-jari tangan saya rapat-rapat? Atau bolehkah saya berdoa sambil duduk? Cara mana yang Kausukai? Selama berdoa, lampunya harus menyala atau padam? Atau haruskah saya menyalakan lilin?



Bolehkah  saya pakai kaca mata? Atau apakah kaca mata saya harus dilepas? Selama berdoa, apakah saya harus duduk di kursi, di meja atau di lantai?  Haruskah saya berbisik atau malah harus berbicara dengan suara keras?  Bagaimana soal waktunya? Apakah Engkau menyukai waktu fajar?  Haruskah saya berdoa cepat atau malah harus lambat?  Apakah lebih  berdoa secara singkat atau panjang?



Tuhan, apakah Engkau mendengarkan saya saat ini?”



Setelah itu dia terdiam dalam keheningan namun antara sadar dan tidak dia mendengar suara halus berkata…..



“Oh , anak-Ku tersayang, apakah engkau pikir Aku menuntutmu soal waktu untuk berdoa, atau kamu harus mengucapkan doamu sambil berdiri atau  sambil berlutut? Ketahuilah! Aku tidak peduli bagaimana cara atau sikap tubuhmu saat berdoa atau tempat berdoa yang engkau pilih.



Jika ingin menghormati Aku sambil berlutut…..itu baik, tetapi yang terpenting bukalah hatimu, bukalah jiwamu kepada-Ku. Aku tidak punya aturan-aturan lain….. ! Katakan apa yang ada di dalam hatimu, ceritakan apa yang kamu cari, kemukakan kesedihanmu dan semua hal yang membuatmu lemah dan tidak berdaya. Bicaralah kepada-Ku secara pribadi apa yang menjadi hal terpenting bagimu. …..!



Aku tahu perbuatan-perbuatan baikmu, jadi tidak perlu menyombongkan diri. Anak-Ku…., kamu tidak perlu pelajaran khusus….! Biacara saja kepada-Ku tiap hari.  Ceritakan apa saja yang kamu inginkan.



Anak-Ku sayang……, setiap orang mampu berdoa.



Tuhan…..Terima Kasih atas Pelajaran-Mu Hari ini. Semoga Aku Dapat Memuja-Mu Dalam Setiap  Nama, Rupa, dan Warna-Mu. Dimana & Kapanpun……..





Serve by: Shri Danu D.P

(disarikan dari: ketika burung berhenti berdoa)

"Silence can be Good & Bad"
=======

Wednesday, April 21, 2010

Bhisma dan Dewi Amba

--Dari milis suara utara--

Bhisma, adalah tokoh besar dalam kisah Mahabharata. Ia adalah Putra Mahkota, buah perkawinan Prabu Santanu, Raja Hastina dengan Dewi Gangga. Bhisma Menjadi icon penting, bahkan mungkin yang utama, dari kisah kepahlawanan dalam Mahabharata. Ia menjadi termasyur bukan karena tahta, karena justru Bhismalah yang mengajarkan bahwa Kepahlawanan bukan sesuatu yang ditakdirkan, bukan sesuatu yang ada karena keterkondisian, bukan karena sesorang adalah Raja, Puta Mahkota, Parjurit dsb. Kepahlawanan adalah sebuah pilihan.

Bhisma yang putra mahkota itu mengucapkan sumpah Brahmacari dan tak hendak menduduki tahta Hastina demi meyakinkan Dewi Satyawati, seorang Janda Jelita yang menjadi pujaan hati Santanu, sepeninggal Dewi Gangga yang kembali ke Kahyangan.

Demi menjaga Hidup Prabu Santanu, ia menjemput Dewi Satyawati ke tengah hutan, dan meyakinkannya bahwa hasil pernikahannya dengan Prabhu Santanu kelak adalah pewaris tahta Hastina. Agar sengketa tahta tak berlanjut ke generasi berikutnya, Bhisma memutuskan untuk menempuh Hidup Brahmacari. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Bhsima meyakinkan Satyawati dan juga Prabu Santanu bahwa tanpa tahtapun dia tidak akan pernah meninggalkan Hastina dan segala hal yang menjadi kewajibannya seorang Ksatria di tanah Hastina.

Waktu segera berlalu, Santanu dan Satyawati hanya mampu melahirkan dua orang anak laki-laki Wicitrawirya dan Wicitranggada yang kesehatannya tidak normal, yang mana para tabib memperkirakan dua putra mahkota itu akan mati muda. Tentu saja Satyawati risau akan haknya. Di sisi lain, Bhisma juga merisaukan keberlangsungan Hastina. Maka ia menyepakati tugas yang dititahkan Dewi Satyawati untuk segera mencarikan jodoh bagi dua putra mahkota itu agar segera menghasilkan keturunan sebelum maut merampas kesempatan itu. Kebetulan di Negara tetangga ada raja yang hendak mencarikan jodoh bagi tiga orang putrinya lewat sayembara. Ketiga orang putri itu adalah Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Sebenarnya Dewi Amba enggan diikutkan dalam sayembara itu karena Ia terlanjur jatuh hati pada seorang pangeran dari negeri tetangga.

Singkat cerita, Bhisma yang tak diundang karena status-nya yang brahmacari hadir ke tengah sayembara. Tanpa diminta, ia menyampaikan pada hadirin bahwa kehadirannya dalam sayembara bukan untuk dirinya, tetapi untuk dua orang adiknya. Tentu saja banyak pihak yang tak sepakat. Bhisma tak gentar, dan dia hanya memberikan dua pilihan pada Raja dan semua pangeran di sana : Mengijinkannya ikut sayembara atau dia akan merampas semua putri yang disayembarakan.

Bhisma tetap tak diijinkan mengikuti sayembara, sehingga ia memilih cara kedua. Dengan Keretanya yang putih berkilau, Ia menyeruak ke tengah arena. Ketiga putri ditariknya ke atas kereta lalu dengan senjata yg siaga, mata yang awas ia bergegas meninggalkan arena. Tak satupun pangeran yang kuasa menghalanginya. Bhisma hanya sedikit repot ketika Pacar Dewi Amba menghadang dan Dewi Amba sendiri berupaya melarikan diri dari kereta Bhisma. Tapi itupun tidak berlangsung lama karena hanya dengan tiga desingan anak panah sang pacar menyerah. Sang pacar merasa dipermalukan. Dewi Amba …? ia hanya bisa mengiba, menggapai angin dari kereta yang terus semakin laju meningalkan asanya di balik kepulan debu.
Bhisma kembali ke Hastina dengan tiga orang gadis.
Sampai di sini, perlulah kita membahas kepahlawanan Bhisma lebih jauh lagi.  Untuk hal Kepahlawanan, sepertinya terasa cukup. Namun demikian, mungkin ada baiknya kita menyimak sedikit lagi tentangnya.

Bhisma telah menjadi insprirasi bagi ungakapan “Right Or Wrong Is My Country” karena sikapnya yang tetap kukuh menjaga Kehormatan Negara Hastina, meskipun Hastina diperintah oleh raja yang lalim seperti Duryudana dan para Korawa. Kecintaannya pada Hastina tak dibutakan oleh kasih sayang kepada Para Pandawa yang saat itu telah mendirikan Kerajaan Indraprastha.

Baginya, sekuat dan sebenar apapun alasan bagi Pandawa dan Indrapasta untuk berperang, itu adalah dalam urusannya dengan para Korawa. Dan ketika berbagai alasan itu bersinggungan dengan kehormatan Hastina, Bhisma harus tetap berdiri di garis depan, menjadi panglima perang bagi Hastina.

Bhisma tak akan pernah tertandingi dalam sejarah Kepahlawan. Ia adalah yang pertama dalam urusan menjaga kehormatan Negara.

Namun demikian, adakah ia juga piawai dalam menjaga kehormatan Wanita?

Cerita di atas baru sepenggal berkisah tentang itu.

Tiga orang gadis dirampasnya, dan kemudia semua dari kita tahu apa yang kemudian terjadi pada Dewi Amba. Tidak Wicitrawirya, tidak juga Wicitranggada yang memilihnya sebagai Istri. Bahkan Ketika Bhisma hendak mengembalikannya pada sang pacar, ia pun ditolak. Dewi Amba akhirnya mengembalikan semua kepada Bhisma sehingga Bhisma terjebak dalam kisah simalakamanya sendiri. Terlepas dari persoalan suka ataupun tidak, Ia yang telah mengangkat sumpah Brahmacari tak mungkin menikahi Amba, dan di sisi lain ia juga tak mampu mengupayakan hal yang lebih baik baginya.

Ia yang mulai galau dan berusaha menenggang waktu, tak kuasa menolak karmanya sendiri. Anak panah yang ia selipkan pada rentangan gandewa tiba-tiba lepas dan menghujam deras, tepat di ulu hati Dewi Amba.

Bisakah karma memberikan toleransinya pada bhisma yang sama sekali tak bermaksud membunuh? Pada Bhisma yang hanya ingin menunda waktu?

Tidak.

Sang karma harus adil dan memberikan kesempatan pada Dewi Amba untuk selalu menuntut Kebenaran. Maka, atas restu sang Karma, Dewi Amba mengutuk Bhisma, menuntut balas kematian, kelak di medan Kuruksetra.

Dan … ketika waktunya tiba, Amba dalam wujud Srikandi mendapatkan haknya itu.

Sehari sebelum waktu pembalasan, Bhisma sudah mengetahui kehadiran Amba pada diri Srikandi. Ia yang tak takut pada kematian, ia yang tunduk pada garis kehidupan, nampak ceria melewatkan setiap tanda pergantian waktu dengan bahagia. Ia tak memerintahkan dipersiapkannya pasukan khusus untuk menghalangi pertemuannya dengan Srikandi. Sebaliknya, justru ia sungguh-sungguh mengharapkan segeranya pertemuan itu.

Keesokan harinya, di medan Kuru Ksetra, Bhisma tetap berusaha menunaikan tugas ke-Ksatriaannya. Semua yang menghadang harus bersusah payah menghindar dari hujan panah Bhisma. Pun ketika ia melihat Arjuna.

Sesaat setelah menerima penghormatan Arjuna, Bhisma kembali merentangkan anak panah membidik Arjuna. Entah dari mana datangnya, secepat kilat, Srikandi hadir diantara mereka. Bhisma terkesiap dan segera mengarahkan mata panahnya ke tubuh srikandi. Namun, kala itu ia tak punya kesempatan. Tak satupun anak panah yang terlepas menjadi utuh menyentuh tubuh Srikandi karena anak panah Bhisma di tebas panah-panah Arjuna. Sebaliknya Srikandi dapat melepaskan setaip anak panahnya dengan leluasa. Tak satupun panah Srikandi luput menghujam Bhisma. Panah Srikandi, menghujam tepat di setiap simpul cakra Bhisma. 

Adakah Bhisma panik dan menyimpan amarah karenanya? Tidak …. Bhisma menyambut semua anak panah Srikandi dengan bahagia. Semakin berlaksa, semakin jelas dilihatnya sosok Amba pada diri Srikandi. Bhisma terhuyung, namun ia berusaha tetap berdiri. Tanggannya mengembang, badannya condong … seolah ingin mendekat … ingin menyambutnya … memeluknya.

Akhirnya Srikandi menyadari isyarat itu. Perlahan, ia menurunkan anak panahnya. Dengan seksama ia menangkap makna dari tatapan Bhisma yang syahdu. Saat itulah, Dewi Amba dalam wujud Srikandi menemukan jawaban yang jujur dari seorang Bhisma. Lewat matanya, lewat senyumnya, Bhisma menyampaikan pada Amba bahwa sesungguhnya ia sangat menunggu-nunggu kesempatan itu, saat dimana ia dapat melepaskan semua sumpah dan atribut yang duniawinya selama ini yang tak memberinya ruang untuk mengungkapan Cinta. Amba akhirnya tahu, dirinya bukanlah seorang yang ter-sia-sia ….

Bhisma ….
Ia memang Pahlawan Besar, tak pernah lelah menjaga Kehormatan Hastina.
Sementara Dewi Amba …
Perjalan kisahnya juga membawa pesan tersendiri yang tak kalah mulianya.
Ia telah mengajarkan bahwa Kepahlawan, Kegigihan dalam menjaga Kehormatan Negara tak boleh menjadi alasan pembenar untuk mengabaikan Kehormatan Wanita.

Bhagavad Gita Mengajarkan :
“Dimana Kaum Perempuan Di hormati, di sana Rejeki akan berlimpah, Kesejahteraan Masyarakat meningkat, serta Kehormatan bangsa dan Negara terjaga. Sebaliknya, Dimana Kaum Perempuan direndahkan dan diperlakukan sebagai kaum marginal, maka dengan segera Bangsa dan Negara itu akan menjelang Kehancuran”.

Semoga kita dapat belajar dari kisah ini.
Selamat Hari Kartini, 21 April 2010.

-- Tut Widi--